Tuesday, October 14, 2014

INGIN TAHU, DOSA PENDIDIKAN, TANYAKAN S2, YANG MENGGANGGUR



PANTUN    M.RAKIB.. LPMP RIAU INDONESIA


INGIN TAHU, RASA PANGGANG  IKAN
COBA MAKAN, DENGAN BUBUR.
INGIN TAHU, DOSA PENDIDIKAN,
TANYAKAN S2, YANG MENGGANGGUR


WARTA KOTA, TAMANSARI -- Ignatius Ryan Tumiwa (48) namanya. Bungsu dari 4 bersaudara ini baru saja membuat heboh dengan mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi pasal 344 terkait dengan permintaan suntik mati.
Pria kurus yang hanya memakai baju tanpa lengan serta celana hitam lusuh itu saat ditemui di rumahnya jalan Taman Sari X RT 8 RW 03, Kelurahan Tamansari, Tamansari, Jakarta Barat itu mengaku sudah sejak bulan Mei 2014 mengajukan tuntutan itu.
"Awalnya saya pergi ke Komnas HAM terus ditolak, saya pergi ke Depkes ditolak juga dan disuruh ke Mahkamah Konstitusi. Di MK saya disuruh pergi ke psikiater," ujar sarjana administrasi dari STIE dan S2 UI itu kepada Warta Kota, Senin (4/8/2014).
Menurutnya, awal ide untuk suntik mati itu tak terlintas dalam pikirannya. Ia hanya ingin bertanya kepada Komnas HAM terkait dengan tunjangan untuk para pengangguran seperti dirinya. Hanya saja ketika berkunjung ke komnas HAM, dirinya mendapat larangan karena dianggap salah konfirmasi.
"Komnas HAM bilang yang diurusinya pelanggaran hak asasi bukan masalah pemberian tunjangan," ungkap pria lulusan pasca sarjana universitas Indonesia jurusan administrasi pada tahun 1998.
Dirinya ke Komnas HAM untuk mempertanyakan pasal 34 tentang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara.
"Saya bertanya kepada komnas soalnya saya kan fakir miskin. Tetapi jawaban mereka fakir miskin itu tunawisma (gelandangan) bukan seperti saya," tuturnya.
Lantas karena frustasi dari Komnas HAM, kemudian terlintas ide untuk suntik mati.
"Karena tak ditanggapi mucul ide untuk ke departemen kesehatan minta disuntik mati, tetapi kembali dilarang karena di Indonesia tak ada hukum yang mengatur. Kemudian mereka menyuruh saya ke MK untuk melakukan revisi agar rencana saya bisa berjalan," ungkap pria yang mengaku pernah bekerja di perusahaan audit itu.
Saat ini dirinya lebih memperjuangkan suntik mati bukan lagi tunjangan bagi pengangguran. Karena dirinya mengaku sejak ditinggal ayahnya yang bernama Thu Indra (88) pada 2012, ia mengaku depresi serta stress berat. Ditambah dirinya diberhentikan dari pekerjaannya.
"Mau gimana lagi, saya sudah hidup sendirian. Ayah serta ibu saya sudah meninggal. Kakak saya sudah punya keluarga sendiri, sudah jarang kemari. Makanya lebih baik saya mati saja," kata pria yang mengaku bercita-cita pergi ke planet Mars itu. (Wahyu Tri Laksono
JAKARTA, KOMPAS.com — Ignatius Ryan Tumiwa (48), pria penderita depresi yang sempat menyatakan keinginannya untuk disuntik mati, ternyata pernah menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Indonesia.

Bahkan, Ryan lulus dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,37. "Saya sempat melanjutkan kuliah sampai S-2 di UI. Saya pilih jurusan Ilmu Administrasi dan lulus tahun 1998," ujar Ryan saat ditemui di rumahnya, Jalan Tamansari X, Jakarta Barat, Senin (4/8/2014).

Sebelum melanjutkan pendidikan di UI, anak bungsu dari empat bersaudara tersebut setelah lulus SMA menempuh pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas YAI, Kramat, Jakarta Pusat, dan memperoleh gelar sarjana ekonomi.

Ryan mengaku pernah bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai seorang staf keuangan. Namun, beban kerja yang terlalu tinggi membuat ia merasa terbebani hingga akhirnya mengundurkan diri.

Erni, tetangga Ryan, mengakui bahwa Ryan adalah pria yang pintar. Para tetangga pernah mengetahui jika Ryan dahulu pernah bekerja sebagai seorang dosen.

"Memang orangnya pintar, dulu waktu kerja, selalu rapi dan bawa tas. Kalau enggak salah dia pernah jadi dosen," ujar Erni.

Ryan mengajukan permohonan uji materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 344 terhadap Undang-Undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu digugat karena dianggap tidak melegalkan upaya bunuh diri.

Pasal 344 berbunyi, "Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun."

Penulis
: Abba Gabrillin
Editor
: Desy Afrianti


No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook