Thursday, February 28, 2013


GURINDAM EMPAT BELAS TENTANG PERLUNYA PAKSAAN DALAM PENDIDIKAN

        Jika dipaksa, semua bisa. Gurindam adalah satu bentuk puisi Melayu lama yang terdiri dari dua baris kalimat dengan irama akhir yang sama, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Baris pertama berisikan semacam soal, masalah atau perjanjian dan baris kedua berisikan jawaban nya atau akibat dari masalah atau perjanjian pada baris pertama tadi. Penulis (M.Rakib) mencoba mengarang gurindam 14, tentang perlunya paksaan. Apabila orang membaca Gurindam empat belas, diharapkan, tidak melupakan nama Muhammad Rakib sebagai seorang guru, yang selalu menerapkan paksaan yang bijaksana, sehingga para murid tidak sadar bahwa dirinya sedang dipaksa.

        Gurindam 14 ini, tentunya terinspirasi oleh gurindam 12 yang sejak lama sudah hadir dan melegenda. Penulis ingin mengembangkan sastra, puisi bentuk gurindam yang hampir mati ini , untuk dihidupkan kembali. Inilah gurindam tentang hikmah sebuah paksaan :

1. Jika dipaksa, semua bisa,
Asalkan bijak, tidak putus asa.

2. Barang siapa , memaksa diri,
Menghadapi yang berat, tak pernah ngeri.

3. Jika memaksa diri dengan keras,
rasa malas, akan tergilas.

4. Jika orang lalai, tidak dipaksa,
Karamlah dia, hidup tersiksa.

5. Paksaan perlu, bagi sipenakut,
Agar keberanian, dapat dijemput.

6. Siapa yang tidak memaksa, orang peragu,
Berarti meyiksanya, sampai ke anak cucu.

7. Jika orang asing, ingin memaksa,
Akan menipu, pemimpin bangsa.

8. Tidak semua , paksaan itu buruk,
Asalkan jiwanya khusuk, tawadhuk..

9. Jika akrab, dengan paksaan,
Itulah awal, berbagai penemuan.

1O. Barangsiapa, tidak memkasa anak-anaknya,
Dialah sebenarnya, orang yang hina.

11.Siapa memaksa, secara zalim,
Akan mendapatkan, neraka jahim.

12. Siapa saja memaksa, berbuat maksiat,
Kalaupun beruntung, tidak kan berkat.

13. Paksaan bijak, untuk orang pemalu,
Menjadi obat, sangat bermutu.

14. Paksaan itu penting, bagi simiskin,
Agar hemat dan rajin, tidak bermain-main.

Pasal     1

1. Jika dipaksa, semua bisa,
Asalkan tidak, putus asa.

2. Memaksa dengan sopan itu, ada empat,
siapa mengamalkan, akan mendapat.
Pertama, memaksa diri,untuk sekolah,
Supaya tidak timbul rasa bersalah.

Kedua, memaksa anak, menuntut ilmu,
Membaca menulis, tidak pernah jemu..

Ketiga, memaksa murid, mengulang pelajaran,
Ilmu didapat, tidak akan terlupakan.

Keempat, memaksa bangsa, bekerja keras,
Ekonomi terjamin, hatipun puas.

Pasal      2

Barangsiapa , memaksa diri,
Menghadapi yang berat, tak pernah ngeri.

1. Siapa saja , yang bijak memaksa diri,
Bakat terpendam, muncul sendiri.
2. Jika memaksa diri, untuk menabung,
Akhirnya tentu, akan beruntung.
3. Kalau berani, memaksa diri,
Akhirnya dapat, kedudukan tinggi.
4. Yang tua-tua jangan , memaksa diri,
kegiatan fisik, harus kurangi.
5. Paksaan hanya untuk, generasi muda,
ketika cita-cita, bersarang di dada.

Pasal      3

Barangsiapa memaksa diri , dengan keras,
rasa malas, akan tergilas.

1. Apabila mendidik keluarga, tanpa paksaan,
Anak-anak  tenggelam, dalam kemanjaan.
2. Berilah peringatan, orang yang penidur,
hidup ini tidak, berjalan mundur..
3. Sebenarnya tidak ada orang , terlalu malas.
hanya motivasinya, selalu kandas.
4. Asalnya malas, dari sikap manja,
orang tuanya tidak memotivasi, mencintai kerja.
5. Janganlah becita-cita, ,menjadi pegawai negeri,
kecuali tidak mampu, hidup mandiri.
6. Di mana anggota masyarakat, yang malas,
di situlah terlantar, tanah yang luas.
7. Jangan malas, memelihara kebersihan bersama,
agar tidak, membawa bencana.
8. Para pemalas harus, kawin silang,
Agar dingin darah keturunannya, menjadi berkurang.

Pasal     4

Jika orang lalai, tidak dipaksa,
seumur hidup, akan tersiksa.

