Tuesday, September 29, 2015

KONSEP DINYATAKAN 'HUND' DALAM BAHASA JERMAN



KONSEP DINYATAKAN  'HUND' DALAM BAHASA JERMAN, 'CHIEN' DALAM BAHASA PRANCIS, 'PERRO' DALAM BAHASA SPANYOL.

By Muhammad Rakib Jamari,S.H., 
Pekanabaru Indonesia
   
           Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik.
           Konsep didefinisikan sebagai suatu arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Konsep diartikan juga sebagai suatu abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir. Pengertian konsep yang lain adalah sesuatu yang umum atau representasi intelektual yang abstrak dari situasi, obyek atau peristiwa, suatu akal pikiran, suatu ide atau gambaran mental. Suatu konsep adalah elemen dari proposisi seperti kata adalah elemen dari kalimat. Konsep adalah abstrak di mana mereka menghilangkan perbedaan dari segala sesuatu dalam ekstensi, memperlakukan seolah-olah mereka identik. Konsep adalah universal di mana mereka bisa diterapkan secara merata untuk setiap extensinya.
           Konsep adalah pembawa arti. Suatu konsep tunggal bisa dinyatakan dengan bahasa apa pun. Konsep bisa dinyatakan dengan 'Hund' dalam bahasa Jerman, 'chien' dalam bahasa Prancis, 'perro' dalam bahasa Spanyol.
           PENGERTIAN KONSEP ADALAH SUATU MEDIUM yang menguhubungkan subjek penahu dan objek yang diketahui, pikiran, dan kenyataan. Konsep termasuk dalam jenis medium in quo. Dalam sebuah konsep, kita mengenal, memahami, dan menyebut objek yang kita ketahui. Kekhususan dari medium in quo adalah walaupun dalam pengenalan akan objek tertentu, yang langsung kita sadari bukan konsepnya tetapi objek fisik itu sendiru, tetapi dalam suatu refleksi, konsep sendiri dapat menjadi objek perhatian dan kesadaran kita.

         Pengertian konsep dapat dimengerti dari sisi subjek maupun dari sisi objek. Dari sisi subjek, suatu konsep adalah kegiatan merumuskan dalam pikiran atau menggolong-golongkan. Sedangkan, dari sisi objek, konsep adalah isi kegiatan tersebut, artinya, apa makna konsep itu. Sebagai sesuatu yang bersifat umum, konsep adalah suatu yang bersifat universal. Konsep universal dapat bersifat langsung, bisa juga tidak langsung. Konsep universal langsung adalah konsep yang bisa dipredikasikan secara univok (secara persis sama) dan secara distributif (satu per satu) pada banyak individu. Misalnya, konsep "manusia". Konsep ini dapat dipakai dalam arti yang persis sama untuk menyebut Uni, Ita, ataupun Nita. Konsep yang tidak langsung adalah konsep universal refleks. Maksudnya, konsep yang menyebut suatu kelas atau golongan dan tak dapat dipredikasikan pada individu-individu. Misalnya konsep "kemanusiaan". Tak satupun dari ketiga nama di atas dapat disebut kemanusiaan, walaupun masing-masing dapat dikatakan termasuk dalam kelompok yang tergolong dalam konsep tersebut.

         Dalam memahami konsep juga perlu dibedakan antara pengertian atau makna konsep dan ekstensi atau lingkup penerapan konsep. Misalnya pengertian "binatang rasional" termasuk dalam lingkup pengertian konsep "manusia". Sedangkan lingkup penerapan konsep adalah kumpulan individu yang dapat dipredikasikan dengan konsep tersebut atau yang merupakan contoh perwujudan konkretnya. Misalnya konsep universal refleks "kemanusiaan" merujuk secara eksplisit pada ekstensi atau lingkup penerapannya, yakni konsep universal langsung "manusia" dapat dipredikasikan pada banyak individu. Jadi, jelas bahwa konsep universal langsung hanya memaksudkan pengertiannya dan mengabstraksikan ekstensinya. Sedangkan, konsep universal refleks tidak dapat dipredikasikan karena secara eksplisit memaksudkan ekstensinya dan dengan demikian memberikan nama pada keseluruhan kelas dari hal yang dibicarakan.

Monday, September 28, 2015

M.RAKIB PERSIAPAN UJIAN DISERTASI SEPTEMBER 2015



M.RAKIB
PERSIAPAN UJIAN DISERTASI
 SEPTEMBER 2015
di UIN Suska Riau Indonesia
 
ABSTRAK

Kebiasaan memberi hukuman fisik walaupun ringan, tetap saja dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.Karena itu, disertasi ini  mengungkapkan permasalahan yang ditimbulkannya, serta sebab-sebab masih bertahannya berbagai model  hukuman inipadapendidikan formal. Penelitianini sifatnya mendesak untuk dilakukan, karena korbannya terus berjatuhan.Masalah pokoknya adalah bagaimana konsep hukuman fisik yang dilarang oleh undang-undang, walaupun sebelumnya sudah ada tuntunannya yang lengkapdi dalam Hukum Islam. 

Penelitian inimerupakan doctrinal researchdengan menggunakan metode analisis konsep dan falsafah hukumnya  yang merupakan pengembangan  dari metode deskriptif. Fokus kajiannya mendeskripsikan, membahas, mengkritisi dari sisi formal dan material terhadap Hukum Perlindungan Anak Republik Indonesia yang dibandingkan dengan Hukum Islam, sehingga mendapatkan temuan baru berupa hukuman fisik yang tidak dikategorikan kekerasan. Kemudian dianalisis pula dengan kaedah fiqhiyah, dan teori yang relevan.Kontribusi penelitaniniialah ditemukannya beberapa teori yang  membolehanak diberi sanksi pukulan ringan yang sejalan dengan semangatanti kekerasandalam Hukum Islam, karena terkait dengan teori maslahah mursalah, dan teori Al-siyasah al-Syar’iyah.

Penelitan ini bermanfaat bagi guru-guru di Indonesia yang gelisah, selama ini, tidak dapat menghukum muridnya yang nakal dengan sanksi hukuman fisik. Pelakunya tidak akan mendapatkan pelindungan hukum. Anak-anak  cenderung menjadi nakal, karena itu Hukum Islam, membolehkan sanksi fisik ringan, jika anak melanggar disiplin, dengan batasan yang jelas, sehingga semangat anti kekerasan di dalamnya tidak bertentangan dengan Hukum Perlidungan Anak Republik Indonesia.

Kata kunci: Hukuman fisik dan Hukum Islam

ABSTRACT

The habit of physical punishment although light, still categorized as a violation of the principle of human rights. Therefore, this dissertation reveals the problems which is caused, and the causes are still survival of the various models of this punishment in formal education. This research are urgent to be done, because the victims continue to fall. The central issue is how the concept of corporal punishment is prohibited by law, although there had previously been a complete guidance in Islamic law.

This study is a doctrinal research using the method of analysis of the concept and philosophy of law which is the development of descriptive methods. The focus of studies describe, discuss, criticize the formal and material terms of the Child Protection Law of the Republic of Indonesia as compared to Islamic law, so getting the new findings in the form of corporal punishment is not considered violent. Then analyzed also the principle fiqhiyah, and relevant theory. The contribution of this research is the discovery of several theories that allow children were given mild blow of sanctions that are in line with the spirit of non-violence in Islamic law, because it is associated with maslahahmursalahtheory, and the theory ofAl-siyasah al-Syar'iyah.

Research is useful for teachers who anxious, so far, that can not punish a naughty pupil with sanctions corporal punishment. Perpetrators will not get legal protection. Children tend to be naughty, because the Islamic law, allows mild physical sanction, if a child violating discipline, with clear boundaries, so that the spirit of non-violence in it does not conflict with the Child Protection Law of the Republic of Indonesia.

           
Kata kunci: Hukuman fisik dan Hukum Islam



ملخص
هذه العادة منالعقاب البدنيعلى الرغم منالبرد، لا تزال مصنفةباعتبارها انتهاكا لحقوق البشرية. لذلك، هذاأطروحةيكشف عنالمشاكل التيتسبب، وأسبابهالا تزالبقاءمختلف نماذجهذه العقوبةفي التعليم الرسمي. هذا البحثملحةينبغي القيام به،لأن الضحايالا تزال تنمو. المسألة الرئيسيةهيكيف يمكن لمفهوممحظورالعقاب البدنيبموجب القانون،على الرغم من أنهناككان قد سبقهدىكامل علىالشريعة الإسلامية.

هذا البحثهو البحثالفقهيباستخدام أسلوبتحليلمفهوم وفلسفة القانون التيهو تطويرالمنهج الوصفي. تركيزمن الدراساتتصفومناقشة وانتقادمنشكليةوجوهرية فيقانون حمايةالطفل في جمهوريةإندونيسيابالمقارنة معالشريعة الإسلامية، وبالتالي الحصول علىنتائججديدة فيشكل من أشكال العقابالبدنيلا يعتبرعنفا.ثم تحليلهاأيضامع القواعدفقهية، والنظرياتذات الصلة.مساهمةمنهذا البحث هواكتشافالعديد من النظرياتالتي تسمحالطفلالضربمعتدلمقرةبما يتماشى معروحاللاعنففي الشريعة الإسلامية،من حيث صلتهالنظرية مسألة مرسالة ، ونظرية السياسة الشريعة.

