at-Tasyri’
al-Jinai fi al-Islam, Ustadz Abdul Qadir Audah menulis,
“Ketika saya membandingkan antara undang-undang yang kita gunakan pada masa ini
dengan syariat, maka saya sesungguhnya sedang membandingkan antara
undang-undang yang berubah, berkembang dan berjalan sangat cepat menuju
kesempurnaan sehingga nyaris sampai pada batas kesempurnaan — sebagaimana yang
mereka katakan — dengan syariat yang turun sejak 13 abad silam dan tidak
mengalami perubahan sejak dahulu dan takkan berubah atau tergantikan hingga
masa yang akan datang. Syariat yang pada tabiatnya takkan mengalami perubahan
dan revisi, karena ia datang dari Allah, dan tidak ada perubahan pada kalimat
Allah. Karena syariat itu juga berasal Kalam Allah yang menyempurnakan segala
sesuatu. Dan segala sesuatu yang diciptakannya tidak lagi membutuhkan penyempurnaan
dari ciptaan-Nya.
Ketika
kita sedang membandingkan kedua hal itu, maka kita sesungguhnya sedang membandingkan
antara pendapat dan teori terbaru dalam undang-undang dengan yang lama dalam
syariat. Atau kita sedang membandingkan antara yang baru yang dapat berubah dan
direvisi dengan yang lama yang tidak dapat menerima perubahan dan revisi.
Usia Anak Menurut Fiqih
Hukum Islam
(Fiqih) mengatur batas umur seseorang
untuk dapat disebut dewasa dan mampu dari segi fisiknya saja. Lebih jelas
ukurannya/kriterianya dewasa menurut Islam adalah sudah akil baligh yaitu adanya tanda-tanda
tertentu seperti laki-laki sudah bermimpi basah dan wanita sudah haid.[1]
Dalam Kompilasi Hukum
Islam ada aturan secara khusus masalah batas umur untuk dapat dikatakan dewasa dan bisa melalkukan perkawinan bagi orang
Islam yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang menegaskan bahwa untuk kemaslahatan
keluarga dan
rumah tangga. Perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah
ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.[2]
Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah
bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan mani) itu tidak dinyatakan
dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun. Sedang dalam riwayat lain
yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun. Dari penjelasan di atas
terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia anak dari pada ihtilâm
itu sendiri.[3] Kewajiban Menafkahkan Anak Seorang ayah wajib memberi nafkah sampai anak itu dewasa yakni berusia menimal
21 tahun, Walaupun
dia sudah bercerai dengan ibu si anak. Dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) Pasal 156 Bab 17 tentang Akibat,
sekalipun putusnya perkawinan, dinyatakan bahwa:
Semua
biaya hadhanah dan nafkah anak
menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai
anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan
mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan
mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.[4]
Para ulama sepakat (ijmak) atas
wajibnya menafkahi anak. Dalil yang dijadikan dasar hukum adalah Al Quran Surat
Al-Baqarah 2:33:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ......
Kewajiban ayah menanggung nafkah dan
pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf).[5]
Kewajiban membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut Hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun.[6] Kalau anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak. Wajibnya memberi nafkah anak perempuan walaupun dewasa sebagian besar ulama fiqih mengatakan wajib memberi nafkah sampai anak wanita menikah. Argumennya adalah karena anak perempuan tidak atau belum mampu bekerja.[7]
Implementasi perlindungan anak dalam kajian fiqh,[8]
terealisasi dalam tiga bentuk, yang
ketiganya bertujuan untuk memelihara kemaslahatan anak sebagai salah satu tujuan syari’at,[9] yakni memelihara keturunan, yaitu:
Pertama, dalam bentuk hadhanah, yaitu merawat dan
mendidik orang yang belum Mumayyis ,
atau orang yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka belum bisa mengerjakan
keperluan diri sendiri. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum merawat dan mendidik
anak adalah wajib, karena apabila anak yang belum dewasa tidak dirawat dan
didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa
menjurus kepada kehilangannyawa.Perlindungan
dan pemeliharaan anak dalam hadanah dibebankan
kepada keluarganya terutama kedua orang tuanya. Ulama fiqh berbeda pendapat
dalam menentukan siapa yang memiliki hak
hadanah. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan
mendidik anak merupakan hak ibu atau yang mewakilinya, ia boleh menggugurkan
haknya itu sekalipun tanpa imbalan. Akan tetapi, menurut jumhur ulama hadanah menjadi
hak bersama, antara kedua orang tua dan
anak. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hak hadanah itu
hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara
ketiganya, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.[10]
Kedua, dalam bentuk anak pungut (anak asuh). Bagi orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, setelah
anak itu lahir, diletakkannya (dibuang) pada suatu tempat, dengan harapan
supaya dapat dipungut orang lain. Bagi orang yang menemukannya wajib
memungut (membawa) anak itu. Apakah anak
itu akan dirawatnya sendiri atau dirawat orang lain.[11]
Ketiga, dalam bentuk anak
angkat. Mahmud Syaltut, dalam Ensiklopedi Hukum Islam mengemukakan bahwa setidaknya ada dua
pengertian“pengangkatan anak.” Pertama, mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik
dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung”
kepadanya. Akan tetapi ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak
sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi
status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan
(nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta
hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya
itu.[12]
4.
Kekerasan Terhadap Anak Menurut Pandangan Islam
Kekerasan terhadap anak ialah berbuat zalim
terhadap anak, yaitu memberikan hukuman yang melampaui batas[13]
yang telah ditetapkan, karena istilah tindakan kekerasan hanya jika mengarah kepada balasan yang tidak setimpal, yang dikenal dengan kata Al-Baghy. Kata al-baghy,
terdapat pada Qur’an
Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.[14]
Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[15]
Dalam kaitannya dengan menghukum anak, secara umum ayat ini,
al-Qur'an melarang melakukan tindakan yang melampaui batas, sebab
menurut al-Ashfahani, al-baghy
berarti melampaui batas kewajaran.[16] Kemudian dalam arti
yang sama, kata tughyan,
terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
Maka
tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan
(juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.
Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.[17]
Kata
thughyan digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas.[18] Demikian pula orangtua atau guru
bertindak zalim dikategorikan dengan thaghut. Sikap ini sangat dikecam
oleh al-Qur'an seperti pada QS. al-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan
keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin). Pakar
tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan tathghaw pada QS. Hud [11]: 112 mencakup larangan untuk melakukan segala
bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut mengandung
perintah untuk pencapaian kemaslahatan
melalui sikap konsisten pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai
kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[19]
Istilah
lain yang juga dapat diartikan kekerasan
ialah Al-Zhulm yang disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak 315 kali.[20] Pengertiannya yang
populer seperti yang terdapat dalam Mu'jam
Alfdzh al-Qur'an al-Karim, melakukan
sesuatu tidak pada tempatnya, baik karena berlebih atau kurang. Karena itu menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm,
dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk
kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan
antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. al-Syura
[42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS.Al- Fathir [35]:
32).[21]
Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarīmah
menurut Islam adalah pertama pencegahan
serta pembalasan (ar-rad’u wa az-zajru)
dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-işlāh
wa al-tahżīb). Pelaksanaan pidana penjara di Islam termasuk dalam kategori
hukuman ta’zīr karena di dalam
al-Qur’ān memang tidak mengatur tentang pidana penjara. Hal ini mengacu pada
pengertian tentang hukuman ta’zīr bahwa
hukuman atas jarīmah yang hukumannya
belum di tentukan oleh syara’ disebut sebagai hukum ta’zīr. Sehingga pedoman pelaksanaan umum untuk hukuman penjara sebagai
ta’zīr, diserahkan kepada ijtihad
hakim dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarīmah, pelaku, tempat, waktu,
dan situasi ketika jarīmah itu tejadi.[22]
5.
Delinkuensi Dalam Pandangan Islam
Delinkuensi artinya kenakalan, diartikan sebagai perilaku anak yang
nakal bahkan cenderung kepada melanggar hukum. Banyak penyebab terjadinya
perilaku delinkuen ini. Berdasarkan beberapa sumber yang penulis paparkan
ternyata pemberian hukuman fisik pada anak di sekolah bukan faktor utama
perilaku delinkuen remaja. Delinkuensi[23] dalam pandangan fiqh anak-anak perlu mendapat
perhatian khusus, berupa pembinaan, pendidikan, dan perlindungan hukum.
Anak-anak termasuk golongan orang lemah dari segala aspek. Oleh karena itu,
perlindungan yang diberikan kepadanya melebihi perlindungan terhadap orang
dewasa.[24]
Hukuman yang diberikan terhadap orang yang
melakukan kejahatan pada anak-anak dapat diperberat, mengingat kondisi
anak-anak yang lemah, sehingga seharusnya lebih dilindungi. Apapun yang
dilakukan oleh anak-anak belum dikenai beban hukum. Sehingga kalaupun anak itu
diberikan sanksi, maka sanksinya harus bersifat pendidikan, tidak melampaui
batas kemampuan anak, dan harus mempertimbangkan efeknya terhadap perkembangan
jiwa anak. Konsep dan Implementasi perlindungan anak dalam fiqh dilakukan dalam
bentuk hadanah, anak angkat, dan anak asuh (pungut), serta berbagai proses dan
pemberian hukum kepada anak yang lebih bersifat pendidikan.[25]
6. Hukum Islam Tentang Sanksi Terhadap Anak
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[26] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[27]
Sanksi dalam Islam Hukum Islam disebut al-‘Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[26] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[27]
Pada
dasarnya Hukum Islam menyatakan hukuman fisik
adalah berbahaya dan terlarang, buktinya Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Orang yang cerdas dapat dibimbing dengan
kelembutan; hanya binatang yang tak dapat diperbaiki tanpa pemukulan. Kemudian Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Siapapun yang mencambuk
orang lain sekali, Allah akan hujankan cambukan yang menyakitkan (berapi)
kepadanya, bahkan Rasulullah saw bersabda, “Gunakanlah
cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan membina, dan jangan menggunakan
kekejaman. Sebab, seorang penasihat yang bijak adalah lebih baik ketimbang
seorang yang kejam.”[292]
Hukuman
fisik bisa
mendatangkan bahaya dalam mendidik anak-anak dan
harus dihindarkan. Akan tetapi, jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki
anak, gunakan ini sebagai cara terakhir bila terpaksa. Islam juga mengizinkan
ini dalam kondisi tertentu. Rasulullah
saw bersabda, “Mintalah anak-anakmu untuk mulai melaksanakan shalat pada usia
enam tahun. Jika dia tak mendengarkan peringatanmu yang berulang-ulang, engkau
boleh memukul mereka agar terbiasa melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh
tahun.”[294]
Ali
bin Abi
Thalib berkata, “Sebagaimana engkau menegur
anakmu sendiri, engkau dapat menegur seorang anak yatim. Dan pada saat di mana
engkau mungkin memukul anakmu, pada saat yang sama engkau dapat memukul anak
yatim. Jika budakmu tidak taat kepada
Allah, pukullah ia. Jika ia tidak menaatimu, maafkanlah ia.”[297]
[4]M. Azil
Maskur, Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Menurut
catatan UNICEF, pada tahun 2000 ada 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku
tindak pidana, sedangkan pada bulan Januari-Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan
anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dan lebih
menyedihkan lagi, sebagian besar (84,2%). Kemudian di sisi lain, kejahatan orangtua
ialah memaki
dan menghina anak. Bagaimana orang tua dikatakan
menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan
memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan
teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si
anak dengan nama yang buruk.
[6] Bandingkan
dengan kasus di bawah umur menurut Tempo.Co , Pekanbaru: Boris
Yusman Telaubanua, ayah bocah terpidana mati Yusman Telaumbanua, memastikan anaknya
masih berusia 16 tahun, saat dituduh melakukan pembunuhan berencana pada 24
April 2012. Yusman merupakan anak ke dua dari lima bersaudara kelahiran 5
Agustus 1996. “Surat baptis saat kelahirannya pun masih ada,” kata Boris
Yusman, saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Maret 2015.Pengadilan Negeri
Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara memvonis mati Yusman Telaumbanua, bersama
Rasulah Hia, pada 21 Mei 2013 lalu. Keduanya kini mendekam di Lapas Batu,
Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.Yusman dan Rasulah divonis atas kasus
pembunuhan berencana terhadap Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br.
Haloho, pada 24 April 2012.Namun Boris mengaku belum memegang surat baptis yang
menguatkan bukti tanggal kelahiran Yusman. Surat baptis tersebut tertinggal di
Desa Hiliongeka, Nias. Meski demikian, dia sudah meminta kepala desa setempat
untuk mencarikan keberadaan surat baptis itu. “Surat itu sudah ada, tapi belum
saya terima,” ujarnya.Saat ini Boris sudah memboyong seluruh keluarganya ke
Desa Tambusai Timur, Kecamatan Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Ia bekerja di
perusahaan perkebunan PT Torus Ganda, Afdeling 6.
[8]Harun Zaini, Qaidah
Fiqhiyyah Suatu Pengantar,bahwa definisi Fiqih: Mengetahui hukum-hukum syara’ yang
bersifat amaliyah (Perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari
dalili-dalilnya yang tafshili.Himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat
amaliyah (perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari dalili-dalilnya
tang tafshili. Perbedaan-perbedaan yang ada antara
Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah: 1).Obyek
Qowaid Ushuliyah adalah dalil hukum, sedang Qowaid Fiqihiyah adalah perbuatan
mukallaf. 2).Ketentuan
Qowaid Ushuliyah berlaku bagi seluruh bagiannya (juziyahnya) sedangkan Qowaid
Fiqihiyah berlaku pada sebagian besar (Aghlabiah)
juziyahnya. 3) Qowaid Ushuliyah
sebagai sarana istimbats hukum, sedangakan Qowaid Fiqihiyah sebagai usaha
menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman
fiqih.
| Volume 10 Nomor 1 Mei 2010 ), hlm 112
[13] Abdul
Hamid Hakim, as-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra, 1980), hlm. 82.Kaidah
ketujuh
در المفاسد
اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
Menolak
kerusakan lebih diutamakan dari pada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila
berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak
mafsadahnya”. Kaidah kedelapan إِذَاتعارَضَ
مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ “Apabila dua mafsadah
bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih
yang lebih ringan madharatnya”.
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
(Bengkulu, 2011), hlm 9
TA’ZIR HUKUMAN UNTUK ANAK-ANAK
M.Rakib
Pekanbaru Riau Indonesia 2015
Hukuman
untuk, anak-anak
Membantunya,
agar tidak terhenyak
Lupa
diri, berbuat asal enak
Padahal
melakukan perbuatan merusak
Hukum
Pidana Islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan
diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
Walaupun dalam kenyataannya, masih
banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana
islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya
disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini
pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan
hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang
meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang
digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan
Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan
oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat
diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan
nasnya dalam Al-Qur’an. Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan
diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di
tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di
tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan
dengan hukum Allah swt.
Masalah
1.
Bagaimana jarimah ta’zir untuk anak-anak?
2.
Apa dasar
hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
3.
Apa saja
hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
Manfaat dan Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.
Untuk
mengetahui dan memahami apasaja dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir.
3.
Untuk
mengetahui dan memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir.
Pemahaman ta’zir
Ta’zir berasal dari kata “azzara”
yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan
menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.[1] Dari pengertian tersebut
yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan
pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak
mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir
dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan
jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai
dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah [2] dan Wa dan Wahbah Zuhaili [3].
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi
sebagai berikut :
والّتعزير تأ
د ب على ذنوب
لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas
perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.[4]
Dari definisi yang dikemukakan
diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha,
jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah
ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk
jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami
bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak
dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada
penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya
atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.
B. HUKUM DISYARI’ATKAN JARIMAH TA’ZIR
1.
Ta`zir
adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan
oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum
ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan.
Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya
yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2.
Dalam
menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai
dengan prinsip syar'i.
3.
Bentuk
sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa
dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk,
hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk
barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan,
ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
4.
Lihat QS.
Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
QS.
Al-Maidah: 12
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan
telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman:
"Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat
dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka
dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan
menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang
mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu
sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS.
Al-Maidah: 12)
Ø QS.
Al-A’raf: 157
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al
Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”( QS. Al-A’raf: 157)
Disamping itu dilihat dari segi
dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
sebagai berikut:
1.
Jarimah
ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi
syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang
tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.
Jarimah
ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum
ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.
Jarimah
ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis
ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin
pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[5]
C. HADITS-HADITS
YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM TA’ZIR
1. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول
الله صلى الله عليه و سلم يقول : لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من
حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu
Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda :
“Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang
telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan
sebagainya.” (Riwayat Muslim)[6]
Substansi:
a.
Untuk selain
dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum
pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.
Ini berarti
hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan
hakim.
c.
Orang yang dikenakan
hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat
dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman
ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena
mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian
hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah
ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti
dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul
yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar
hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan
lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan
lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud
(Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut
pertimbangan hakim muslim.[7]
d.
Yang
dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah
ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk
perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus
dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang
dilakukannya.[8]
2. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى
هيئا ت عسراتهم الا الحدود.
(رواه احمد ابو داوود و
النسائي و البيها قي)
Artinya: Dari ‘Aisyah
bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang
baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [9]
Substansi:
Maksudnya, bahwa orang-orang baik,
orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal,
ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah
berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya,
tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada
mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan
mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal
itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya
dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada
petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[10]
Adapun tindakan sahabat yang dapat
dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan
Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan
seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah
Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”[11]
3. Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عن بهز ابن
حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى التهمة (رواه ابو
داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم)
Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa
Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits
diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan
oleh Hakim).[12]
Substansi:
Hadits ini menjelaskan tentang
tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan
tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena suatu tuduhan” itu
menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman,
juga sebagai membersihkan diri.[13]
D. JENIS-JENIS
HUKUMAN TA’ZIR
Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara
umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing-
masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing
jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat- beratnya. Jenis-jenis
hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat
mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota
badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan
pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman
mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan
pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan
hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis
yang berbahaya. Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari
aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan
seluruhnya kepada hakim.
2. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman
yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan fuqoha‟
terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut
pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan
kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat
dan atas dasar berat ringannya jarimah.
3. Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan
pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan
tidak terbatas. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman
ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟
Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama
lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman
kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak
ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan
berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang
yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang
berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4. Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah),
dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir.
Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului
dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak
dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan
menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha
tidak lebih dari tiga hari.
5. Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang
disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman
pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu
Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan
selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah
surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
’n?tãur ÏpsW»n=¨W9$# šúïÏ%©!$# (#qàÿÏk=äz #Ó¨Lym #sŒÎ) ôMs%$|Ê ãNÍköŽn=tã ÞÚö‘F{$# $yJÎ ôMt6ãmu‘ ôMs%$|Êur óOÎgøŠn=tæ óOßgÝ¡àÿRr& (#þq‘Zsßur br& žw r'yfù=tB z`ÏB «!$# HwÎ) Ïmø‹s9Î) ¢OèO z>$s? óOÎgøŠn=tæ (#þqçqçFu‹Ï9 4 ¨bÎ) ©!$# uqèd Ü>#§qG9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÊÑÈ
Artinya: “Dan
terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh
mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka
mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan
menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”(Q.S. At-Taubah: 118)
6. Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan
membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk,
dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi
tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang
hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah
dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain
dengan menghinakan ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at
Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil.
Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang
berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
7. Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara
lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya
didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang
sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap
orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa
denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta‟zir yang umum, tapi
sebagian lainnya tidak sependapat.
E. PENDAPAT
IMAM MAZHAB
1.
Tersebut di
dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan
memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan
memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai
penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr.
Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut
pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14]
2.
Adapun Imam
Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian
singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian
kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau
definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1.
Kita dapat
menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling
ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat
kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2.
Rasulullah
melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah
ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya
oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk
mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.
B.
SARAN
Menurut
pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan
maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya.
Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam
syariat. Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang
diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai
yang berat. Hukum Ta’zir dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah
adalah hukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah
hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive. Sehingga dapat mewujudkan
kehidupan yang aman, damai dan tentram.
DAFTAR
PUSTAKA
Shan’Ani ASH, Subulus Salam,
jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim
3, Jakarta : Widjaya, 1983
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam,
Jakarta: Sinar Grafika Offset.
2005, Cet.II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi
Hadis-Hadis Hukum, jilid
9, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra. 2001, Cet III
Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits
Shahih Muslim, Surabaya : Al-
Ikhlas, 1987
Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.
Terj. Ahmad Ikhwani,dkk,
Jakarta : Gema Insani, 2005
[1 ] Ibrahim Unais, et. al.,
Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar
Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa tahun, hlm. 598.
[2] dan Wa Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I,
Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.
[3] Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus,
1989, hlm. 197.
[4] Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar
Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5] Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar
Grafika, 2005. Hlm. 255
[6] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3,
Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[7] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih
Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[8] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh.
Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[9] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram,
Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[10] Ash.Shan’Ani, Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas,
hlm. 158
[11] Abd Al-Qadir Audah, I, op. cit., hlm. 155-156
[12] Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX,
PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,
hlm. 202.
[13] Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Authar, Juz VI, PT Bina Ilmu,
Surabaya, 2005, hlm. 2662-2663
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah
Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya
Tauhid Press, Hal. 76
No comments:
Post a Comment