1. Lalai itu , suatu penyakit,
Obatnya paksaan, sedikit demi sedikit.
2. Paksalah anakmu keluar dari, iri dan dengki,
agar konflik, cepat berhenti.
3. Manfaat paksaan bagi, orang yang lalai,
di dalam berjalan, akan cepat sampai.
4. Asal usul orang,menjadi lalai,
ti ada tantangan, yang membelai.

Pasal   5

Paksaan itu perlu, bagi sipenakut,
Agar keberanian, dapat dijemput.

1. Jika hendak , menghilangkan rasa takut,
dilatih melawannya, berturut-turut.
2. Banyak penakut, menjadi berani,
Karena mengetahui, potensi diri..
3. Jika rasa takut, terus dilawan,
menjelma menjadi, keberanian.
4. Jika orang penakut,pandai memaksa,
suatu saat, jadi perkasa.
5. Orang tua yang membiarkan anaknya penakut,
sengsaralah anaknya, disiksa kemelut.
6. Jika hendak mengenal, orang yang penakut,
lihatlah orang yang lembut dan penurut.

Pasal     6

Barangsiapa tidak memaksa, orang peragu,
Berarti meyiksanya, sampai ke anak cucu.
1. Bantulah olehmu ,orang peragu,
agar percaya diri, setiap waktu..
2. Cari olehmu, obat anti ragu,
agar mendapatkan, hidup bermutu.
3. Cari olehmu akan isteri yang berani,
menjadi pembersih rumah tangga, setiap hari.
4. Cari olehmu akan kawan, yang tidak penakut,
dapat menyelesaikan, masalah yang kusut.
5.Penakut itu, ada juga baiknya,
berhati-hati, menghadapi bahaya.

Pasal        7

Jika orang asing, ingin memaksa,
Akan menipu, pemimpin bangsa.
1. Apabila bangsa ini, dapat dipaksa asing,
hutang luar negeri, berada di sekeliling. .
2. Apabila kepada asing, berlebih-lebihan suka,
akhirnya negara ini, terpaksa berduka.
3. Kepada orang asing, kurang siasat,
itulah tanda ,pemimpin sesat.
4. Apabila anak, tidak dipaksa, bekerja keras,
datanglah orang asing, untuk memeras.
5. Jangan banyak mengharapkan orang,
paksalah diri, mencukupkan , mana yang kurang.
6. Apabila orang , terlalu banyak tidur,
ekonomi dan kesehatannya pastilah mundur..
7. Apabila tidak ingin, nusantara dikuras,
paksalah rakyat , menjadi pengawas.
8. Apabila orang asing,, suka menipu,
ilmu tentang kelicikan, harus diburu.
9. Kata-kata memaksa, bisa saja lemah lembut,
janganlah anda cepat, mengikut.
10. Apabila mendengar perkataan yang kasar,
jangan cepat cemas, merasa gusar.
11. Apabila paksaan orang asing , tidak dapat dihindar,
sengsaralah rakyat, negara tercemar..

Pasal 8

Tidak semua , paksaan itu buruk,
Kalau jiwanya khusuk, tawadhuk..

1. Siapa yang memaksa, anaknya agar shalat,
berarti telah, berbuat khianat.
2. Kepada dirinya sendiri, berbuat aniaya,
orang itu jangan engkau percaya.
3. Paksalah diri, meninggalkan maksiat,
jasmani rohani, menjadi sehat.
4. Paksaan yang buruk dari, bisikan Setan,
demi mengejar, berbagai kemewahan.
5. Orang tua yang memaksa,belajar agama,
anaknya akan,membersihkan sukma.
6. Paksaan yang buruk, terjadi di luar negeri,
TKW, mencoba bunuh diri..
7. Banyaknya jalan, berlobang lobang,
tandanya, pemimpin berbuat sumbang.

Pasal 9

Jika akrab, dengan paksaan,
Itulah awal, berbagai penemuan.

1. Paksakan diri, dengan berbagai uji coba,
Penemuan baru akan datang, dengan tiba-tiba.

2. Kalau dipaksa, mengadakan percobaan,
akhirnya tentu, melahirkan penemuan.
3. Jangan malas,kerja berpeluh,
hidup ini nikmat, dengan bekerja sungguh-sungguh.
4. Penemuan baru, seakan-akan penyimpangan,
Karena itu, banyak tantangan.
5. Kebebasan bagi orang yang muda, untuk berkereasi,
akan melahirkan, berbagai inivasi.
6. Pendidikan bangsa Indonesia yang benar-benar asli,
di bidang pertanian dan kelautan, mengabdikan diri.
7. Dosa pendidikan, yang paling besar,
banyaknya penemuan, dibiarkan terlantar.
8. Pentingnya berbagai penemuan,
Untuk menghadapi, masa depan,
9. Di bidang pertanahan, paksakanlah berbagai penemuan ,
Untuk mengatasi, kekurangan lahan.

Pasal 10

Siapa saja,yang memkasa anak-anaknya,
Dialah sebenarnya, seorang pembina.

1. Aak-anak yang tidak pernah dipaksa,
Setelah dewasa, cenderung menyiksa.
2. Paksaan yang ,bersipat membina,
walaupun memaksa, tapi tidak menghina.

3. Barangsiapa memaksa diri sendiri, membaca yang hebat-hebat,
Akan bertambah ilmu, meningkatkan martabat.
4. Barangsiapa memaksa anak, berhenti mencuri,
Berati menanamkan tanggung jawab,dan pengendalian diri.
Pasal 11

Siapa memaksa, secara zalim,
Akan mendapatkan, neraka jahim.
1. Paksakan diri, melindungi hewan,
sayangi binatang, makhluk Tuhan.
2. Barangsiapa memaksa burung, di dalam sangkar,
itulah perbuatan zalim, berdosa besar.
3. Janganlah memaksa hewan , bekerja berat,
supaya Tuhn, mendatangkan rahmat.
4. Hewan peliharaan, mati tak diberi makan,
suatu kezaliman, akan mendapat balasan.
5. Jika memaksa pegawai, di luar kemampuannya,
itulah kezaliman, yang tiada tara.
6. Siapa yang punya penyakit, tapi memakan pantanngannya,Itulah kebodohan , membwa sengsara.

Pasal 12

Siapa saja memaksa, berbuat maksiat,
Kalaupun beruntung, tidak kan berkat.
1. Pornografi itu, alat maksiat,,
siapa melihat, bangkitlah syahwat.
2. Maksiat itu, melanggar aturan Tuhan,
pengendalian nafsu, harus dipaksakan.
3. Korupsi itu, maksiat besar,
menjadi penyakit, cepat menular.
4. Maksiat itu, melnyiksa ayah dan ibu,
karena buruknya, tingkah laku.
5. Obat dari, penyakit maksiat,
paksakan diri, beribadat, dengan tepat.
6. lngatkan ,semua penyakit, ada obatnya,
asalkan rajin, bertanya-tanya.
7. Yang tidak ada obatnya, hanya maut,
ketika Izrail, datang menjemput.
8. Siapa saja yang memaksa orang, membuka aurat.
Kehormatannya rusak, dirinya terlaknat.

Pasal 13

Paksaan bijak, untuk orang pemalu,
Menjadi obat, sangat bermutu.

1. Sipat malu, menjadi penghambat,
Bagi orang yang, sebenarnya kurang berbakat.

2. Malulah anda, ke diskotik dan panti pijat,
menyebar mesum, mendekap maksiat.
3. Banyak peraturan daerah, anti pelacuran,
karena penyakit AIDS , sangat memalukan.
4. Barangsiapa yang malu, merusak hutan lindung,
Sama dengan memelihara, ibu kandung.
5. Siapa saja, merusak hutan lindung,
berarti membuat penderitaan, tanpa ujung.
6. Siapa saja yang malu,bergaul bebas,
tubuhnya selamat, hatinya puas.
7. Paksaan positif, untuk orang pemalu,
Kadang-kadang, sangatlah perlu.

Pasal 14.

Suami yang tidak punya kekuatan memaksa, disebut dayus.
Istrinya berselingkuh, tidak diurus.

1. Paksaan itu penting, bagi siistri,
keinginannya yang banyak, harus dibatasi.
2. Paksaan itu penting bagi anak,
hidup ini, lebih banyak yang pahit,daripada yang enak.
3. Istri yang memaksa suami, menjadi koruptor,
karena jiwanya, rakus dan kotor.
4. Laki-laki yang tidak punya, kekutan memaksa,
tubuhnya sakit, batinya tersiksa.
5. Barangsiapa yang berselingkuh,
Itulah tanda,imannya runtuh.
6. Tanda-tanda suami, yang penyayang,
tingkah negatif istrinya, mampu dilarang.
7. Laki-laki, yang berjiwa dayus,
Rasa cemasnya, tidak pernah putus.

Pengarang Gurindam 14 ini.

Muhammad Rakib , nama diberi,
Lahirlah aku, seorang diri,
Disangka kembar, dalam prediksi,
Ayah dan ibu, merasa ngeri.

Lahirku di, Pulau Penyalai,
Nyiur melambai, sepanjang pantai,
Jawa, Melayu Cina, beramai-ramai
Banyaknya nyamuk, tidak terlerai.

Pernah kucoba berladang padi,
Lima tahun mengorbankan diri,
Sambil sekolah, mencari rezeki,
Ke Bangkinang, pergi mengaji.
                                                    
Diposkan oleh Yayasan Raksya Riau di 00:51

Wednesday, February 27, 2013

PANTUN SYA'IR MANASIK HAJI

SYAIR MANASIK HAJI  24-FEBRUARI 2013.
MUHAMMAD RAKIB JANIB JAMARI

Perjalanan haji, di Madinah,
Sujud syukur, di lapangan udara,
Menjauh sedikit, dari tangga,
Pesawat Indonesia, bernama Garuda.
                           
                                  Ya Allah, cocokkan padaku, segala cuaca,
                                  Driku adalah, hamba-Mu yang lemah.
                                   Sesuaikan makanan, dengan selera,
                                   Orang yang jahat, singkirkan segera.

Seringlah minum, walaupun tidak haus,
Panas di Arab, terus menerus,
Cairan menguap, pori-pori tembus,
Baik yang gemuk, maupun yang kurus.

                                  Dahulu ada, yang mati terjepit,
                                  Di pintu bus, yang sempit,
                                  Masalah  mudah jangan, dipersempit,
                                  Saling mengingatkan, tidak kan sulit.

Anda harus, bersedia antri,
Jangan saling, mendahului,
Budaya tertib, dijunjung tinggi,
Jaga posisi, kanan dan kiri.

                                 Ziarah ke maqam, Rasulullah,
                                 Karpetnya hijau, tampak cerah,
                                 Ucapkan salam, kepada baginda.
                                 Jangan ditulis, apapun juga.

Makam Rasul, di bawah kubah hijau,
Dari luar, dapat ditinjau,
Dari dalam, lihatlah karpek hijau,
Berdoalah di sana,hilangkan risau.

                                   Raudhoh di antara, mimbar dan maqam,
                                   Tempat berdoa, segala macam,
                                   Meminta kaya, dan jiwa tenteram.
                                   Agar dijauhkan, dari yang haram.

Kuburan Baqi’, di sebelah masjid,
Makam sahabat nabi, tidak sedikit,
Karena perang, juga karena sakit,
Hikamah ziarah, sebesar buklit.

                                  Buatlah bendera, tanda rombongan,
                                  Jangan terpisah, dari teman.
                                  Kemana pergi, saling bergandingan,
                                  Jaga ucapan, pelihara pandangan.




Ibu-ibu dibagi, per rombongan,
Setiap negara, ada jurusan.
Semuanya, sudah direntukan,
Jangan menyelinap, mencuri ksempatan.

                                       Ketika di Madinah, masih pakaian bebas,
                                       Memakai batik, tidak dibatas,
                                       Pakaian apapun, asalkan pantas,
                                       Empat puluh waktu, janganlah lepas.

Kalau berbelanja, jangan sendiri,
Bawalah teman, yang dipercayai,
Supaya aman, kemana pergi,
Tiada fitnah, di tanah suci.

                                       Di Bandara bisa, disangka teroris,
                                       Rapikanlah, janggut dan kumis,
                                       Lengkapkan dokumen, yang tertulis,
                                       Tindakan kasar, jangan digubris.

Di dalam bus, bacalah talbiyah,
Kecilkan suara, bagi wanita,
Supaya tidak, menjadi fitnah,
Suasana di Arab, serba salah.

                                 Belum disuruh, jangan turun dahulu,
                                 Mungkin hotelnya, belum bertemu,
                                 Bersabarlah, sebagai tamu,
                                 Jangan sampai, terburu-buru.

Data manifes, jumlah laki-laki,
Berapa wanita, harus diketahui,
Tidak bergabung, suami isteri,
Namun tetap, berkomunikasi.

                                    Dicek kamar, yang masih kosong,
                                    Upayakan, saling menolong,
                                    Dikritik orang, janganlah sombong,
                                    Jangan sampai, saling mendorong.

Apabila kopor, tidak bertemu,
Diam sejenak, teliti dahulu,
Jangan sampai, terburu-buru,
Jangan salahkan, ketua regu.

                                       Ketika bewudhuk, tas bisa hilang,
                                       Karena itu, ikatkan di pinggang,
                                       Agar tidak, dicuri orang,
                                       Penjahat menyamar, sebelum menyerang.

Waktu Isya’,  arba’in, pertama,
Istirahat dahulu, bersama-sama.
Jangan sampai, tergesa-gesa,
Jika letih, jangan dipaksa.

                                          Sebelum waktu sholat, sudah di masjid,
                                          Agar berjamaah, tidak sempit.
                                          Antisipasi, suasana rumit.
                                          Perbanyaklah, takbir dan tahmid.

Jangan putus asa, masjid penuh,
Ada saja kosong, belum dosentuh,
Bisa saja menyelinap, di tempat rapuh,
Bersdesakan sedikit, dapat ditempuh.

                                         Hanya dibawa, sajadah kecil,
                                         Penutup debu, dan kerikil,
                                         Atau bau, yang ganjil-ganjil,
                                         Pakai sajadah, yang mudah dimabil.

Drs. Mhd. Rakib,S.H.,M.Ag

             31 Agustus 1959 Masehi

         Penulis lahir 52 tahun yang lalu, di Kuala Kampar,Kabupaten Kampar, sekarang menjadi  Kabupaten Pelalawan Riau daaratan. Tamat  SD, dan Ibtida'iyah, di Penyalai, Kuala Kampar 1973 .Kemudian hijrah ke Airtiris Kampar yang jaraknya dari tempat lahir penulis , lebih kurang 500 Km, untuk masuk Tsanawwiyah di Airtiris, Kampar, Propinsi Riau, 1977 Dan juga Aliyah swasta di Airtiris, Kec. Kampar, 1980  Melanjutkan ke program Sarjana Lengkap “Drs” IAIN di Pekanbaru, 1988, menambah ilmu lagi sampai dapat  gelar Sarjana Hukum, “S.H” UIR di Pekanbaru, 1997, dilanjutkan ke program Magister Agama “M.Ag” S2 IAIN Pekanbaru, 2003
          Dosen ilmu hukum dan perbandingan agama, pada Perguruan Tinggi Persada Bunda, Pekanbaru-Riau, semenjak tahun 1995, sampai sekarang. Menjadi widyaiswara tetap pada Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Prop. Riau, sejak tahun 2000, sampai-sekarang Ada sedikit prestasi, yaitu Juara Pidato Pemuda Nasional di Jakarta, 1983  Juara I Juga juara umum  pidato Idelogi Bung karno, se Riau ,tahun 2004 Karya Tulis Lingkungan, Depdikbud, 1995 Juara I Karya Tulis Keberhasilan Guru, Jakarta, 1996
Tahun (2005) Penulis pernah kuliah di S3  Ilmu-ilmu Sosial Universitas Riau kerjasama dengan UGM, tapi gagal. Kuliah lagi S3 UI Depog Jakarta, tidak selesai, Kuliah lagi  S3di University Malaya.Kuala Lumpur, Juga tidak selesai. Kuliah lagi S3 UNISEL, Selangor, tidak selesai. Akhirnya kuliah S3 lagi di  UIN Suska Riau di Pekanbaru, sejak 2008, masih berlangsung sampai saat ini. Alamat :  Jl. Bintara 13 D Labuhbaru Pekanbaru  0823 9038 1888  dan 0812 6748  8881.


http://cdn1.searchcompletion.com/images/spacer.gifhttp://cdn1.searchcompletion.com/images/spacer.gifMahkum Bihihttp://cdn1.searchcompletion.com/images/spacer.gif

Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.  
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.
1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
1.      Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia kehendaki.
2.      Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
3.      Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
4.      Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
5.      Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
6.      Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
7.      Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
8.      Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:
Artinya:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
9.      Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
10.  Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
11.  Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.
2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamaitathawwu'.
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
1.      Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.
2.      Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
1.      Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
2.      Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.
3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
1.      Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
2.      Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang dhanniy, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.
5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
1.      Berdasarkan penerangan syara;
1.      Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
2.      Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
2.      Tidak adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.
6. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.
7. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
1.      Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.
Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
2.      Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya. 
Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah.
Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
8. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
1.      Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
2.      Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
3.      Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
4.      Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
5.      Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
9. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
1.      Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
2.      Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.
Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.
10. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
1.      Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
2.      Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
1.      Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
2.      Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti.
Mahkum Bihi
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.
Selasa, 00 0000
Mahkum Bihi merupakan perbuatam mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah ijab, tahrim, makruh, dan mubah.  
Telah kita maklumi bahwa bekasan ijab disebut wajib, bekasan nadb dinamai mandub atau sunnat, bekasan tahrim dinamai haram atau mahdhur, bekasan karahah dinamai makruh, dan bekasan ibadah dinamai mubah atau ja'iz.
Dengan demikian nyatalah bagi kita, bahwa apabila perbuatan mukallaf yang menyangkut dengan masalah-masalah: ijab dinamai wajib, tahrim dinamai haram atau mahdhur, karahah dinamai makruh dan ibadah dinamai mubah. Hukum-hukum tersebut dalam uruf ahli ushul disebut mahkum bihi, sedangkan tempat-tempat bergantung hukum disebut taklify.
Berikut ini dijelaskan ta'rif dari macam-macam taklify, takhyiry dan hukum wadl'iy.
1. Wajib dan bahagian-bahagiannya.
Wajib ialah sesuatu pekerjaan yang dirasa akan mendapat siksa kalau tidak dikerjakan. Dirasa akan mendapat siksa itu maknanya diketahui akan mendapat siksa berdasarkan petunjuk yang tidak terang, atau dengan perantaraan suatu qarinah, paham atau isyarat, bahwa orang yang tidak mengerjakannya akan mendapat siksa di negeri akhirat.
Wajib dibagi kepada beberapa bahagian, sebagai berikut:
1.      Wajib muthlaq, yaitu suatu pekerjaan yang wajib kita kerjakan tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti membayar kaffarah. Bila seorang bersumpah kemudian ia membatalkan sumpahnya, wajiblah ia membayar kaffarah, tetapi ia dibolehkan membayar kaffarah itu di sembarang waktu yang dia kehendaki.
2.      Wajib muwaqqat, yaitu suatu pekerjaan yang diwajibkan serta ditentukan waktunya seperti shalat wajib dan puasa Ramadlan, awal dan akhir waktunya dengan terang telah dijelaskan, karena itu kita tidak dapat mengerjakannya melainkan di dalam waktu yang telah ditentukan itu.
Wajib muwaqqat ada dua macam, yaitu wajib muwassa' dan wajib mudhayyaq.
Wajib muwassa' ialah pekerjaan wajib yang diluaskan waktunya yakni waktunya lebih luas daripada waktu mengerjakannya, misalnya waktu shalat fardlu, waktu yang disediakan luas dan leluasa melebihi waktu mengerjakannya.
Wajib mudhayyaq ialah pekerjaan yang disempitkan waktunya tidak melebihi kadar pekerjaan, misalnya puasa Ramadlan, waktu dengan puasa sama lamanya yaitu mulai dari terbit fajar shadiq sehingga terbenam matahari, maka puasa pun juga dimulai terbit fajar shadiq sampai terbenam matahari.
Selain wajib mudhayyaq dan wajib muwassa' ada lagi yang disebut wajib dzu syabahain, yaitu pekerjaan yang menyerupai wajib muwassa' dan menyerupai wajib mudhayyaq, misalnya haji. Wajib haji menyerupai wajib muwassa' dari segi waktu yang disediakan lebih luas dari kadar waktu mengerjakannya, juga menyerupai wajib mudhayyaq dari segi tidak boleh dikerjakan dua haji dalam satu tahun.
3.      Wajib ainiy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dituntut kepada masing-masing orang untuk mengerjakannya. Tidak terlepas seseorang dari tuntutan jika ia sendiri tidak menunaikan kewajibannya itu, tidak dapat dikerjakan oleh orang lain, seperti shalat, puasa Ramadlan, zakat, haji dan sebagainya.
4.      Wajib kifâ'iy, yaitu segala rupa pekerjaan yang dimaksud oleh agama akan adanya, dengan tidak dipentingkan orang yang mengerjakannya. Apabila dikerjakan kewajiban oleh sebagian mukallaf, maka semua orang terlepas dari tuntutan wajib. Dalam wajib kifâ'iy yang penting terwujudnya pekerjaan itu bukan orangnya, seperti menshalatkan orang mati, mendirikan sekolah, rumah sakit dan sebagainya.
5.      Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan syara' kadar ukurannya, seperti zakat, kaffarah dan sebagainya.
6.      Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan syara' kadar dan ukurannya seperti kewajiban membelanjakan harta di jalan Allah, memberikan makan kepada orang miskin dan sebagainya.
7.      Wajib mu'ayyan, yaitu suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara' dengan secara khusus, seperti membaca al-Fatihah dalam shalat.
8.      Wajib mukhayyar, yaitu suatu kewajiban yang disuruh pilih oleh syara' dari beberapa pekerjaan tertentu seperti dalam urusan kaffarah sumpah.
Firman Allah:
Artinya:
Maka kaffarahnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang sederhana, atau memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memedekakan seorang budak. (al-Mâidah: 89)
Kewajiban memilih salah satu diantara tiga hal tersebut disebut wajib mukhayyar.
9.      Wajib mu'adda, yaitu segala kewajiban yang dikerjakan dalam waktunya yang telah ditentukan. Menunaikan kewajiban di dalam waktunya dinamai adâ', pekerjaannya disebut mu'addâ.
10.  Wajib maqdliy, yaitu kewajiban yang dilaksanakan sesudah lewat waktu yang telah ditentukan. Membayar atau mengganti sesuatu diluar waktunya disebut qadlâ'an, pekerjaannya disebut maqdliy.
11.  Wajib mu'âdah, mengerjakan suatu kewajiban yang dikerjakan sekali lagi dalam waktunya karena yang pertama dikerjakan tidak begitu sempurna, dinamai mengulangi (i'âdah), pekerjaannya disebut wajib mu'âdah.
2. Mandub, sunnah dan derajat-derajatnya.
Mandub atau sunnah ialah pekerjaan yang dituntut syara' agar kita mengerjakannya, tetapi dengan tuntutan yang tidak menunjuk kepada musti, artinya pekerjaan itu disuruh kita melaksanakannya dan diberi pahala, hanya tidak dihukum berdosa yang meninggalkannya. Perbuatan mandub ialah sesuatu yang lebih baik untuk dikerjakan.
Kata asy-Syaukani: "Mandub ialah suatu perintah yang dipuji bagi orang yang mengerjakannya dan tidak dicela bagi orang yang meninggalkannya."
Pekerjaan yang mandub itu dinamai marghub fihi artinya pekerjaan yang digemari kita melaksanakannya. Pekerjaan yang disukai bila kita mengerjakannya dinamai mustahab. Pekerjaan yang dilakukan bukan karena kewajiban, atau dikerjakan dengan kesukaan sendiri dinamaitathawwu'.
Ahli ushul Hanafiyah tidak menyamakan antara sunnat dengan mandub (nafl). Menurut mereka, bahwa yang disuruh oleh syara' itu terbagi empat, yaitu (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Sunnah; dan (4) Nafl (Mandub).
Mereka membagi sunnat kepada dua macam:
1.      Sunnat hadyin, yaitu segala rupa pekerjaan yang dilaksanakan untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, seperti adzan dan jama'ah.
2.      Sunnat zaidah, yaitu segala pekerjaan yang bukan merupakan bagian untuk menyempurnakan perintah agama, hanya termasuk terpuji bagi yang melakukannya, seperti pekerjaan yang dilakukan Rasulullah ketika makan, minum dan tidurnya yang menjadi kebiasaannya.
Ulama-ulama Syafi'iyah membagi amalan-amalan sunnat kepada dua bagian:
1.      Sunat muakkadah, yaitu suatu pekerjaan yang tetap dikerjakan Rasulullah atau lebih banyak dikerjakan daripada tidak dikerjakan sambil memberi pengertian bahwa ia bukan fardlu, seperti shalat rawatib dan sunnat fajar.
2.      Sunat ghairu muakkadah, yaitu sesuatu yang tidak tetap Rasulullah mengerjakannya, seperti shalat sunnat 4 (empat) rakaat sebelum dzuhur.
3. Haram dan pengertiannya.
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara' haram ialah: "Pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakannya."
Ulama Hanafiyah membagi haram ini kepada dua bagian, yaitu:
1.      Sesuatu yang ditetapkan haramnya dengan nash yang qath'iy, yakni Kitabullah dan Sunnah Mutawatirah. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang berdasarkan dua hal tersebut dinamai haram atau mahdzur.
2.      Sesuatu yang keharamannya tidak dengan nash yang qath'iy, yakni dengan nash yang dhanniy, disebut karahah tahrim.
4. Makruh dan definisinya.
Makruh menurut bahasa berarti yang tidak disukai. Menurut istilah syara', makruh berarti: "Pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan dengan tidak kita rasakan bahwa aka disiksa apabila mengerjakannya."
Definisi lain dari makruh ialah: "Sesuatu yang tinggalkan, tidak dicela bagi orang yang mengerjakannya."
Menurut ulama Hanafiyah ada tujuh macam pembagian hukum taklif, yaitu: (1) Fardlu; (2) Wajib; (3) Haram; (4) Makruh tahrim; (5) Makruh tanzih; (6) Sunnat hadyin; dan (7) Mandub atau Nafl.
5. Mubah dan penjelasannya.
Mubah menurut bahasa yaitu sesuatu yang mengambilnya atau tidak mengambilnya.
Menurut syara', mubah ialah "Sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya dan tidak dipuji pula meninggalkannya." Dengan kata lain: "Mubah ialah pekerjaan-pekerjaan yang tidak dituntut kita mengerjakannya, dan tidak pula dituntut kita meninggalkannya."
Jalan untuk mengetahui mubah yaitu sebagai berikut:
1.      Berdasarkan penerangan syara;
1.      Syara' mengatakan, jika kamu suka perbuatlah pekerjaan ini, dan jika kamu tidak suka tinggalkanlah dia itu.
2.      Syara' mengatakan, tidak ada keberatan apabila kamu mengerjakan pekerjaan ini.
2.      Tidak adanya penerangan syara; yakni syara' tidak mencegahnya dan tidak pula menyuruhnya. Sesuatu pekerjaan yang tidak disuruh dan tidak dilarang oleh syara', hukumnya mubah, hukum asalnya mubah.
6. Sebab dan pengertiannya.
Sebab menurut bahasa berarti tali, dan menurut istilah berarti sesuatu keadaan yang dijadikan oleh syara' sebagai tanda bagi dihadapkannya sesuatu titah kepada mukallaf.
Asy-Syathibi mengatakan: "Sebab ialah sesuatu hal yang diletakkan syara' untuk sesuatu hukum karena adanya suatu hikmah, yang ditimbulkan oleh hukum itu." Adapun 'illat ialah: "Kemaslahatan atau kemanfaatan yang diperhatikan syara' didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya."
Contoh sebab: Tergelincirnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat dzuhur atas mukallaf, terbenam matahari menjadi sebab wajibnya shalat Maghrib. Terjadinya jual beli menjadi salah satu sebab adanya milik, juga menjadi sebab hilangnya milik. Pembunuhan menjadi sebab adanya hukum qishash.
7. Syarat dan hakikat.
Syarat menurut bahasa berarti melazimkan sesuatu. Menurut 'urf syara', syarat berarti: "Sesuatu keadaan atau pekerjaan yang karena ketiadaannya, menjadi tidak ada hukum masyrutnya."
Misalnya syarat sah menjual sesuatu ialah sanggup menyerahkan barang yang dijual kepada si pembeli. Apabila tidak sanggup menyerahkannya, seperti menjual burung terbang di udara, maka tidaklah sah penjualan dimaksud. Misalnya lagi suci menjadi syarat sah shalat, apabila tidak suci maka tidaklah sah shalatnya.
Ada dua macam syarat, yaitu syarat hakiki dan syarat ja'li.
1.      Syarat hakiki, ialah sesuatu pekerjaan yang disuruh mengerjakannya sebelum mengerjakan suruhan yang lain dan pekerjaan yang lain itu tidak diterima kalau tidak ada yang pertama itu.
Agama menetapkan bahwa shalat itu tidak diterima jika tidak ada wudlu, sebagaimana juga agama menetapkan, bahwa nikah itu tidak sah kalau tidak ada saksi.
2.      Syarat ja'li, yaitu segala yang dijadikan syarat oleh pembuatnya dengan perkataan jika, kalau, sekiranya dan sebagainya. 
Umpamanya: Saya suka menjual sepeda ini kepadamu, jika kamu memperbolehkan memakainya hari ini untuk pergi ke kantor.
Syara' telah menjadikan beberapa syarat ja'li untuk sahnya sesuatu pekerjaan. Sesuatu syarat yang kalau tidak ada, maka tidak ada pula masyrutnya disebut syarat sah.
Adapun syarat-syarat yang kalau dia tidak ada menjadikan kurang atau tidak sempurnanya masyrut dinamai syarat kamal, atau syarat kesempurnaan.
8. Mani' dan penjelasannya.
Kerapkali syara' menetapkan suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas sebab sesuatu hukum.
Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan". Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.
Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat.
Para ulama ushul Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:
1.      Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta, bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
2.      Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
3.      Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual. Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
4.      Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
5.      Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari lamanya.
9. Azimah dan rukhshah.
Hukum syar'iy itu bila ditinjau dari segi berat dan ringannya dibagi menjadi dua bagian, yaitu pertama azimah dan kedua rukhshah.
1.      Azimah. Hukum azimah ialah hukum yang dituntut syara' dan bersifat umum, tidak ditentukan berlakunya atas suatu golongan dan/atau keadaan tertentu. Misalnya kewajiban menjalankan shalat lima waktu.
2.      Rukhshah. Hukum rukhshah ialah suatu hukum yang diatur oleh syara' karena adanya udzhur (halangan) yang menyukarkan. Hukum rukhshah dikecualikan dari hukum azimah, yang umumnya berlaku selama ada udzhur yang berat dan seperlunya saja, dan hukum rukhshah ini datangnya terkemudian sesudah azimah.
Misalnya hukum makan bangkai dikala tidak ada makanan sama sekali. Juga seperti dibolehkan mengqashar shalat wajib dari empat raka'at menjadi dua raka'at.
10. Sah dan batal
Lafadh sah mempunyai dua arti:
1.      Melepaskan tanggung jawab dan menggugurkan kewajiban (qadla) di dunia. Bila dikatakan shalat si A sudah sah (shahih), artinya "telah dipandang memenuhi persyaratan sebagaimana diperintahkan". Begitu pula dikatakan penjualan itu sah, artinya penjualan itu telah memindahkan milik si penjual kepada si pembeli, penjualan itu menghalalkan untuk menguasai dan mengurusnya.
2.      Memperoleh pahala atau ganjaran. Bila dikatakan: "Amal ini sah", artinya amal ini dapat diharapkan pahalanya di negeri akhirat, baik amal itu bersifat keduniaan ataupun keakhiratan.
Tidak mendapat pahala sesuatu pekerjaan melainkan dengan ikhlas dan tulus hatinya karena Allah semata-mata. Makna kedua ini tidak dibicarakan oleh ulama fiqh, akan tetapi menjadi pembicaraan ulama akhlak.
Dengan demikian jelaslah bahwa suatu amal dipandang sah menurut pendapat ulama fiqh, telah mencukupi rukun dan syaratnya yang tertentu.
Kata batal mempunyai dua pengertian, yaitu:
1.      Tidak mencukupi, tidak melepaskan tanggungan atau kewajiban yang dituntut mengerjakannya. Batalnya sesuatu pekerjaan itu karena tidak cukup rukun dan syaratnya, karena itu dituntut mengerjakannya lagi.
Tidak mendapat pembalasan di hari akhirat nanti

Komentar Facebook