PERAYAAN MAULID
Catatan Kecil Rakib Jamari Riau
Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani yang wafat pada 29 Oktober 2004. Bagi ulama yang akrab dikenal dengan panggilan Syekh Maliki tersebut, masalah boleh ataupun tidaknya peringatan Maulid Nabi adalah persoalan khilafiyah dan tidak termasuk kategori perkara prinsipil (ushul) dalam agama.
Namun demikian, atas desakan dan permintaan dari berbagai
koleganya, ia pun lantas tergerak mengarang sebuah risalah yang diberi judul
Haula al-Ikhtifal Bidzikra al-Maulid an-Nabawi as-Syarif.
Dikutip dari Ulama terkemuka, Alwi al-Maliki itu menyebutkan
sebanyak 21 poin argumentasi yang memperkuat pendapatnya tentang hukum
diperbolehkannya maulid. Di antara dalil yang dipaparkan Syeikh pertama adalah :
1.
Sebuah
hadis yang diriwayatkan Muslim dalam kitab Shahih-nya. Hadis dari Abu Qatadah
itu menegaskan bahwa latar belakang puasa yang dijalani Rasulullah setiap hari
Senin adalah ungkapan rasa syukur Rasulullah.
2.
Nabi
SAW bersabda, Hari itulah (Senin) saya dilahirkan dan diutus. Mengomentari
hadis ini, Syekh mengatakan teks ini bermakna merayakan maulid sekalipun bentuk
dan modelnya, seperti berkumpul untuk bershalawat atas Nabi, mendengarkan
pujian, dan saling berbagi, tetapi inti dan maksudnya sama, yaitu memperingati
maulid.
3.
Syekh
Maliki yaitu anjuran mengungkapkan rasa kebahagiaan terhadap kedatangan
Rasulullah seperti yang diajarkan dalam Alquran surah Yunus ayat 58:
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan.”
4.
Menurut
analisis Syeikh Maliki, Allah menyerukan umat manusia agar bergembira dengan
rahmat yang telah diberikan.
5.
Kehadiran
Rasulullah ke muka bumi adalah rahmat yang terbesar bagi seluruh alam.
Karenanya, dalam surah lain dijelaskan bahwa Rasulullah diutus tak lain sebagai
rahmat bagi seluruh alam. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiyaa [21] : 107)
6.
Dalam
dalil berikutnya, menurut Syekh Maliki, Rasulullah memperingati beberapa
peristiwa yang berkaitan dengan agama di masa silam. Salah satunya adalah
peringatan hari Asyura’. Sebuah hadis sahih menyebutkan tatkala Rasulullah
sampai di Madinah dan melihat kaum Yahudi berpuasa Asyura, Rasulullah bertanya
tentang alasan mereka melaksanakan puasa itu. Setelah memperoleh penjelasan
bahwa maksud berpuasa di hari Asyura adalah sebagai tanda syukur karena Allah
menyelamatkan Musa dan menenggelamkan musuhnya pada hari Asyura, Rasulullah pun
mengatakan: Kita lebih berhak atas (mengenang Musa) daripada kalian. Rasulullah
lantas berpuasa Asyura dan menganjurkan umatnya turut berpuasa pula.
7.
Syekh
Maliki juga memberikan catatan-catatan seputar peringatan Maulid Nabi. Perayaan
maulid tak jarang berlangsung berlebihan yang justru menghilangkan esensi
maulid itu sendiri. Ini yang kerap disalahpahami oleh kalangan yang
anti-Maulid. Bentuk perayaan yang dilakukan oleh sejumlah pihak dan dinilai
berlebihan itu sering digeneralisasi lalu membuat kesimpulan yang jauh dari
objektivitas.
8.
Penegasan
bahwasanya hukum merayakan maulid diperbolehkan dengan ragam ritual yang sarat
dengan nilai, yaitu berkumpul untuk mendengarkan sirah Nabi, pujian-pujian atas
keagungannya, memberikan makanan dan berbagi kebahagian kepada sesama umat.
9.
Sekalipun
hukum maulid diperbolehkan, tidak ada ketentuan yang mengharuskan waktu
perayaan bersifat temporal terbatas pada satu waktu. Artinya, semestinya
peringatan maulid pada dasarnya tidak dilakukan secara terbatas pada tahun,
bulan, ataupun hari tertentu saja.
10.
Menurut
Syekh Maliki, keharusan mengenang dan mencintai Rasulullah adalah sepanjang
zaman. Maka, di sinilah—jika ditelusuri lebih jauh lagi —adalah satu dari
sekian titik kesepakatan Syekh dengan kubu yang kontra terhadap peringatan
maulid Nabi.
No comments:
Post a Comment