هذا البحثمفيداللمعلمينفياندونيسياهملا يهدأ، حتى الآن،  يمكن معاقبةتلميذشقيمعفرض عقوبات علىالعقاب البدني. لاسوف الحصول على الحمايةالقانونية. يميلالأطفالليكونمؤذ، وذلك لأن الشريعة الإسلامية، ويسمح عقوبةبدنيةمعتدل، إذا كان الطفلتنتهكالانضباط، معحدود واضحة، لذلك أن روحاللاعنف فيأنها لاتتعارضمعقانون حمايةالطفل في جمهوريةإندونيسيا.

الكلمات الرئيسية : العقاب البدني والقانون الإسلام
  
PERBANDINGAN SANKSI HUKUM
TERHADAP PELANGGARAN HAK ANAK-ANAK

1.Sanksi umum

           Sanksi umum, bisa berupa penangkapan dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahanan dalam waktu 1 x 24 jam (Pasal 36 (2)Undang-Undang tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga ini terkait erat dengan beberapa peraturan perundang-undangan lain yang sudah berlaku sebelumnya, antara lain:  1. UU 1/1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Perubahannya. 2. UU 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 3. UU 1/1974 tentangPerkawinan.  UU 7/1984 tentang 28 PengesahanKonvensimengenaiPenghapusanSegalaBentukDiskriminasiTerhadapWanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); dan  4. UU 39/1999 tentangHakAsasiManusia.
Undang-Undangini, selainmengaturihwalpencegahandanperlindungansertapemulihanterhadapkorbankekerasandalamrumahtangga, jugamengatursecaraspesifikkeke-rasan yang terjadidalamrumahtanggadenganunsur-unsurtindakpidana yang berbedadengantindakpidanapenganiayaan yang diaturdalam KUHP. Kepolisiandapatmenangkapuntukselan-jutnyamelakukanpenahanantanpasuratperintahterhadappelaku yang diyakinitelahmelanggarperintahperlindungan, walaupunpelanggarantersebuttidakdilakukan di tempatpolisiitubertugas (Pasal 35 (1). Untukmemberikanperlindungankepadakorban, kepolisiandapatmenangkappelakudenganbuktipermulaan yang cukupkarenatelahmelanggarperintah per -lindungan (Pasal 36 (1).  Korban, kepolisianataurelawanpendampingdapatmeng -ajukanlaporansecaratertulistentangadanyadugaanpelanggaranterhadapperintahperlindungan (Pasal 37 (1). Bilamanapengadilanmendapatkanlaporantertulistentangadanyadugaanpelanggaranterhadapperintahperlindunganini, pelakudiperintahkanmenghadapdalamwaktu 3 x 24 jam gunadilakukanpemeriksaan, di tempatpelakupernahtinggalbersamakorbanpadawaktupelanggarandidugaterjadi (Pasal 37 (2))
2. Sanksikhusus
Sanksikhusus, hanyamerupakansanksi moral. Lebih-lebihlagimenurutHukum Islam, Syari’ hanya mengizinkan para suami untuk menghukum istrinyayang nusyuz (membangkang),[1] dengan tiga macam hukuman, yaitu menasihatinya, memisahkannya dari ranjang (pisah ranjang), dan pukulan. berdasarkan ayat:

...wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,[2] Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.[3] 

             Asbab al-Nuzulnya menurut Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih mengetengahkan juga dari Ali bin Abi Thalib, "laki-laki Ansar datang kepada Nabi saw.,membawa istrinya. Kata istrinya, 'Wahai Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.'Jawab Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan ayat,’'Kaum lelaki menjadi pelindung  wanita...sampai akhir ayat.' (QS. An-Nisa’ 34) Hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya menguatkan yang lainnya." Berikut ini tentang kesamaan Al-quran dan hadits, tentang tingkatan hukuman antara isteri dan anak.












TABEL    5

KEMIRIPAN REDAKSI AYAT DAN HADITS
 TENTANG HUKUMAN PUKULAN
DARI SEGI URUTAN KATA.

No
QS An-Nisa’ (4) : 34
Hadits
1
Dinasehatiisterimu
Disuruhanakmu
2
Pisahkandaritempattidur
Pisahkantidurnya
3
Pukullahisterimu
Pukullahmereka

             Dari tigatingkatan, pernyataandariayat Al-Quran  danhaditstersebut,  yang penulissorotiadalah  yang nomortiga,  karenaada kata “ Pukullahmereka”. Kaitannya, denganpenelitianiniialah , kata pukulanitu, termasukkekerasanmenurut HAM dan UU RI Nomor 23 Tahun 2002. Akan tetapimenurutanalisispenulis, sebenarnyaadahukumanpukulan yang tidakmasukkategorikekerasanfisik, yaitumemukul yang tidakberdasarkanemosi, tidak gores, tidakberbekas, dantidakbolehmemukulwajah.

             Ada tiga jenishukuman, yang dapat dilakukankepadaisteri, secara bertahap, tidak menerapkan hukuman berikutnya jika dengan hukuman pertama si istri bisa berubah. Nasihat adalah nasihat yang menyadarkan, jika tidak ‘mempan’ maka dengan pisah ranjang, jika tidak juga mempan maka dengan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak diwajah. Hukuman terakhir ini tidak jauh beda dengan hukuman macam ke dua di atas, yaitu hukuman bersifat ta'dib (edukasi) bukan hukuman bersifat ta'dzib (penyiksaan). Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat tersebut menjelaskan sifat pukulan tersebut, mengutip perkataan ulama:

Hendaknya tidak merusak anggota tubuh apa pun dan tidak menimbulkan bekas sedikitpun.
[4]

             Dari penelaahan penulis  terhadap nash-nash baik Al-Qur'an maupun As-Sunnah tidak ditemukan sama sekali adanya peluang bagi para pendidik untuk menghukum anak didiknya, selain hanya bagi orang tua terhadap anaknya sendiri, itupun sangat terbatas. Apa yang bisa diperbuat oleh para pendidik ketika menjumpai anak didiknya melanggar, baik terhadap hukum syara' maupun terhadap peraturan-peraturan administratif setempat, untuk anak-anak ditinjau dari segi usianya.
            Batasan usia yang diajukan dalam menelaah mengenai pengertian anakremaja, berdasarkan dari pendapat pakar-pakar psikologi B. Hurlock dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak) menyebutkan bahwa pengertian remaja adalah suatu batasan usia dengan rentang usia antara 13 (tiga belas) tahun, sampai dengan 21 (dua puluh satu) tahun. Sedangkan pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga dalam batasan konsep penulisan hukum ini adalah bagi anak / remaja dalam rentang usiaantara 13 – 21 tahun. Di bawah ini tabel perbandinmgan batas usia menurut undang-undang.
     
              Secara yuridis formal, masalah pertanggungjawaban mengenai kenakalan anak atau remaja yang dapat menimbulkan kejahatan ini telah memperolehpedoman yang baku dalam hukum. Pertama-tama adalah hukum pidana yangpengaturannya tersebar dalam beberapa pasal, dan sebagian pasal yang bersifatembrional adalah Pasal 45, 46 dan 47 KUHP.Bandingkanketentuanumur yang disebut di dalamhadits yang          menyuruh anak-anak melakukan shalat sejak usia tujuh tahun dan memukulnya  jika tidak mau sholat di usia sepuluh tahun, serta pisahkan tempat tidur mereka.[5]

             Hukuman  untuk anak-anak, tentu saja, hal yang bisa dilakukan adalah tindakan  “yang bukan berupa hukuman, melainkan konsekwensi logis” yang sejalan dengan syari'at Islam. Misalnya ketika ada seorang santri atau siswa melanggar disiplin administratif berupa lalai atau berbohong saat meminta izin, tindakan yang bisa ditempuh misalnya menasihati dengan nasihat yang baalighoh dengan kata-kata yang menyentuh,  tanpa amarah atau membentak-bentak dengan mengangkat suara, hingga seorang anak menyadari sendiri kesalahannya dan menyesalinya.

             Kemudian ciptakan suasana agar murid, mau meminta maaf seraya bertaubat kepada Allah SWT., pendidik bisa memintanya untuk membaca istighfar sebanyak-banyaknya saat itu, atau membangunkannya untuk shalat taubat di malam harinya. Apabila kesalahan sudah mencapai tingkatan yang sangat parah, dan pendidik melihat hal itu berdampak buruk bagi anak-anak didik lainya, selanjutnya bisa menempuh jalan untuk memulangkannya atau mengeluarkannya dari lembaga. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Imam Al-Hasan Al-Bashri terhadap bekas muridnya yaitu Washil bin 'Atho' tatkala beliau menjumpainya menyimpang dan tidak ada harapan untuk kembali ke jalan yang lurus, Al-Hasan Al-Bashri tidak menjatuhkan hukuman apa pun terhadap dirinya, beliau hanya mengusirnya dari majlis ilmu yang beliau bina.

             Terkait hukuman fisik, dalam bentuk apapun, karena menyakiti sesama muslim adalah dosa di sisi Allah SWT. Sedangkan antara para pendidik dan para santri atau siswa pada hakikatnya adalah sesama muslim, yang tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Rasulullah saw bersabda:


Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda: Siapa saja yang menyakiti seorang muslim,  sungguh ia telah menyakitiku, dan siapa siapa yang telah menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah SWT .
[6]

3. Sanksi Hukum yang Sesuai dengan Syari’at

'Uqubah Syar'iyyah, (hukuman) yang sesuai syari'at ini, penting untuk diketahui sebagai acuan dalam memberlakukan hukuman selama proses pendidikan. Dengan harapan, hukuman yang diterapkan,  sesuai dengan fitrah syari’at, bukan hukuman yang kontraproduktif. Hukuman juga  membawa kemaslahatan bagi yang menghukum. Perlu adanya  ketaatan terhadap penghukum  sendiri, agar taat kepada  al-Hakim al-Syari’ Allah ‘Azza wa Jalla.

            Pertama, ada macam-macam hukuman  dalam Islam. Secara garis besar  digolongkan menjadi tiga macam: 1. Hukuman oleh pemerintah terhadap rakyatnya, Kedua, hukuman oleh orang tua terhadap anaknya. Ketiga, hukuman oleh suami terhadap isterinya.  Hukuman oleh tuan terhadap hamba-sahayanya. Ada ta’zir,  bagi anak santri dalam bentuk, dicukur rambut,
[7]  setelah itu tubuh mereka dibasahkan, dengan air bau tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Kemudian  berdiri semalaman. “Ritual” itu  mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka.

Ta’zir dijatuhkan  kepada santri yang melanggar aturan pondok pesantren. Ta’zir di sini lebih diartikan sebagai bentuk hukuman yang berupa kekerasan fisik. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung kebijakan masing-masing pesantren. Budaya ini menjadi begitu membumi di kalangan pesantren. Mengamati fenomena tersebut, ada satu kekhawatiran, jika kemudian tradisi itu berlanjut sampai sekarang. Sebuah institusi pendidikan, apalagi sebuah pesantren yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai luhur pada masyarakat sudah tidak sepantasnya melakukan tindakan yang menurut penulis lebih mengarah pada tindakan yang anarkis. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana mengubah tradisi tersebut menjadi satu hal yang lebih mendidik dan “humanis”, ini menyangkut dengan hukuman yang ditimpakan kepada mereka yang sudah tidak relevan lagi.

            Selain hal di atas, kenapa masyarakat di lingkungan madrsah dan pesantren masih banyak yang menggunakan cara tersebut? Tradisi ta’zir, hampir sama dengan budaya perpeloncoan,
[8] saat memasuki tahun ajaran baru bagi siswa sekolah yang sekarang sudah mulai ditinggalkan. Perpeloncoan kemudian diganti dengan cara-cara yang lebih arif  misalnya diskusi, olahraga dan permaian. Tampaknya masyarakat sudah bisa menilai bahwa  cara-cara tradisional seperti perpeloncoan merupakan cara yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendidik. Tapi hal itu tidak terjadi pada pondok pesantren. Adanya tradisi ta’zir yang sampai sekarang masih dilestarikan adalah satu bentuk-paling tidak menurut opini masyarakat adalah budaya feodal yang sampai saat ini masih berjalan.

 Menurut Siti Rofi'ah dar UIN Semarang, dari hasil pengamatannya terhadap beberapa (21) pesantren yang ada di Salatiga 17 di antaranya masih menggunakan cara ta’zir untuk menghukum santrinya. Ini menunjukkan bahwa cara tersebut masih sangat “diminati” dan dianggap sebagai cara yang ampuh serta efektif untuk mengatasi masalah pelanggaran yang dilakukan santri.

5.PenemuanMaknaSanksi Hukumdan Moral

           Landasan filosofis dari dibuatnya sebuah hukuman  adalah untuk membuat pelaku pelanggaran jera dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di sini  ta’zir sudah tidak mampu memenuhi hal itu. Bahkan dari informasi yang ada, para santri yang sudah pernah terkena ta’zir kebanyakan tidak menjadi jera,[9] bahkan malah menjadi semakin penasaran dan kebal dengan hukuman itu. Akhirnya tujuan hukuman itu sendiri tidak tercapai.

Untuk mengubahnya, dimulai pada persoalan yang mendasar, yaitu bagaimana tokoh-tokoh pembuat kebijakan dalam pesantren, para pengurus juga  santri, paling utama adalah Kyai sebagai tokoh sentral  pesantren, memahami esensi sebuah hukuman. Bagaimana efisiensinya terhadap obyek yang terkena hukuman, dalam hal ini adalah santri. Apakah  ta’zir  masih tepat dipertahankan, atau  menjadi tradisi  yang sia-sia ?

           Pada awalnya, ta’zir sangat efektif diberlakukan dalam sebuah pesantren, sampai-sampai banyak pesantren di Indonesia menggunakan cara ta’zir sebagai bentuk hukuman. Akan tetapi dalam konteks sekarang, dengan setting sosial yang berbeda, tampaknya masyarakat di lingkungan pesantren harus mempertimbangkan ulang perihal ta’zir tersebut. Persoalan seperti apa metode yang tepat untuk hukuman tergantung dari keadaan. Yang jelas menurut , hukuman dijatuhkan bukan hanya sebagai cara agar membuat kapok bagi pelanggar, akan tetapi lebih pada pembelajaran agar pelanggar tahu arti kesalahan yang dia perbuat dan mempunyai kesadaran agar tidak mengulanginya. Cara ini akan lebih indah dan menyentuh  dibandingkan cara-cara kasar yang hanya menjadikan fisik sebagai sasarannya.

Ta’zîr dalam pondok pesantren, perlu direformasi, karena begitu banyaknya santri yang tidak mentaati aturan-aturan yang berlaku dalam pondok pesantren. Setiap santri yang melakukan pelanggaran maka akan dita’zir sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan santri tersebut. Akan tetapi ada juga ta’zir yang diberikan santri tidak adil,[10] semisal ada santri yang melanggar aturan podok pesantren tetapi karena santri tersebut kenal atau teman dekat dengan si penta’zir maka ta’zir-an yang diberikan kepada santri tersebut lebih ringan dari pada santri yang tidak dekat dengan si penta’zir.        Kebanyakan santri saat ini ketika dita’zir akan semakin parah bisa juga santri balik mengancam, misalnya  melapor pada pihak berwajib. Tidak jarang juga santri-santri yang tidak melanggar aturan terkena imbasnya juga.
              Tidak patut pendidikan yang diberlakukan di negara ini, melanggar hukum yang sudah ditentukan. Jika dilihat dari hukum yang berlaku di negara ini,masih ada yang  melanggar HAM, karena terkadang ta’zir  yang diberikan kepada santri  tidak sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh santri tersebut. Misalnya ketika libur pondok telah usai dan saat kembali ke pondok santri yang terlambat akan dicukur gundul atau beli semen satu bal. Dan ada juga aturan-aturan tertentu di pondok pesantren yang bertolak belakang dengan negara RI, negara yang seperti apa HAM dan hukum dan aturan-aturan yang diberlakukan di dalamnya.[11]

Penulis berpendapat, hukuman fisik di madrasah dan sekolah, harus di-hapuskan. Kalau ada hukuman yang bersifat mendidik kenapa harus menggunakan hukuman dengan kekerasan, karena kebanyakan ta’zir yang menggunakan kekerasan  akan membuat santri lebih parah, tingkat pelanggarannya dan bisa juga santri-santri yang dita’zir menyimpan dendam. Karena apabila dilihat santri saat ini, terkadang tidak sadar bahwa ta’zir yang diberikan kepadanya itu bermaksud baik agar  kesalahan, tidak diulang kembali.
Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem penanganan korban konflik bullying di setiap sekolah.[12] Sistem ini akan mengakomodir bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban bullying.



















PANTUN INTI DISERTASI
CARA MEMUKUL YANG TIDAK MELANGGAR
                                  HAK ASASI MANUSIA                      
 

Pantun dan syair ini merupakan intisari dari disertasi penulis di program Doktor (S3) UIN Suska pekanbaru tahun 2015. Mengapa dirumuskan dalam bentuk pantun? Karena syair dan pantun tidak pernah membosankan untuk dibaca berulang-ulang.

Dara mencangkul tanah hitam,
Dikaki bukit, tiga belas
Cara memukul, sesuai HAM
Jangan sakit, jangan berbekas

Jatuh keparit, sebatang lilin,
Jatuh terkulai, dari atas
Memukul murid, tegakkan disiplin
Jangan sampai, melampaui batas

                                  Di dalam kolam, dasarnya pasir,
                                  Mandilah nyonya, adik beradik
                                  Didalam Islam, ada hukum ta’zir
                                  Tujuannya hanya, untuk mendidik


Sebuah taman, indah moderen,
Gelassajian, penampung hujan.
Jenis hukuman, di pesantren,
Atas perjanjian, dan persetujuan.

                                 


Buaya kadal, berenang perlahan,
          Dari permukaan, sampai ke dasar.
Budaya feodal, yang masih berjalan.
Memberi hukuman, bengis dan kasar

Cobalah tanam, kayu manis,
Tampaklah dahan, cabang delapan.
Ubahlah hukuman, menjadi humanis,
Campakkan yang tidak, lagi relevan.

Dikampung Terusan, banyak belokan,
Langkah tertahan, terjerembeb.
Kekerasan adalah,  budayaperpelancoan,
Sudah ditinggalkan, dunia beradab.

Membuat sambal, lada muda,
Terasa lezat, makan pagi.
Seting sosial, kini berbeda,
Hukuman bersifat, lebih manusiawi.

Burung belibis, penunggu taman,
Mengkilat bulunya, merah membara.
Landasan filosofis, suatu hukuman,
Membuat pelakunya, menjadi jera.

Kakaktua menggigil, diatas pohon,
Warna bulunya, putih polos.
Orangtua dipanggil, diberi peringatan,
Jika anaknya, selalu membolos.

Putih polos, kakaktua dipekan,
Kepalanya indah, bergaris-garis.
Muridnya membolos, walinya dipenjarakan,
Itulah aturan, berlaku di Inggeris.

Ikan temakul, ikan belanak,
Dikeringkan saja, diatas dahan.
Hindari memukul, wajah anak,
Karena wajah, puncak keindahan.























Rounded Rectangle: RIWAYAT HIDUP PENULIS





Drs.Mhd.Rakib,S.H.,M.Ag M.Ag

            31 Agustus 1959
                                          Lahirlah aku,  sendirian,
Anakketiga, dalamurutan,
Ibundabermimpi, lihatrembulan.

            Penulis lahir 56tahun yang lalu, di KualaKamparKabupaten Kampar, sekarang menjadi  Kabupaten Pelalawan. Tamat  SD dan Ibtida'iyah, di Penyalai, Kuala Kampar 1973 .Kemudian hijrah ke Airtiris Kampar yang jaraknya dari tempat lahir penulis, lebih kurang 500 Km, untuk masuk Tsanawwiyah di Airtiris, Kampar, Propinsi Riau, 1977 Dan juga Aliyah swasta di Airtiris, Kec. Kampar, 1980  Melanjutkan ke program Sarjana Lengkap “Drs” IAIN di Pekanbaru, 1988, menambah ilmu lagi sampai dapat  gelar Sarjana Hukum, “S.H” UIR di Pekanbaru, 1997, dilanjutkan ke program Magister Agama “M.Ag” S2 IAIN Pekanbaru, 2003
Pernah mengajar di SMA Negeri 4, SMA 02, SMA 12, SMU Plus / UnggulanProvinsi Riau, 1998-2000.Pekanbaru, Riau, 1985-1995Dan Fakultas Ekonomi UIR, Marpoyan, 1995-1997 Juga di ASM (Akademi Sekretaris, Manajemen) STIE,STIH, MengajarIlmu HukumDan IlmuPerbandingan Agama, pada Perguruan Tinggi Persada Bunda, Pekanbaru-Riau, semenjak tahun 1995, sampai sekarang.

Menjadi widyaiswara tetap padaLembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Prop. Riau, sejak tahun 2000, sampai-sekarang Ada sedikit prestasi, yaitu Juara Pidato Pemuda Nasional di Jakarta, 1983 Juara I Juga juara umum  pidato Idelogi Bung karno, se Riau,tahun 2004 .
Karya Tulis Lingkungan, Depdikbud,1995Juara I Karya Tulis Keberhasilan Guru, Jakarta, 1996

Tahun (2005) Penulis pernah kuliah di S3  Ilmu-ilmu Sosial Universitas Riau kerjasama dengan UGM, tapi gagal. Kuliah lagi S3 UI Depok Jakarta, tidak selesai. Kuliah lagi  S3di UniversityMalaya.Kuala Lumpur, Juga tidak selesai. Kuliah lagi S3 UNISEL, Selangor, tidak selesai. Akhirnya kuliah S3 lagi di  UIN Suska Riau di Pekanbaru, sejak 2008, masih berlangsung sampai saat ini. Alamat :  Jl. Bintara 13 D Labuhbaru Pekanbaru  0823 9038 1888





[1]Kecintaan kepada istri, tanpa disadari banyak menggiring suami ke bibir jurang petaka. Betapa banyak suami yang memusuhi orang tuanya demi membela istrinya. Betapa banyak suami yang berani menyeberangi batasan-batasan syariat karena terlalu menuruti keinginan istri. Malangnya, setelah hubungan kekerabatan berantakan, karir hancur, harta tak ada lagi yang tersisa, banyak suami yang belum juga menyadari kesalahannya. Ummu Ishaq Al-Atsariyyah) Majalah Asy-Syari’ah Edisi 027
[2]Asbabunnuzul ayat ini ialah: Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya, "Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir ayat." (Q.S. An-Nisa(4) 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat, "Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..."
[3]HM.QuraishShihabmenyatakan, walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem jarimahtersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak.KomentardaritafsiranQS. An-Nisa [4]: 34)
[4]Tafsir Ibn Katsir, Jilid 2, hlm. 295.
[5]HR. AbuDawud.
[6]HR. Ath-Thabrani.
[7]Kepala anak-anak yang dicukur dengan acak-acakan, setelah itu tubuh mereka basah kuyup dengan bau yang tidak sedap. Mereka disiram air comberan. Tak cukup sampai disitu, mereka masih harus berdiri semalaman. “Ritual” itu harus mereka jalankan untuk “menebus” kesalahan yang mereka perbuat. Itulah  sedikit menggambarkan bagaimana para santri menjadi “korban” dari sebuah sistem, sebuah tradisi, yang sampai sekarang masih banyak terjadi di kalangan beberapa pondok pesantren. Tradisi itu adalah ta’zîr.
[8]Lihat Baharits,A.H.S.Tanggung  Jawab  Ayah  Terhadap  Anak  Laki-Laki.(Jakrta: Gema Insani Press. 1996), hlm 49 , bahwa walaupun tidak menutup kemungkinan sudah ada pesantren yang tidak menggunakan sistem tersebut, atau paling tidak sudah mengganti bentuk hukumannya dengan hukuman yang lebih mendidik, akan tetapi dari data yang ada pesantren yang menggunakan cara itu masih banyak. Apa saja dampak kekerasan pada siswa? Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu: 1.Kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka. 2.Trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri, inferior, stress, depresi..Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap. 3.Siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut, merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama teman. Bisa jadimerekajadisulitmempercayai orang lain, dan semakinmenutupdiri dari pergaulan. 4.Hukumanfisikbiasanyadijalankanoleh guru di bawahkondisitekananemosional yang dipicuolehperilakumurid. Akibatlangsungpadapendidiksesudahmelaksanakanhukumanfisikyaitunaiknyatekanandarah, disusuldenganturunnyaketeganganemosi. Inisebenarnyatimbul dari kehendaknyasendiri, self reinforced. Si guru akan berkata “Sekarangakusudahmerasabaiklagi”. Situasiinimenuntutkendali-diripendidik demi kepentinganjangkapanjangpesertadidik. 5.Murid yang mengalamihukumanfisik akan memakaikekerasan di keluarganya nanti, sehinggasikluskekerasanmakinkuat. Gershoff, yang menelitikasusiniselama 60 tahunsejak 1938, menemukansejumlahperilakunegatifakibat dari kekerasan, sepertiperilakubermasalahdalamagresi, anti-sosial, dan gangguankesehatan mental. Kekerasantidakmengajarmuriduntuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidakmenghentikanperilakukelirujikamereka ada di luarpantauanorangtua dan guru (Ad hoc Corporal PunishmentCommittee (2003) 6.Murid itu, sebagaikorban, kehilanganhaknyaataspendidikan, dan haknyauntukbebas dari segalabentukkekerasanfiisik dan mental yang tidakmanusiawi. Martabatmerekadirendahkan. Pertumbuhan dan perkembangandirimerekadihambat.

[9]J.J. Hasibuan,Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Remaja Karya 1988), hlm 224.
[10]Di zaman yang sudah berubah ini tentu ta’zîr bukan cara utama untuk mendidik santri saat ini, berbeda dengan santri-santri yang dahulu, jika santri dahulu dita’zir maka santri tersebut bisa menerima dengan ikhlas, karena sadar memang perbuatannya itu salah dan si penta’zir dahulu memang benar-benar adil tanpa pilih kasih. Lihat Masjfuk Zuhdi, op.cit, hlm.  291.
[11]Beni Ahmad Saebani, FilsafatHukum Islam, Bandung,CV.PustakaSetia, 2008), 129.
[12]Anak sekolah membolos apa hukumanya?  Paling tidak, pemanggilan orang tua murid ke sekolah dan diberi pengarahan, ujung-ujungnya paling parah adalah skors. Tapi di Inggris, murid membolos sekolah, orang tua dipenjarakan. Sudah lebih dari 11.000 orang tua di Inggris mendapatkan sanksi karena membiarkan anak mereka bolos sekolah. Hukum ini diberlakukan oleh pemerintah Inggris bahkan pemerintah setempat masih menganggap hukum ini terlalu ringan, lebih fantastis lagi mereka akan memperketat peraturan tentang bolos sekolah ini, seperti yang dikutip dari vivanews.com. Dilansir laman The Guardian, Selasa 8 November 2011, terdapat 11.757 orang tua yang dihukum karena ketidakhadiran anak mereka di sekolah. Angka ini meningkat dari tahun lalu di mana 11.188 orangtua dijatuhi sanksi serupa.Sebanyak 25 orangtua di antaranya dihukum penjara, dengan vonis terlama 90 hari. Sejumlah 9.000 orang divonis bersalah dan dua pertiga di antaranya dijatuhi denda. Denda maksimal untuk kejahatan ini adalah 850 poundsterling atau sekitar Rp12 juta. Lebih dari 400 orangtua mendapatkan hukuman kerja sosial, dan 53 lainnya ditangguhkan hukumannya.Jumlah orangtua yang dihukum akibat anak yang membolos di Inggris dari tahun ke tahun bertambah jumlahnya. Pada tahun 2005, tercatat hanya 4.000 orangtua yang dihukum. Jumlah orangtua yang dipenjara konstan, sekitar 15 hingga 20-an.LihatjugaIslamPos, Jumat 28 Syawal 1436 / 14 Agustus 2015 03:00.

Komentar Facebook