Thursday, June 13, 2013

PERBANDINGAN SEJARAH ISLAM DENGAN HUKUM ROMAWI


PERBANDINGAN SEJARAH  ISLAM
DENGAN HUKUM ROMAWI

Pendahuluan
Syar’u  Man qoblana (Adanya syari’at lain, sebelum Islam)antara lain Hukum Romawi.
Teori Receptio in Complexu
Teori receptio in complexu ini dikemukakan oleh Mr. W.C. van den Berg, Guru Besar di Delf dan Penasihat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintah kolonial Belanda.

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut: “Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia”.

Tegasnya menurut teori ini, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum Adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Kalau ada hal-hal yang menyimpang dari hukum agama yang dipeluknya, maka hal ini dianggap sebagai suatu “perkecualian/penyimpangan” dari hukum agama yang telah “in complexu gerecipieerd” (diterima secara keseluruhan) itu.

Dengan berlandas pada teori yang dikemukakannya itu, maka van den Berg menggambarkan hukum Adat itu sebagai hukum yang terdiri hukum agama dan penyimpangan-penyimpangannya.

Teori van den Berg ini mendapat banyak tentangan dari para sarjana, antara lain:

Prof. Snouck Hurgronje dalam bukunya “De Atjehers” Jilid I;
Mr. van Ossenbruggen dalam bukunya “Oorsprong en eerste ontwikkeling van testeer en voog dijrecht”;
Mr. I.A. Nederburgh dalam bukunya “Wet en Adat” Jilid I;
Mr. C. van Vollenhoven dalam bukunya “Het Adat-recht van Nederlans Indie”;
dan lain-lainnya.

Sebelum syari’at Islam terdapat banyak syari’at dan undang-undang. Di antaranya ada yang diturunkan dari sisi Allah SWT. yang di sebut dengan syari’at Ilahi atau samawi. Syari’at ini banyak jumlahnya, karena setiap ummat tidak terlepas dari adanya seorang Rasul yang di utus Allah SWT. untuk menyampaikan syari’at dan hukum-Nya. Firman Allah SWT.:
وَ
إِنْ
مِنْ أُمَّةٍ
إِلاَّ خَلاَ فِيْهَا نَذِيْرٌ (فاطر: 24)
Dan tidak ada satu ummat pun kecuali telah ada padanya seorang pemberi peringatan.”
       Seluruh syari’at Ilahi memiliki kesamaan prinsip-prinsip agama dan aqidah, seperti iman kepada Allah dan menegaskan ibadah kepada-Nya, ikhlas dalam beramal, iman kepada Hari Akhir, bersiap diri dengan amal shaleh, dan memerangi kemusyrikan. Sejalan dengan hal tersebut, syari’at samawi memiliki sumber yang sama, dasar aqidah dan tujuan umum yang sama, namun berbeda dalam hukum-hukum praksis, terperinci, dan parsial yang mengatur hubungan individu dengan pencipta-Nya, dan atau antarsesama manusia.
       Selain hukum samawi di atas, ada pula hukum yang dibuat atau di tetapkan oleh manusia, atau sering di sebut dengan hukum positif. Salah satu hukum positif terbesar yang memiliki pengaruh cukup kuat terhadap hukum-hukum sesudahnya adalah hukum Romawi, bahkan, para orientalis pun mengkait-kaitkan bahwasannya hukum (Syari’at) Islam pun juga telah terpengaruh oleh hukum Romawi tersebut. Islam yang di turunkan di Arab, kemudian tumbuh dan berkembang di daerah Arab. Namun, setelah itu Islam berkembang dan menyebar ke negeri-negeri tetangga dan negeri yang jauh, serta berhasil membebaskan dan menguasai kawasan-kawasan yang sebelumnya tunduk kepada Negara Romawi Timur, seperti Syam dan Mesir. Sebagai akibat dari pembebasan wilayah tersebut, secara otomatis syari’at Islam menggantikan hukum Romawi yang sebelumnya berlaku di kawasan-kawasan tersebut.

         Melihat kondisi demikian, para orientalis lantas berpendapat bahwa syari’at Islam dan hukum Romawi ada saling keterkaitan satu dengan yang lain. Sebagian besar orientalis mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi. sebagaimana Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan dalam bukunya Pengantar Studi Syari’ah yang mengutip perkataan dari  Goldziher, Von Kremer, dan Scheldon Amos yang mengatakan bahwa “Syari’at Islam di ambil dari hukum Romawi. Berdasarkan kaidah-kaidah hukum Romawi inilah para fuqaha’ membangun struktur hukum syari’at Islam.” Tidak hanya itu, Scheldon Amos juga mengatakan bahwa: “Syari’at Muhammad tidak lain adalah hukum Romawi Imperium Timur, yang direvisi agar sejalan dengan kondisi politik di dalam kerajaan-kerajaan Arab…”
        Kelompok lain mengemukakan pendapat yang berbeda akan tetapi masih dalam penafsiran yang sama, mereka berpendapat bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi dalam sebagian hukumnya. Mereka yang berpendapat demikian adalah para tokoh yang menganut teori “keterpengaruhan.” Ironisnya, pendapat yang demikian belakangan di ikuti oleh para beberapa pakar hukum dan fiqh seperti Ali Al-Badawi, DR. Abdul Razaq al-Sanburi, Dr. Syafiq Syahata, dan Prof. Muhammad Salam Madkur (Mesir).

Pandangan Orientalis Mengenai Hubungan Syari’ati Islam dengan Hukum Romawi

Para orientalis yang berpendapat bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi menggunakan sejumlah argumen-argumen sebagai berikut: Pertama, mereka mengatakan bahwa Nabi memiliki pengetahuan luas mengenai hukum Romawi Bizantium yang diterapkan di Imperium Romawi Timur. Melalui pengetahuan ini, hukum-hukum itu terserap ke dalam syari’at Islam, dan ikut mewarnai syari’at Islam yang ada sekarang.
Kedua, mereka berpendapat bahwa di Caesarea, Beirut, Konstantinopel dan Iskandaria telah ada sejumlah institute hukum Romawi. Begitu juga telah ada sejumlah mahkamah di kawasan Romawi dan penerapan hukumnya berjalan selaras dengan hukum Romawi. Hal ini dikarenakan berbagai institusi pendidikan dan mahkamah tersebut masih tetap setelah pembebasan kawasan itu oleh Islam. Sehingga para ahli fiqh kaum Muslimin mempelajari hukum-hukum yang ada di mahkamah-mahkamah itu dan mengenal pendapat-pendapat ahli hukum institusi pendidikan tersebut, kemudian mereka menukil berbagai pendapat hukum tersebut ke dalam hukum fiqh Islam.
Ketiga, mereka mengatakan bahwa setelah Imperium Romawi ditaklukkan oleh umat Islam, para ulama syari’at menyebar di Imperium Romawi. Penyebaran ini sangat memungkinkan mereka bergaul dengan para ahli hukum Romawi dan mempelajari hukum-hukumnya, di samping penduduk negeri yang ditaklukkan juga sudah terbiasa dengan hukum tersebut. Dengan demikian, para fuqaha’ itu mengadopsi kaidah-kaidahnya pada berbagai hubungan hukum tersebut di negeri-negeri itu, demi menjaga tradisi masyarakat setempat.

Keempat, para orientalis berpendapat bahwa hukum Romawi secara tidak langsung mempengaruhi syari’at Islam melalui hukum Jahiliyah dan kitab Talmud Yahudi, yaitu kitab syari’at agama Yahudi. Karena hukum Jahiliyah terpengaruh oleh ukum Romawi maka sebagian kaidahnya terserap ke dalam hukum Jahiliyah sebagaimana telah terserap ke dalam Talmud. Karena syari’at Islam mengakui sebagian undang-undang bangsa Arab Jahiliyah maka berarti sebagian kaidah hukum Romawi telah terserap ke dalam hukum-hukum syari’at Islam.
Kelima, mereka mengatakan bahwa di antara bukti nyata terpengaruhnya syari’at Islam oleh hukum Romawi adalah kemiripan yang kita amati dalam system undang-undang, hukum dan kaidah yang ada di dalam syari’at Islam dan hukum Romawi. Hal ini berarti bahwa syari’at yang muncul kemudian (syari’at Islam) itulah yang menukil berbagai aturan dan hukum dari undang-undang terdahulu (hukum Romawi) karena yang datang kemudian itulah yang mencontoh kepada yang pertama, bukan sebaliknya.

Kritik Terhadap Pandangan Orientalis Mengenai Hubungan Syari’at Islam dan Hukum Romawi

Pandangan para orientalis yang mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh hukum Romawi pada dasarnya adalah merupakan tuduhan yang tidak benar dan tidak didukung oleh pengetahuan dan penelitian. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Nabi dilahirkan di rumah seorang Arab asli dan di Makkah yang merupakan negeri Arab murni. Tidak ada pengaruh tradisi atau pun hukum Romawi. Nabi tidak pernah meninggalkan Makkah ke luar Jazirah Arab kecuali dua kali sebelum kenabian, yaitu pada saat keluar bersama pamannya Abu Thalib ke Syam untuk berdagang hingga sampai ke Bashra, dan pada saat Nabi pergi ke Syam dalam rangka menjalankan perdagangan Khadijah, bersama pembantunya Maisaroh. Di samping itu semua, syari’at Islam adalah wahyu yang diturunkan dari Allah. Jadi mustahil wahyu ini tercantum dengan hukum Romawi atau selainnya.
Ditinjau secara historis, para orientalis yang mengatakan bahwa syari’at Islam terpengaruh oleh berbagai mahkamah dan institusi pendidikan sangatlah lemah, Prof. Dr. Abdul Karim Zaidan yang mengutip dari Dr. Shufi Hasan Abu Thalib menyatakan bahwa Kaisar Romawi Gestanian menerbitkan undang-undang pada 16 Desember 533 M. berkenaan pembubaran seluruh institusi pendidikan hukum di Imperium Romawi kecuali institute Roma, Konstantinopel dan Beirut. Dari ketiga institusi ini tidak ada yang memiliki pengaruh terhadap fiqh Islam atau fuqaha’ kaum Muslimin. Dakwaan para orientalis yang mengatakan bahwa fuqaha’ Muslimin terpengaruh oleh institute di Iskandaria tidaklah benar, karena sebelum umat Islam membebaskan kawasan ini pada tahun 641 M. institute tersebut telah dibubarkan terlebih dahulu dengan adanya undang-undang Gestanian.
Adapun mereka yang berpendapat bahwa dengan menyebarnya fuqaha’ di kawasan-kawasan yang dikuasai oleh Islam kemudian mereka (baca: fuqaha’ Muslimin) mempelajari hukum Romawi juga sebenarnya tidak memiliki cukup argument yang kuat, karena pada penjelesan di atas bahwa para fuqaha’ Muslimin tidak pernah bersinggungan dengan dan terpengaruh oleh institute-instiut hukum Romawi yang mereka (orientalis) dakwakan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa syari’at Islam adalah hukum yang wajib di terapkan di negeri Islam kepada seluruh penduduk negeri dan orang-orang yang bermukim di Negeri Islam. Seorang qadhi (hakim) Muslim tidak dapat memutuskan perkara dengan selain syari’at Islam. Begitu juga seorang faqih tidak dapat memberikan fatwa hukum selain dengan syari’at Islam.
       Pada argumentasi yang mengatakan bahwa legislasi hukum Romawi terserap ke dalam syari’at Islam melalui Arab Jahiliyah juga tidak di dasari dengan alasan yang kuat. Karena masyarakat Arab Jahiliyah pada waktu itu berhubungan dengan tetangga mereka dari penduduk Negara Romawi, namun hubungan ini sangat lemah dan terbatas, komunikasi mereka dengan bangsa-bangsa Romawi sangat lemah, karena mayoritas masyarakat Arab tidak mengenal baca tulis dan tidak menguasai bahasa-bahasa asing. Oleh karena itu, semua hubungan bangsa Arab dengan bangsa-bangsa Negara Romawi tidak memberikan pengaruh apapun dalam bidang hukum.
      Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa sebagian syari’at Islam adalah mengutip dari kitab Talmud juga sebenarnya tidak memiliki cukup bukti, karena kedua hukum tersebut saling bertolak belakang, sebagai contoh di dalam masalah perkawinan. Nikah dalam ajaran Yahudi adalah sebuah akad yang bersifat tormalistik, tidak bisa terlaksana kecuali telah melalui sekian banyak formalitas yang telah ditentukan, seperti ucapan dua pelaku akad dengan ungkapan-ungkapan khusus dalam bahasa Ibrani, pencatatan akad, pensuciannya melalui cara sembahyang keagamaan khusus yang dihadiri sejumlah laki-laki tertentu. Perkawinan tidak dapat dilaksanakan pada hari-hari besar Yahudi dan hari Sabtu. Sedangkan pernikahan dalam fiqh Islam terlaksana dengan sikap saling rela, hadirnya dua saksi, dan tidak mensyaratkan banyak formalitas tertentu. Jadi jelas bahwa hukum Yahudi berbeda dari syari’at Islam secara mendasar.
      Adapun pendapat terakhir yang mengatakan bahwa ada kemiripan antara syari’at Islam dengan hukum Romawi tidak dilandasi dengan argument yang kuat, sehingga argument tersebut menjadi gugur dan tertolak karena, (1) sebagian kaidah yang memiliki kemiripan, seperti kaidah kewajiban menghadirkan bukti-bukti atas penggugat, juga kaidah tentang haramnya mengambil harta orang lain dengan cara tidak benar, hal ini dinilai termasuk kaidah yang tersebar luas di semua undang-undang. Kaidah ini bersumber dari petunjuk akal sehat dan tuntutan keadilan. Mengabaikan kaidah ini dalam pembuatan hukum menunjukkan adanya kekurangan dan ketidakadilan. Oleh karena itu, kemiripan dalam masalah ini tidak membuktikan bahwa syari’at yang datang kemudian mengambil dari syari’at terdahulu. (2) kemiripan yang ada dalam system hukum di antara dua syari’at tidak membutikan secara pasti bahwa salah satunya menyerap system dari yang lain. Karena bisa jadi ia tumbuh dalam kemiripan kondisi sosiologis yang dilalui masing-masing syari’at. Sebagaimana akal yang sehat memiliki kesamaan dalam banyak model pemikirannya. (3) meskipun ada kemiripan lahiriah dalam system hukum, namun ada banyak perbedaan signifikan di antara syari’at Islam dan hukum Romawi. Hal ini menunjukkan kemandirian masing-masing dan perbedaan keduanya menyangkut sumber-sumber hukum. (4) di dalam syari’at Islam terdapat system hukum yang tidak ada bandingannya dalam hukum Romawi, seperti system hukum waqaf dan syuf’ah, dan pemberlakuan penyusuan sebagai faktor penghalang perkawinan. (5) hukum Romawi dengan sistemnya yang beraneka ragam, terpaku pada procedural dan formalitas. Sedang dalam syari’at Islam berpijak pada ketentuan yang fleksibel dalam mu’amalah dan terbebas dari formalitas sejak dari semula. (6) prinsip umum yang berlaku dalam hukum Romawi adalah pemisahan antara hukum dan moral. Misalnya, nash-nash eksplisit yang tertera dalam ensiklopedi Gestanian yang mengakui dengan jelas bahwa penyalahgunaan hak tidak dianggap sebagai tindakan illegal. Bertolak belakang dengan kaidah-kaidah syari’ah Islam yang berpijak pada nilai-nilai moral dan membuka diri untuk terserapnya prinsip-prinsip moral ke dalam system hukumnya. Hukum Romawi mengakui system “siapa yang lebih dahulu” sebagai sarana mendapatkan kepemilikan dengan syarat-syarat tertentu karena lemahnya hubungan antara hukum dan moral. Sedangkan syari’at Islam menolak pengakuan konsep ini kaena nilai-nilai moral yang berlaku dalam syari’at tidak membolehkan pengalihan hasil perampasan (ghasab) menjadi hak milik, dan tidak membolehkan berlalunya waktu sebagai faktor yang mengakibatkan kepemilikan.

Penutup
Dari pemaparan di atas dapat di simpulkan bahwa syari’at Islam tidak ada kaitannya dengan hukum Romawi sebagaimana di lontarkan oleh para orientalis. Syari’at Islam tumbuh secara mandiri, dan fiqihnya berkembang secara terpisah dari hukum yang berawal dari adat kebiasaan. Syari’at Islam menyandarkan hukum-hukumnya pada sumber-sumber tertetu yang tidak merujuk kepada hukum asing, dan sejalan dengan kaidah-kaidah permanen yang menjadi landasan ilmu ushul fiqh.
Perbedaan antara syari’at Islam dan hukum Romawi ini sangat mendasar, karena syari’at bersandar pada wahyu Ilahi. Hal ini menjadi pembeda yang paling jelas antara syari’at dan lainnya, dan membuat jurang pemisah antara syari’at Islam dan hukum Romawi serta hukum positif lainnya.
Dengan semua itu, syari’at Islam mencakup aturan-aturan hukum yang tidak dicakup oleh hukum Romawi hingga masa akhir perkembangannya. Karena semua itu, dan mengingat realitas syari’at Islam yang membedakannya dari selainnya, sesungguhnya syari’at Islam merupakan syari’at yang berdiri sendiri dan tidak terpengaruh oleh undang-undang apa pun.
SISTEM STUDI FIQIH DAN PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FIQIH
PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang

Hukum islam yang sebenarnya tidak lain adalah fiqh Islam, atau syari’at Islam yaitu ”koleksi daya upaya para fuqaha dalam menerapkan syari’at islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat “[1]


مَجْمُوْعُ مُحَا وَلاَتِ الْفُقَهَاءِ لِتَطْبِيْقِ الشَّرِيْعَةِ عَلَى حَاجأتِ الْمُجْتَمَعِ                                      
“Koleksi daya upaya para ahli hukum untuk nenerapkan syari’at atas kebuthan masyarakat”.

Syari’ah berasal dari bahasa arab yang antara lain berarti jalan yang lurus, menurut fuqaha syari’ah berarti hukum atau ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dan diwahyukan oleh Allah kepada RasulNya, yaitu Muhammad Saw untuk hambanya yang memiliki tujuan suci agar mereka menaati tiga hal prinsip, yaitu prinsip keimanan, baik yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan mu’amalah maupun yang berkaitan dengan akhlak.
Pada satu sisi, syari’ah juga diidentikkan denagn din (agama) dan milah. Lebih luas syari’ah dapat juga dipahami sebagai apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk hambanya dengan perantara Rasulullah Muhammad Saw, baik berupa akidah, ibadah, akhlak, mu’amalah, serta sistem kehidupan yang mengatur hubungna mereka denagn Tuhannya dan antar sesama makhluk, agar dapat terwujud kebahagiaan dunia maupun akhirat.[2]
Dalam al-Mausatu al’arabiyah al muyassaroh disebutkan bahwa: syari’ah dahulu secara mutlak diartikan ”ajaran-ajaran islam yang terdiri dari akidah, dan hukum-hukum amaliah” yang kini telah dikhususkan dengan istilah :
مجموعة الأحكام ألشرعية العملية المستبطة من الكتا ب والسنة أو الرأي والاجماع
“Sejumlah hukum syar’i yang amaliah (praktis) yang diistinbat dari al-Kitab (Qur’an) dan Sunnah atau Ra’yu dan Ijma’”.
Pergaulatan antara realitas dan wahyu memunculkan dua bidang kajian utama studi hukum islam. Bidang pertama adalah studi fiqh(‘ilmu al-fiqh) yang mempertemukan realitas dan pemikiran manusia. Studi fiqh berangkat dari realitas sosial menuju hasil ijtihad atau dari hasil .lijtihad menuju realiatas sosial, sebagai contoh realitas mengemukakan kasus pernikahan dibawah umur. Kasusu ini dihubungkan dengan hasil ijtihad ulama’. Ternyata, ia pernah dibahas dan hasil pembahasannya menjadi jawaban dari kasus tersbut. Selain itu, hasil pembahasan tersebut juga disosialisasikan kepada masyarakat, bahkan kekuatan hukumnya ditingkatkan hingga menjadi peraturan perundang-undangan. Dengan kekuatan ini, pernikahan dibawah umur tidak saja dihukumi haram, tetapi juga terancam sanksi.[3] 





PEMBAHASAN
Mahmud syaltut dalam bukunya “al-islamu aqidah wa syari’ah“ memberi pengertian “syari’ah” dengan tegas dan terinci sebagai berikut:
ألشريعة هي النظم التى شرعها الله او شرع اصولها ليأخذ الانسان بهانفسه فى على قته بريهوعلاقته بأخيه المسلم وعلاقته بأخيه الانسا ن وعلاقة   بالكون وعلا قته بالحيا ت
Artinya:

Syari’ah ialah segala peraturan yang telah disyari’atkan Allah, atau Ia telah mensyari’atkan dasar-dasarnya, agar manusia melaksanakannya, untuk dirinya sendiri, dalam berkomunikasi dengan Tuhan, berkomunikasi dengan sesama muslim, berkomunikasi dengan sesama manusia, dan berkomunikasi dengan alam semesta dan berkomunikasi dalam kehidupan.[4]
Tasyri’ menurut bahasa berarti penetapan atau pemberlakuan. Sementara itu, pengertian tasyri’menurut istilah syara’ dan undang-undang adalah pembuatan atau pembentukan undang-undang yang berlangsung sejak diutus Rasullah Saw dan berakhir hingga wafatnya. Tasyri’ akan menjelasak bagaimana cara seseorang ulama menetapkan suatu ketentuan hukum atau fiqh yang bersumber pada nash atau syari’ah, baik yang bersumber dari wahyu Allah ataupun dari penjelasan Rasulullah dengan mengkait-kaitkan kondisi sosio kultural yang melingkupinya. Oleh karena itu, rentang dan lingkup kajian tarikh tasyri’ dimulai sejak pertama kali wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw hingga masa kini.[5]

Hukum islam memiliki kekuatan untuk mendorong umat islam untuk mematuhi atau tunduk kepadanya. Hal ini disebabkan oleh karena ketentuan-ketentuan dalam hukum islam mempunyai dua macam sanksi, yakni balasan didunia dan balasan di akhirat. Dasar-dasar hukum dalam pembentukan hukum islam adalah berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits.[6]

Sejarah Tasyri’ al-Islami

Pada hakikatnya tarikh atau sejarah tasyri’/penetapan hukum tumbuh dan berkembang dimasa Nabi Saw sendiri karena Nabi mempunyai wewenang untuk mentasyri’kan hukum dan berakhir dengan wafat Nabi Saw. Dan dalam hal ini, Nabi Saw berpegang kepada wahyu, para fuqaha, ahli-ahli fiqh hanyalah menerapkan kaidah-kaidah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juz-iyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbathkan, mengambil hukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash-nashnya yang jelas.[7]

Periode-periode sejarah hukum islam terdapat enam bagian, antara lain:
1.    Tasyri’ pada masa Rasulullah SAW (610-632 M.).
Periode ini hanya berlangsung beberapa tahun saja,walaupun demikian periode ini membawa pengaruh-pengaruh atau kesan-kesan yang besar dan penting sekali, sebab pada periode ini sudah mennggalkan beberapa ketetapan hukum dalam al-Qur’an dan as-sunah, dan juga sudah meninggalkan berbagai dasar atau pokok tasyrik yang menyeluruh, disamping sudah menunjuk berbagai sumber dan dalil hukum yang digunakan untuk mengetaui hukum bagi suatu persoalan yang belum ada ketetapan hukumnya.
Dengan demikian periode Rasul ini sudah meninggalkan dasar pembentukan Undang-undang yang sempurna. Periode ini terdiri dari dua fase atau masa yang masing-masing mempunyai corak yang berbeda-beda, yaitu:
1.    Fase Makkah
Fase pertama adalah Fase Makkah yakni semenjak Rosulullah masih menetapkan di Makkah sampai beliau berhijrah ke Madinah. Dalam fase ini umat islam masih sedikit, masih lemah keadaannya dan belum bisa membentuk umat yang mempunyai pemerintahan yang kuat. Oleh karena itu perhatian Rosulullah SAW hanya dicurahkan kepada penyebaran da’wah untuk mengakui Allah serta berusaha memalingkan perhatian manusia dari menyembah berhala dan patung.
2.    Fase Madinah
Fase kedua adalah fase Madinah, yakni semenjak Rosulullah berhijrah ke Madinah sampai beliau wafat. Pada fase ini islam sudah kuat dan jumlah umat islam pun bertambah banyak. Sudah terbentuk suatu umat yang sudah mempunyai suatu pemerintahan.[8]
1.    Tasyri’ pada masa sahabat atau al-Khulafa’ur Rasyidin (632-661M.).
Periode ini dimulai sejak wafatnya Rosulullah Saw. dan berakhir pada pertengahan abad ke-2 Hijriah.
Dalam periode inilah timbulnya penafsiran nash-nash yang diterima dari Rasul dan terbukalah pintu istinbath terhadap masalah-masalah yang tidak ada nashnya yang jelas. Dalam periode ini islam berkembang sangat luas mulai dari timur ke barat serta utara ke selatan, meliputi: irak,Syiria,  Mesir, Afrika, dan lain-lain. Para sahabat pada periode ini menafsirkan nash-nash hukum baik dari Al-Qur’an maupun Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash tersebut. Selain Al-Qur’an dan hadis,sumber hukum pada periode ini adalah Ijma’ dan Ar-ra’yu para sahabat.
1.    Tasyri’ pada masa sahabat kecil dan tabi’in(661-750M.).
Di akhir abad pertama, terdapat golongan tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’. Dari para sahabat itulah dari para tabi’in mempelajari Al-qur’an dan menerima riwayat hadits serta  dan macam-macam fatwa. sumber tasyri’ di masa ini ada empat macam:
1.    Al-Qur’an
2.    Al-Hadits
3.    Al-Ijma’
4.    Al-Qiyas (al-ijtihad dengan jalan qiyas atau dengan jalan istinbath yang lain)
Para ulama mufti berrhenti pada nash yang mereka peroleh dalam al-Qur’an dan Sunnah. Mereka tidak beranjak lagi dari nash-nash itu. Apabila mereka tidak mendapati al-Qur’an dan Hadits mengenai suatu peristiwa yang memerlukan keputusan hukum, akan tetapi mereka mengetahui bahwa ulama salaf telah berijma’ mengenai hukum itu, mereka pun mengamalkan nya berdasarkan ijma’ ulama’ salaf tersebut.[9]
1.    Tasyri’ pada masa at-tabi’ut- tabi’in (750-1258M.).
Kondisi hukum pada masa ini mulai berjalan pada kekuatan yang komprehensif, melangkah dalam wilayah yang luas sehingga hukum hampir menjadi kesatuan yang independen dalam keistimewaannya dan sempurna kematangannya dari sebelumnya.
Pada periode ini, periode pertumbuhan kekuatan, kematangan pemikiran, kehidupan ilmiah yang luas, pembahasan yang mendalam dan menghasilkan, keindahan fiqih , ijtihad mutlaq. Pada masa ini, dibukukan ilmu-ilmu al-qur’an, Sunnah, Kalam, Bahasa dan bermunculan ahli qori’, ahli hadits dan lain-lain. Pembinaan hukum pada masa ini menjadi cabang ilmu pengetahuan. Didalamnya lahir para fuqaha’ yang menjadi tumpuan para taqlid keagamaan dan lahir berbagai madrasah yang kemudian diwarnai oleh dua warna:
1.    Ashhabul Hadits, yaitu: Malik ibn Anas, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad dan Daud.
mereka ini lebih mendahulukan nash hadits atas qiyas jali dan qiyas khafi.[10]
1.    Ashhabul Ra’yu, yaitu: sahabat-sahabat Abu Hanifah. Mereka ini mendahulukan qiyas jali dan hadis ahad. Madrasatur ra’yi berkembang disamping Madrasatul Hadits yang seakan-akan dua madrasah tersebut masing-masing berdiri sendiri dan bersaing-saingan. Dengan datangnya asy-Syafi’i madrasah ini ditempa dalam satu aturan dan dibuat menjadi satu pengertian. dasar ra’yu dan Hadits dua pengertian yang diambil dari satu pengertian pokok dan keduanya merupakan asas bagi hukum islam.
Kemudian yang dapat bertahan diantara madzhab-madzhab itu hanyalah empat madzhab yaitu: Madzhab Malik, Madzhab Abu Hanifah, Madzhab Asy- Syafi’ dan Madzhab Ibn Hambal.
1.    Tasyri’ pada masa tarjih
Pada periode ini, wilayah kekuasaan islam telah terbagi-bagi dalam berbagai bagian dan setiap bagian dipimpin oleh seorang gubernur (Amirul Mu’minin). Akibat pembagian ini, umat islam tertimpa kelemahan dan kemerosotan karena negara-negara ini saling berbantah-bantahan, banyak terjadi fitnah, ujian berturut-turut, terputusnya berbagai sarana transportasi, permusuhan dan perpecahan banyak yang terjadi. Pada periode ini, tidak ada mujahid mustaqil dan usaha para ulama ketika itu dapat diringakaskan pada tiga hal, yaitu penta’lilan (mengeluarkan ilat-ilat hukum), tarjih dan dukungan terhadap madzhab.
1.    Tasyri’ pada masa taqlid (mulai tahun 310 H.).[11]
Masa ini adalah lesunya himmah ulama untuk mencapai ijtihad mutlak dan kembali kepada dasar tasyri’ yang asasi untuk mengeluarkan hukum-hukumnya yang tidak ada nash nya dari suatu dalil syari’at. Pada masa ini ulama membatasi diri dalam mengikuti acara yang telah dibentangkan oleh para mujtahidin yang telah lalu dan pada masa ini ulama islam dipengaruhi oleh faktor-faktor politik dan pengaruh ari luar. Semua pengaruh itu menolak kemerdekaan berfikir dan menyeret kepada taqlid, menjadi pengikut madzhab-madzhab yang ada.
Kegunaan mempelajari hukum islam  
Dari beberapa penjelasan tentang hukum islam, dapat diketahui bahwa mempelajari hukum islam mempunyai beberapa kegunaan, antara lain[12]:
1.    Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hukum.
2.    Mengetahui sumber-sumber hukum dan madzhab-madzhabnya serta mengungkapkan keistimewaan dan tujuan-tujuannya.
3.    Mengetahui kaum muslimin terdahulu dalam mengerahkan kemampuan dan semangat mereka dalam mempertahankan syari’at dan berusaha mengungkap rahasia-rahasianya.
4.    Menyelidiki hukum dan hikmah-hikmah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia.
5.    Mengetahui para fuqaha’, para mujtahid dan sejarah kehidupan intelektual dalam kapasitasnya sebagai para pejuang dan pembela agama islam.
Pembagian Hukum Syar’i
1.    Hukum Taklifi
yaitu hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh paramukallaf. Atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan.[13]
Hukum taklifi dibagi menjadi lima macam yaitu:
1.    Ijab, yaitu firman yang menuntut melakukan sesuatu perbuatan denagn tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalm surah al-Baqarah (2): 43:

وَأَقِيْمُوا الصَّلا ةَ وَأ تُوالزَّكَا ةَ وَأَرْكَعُوْا مَعَالرَّاكِعِ
يْنَ
Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.
2.    Nadb, yaitu firman Allah yang menuntun melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi beruap anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 282:

يَأَيُّهاَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا اِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ الَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكّتُبُوْهُ                 
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang telah ditentukan, hendaknya kamu menuliskannya.
3.    Tahrim, yaitu firman yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti. Misalnya, firman Allah dalam surah al-Maidah:  3

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُالْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الخِنْزِيْرِ   
                          
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.
4.    Karahah, yaitu firman Allah yang menuntut untuk tidak melakukan sesuatu perbuatan denagn tuntutan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Misalnya, firman Allah dalam surah al-Maidah: 101:

لاَ تَسْأ لُوْا عَنْ أَشْيَاءِ أَ نْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُوءكُمْ                                  
Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu niscaya menyusahkanmu.

5.    Ibahah, yaitu firman Allah yang memberi kebebasan kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu perbuatan. Misalnya, firman Allah dalam surat al-Baqarah: 235:

وَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا عَرَضْتُمْ بهَ من خطيةِ النِّسَاء                      
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.
Kelima hukum tersebut menimbulkan efek itulah yang dinamakan al-ahkam al-khamsah oleh ahli fiqih, yaitu: wajib, haram, mandub, makruh, dan mubah.
2.    Hukum Wadh’i
Yaitu titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu yang lain tersebut[14]. Hukum dibagi menjadi tiga:
1.    Sebab, yaitu segala sesuatu yang dijalankan oleh syar”i sebagai alasan bagi ada dan tidaknya hukum.sebab dibagi menjadi dua diantaranya:
1.    Sebab yang diluar kemampuan mukalaf. Misalnya: keadaan terpaksa menjadi sebab bolehnya memakan bangkai.
2.    Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalaf. Sebab ini dibagi dua:
- Yang termasuk dalam hukum taklifi, seperti menyaksikan bulan menjadi sebab wajib melaksanakan puasa.
- Yang termasuk dalam hukum wadh’i seperti perkawinan menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri dan menjadi sebab haramnya mengawini mertua.[15]

      2.  Syarat, yaitu segala sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tudak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum.
Ulama’ ushuliyyin membagi syarat menjadi beberapa bagian:
1.    Syarat hakiki (syar’i), yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelm mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima (sah) bila pekerjaan yang pertama belum dilakukan. Misalnya wudhu menjadi syarat sahnya shalat. Syarat ini dibagi dua bagian:
A.    Syarat untuk menyempurnakan sebab. Misalnya, adanya unsur kesengajaan dan permusuhan adalah dua buah syarat bagi pembunuhan yang menjadi sebab wajibnya hukuman qishas.
B.    Syarat untuk menyempurnakan musabbab. Misalnya, bersuci adalah syarat yang wajib disebabkan telah masuknya waktu shalat.
2.    Syarat ja’li, yaitu segala syarat yang dibuat oleh orang-orang yang mengadakan transaksi dan dijadikan tempat bergantungnya serta terwujudnya transaksi tersebut. Misalnya seorang pembeli membuat syarat bahwa ia mau mebeli sesuatu barang dari seorang penjual dengan syaratboleh dengan cara mencicil.
      3.Mani’, adalah segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab hukum. Mani’ dibagi menjadi dua macam:
1.    Mani’ terhadap hukum. Misalnya perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi adalah mani’ (penghalang) hukum pusaka mempusakai sekalipun sebab untuk saling mempusakai sudah ada, yaitu perkawinan.
2.    Mani’ terhadap sebab hukum. Misalnya, seseorang yang memiliki harta senisab wajib mengeluarka zakatnya namun jika keadaan orang tersebut terdapat banyak hutang menjadikan penghalang seseorang untuk mengeluarkan zakat.[16]

4.Sah dan Batal
Secara harfiah, sah berarti lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Sah berarti setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syara’, dan perbuatan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan ketentuan syara’ dinamakan batal.
       5.Azimah dan Rukhshah
Azimah adalah peraturan-peraturan Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku umum. Misalnya, bangkai menurut hukum asalnya adalah haram dimakan oleh semua orang. Sedangkan Rukhshah adalah peraturan-peraturan yang tidak dilaksanakan karena adanya hal-hal yang memberatkan dalam menjalankan azimah/ pengecualiam hukum-hukum pokok. Rukhsahah diberikan oleh syar’i sebagai keringanan bagi mukallaf sehingga mereka bebas memilih antara azimah dan rukhshah. Rukhshah hukumnya mubah/ boleh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang menyebabkan kebolehan seseorang untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu.
            Ulama ushul fiqh mengelompokkan rukhshah kepada empat bagian:
1.    Pembolehan sesuatu yang dilarang (diharamkan) dalam keadaan darurat atau karena hajat yang sangat mendesak sebagai keringanan mukalaf. Misalnya barang siapa yang dipaksa mengucapkan kata-kata yang mengkafirkan, dibolehkan baginya mengucapkan kata-kata tersebut selama hatinya tetap beriman kepada Allah.
2.     Pembolehan meninggalkan yang wajib karena uzur, diman jika melaksanakan kewajiban iu akanmenimbulkan kesulitan bagi si mukalaf. Misalnya orang sakit atau orang yang sedang dalam perjalanan dibolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan.
3.    Pemberian pengecualian sebagian berkaitan karena menyangkut kebutuhan masyarakat dalam perikehidupan muamalat (sehari-hari). Misalnya transaksi jual beli yang belum ada pada saat perikatan diadakan tapi harganya sudah dibayar dulu.
4.    Pembatalan hukum-hukum yang merupakan beban yang memberatkan bagi umat terdahulu, misalnya memotong bagian kain yang kena najis.[17]

Prinsip-prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum Islam diantaranya adalah[18]:
1.    Menegakkan maslahat
Mashlahat adalah perolehan manfaat dan penolakan terhadap kesulitan. Dan dia adalah dasar semua kaidah yang dikembangkan dalam hukum Islam.
1.    Menegakkan keadilan (tahqiq al-‘adalah). Pengertian pokok keadilan meliputi mauzun yaitu perimbangan, musawah (persamaan), penuaian hak sesuai dengan kewajiban yang diemban dan keadilan Allah.
2.    Tidak menyulitkan (‘adam al-haraj). Diantara cara meniadakan kesulitan adalah sebagai beriku[19]t:
A.    Pengguguran kewajiban, yaitu dalam keadaan tertentu kewajiban ditiadakan, mislanya ketidak wajiban melakukan ibadah haji bagi yang bangkrut.
B.    Pengurangan kadar yang telah ditentukan, misalnya qashar sholat bagi yang sedang dalam perjalanan.
C.    Penukaran, yaitu penukaran kewajiban yang satu dengan yang lainnya. Misalnya kewajiban berwudhu dan mandi diganti denagn tayammum.
D.    Mendahulukan, yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal), seperti jama’ taqdim melaksanakan shalat ashar pada waktu shalat dhuhur.
E.    Menangguhkan, yaitu mengerjakan sesuatu setelah waktunya yang asal telah tiada, seperti jama’ ta’khir melaksanakan shalat dhuhur pada waktu ashar.
F.    Perubahan, yaitu bentuk perbuatan berubah-ubah sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi, seperti shalat khauf.
3.    Menyedikitkan beban (taqlil al-takalif)
Taqlil al-takalif secara terminologi adalah:

تَقْلِيْلُ طَلَبِ اللّهِ لِلْفِعْلِ حَتَّى يُعْتَبَرَطاَعَ
ةً وَامْتِثالالاوامرالله

Menyedikitkan tuntutan Allah untuk berbuat, mengerjakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
 Dasar taqlil al-takalif  adalah surat al-Maidah (5) ayat 101 yang menegaskan bahwa orang-orang beriman dilarang bertanya kepada Rasul Allah tentang hal yang bila diwajibkan akan menyulitkan mereka.


1.    Berangsur-angsur (tadrij)
Hukum islam dibentuk secara gradual atau tadrij, dan didasarkan pada al-Qur’an yang diturunkan secara berangsur-angsur. Prinsip tadrij memberikan jalan kepada kita untuk melakukan pembaruan karena hidup manusia mengalami perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah memperbarui pemahaman keagamaan secara sistematis sesuai denagn perkembangan manusia dalam berbagai bidang, terutama teknologi.[20]



Tarikh Tasyri' : Tinjaauan Ahli Sejarah tentang Periodisasi Perkembangan Hukum Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam konteks apapun, tarikh (sejarah) dianggap sebagai entitas yang sangat mendasar dalam kehidupan. Sejarah adalah gambaran riil dari potret kehidupan yang sangat varian dan dinamis. Akumulasi perilaku sosial keagamaan maupun perilaku sosial lainnya dalam kehidupan masyarakat plural dapat diamati dan dikritisi melalui fakta empirik peninggalan sejarah kehidupan manusia. Dengan demikian semua perilaku sosial, baik perilaku positif maupun negatif akan dapat dilacak melalui data-data historis. Atas dasar ini, fungsi maupun kontribusi sejarah bagi generasi kemudian adalah memberikan pelajaran mendasar bagi kehidupannya yang tentu dianggap mampu memberikan inspirasi bagi praktik kehidupan yang akan datang. Dengan demikian sejarah pada hakikatnya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Sejarah akan menjadi inspirasi kehidupan mereka, dan kehidupan mereka pada gilirannya juga akan menjadi sejarah baru bagi generasi yang akan datang. Inilah potret sebuah kehidupan yang selalu terdaur ulang (siklus), perputaran yang tiada henti.Sejarah mewarnai realitas dan realitas mewarnai sejarah, sebuah proses dialektik yang dinamis.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Tarikh Tasyri’ itu ?
2.      Apa saja macam-macam Tarikh Tasyri’ ?
3.      Bagaimana karakteristik atau sifat dari ilmu Tarikh Tasyri’ ?
4.      Bagaimana periodisasi perkembangan hukum Islam ?




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tarikh Tasyri’
Tarikh artinya catatan tentang perhitungan tanggal hari, bulan dan tahun. Lebih popular dan sederhana diartikan sebagai sejarah, riwayat atau kitab.
Sedangkan tasyri’ artinya pembentukan dan penetapan perundang-undangan yang mengatur hokum perbuatan dan hal-hal yang terjadi tentang berbagai keputusan serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka.[1]
Bila kata tasyri’ dikaitkan dengan kata syari’at, maka ia memiliki makna: “sebuah proses pembentukan dan penetapan hokum-hukum syari’at”, atau bisa bermakna cara, sumber dan jalan yang ditempuh didalam merumuskan dan membentuk hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan manusia dengan sesame makhluknya.[2]
Dengan demikian, secara sederhana tarikh tasyri’ diartikan sebagai sejarah terbentuknya perundang-undangan dalam Islam, atau sejarah pembentukan hukum Islam.

B.     Macam-macam Tasyri’
Tasyri’ terdiri atas dua macam:
1.     

2

Tasyri’ al-Habiy yaitu penetapan perundang-undangan atau hokum yang bersumber dari Allah dengan perantaraan para Rasul dari kitab-kitabnya.
2.      Tasyri’ al-Wadh’iy yaitu penetapan perundang-undangan atau hukum yang bersumber dari kekuatan pemikiran atau ijtihad manusia.[3]

C.    Tujuan Tarikh Tasyri’
Tujuan mempelajari Tarikh Tasyri’ adalah sebagai berikut:
1.       Untuk mengetahui latar belakang munculnya suatu hukum atau sebab-sebab ditetapkannya suatu hukum syari’at, dalam hal ini penetapan hukum atas suatu masalah yang terjadi pada periode Rasulullah saw adalah tidak sama atau memungkinkan adanya perbedaan dengan periode-periode setelahnya.
2.      Untuk mengetahui dan mampu memaparkan sejarah perkembangan hukum dari periode Rasulullah saw sampai sekarang.
3.      Dalam rangka meningkatkan pengetahuan terhadap hukum Islam.
4.      Agar membangkitkan dan menghidupkan kembali semangat kita dalam mempelajari tarikh tasyri’.[4]
5.      Agar kita mampu memahami perkembangan syari’at Islam.
6.      Agar kita tidak salah dalam memahami hukum Islam tersebut.


D.    Sifat dan karakteristik Tasyri’
1.      Sempurna
Kesempurnaan hukum Islam dapat dilihat dimana syariat Islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan mengglobal permasalahannya. Penetapan al-Qur’an mengenai hukum dalam bentuk yang global dan simpel dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada para ulama untuk berijtihad sesuai dengan panggilan, tuntutan dan kebutuhan situasi dan kondisi. Mengenai hukum-hukum yang lebih rinci, syariat Islam hanya menetapkan kaidah dan memberikan patokan dasar umum.
2.      Universal
Syariat Islam bersifat Universal meliputi seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi oleh wilayah dan kawasan tertentu, seperti ajaran para Nabi terdahulu. Hukum Islam berlaku bagi orang Arab dan non Arab, kulit putih dan kulit hitam.
3.      Elastis dan Dinamis
Syariat Islam bersifat elastis meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan interaksi sesame makhluk, hubungan makhluk dengan Khalik, Pencipta serta tuntunan hidup dunia dan akhirat terkandung dalam ajaran-Nya.
4.      Sistematis
Syariat Islam bersifat sistematis artinya ia berhubungan antara satu dengan yang lainnya secara logis.
5.      Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Syariat Islam dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu bentuk ibadah yang fungsi utamanya untuk mendekatkan manusia kepada Allah, yakni beriman kepada-Nya dan segala konsekuensinya berupa ibadah yang mengandung sifat ta’abbudi, makna (ide dan konsep) yang terkandung didalamnya tidak dapat dinalar atau irrasional. Hal yang dapat dipahami dari sifat ta’abbud ini hanyalah kepatuhan pada perintah Allah, merendahkan diri kepada-Nya dan mengagungkan-Nya. Dan yang kedua berbentuk mu’amalah yang didalamnya terkandung sifat ta’aqquli. Ini bersifat duniawi yang maknanya dapat dipahami oleh nalar atau rasional, maka manusia dapat melakukannya dengan bantuan nalar dan pemikiran manusia. Illat dari mu’amalah yang bersifat ta’aqquli dapat dirasionalkan dengan melihat ada maslahat atau mudarat terkandung didalamnya. Sesuatu dilarang karena ada mudaratnya dan diperintahkan karena ada maslahat didalamnya.[5]

E.     Tinjaauan Ahli Sejarah tentang Periodisasi Perkembangan Hukum Islam
Sejarah merupakan salah satu cara untuk mengetahui peristiwa yang telah lalu dengan mempelajari secara kronologis untuk mengetahui sejarah hukum Islam khususnya masalah periodesasi sejarah hukum Islam. Para ahli sejarah (muarrikhin) berbeda pendapat. Menurut al-Khudhari, Hukum Islam dalam sejarahnya melalui enam fase tasyri’ (legislasi) yang mempunyai ciri tersendiri sesuai dengan perkembangan yang dilalui oleh masyarakat Islam.
1.      Fase kerasulan Nabi Muhammad dimana segala sesuatu tentang hukum dikembalikan kepada beliau.
2.      Fase para sahabat Nabi yang senior (kibar ash-shahabah), mulai dari saat kematian Nabi sampai akhir masa Khulafa’ Rasyidin.
3.      Fase para permulaan nabi yang junior (shighar ash-shahabah), mulai dari permulaan masa Umawi sampai lebih kurang satu abad setelah Hijrah.
4.      Fase fiqh menjadi ilmu tersendiri, mulai dari abad kedua hijrah sampai akhir abad ketiga.
5.      Fase perdebatan mengenai berbagai masalah hukum di kalangan fuqaha’, mulai dari awal abad keempat atas dunia Islam pada abad ketujuh Hijrah (1258 M)
6.      Fase taqlid (mengikuti kepada pendapat imam-imam terdahulu), mulai dari kejatuhan Dinasti ‘Abbasiyah sampai sekarang.[6]

6

Sedangkan menurut Abdul Wahab Khallaf, terbagi kepada empat periode:
1.      Periode Rasulullah Saw yaitu periode pertumbuhan dan pembentukan yang berlangsung selama kurang lebih 22 tahun beberapa bulan, sejak pelantikannya sebagai rasul Allah pada tahun 610 M sampai wafatnya tahun 632 M
2.      Periode sahabat yaitu periode penjelasan, pencerahan dan penyempurnaan yang berlangsung sekitar 90 tahun, sejak wafatnya Rasul Saw tahun 11 H/632 M sampai akhir abad pertama 101 H atauh 720 M.
3.      Periode tadwin atau kodifikasi yaitu periode kodifikasi atau pembukuan atau tampilnya para imam mujtahid. Periode ini dikenal sebagai masa puncak keemasannya yang berlangsung selama kurang lebih 250 tahun, yakni dari tahun 101-350 H/720-971 M.
4.      Periode taklid, yaitu periode statis dan kebekuan yang berlangsung sejak pertengahan abad ke 4 H yakni sekitar tahun 351 H dan tidak seorang pun yang tahu masa berakhkirnya kecuali Allah.[7]


PENUTUP
Kesimpulan
Dari beberapa pembahasan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, bahwasanya pengertian syariah adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah melalui rasul-Nya untuk hamba-Nya, agar mereka mentaati hukum itu atas dasar iman, baik yang berkaitan dengan aqidah, amaliyah (ibadah dan muamalah), dan yang berkaitan dengan akhlak. Sedangkan tasyri’ adalah pembuatan/pembentukan Undang-undang untuk mengetahui hukum-hukum bagi perbuatan orang dewasa, dan ketentuan-ketentuan hukum  serta peristiwa yang terjadi di kalangan mereka.
Adapun tasyri’ dibagi menjadi dua macam, yaitu : Tasyri’ Samawi dan Tasyri’ Wadh’i. Tarikh tasyri’ memiliki lima karakteristik yaitu, sempurna, universal, elastis dan dinamis, sistematis dan ta’abbudi ta’aqqulli.
    Periodesasi tarikh tasyri’ dibagi atas enam periode antara lain : masa Rasulullah, masa sahabat, masa tabi’in, masa at-baut tabi’in, masa ulama murajjihun dan masa ulama muqallidun. Sementara itu tarikh tasyri’ berguna untuk kemaslahatan manusia


7



[1] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam, (PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, Cet.2 2002), hal.1
[2] Jaenal Aripin & Azharudin Lathif, Filsafat Hukum Islam: Tasyri’ dan Syar’i. (UIN Jakarta Press: 2006), hal. 31
[3] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam,… hal.1-2

[4] http://saepudinonline.wordpress.com/2010/03/22/pengertian-tarikh-tasyri’.24 Maret 2013
[5] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam,… hal.2-5
[6] Rifyal Ka’bah, Hukum Islam Di Indonesia, Universitas Yarsi, Jakarta, 1999, hal 51-52
[7] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan & Perkembangan Hukum Islam,… hal. 7-8

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook