Wednesday, October 29, 2014

Pukul anak, ada hikmahnya tuan, Asalkan saja, jangan berlebihan.



M.Rakib LPMP  Riau Indonesia  2014

Pukul anak, ada hikmahnya tuan,
Asalkan saja,  jangan berlebihan.
Ada hadits dan ayat Al-Qur'an,
Sesuai psikologi, yang punya keahlian.

MEMUKUL ANAK TIDAK SHALAT
ADA HIKMAH DAN MAQOSHID AL-SYARI’AHNYA
M.RAKIB    LPMP  RAIU  INDONESIA  2014

Hikmah pertama, supaya anak sampai hari tuanya mengingat bahwa shalat itusangat-sangat penting. Kedua, suapaya si anak jujur dan jentelmen mengakui kesalahnnya.2 supaya anak sampai dewasa mematuhi aturan hukum secara transparans, tidak menutup-nutupi untuk menghindarinya. Hasil renungan penulis ini, seperti ada kaitannya dengan hasil penelitian Marjori Gunnoe.

Nah jika ingin memukul anak, pertama tidak boleh menimbulkan bekas atau luka. Kedua, tidak memukul dengan keras dan Ketiga, tidak boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang.

“Orangtua tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan alat,” ujar
Marjorie Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (4/1/2010). Bagaimana memukul yang diperbolehkan? Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku sampai usianya 6 tahun. Berdasarkan hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat positif yang lebih baik diantaranya dalam hal akademis dan optimisme, dan tidak memiliki sifat negatif yang buruk. Tapi anak yang masih sering dipukul hingga usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian.
Penelitian itu juga menunjukkan anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta membantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orangtuanya. Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.

Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan merupakan cara mendidik anak yang salah.
Cara mendidik dengan memberikan tepukan ringan jika anak melakukan kesalahan sebaiknya juga diiringi dengan kata-kata positif agar anak tahu apa kesalahannya.
Jika tepukan ringan tersebut dilakukan dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, maka anak akan lebih mengerti dan juga membantunya untuk berprestasi disekolah serta lebih optimis.Tapi orangtua tidak boleh memukul anak di daerah wajah atau dengan menggunakan alat, karena bisa mengembangkan masalah-masalah perilaku atau mental seperti menjadi agresif.


http://health.detik.com/read/2010/01/04/134531/1271244/764/cara-memukul-anak-yang-dibolehkan
<p>Your browser does not support iframes.</p>

<p>Your browser does not support iframes.</p>



1. Pengertian Maqashid Syariah
Maqashid al-Syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Sebelum menjelaskan pengertian maqashid asy-syari’ah secara istilah terlebih dahulu dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi).
Secara bahasa, maqashid merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang ditujukan atau dimaksud.1 Secara akar bahasa, maqashid berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.2 Namun, dapat juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).3 Sebagaimana firman Allah SWT : “Wa’alallahi Qashdussabili”, yang artinya, Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.4
Sedangkan kata asy-syari’ah berasal dari kata syara’a as-syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau diambil dari asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan alat.5 Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a, yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan,6 dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan menunjukkan jalan. Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau peraturan.7
Jadi, secara bahasa syari’ah menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.8
Syariat adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual, beli, nikah, dan lain-lain). Allah SWT berfirman:
الامر من ىعه شر على جعلنا ثم
“kemudian kami jadikan kamu berada di atas sebuah syariat, peraturan dari urusan agama itu” (QS. al- Jatsiyah :18).9
Dengan mengetahui pengertian maqashid dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana menurut al-Syatibi tujuan dari pada maqashid asy-syari’ah adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.10
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa maqasid asy-syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari’ dalam setiap ketentuan hukum.11
Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid asy-syari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan  manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat,12 atau juga disebut dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak.13 Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan Allah kepada hambanya pasti terdapat hikmat,14 yaitu tujuan luhur yang ada di balik hukum.15
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid asy-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid asy-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT.16 Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah maqashid al-syari’ah ini diidentik dengan filsafat hukum islam.17

2. Mempertimbangkan antara Maqashid Syariah dan Detail-Detail Nash
Yang menjadikan keharusan di sini adalah mempertimbangkan antara dua hal yang sama-sama pentingnya, yaitu memelihara maqashid “tujuan” syariah yang menyeluruh (kulli) dan memelihara nushush yang parsial (juz’i).18
Kesimpulannya adalah bahwa tujuan syariat itu untuk mencapai kebaikan, maslahat bagi manusia, dan menghindari bahaya dan kerusakan mereka. Inilah tang menjadi pusat kajian Imam asy-Syatibi dalam kitab muwafaqat yang menjadikan ilmu dan pemahaman merupakan sebab ijtihat bukan hanya sekadar syarat. Ini pula yang kita terangkan yang dilakukan oleh para sahabat terutama Khulafaur-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah, Zaid bin Tsabit, dan lainnya.
3. Kategori Hukum (Maqashid asy-Syari’ah)
Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa tujuan utama dari maqashid asy syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan tiga kategori hukum yaitu antara lain :
a)    Daruriyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan yang mendesak atau darurat. Dalam kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan, yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara kehormatan dan keturunanan, serta memelihara harta benda. Dalam kebutuhan Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengancam keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.19
b)   Hajiyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Untuk menghilangkan kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsa (keringanan) yaitu hukum yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan tanpa rasa tertekan dan terkekang.20
c)    Tahsiniyyat
Secara bahasa berarti hal-hal penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula menimbulkan kesulitan.21
4. Unsur-Unsur yang Membentuk Maqashid Asy Syari’ah
Secara umum, tujuan-tujuan hukum dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yang luas.22 Dalam sub kategori yang pertama, Syatibi membahas maksud Tuhan yang sebenarnya dalam menetapkan hukum, dalam hal ini untuk melindungi kemaslahatan manusia (baik yang berkenaan dengan duniawi maupun agama). Sepanjang yang diakui oleh prinsip-prinsip dharuriyyah, hajiyah, takhsiniyyah. Dalam sub kategori yang kedua, Syatibi membicarakan tentang maksud Tuhan membuat syariat. Dengan demikian syariat mestilah dapat dipahami oleh orang awam dan tidak boleh dimengerti oleh kalangan tertentu. Jadi, tujuannya adalah agar orang-orang yang beriman dapat mengenali hukum Allah, karena jika mereka tidak mengerti bahasa yang digunakan oleh hukum itu, maka berarti mengabaikan hukum itu sendiri. Sub kategori yang ketiga cenderung mudah dipahami, dan pada sebagian besar dari tulisan bagian ini mengatakan bahwa dalam menurunkan hukumnya menghendaki agar umat Islam mematuhi peraturannya secara menyeluruh.
Begitulah semestinya pelanggaran atas hukum secara sengaja dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis pelanggarannya tersebut. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbuatan yang praktiknya melanggar hukum padahal niatnya tidak demikian. Tampak bahwa kehendak manusia dalam wacana Syatibi sejauh ini dijelaskan dengan menjadikan sufi sebagai contoh. Namun disini dia melajutkan diskusi tentang siasat hukum (biyal) dalam hubungan yang erat, ataupun tidak, antara kehendak Tuhan dan keinginan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa sasarannya kali ini berpindah dari kaum sufi kepada kelompok ahli fiqih yang dianggapnya telah bertindak berlebih-lebihan dalam menyepelekan hukum, barangkali dalam menyampaikan kritikannya pada para ahli fiqih tersebut. Ia berpendapat bahwa tujuan utama biyal adalah untuk mencegah berlakunya suatu hukum atau menggantinya dengan ketentuan yang lain agar tidak terjadi akibat yang tidak diinginkan oleh hukum.23
5. Norma-Norma Hukum Maqashid asy-Syari’ah
Pembahasannya pada perbuatan-perbuatan yang berkategori mubah, yang baik dilakukan ataupun tidak sama-sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala maupun dosa. Syatibi mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai mubah. Menurutnya perbuatan-perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yang masing-masing terbagi lagi menjadi dua sub-kategori.
Perbuatan itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan mejadi mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka perbuatan tersebut menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian memunculkan empat sub kategori, yaitu :
1)      Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi mandub.
2)      Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
3)      Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat menjadi makruh.
4)      Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas dapat menjadi haram.
Jadi, garis yang membedakan antara perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak adalah karena kadar dan frekuensi perbuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan yang mandub dan makruh dapat dianalisa dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang berstatus mandub, tetapi dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan secara rutin akan menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang dipandang makruh apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika terlalu sering dilakukannya.
Syatibi kemudian menambahkan norma yang kemudian dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hukum. Norma ini juga memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan makruh dan memperkenankan penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian menyebut norma ini sebagai ‘afw, sebuah konsep yang mewakili sesuatu yang belum atau tidak memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam hal telah memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa akan status hukum perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis nabi ‘afw: “orang yang paling bersalah adalah orng yang menanyakan tentang sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi dilarang setalah dinyatakan status hukumnya”.24
Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang jelas, maka perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu masalah belum memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak meminta pandangan seorang ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh pahala atau dosa.
Dalam masalah-masalah dimana norma hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti menjadikan dosa, apapun masalahnya selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan sebuah perbuatan yang dilarang karena lupa tidak mengakibatkan dosa.
Yang termasuk juga dalam kategori ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang berlaku yang dikenal dengan ‘azima dan rukhsah. Diperbolehkannya menggunakan rukhsah karena adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan kesulitan bukan hanya berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena ketidakmampuan pada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan.
6.  Tujuan Allah menurunkan syariat
Tujuan Allah Swt menurunkan syari’at menurut asy-Syatibi terbagi dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu :
a) Maksud Allah Swt dalam memberlakukan syari’at (qasdu al-syari’ fi wad’i al-syariah)
Dalam pembahasan ini imam Syatibi menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT memberlakukan syariah adalah untuk kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian ia membagi maslahat menjadi tiga bagian; yang pertama dharuriyah (primer), yang kedua hajiyah (sekunder), yang ketiga takhsiniyah (tertier).
Dharuriyah adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhirat. Jika tidak ada, maka bisa menyebabkan kehancuran dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dharuriyah ini, menurut penelitian, mencakup pada pemeliharaan terhadap lima hal; hizfhuddin (agama), hizfhunnafs (jiwa), hizfhunnasl (keturunan), hizfhunmaal (harta) dan hizfhun ‘aqal (akal).
Untuk menjaga hal-hal tersebut, imam Syatibi menawarkan dua cara pendekatan. Pertama dari sisi al-wujud (yang mengokohkan eksistensinya atau positif) dan al-‘adam (menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya atau bersifat preventif).
Sebagai contoh, pemeliharaan agama dari sisi positif dengan menetapkan kewajiban ibadah misalnya shalat, puasa, zakat, dan haji, serta dari sisi preventif dengan disyariatkannya jihad.
Kemudian hajiyah adalah sesuatu yang diperlukan keberadaannya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka akan membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai pada tahap kehancuran seperti yang pertama tadi. Misalnya boleh menqashar shalat dalam perjalanan.
Sementara takhsiniyah adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Contohnya menutup aurat dalam ibadah dan menjauhi makanan dan minuman yang haram dan bernajis.
Ketiga tingkatan di atas berderet secara urut. Artinya, ketika terjadi sebuah kasus pertentangan antara dharuriyah dan hajiyah atau takhsiniyah, maka yang diutamakan adalah yang dharuriyah. Misalnya shalat, ketika pada satu kasus tidak bisa menutup aurat maka shalatnya tetap harus dilakukan, dan tidak boleh menggugurkan shalat gara-gara tidak bisa menutup aurat. Namun dalam keadaan normal, tingkatan-tingkatan ini saling melengkapi, yang takhsiniyah melengkapi hajiyah, kemudian melengkapi dharuriyah.
Oleh karena itu, imam Syatibi kemudian menyimpulkan sebuah kaidah dharuriyah adalah asas bagi hajiyah dan takhsiniyah. Ketika dharuriyah gugur maka yang lainpun ikut gugur, tapi tidak sebaliknya, namun kadang-kadang gugurnya hajiyah dan takhsiniyah secara mutlak bisa mempengaruhi kualitas dharuriyah, karena itu hajiyah dan takhsiniyah perlu dipelihara untuk dharuriyah.
b) Tujuan Allah Swt menurunkan syari’at untuk bisa dipahami (qasdu al-syari’ fi wad’i al-syariah lil ifham)
Ada dua hal penting yang disinggung oleh imam Syatibi dalam pokok pembahasan ini. Yaitu syariah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, dan syariah ini bersifat ummiyyah. Oleh karena itu imam Syatibi mensyaratkan bagi orang yang ingin memahami syariah ini, maka ia harus memahaminya dari sudut pandang lisan Arab, dan bukan yang lain.
Sementara yang dimaksud dengan ummiyyah, imam Syatibi menjelaskan bahwa syariah ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan, tidak belajar ilmu apa-apa. “wal ummi mansubun ila al umm, wa huwa al baqi ‘ala ashli wiladati al umm lam yata’allam kitaban wa la ghairahu”. Atau secara sederhana, barangkali kita bisa mengatakan mereka disebut ummi karena pengetahuan mereka tidak pernah melampaui lingkungannya.
Hal ini tidak lain untuk menegaskan bahwa al Qur’an adalah mu’jizat yang turun dari Allah SWT dan bukan jiplakan atau kumpulan dari ilmu-ilmu dan agama yang ada di luar Arab, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengakui Nabi Muhammad Saw waktu itu.
c) Tujuan Allah Swt menurunkan syari’at untuk dijalankan (qasdu al-syari’ fi wad’i al-syariah li al taklif bi muqtadlaha)
Dalam pembahasan ini, imam Syatibi menyoroti dua hal; pertama taklif (pembebanan) di luar kemampuan, yang kedua taklif dengan yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan).
Yang pertama tidak terlalu ia jelaskan secara panjang lebar, sebab persoalan ini memang sudah jelas, setiap taklif di luar kemampuan manusia maka ia tidak sah karena tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Kemudian ia mengurai persoalan yang timbul pada nash-nash yang nampak diluar kemampuan manusia (seperti perintah untuk mencintai atau larangan marah) dengan melihat pengantarnya maupun dampaknya. Ketika misalnya syariat melarang marah pada hakekatnya bukan melarang marahnya, sebab marah adalah tabiat yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, tetapi yang dilarang adalah melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan atau hal-hal yang diakibatkan oleh marah seperti dendam pertengkaran dan sebagainya.
Sementara yang kedua yaitu taklif dengan ada unsur masyaqqahnya lebih ia terangkan secara agak panjang. Ia menjelaskan bahwa Allah memberlakukan taklif yang ada unsur masyaqqahnya bukan bermaksud untuk memberikan masyaqqah pada manusia, tapi meraih maslahah yang ada dibalik taklif tersebut. Oleh karena itu ia kemudian menegaskan seseorang tidak boleh melakukan aktifitas dengan masksud mencapai masyaqqahnya, karena hal ini bertentangan dengan tujuan kemudahan bagi manusia yang ada dalam syariat.
Lebih jauh ia memaparkan, pada dasarnya setiap aktifitas mengandung unsur masyaqqah di dalamnya, seperti shalat, haji, bekerja dan lain sebagainya. Namun masyaqqah itu pada umumnya masih bisa diterima dan dipikul oleh manusia, bahkan orang-orang yang menghindari aktifitas-aktifitas tersebut dengan dalih masyaqqah di dalamnya bisa dikategorikan ke dalam kelompok orang malas.
Ia juga memperhatikan bahwa kadang-kadang perasaan adanya masyaqqah ini secara tidak sadar muncul karena didorong oleh nafsu yang menentang melakukan perintah-perintah syariat, maka di sini ia mengingatkan bahwa termasuk tujuan Allah SWT memberlakukan syariat adalah supaya manusia tidak tertawan dan dikendalikan oleh nafsunya sehingga ia bisa menjadi hamba Allah SWT dengan baik.
Apabila masyaqqah yang ada ini sudah diluar kemampuan manusia umumnya atau memberatkan, maka syariat mentolelirnya dengan adanya rukhshah (keringanan) seperti yang terjadi pada orang yang sakit ketika ia tidak mampu untuk shalat berdiri, ia diperkenankan untuk duduk dan seterusnya. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini seimbang diantara terlalu berat dan terlalu ringan.
d) Tujuan Allah Swt menurunkan syari’at untuk semua hambanya (qasdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta ahkam al-syariah)
Dalam point pembahasan ini, imam Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini berlaku untuk semua hambanya, tidak ada pengecualian selain dengan sesuatu yang sudah digariskan oleh syariat.
Kemudian ia memaparkan lebih lanjut bahwa tujuan peletakan syariah adalah untuk membebaskan seorang hamba dari belenggu hawa nafsunya, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana halnya ia tidak bisa melepaskan diri dari predikat hambanya.
Dalam bahasanya imam Syatibi mengatakan: “al maqshad al syar’iy min wad’i al syariah ihraju al mukallaf ‘an da’iyati hawahu, hatta yakuna ‘abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu ‘abdan lillahi idltiraran”. Oleh karena itu ia kemudian menyimpulkan setiap amal yang didasari dorongan nafsu secara mutlak tanpa melihat perintahnya atau larangan maka ia mutlak tidak sah, karena amal yang seperti itu pasti dilandasi kepentingan-kepentingan terselubung yang tidak ada kaitannya dengan syariat.
Kemudian ia juga mencoba membahas tentang sebuah amal yang mengandung dua unsur di dalamnya; tunduk pada perintah Allah SWT dan nafsu, maka amal tersebut dihukumi sesuai dengan unsur yang paling dominan antara keduanya. Namun ia tidak lupa untuk buru-buru mengingatkan bahayanya mentolelir nafsu dalam diri manusia meskipun dalam aktifitas-aktifitas yang positif, karena ia bisa menjalar tanpa disadari sehingga pada akhirnya menguasai dirinya.
Sementara itu pada maqashid yang kedua, yaitu maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf), imam Syatibi berbicara mengenai peran sentral motif dan niat yang menjadi dasar dari sebuah amal. Niatlah yang menjadikan amal seorang hamba sah dan diterima atau tidak, niatlah yang bisa menjadikan amal sebagai ibadah atau sekedar amal biasa, menjadikan ia wajib atau sunnah dan seterusnya.
Ia lalu menyontohkan sebuah amal jika didasari motif yang berbeda konsekwensinya pun akan berbeda. Misalnya sujud, ia bisa membuat orang menjadi mukmin yang bertakwa atau bahkan kafir, kembali pada niatnya. Oleh karena itu imam Syatibi kemudian membuat beberapa kesimpulan menyangkut hal ini;
  1. Niat dan motif yang digerakkan oleh seorang hamba tidak boleh melenceng dari garis syariat.
  2. Siapapun yang dalam menjalankan perintah Allah SWT punya maksud lain tidak seperti yang dimaksudkan oleh syariat, maka amalnya batal.
Di sini kemudian muncul sebuah persolan, bagaimana bagi seorang hamba yang tidak mengetahui tujuan syariah dalam setiap syariatnya? Imam Syatibi kemudian memberi tiga solusi untuk mengatasi persoalan ini;
  1. Dalam melakukan amal yang diperintahkan, seorang hamba harus berupaya sebisa mungkin menyesuaikan maksudnya dengan tujuan syariat, jika ia telah yakin maksudnya selaras dengan tujuan syariat, ia tetap tidak boleh menyingkirkan unsur ta’abbud (beribadah) kepada Allah SWT, sehingga ia tidak lepas dari arah menuju Allah SWT.
  2. Ia hanya bermaksud patuh terhadap perintah Allah SWT, dan menjalankan syariat persis seperti yang diajarkan.25
7. Peranan Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan hukum
Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.26
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas Maqashid Syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan Maqashid Syari’ah-nya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS.al-Maidah: 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa Maqashid Syari’ah dari diharamkannya minuman khamar ialah sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘iilat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘iilat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al-mawis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk dalam tujuan syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya salah satu dari kebutuhan-kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahah bila sejalan atau tidak dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan hukum yang dikenal maslahah mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’ untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah dalam praktik-praktik istinbat tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (malsahah mursalah), dan lainnya seperti istishab, sad al-zari’ah. dan ‘urf (adat kebiasaan), di samping disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah, juga oleh sebagian besar ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung. Di bawah ini akan dijelaskan tentang metode-metode yang berdasarkan atas maqasyid syari’ah.
A. Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz I : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.27 Fuqaha Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
  • Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak perairan (irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf tanpa harus menyebutkannya berdasarkan istihsan.
  • Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan pembeli bersengketa mengenai jumlah harga sebelum serah terima yang dijual, kemudian penjual mengaku bahwa harganya adalah seratus juneh, dan pembeli mengaku harganya sembilan puluh juneh, maka mereka berdua bersumpah berdasarkan istihsan.28
B. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi tidak ada juga pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada ‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan maslahah mursalah. Tujuan utama maslahah mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.29
8. Hak hamba dan Hak Allah
Allah menciptakan manusia sebagai hamba yang wajib taat kepadanya. Untuk itu, manusia harus beribadah yang menunjukkan kepatuhannya kepada Allah. Ibadah dapat dibedakan dalam dua bentuk; pertama, ibadah mahdhah yang fungsi utamanya mendekatkan hamba kepada Allah. Kedua adalah aktivitas muamalah yang berlaku menurut tradisi (‘adah), yang merupakan sendi kemaslahatan hidup manusia. Tanpa ini, kehidupan manusia akan rusak binasa. Jika tipe ibadah yang kedua tadi bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh nalar manusia (al-ma’qul al-ma’na), tipe ibadah yang pertama bersifat ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan.30
Hak Allah bertemu dengan hak hamba. Hak Allah menuntut kepatuhan manusia dalam melakukan perintah syariat, sedangkan hak hamba adalah kesejahteraan dalam upaya mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Hak Allah dan hak hamba selalu ada pada setiap hukum syariat, baik ibadah atau muamalah. Dalam ibadah di samping ada hak Allah yang dominan karena dimaksudkan sebagai penyembahan kepada-Nya, terdapat pula hak hamba untuk memperoleh pahala dan terhindar dari siksaan neraka. Demikian pula, muamalah yang tampaknya menjadi hak hamba tidak pernah lepas dari hak Allah, yaitu kepatuhan manusia pada hukum-hukum-Nya.31 Asy-Syatibi berkeyakinan bahwa demi kemaslahatan dunia syariat dibangun berlandaskan dua prinsip,
  • kewajiban manusia bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, dan
  • hak untuk merasakan kelezatan dari segala nikmat tersebut.32
Baginya, bersyukur atas nikmat Allah berarti memanfaatkan semua yang Allah anugerahkan sesuai keridhaan-Nya selalu sumber nikmat. Rasa syukur atas nikmat Allah adalah hak Allah atas manusia, sedangkan hak manusia atas rasa syukur ini adalah kehidupan sejahtera di dunia, pahala di akhirat dan kebebasan dari siksaan api neraka.33
________________________________________________________________
1 Ahsan Lihasanah, “al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi'”, Dar al-Salam: Mesir, 2008, hal. 11
2 ibid.
3 Mahmud Yunus, “Kamus Arab-Indonesia”, PT. Mahmud Yunus Wadzuryah: Jakarta, 1990, hal. 243
4 Ibn Manzur, “Lisan al-‘Arab”, Juz V, Dar al-Ma’arif: Mesir, hal. 3643
5 Yusuf Al-Qardhawi, “Fikih Maqashid Syari’ah”, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007, hal. 12
6 Hasbi Umar, “Nalar Fiqih Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007, hal. 36
7 ibid.
8 ibid.
9 Yusuf al-Qardhawi, op.cit.
10 Al-Syatibi, “Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah”, Juz I, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, 2003, hal. 3
11 Wahbah al-Zuhaili, “Ushul Fiqh Islami”, Juz II, Dar al Fikri: Damaskus, 1986, hal. 225
12 Yusuf al-Qardhawi, op,cit, hal. 17
13 ibid, hal 18
14 ibid.
15 ibid, hal 19
16 Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, PT Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, hal. 1108
17 Hasbi Umar, Op,cit, hal. 120
18 Yusuf al-Qadharawi, “Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern”, Makabah Wabah: Kairo, 1999, hal.79
19 Ahmad Djazuli, “Fiqh Siyasah”, Prenada Media: Bandung, 2003, hal. 397
20 Yusuf al-Qardhawi. Op,cit, hal. 79
21 ibid, hal 80
22 Wael b.Hallaq, “Sejarah Teori Hukum Islam” Grafindo: Jakarta, 2000, hal. 267
23 ibid, hal. 268
24 ibid, hal. 260
25 disarikan dari makalah Muhammad Amiruddin, MA/An-Nahdlah Sudan
26 M. Zein Satria Effendi, “Ushul fiqh” Gramedia: Jakarta, 2004, hal. 237.
27 Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqih”, Pustaka Setia: Bandung, 2007, hal. 111
28 Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, Dina Utama: Semarang, 1994, hal. 110
29 Juhaya S, op.cit, hal. 117
30 Al-syatibi, juz I , op.cit, hal. 69
31 ibid, hal 317-318 dan 323
32 Asy-syatibi, juz II, Op.cit, hal 321. Dalam hal ini asy-syatibi mengutip Q.S an-Nahl : 114
33 ibid, hal 321-323
________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, Dina Utama: Semarang, 1994
Ahmad Djazuli, “Fiqh Siyasah”, Prenada Media: Bandung
Ahsan Lihasanah, “al-Fiqh al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi'”, Dar al-Salam: Mesir
Al-Syatibi, “Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah”, Juz I dan Juz II, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, 2003
Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, PT Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta
Hasbi Umar, “Nalar Fiqih Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007
Ibn Manzur, “Lisan al-‘Arab”, Dar al-Ma’arif: Mesir
Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqih”, Pustaka Setia: Bandung, 2007
M. Zein Satria Effendi, “Ushul fiqh”, Gramedia: Jakarta, 2004
Mahmud Yunus, “Kamus Arab-Indonesia”, PT. Mahmud Yunus Wadzuryah: Jakarta
Muhammad Amiruddin, MA/An-Nahdlah Sudan
Wael b.Hallaq, “Sejarah Teori Hukum Islam”, Grafindo: Jakarta
Wahbah al-Zuhaili, “Ushul Fiqh Islami”, Juz II, Dar al Fikri: Damaskus, 1986
Yusuf Al-Qardhawi, “Fikih Maqashid Syari’ah”, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007
Yusuf al-Qadharawi, “Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern”, Makabah Wabah: Kairo, 1999
Share this:
Related
Leave a Reply
Top of Form
Bottom of Form
Cari Tulisan
Top of Form
Search for:
Bottom of Form
Follow me on Twitter
Update
Best Post
Arsip
My Site
http://pixel.wp.com/g.gif?host=sadchalis15.wordpress.com&rand=0.7460044370047049&blog=31297523&v=wpcom&tz=7&user_id=5749965&post=523&subd=sadchalis15&ref=http%3A//sadchalis15.wordpress.com/2012/11/27/pendekatan-memahami-fiqih/

  •  
Top of Form
Bottom of Form

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook