Wednesday, October 29, 2014

TARJIH DAN TALFIQ DALAM FALSAFAH DAN ETIKA BERBEDA PENDAPAT



TARJIH DAN TALFIQ DALAM
FALSAFAH  DAN ETIKA
BERBEDA PENDAPAT
Coretan M.Rakib  LPMP  Riau Indonesia 2014
 
Adapun bentuk pentarjihan yang mereka lakukan pada periode ini terdiri dari dua bentuk, yaitu :
  1. Tarjih al-riwayah, yaitu tarjih di mana bila terjadi perbedaan dalam penukilan-penukilan dari imam mereka terhadap berbagai kasus dalam fiqh, ulama-ulama berikutnya mentarjih riwayat orang terkenal kemasyhuran dan kecermatannya, seperti dikuatkan al-Rabi'i (w. 270 H), yang apabila bertentangan dengan riwayat al-Muzanni (w. 264 H) dalam men-tarjih perbedaan pendapat imam al-Syafi’i.[7]
  2. Tarjih al-dirayah (tarjih pemikiran). Dalam melakukan pentarjihan pemikiran ini, mereka mentarjih pendapat imam mereka sendiri apabila terjadi perbedaan pendapat atau antara pendapat imamnya dengan pendapat para murid dan pengikutnya. Mereka mentarjih pendapat yang lebih sesuai dengan usul imamnya dan yang lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadith dan qiyas.[8]
Pentarjihan[9] ini muncul sesudah tidak ada lagi orang yang dianggap sanggup berijtihad secara bebas, bahkan di waktu sebahagian ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad sudah tertutup, maka yang muncul kemudian
adalah orang berbondong-bondong untuk melakukan tarjih bila tarjih perbedaan pendapat antara satu ulama dengan ulama lainnya. Anggapan tidak ada lagi mujtahid mutlaq terus berkembang. Ini terlihat dari komentar ulama terkenal seperti at-Ghazali “sesungguhnya tidak terisi zaman ini dengan mujtahid mutlaq juga imam Abu Ishaq at-Syairazi mengatakan “Tidak boleh kosong zaman harus ada seorang mujtahid” dan banyak lagi komentar ulama yang lainnya.[10] Dari berbagai komentar ulama terdahulu tidak secara tegas mengatakan pintu ijtihad telah tertutup, juga dalam sejarah tidak ditemukan data otentik tentang ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.[11]
Imam Mal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti salah seorang ulama Syafi’yyah yang terkenal (w. 911 H) menolak wacana bahwa ijtihad sudah tertutup. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ijtihad terus berkembang selamanya hingga akhir zaman karena ulama-ulama mazhab mengemukakan dalil-dalil dan pendapat tentang keharusan berijtihad dan mencela taqlid juga melarang bertaqlid pada mereka dan menyuruh untuk berpikir[12] sebagaimana disebutkan dalam hadist, yaitu:
عن ابى هريرة رضىالله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يبعث الله على راس كل مائة سنة من يجد د لهذه الامة امردينها (رواه ابوداودالحاكم والبيهقى)
Artinya : “Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Allah mengutus dalam tiap seratus tahun dari orang-orang yang memperbaharui urusan agama”.
Sebagian ulama memahami hadist di atas, bahwa tajdid (pembaharu agama) dalam pengertian menetap kembali syari’ah bukan sebagai suatu upaya munculnya kembali mujtahid mutlaq, melainkan mujtahid mazhab (mujtahid tarjih).[13] Dari beberapa komentar di atas sepertinya ulama mengatakan bahwa pintu ijtihad bisa terus terbuka dengan memahami bahwa ijtihad itu dibutuhkan. Di sini persoalan yang muncul kemudian adalah mungkinkah ada mujtahid mutlaq sekaliber imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dalam hal ini Sirajuddin Abbas salah seorang yang berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i mengatakan sampai saat ini (abad ke-20 M) belum ada yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlaq.
Imam Nawawi [14] yang hidup pada abad Ke VII ini merupakan salah seorang tokoh pengikut mazhab imam Syafi’i yang membela mazhab imamnya sama halnya dengan ulama sebelumnya seperti imam a­­­--Ghazali, al-Mawardi,    al-Juwaini, dan lainnya yang telah mengembangkan pendapat imam Syafi’i dalam karyanya masing-masing serta mengemukakan dalil dan mencari 'illat (alasan yang logis) serta mengulas dan menguraikan furu' fiqh secara lengkap sesuai kemampuannya. Imam Nawawi dinilai sangat ahli dalam bidang Hadist, fiqh, bahasa dan lainnya. Karena keilmuannya ini ulama mutakhkhirin menganggapnya sebagai mujtahid tarjih[15] dalam mazhab Syafi'i sama halnya dengan imam al-Rafi' i.[16]
Kitab Minhaj al-Talibin [17] merupakan salah satu kitab karya imam Nawawi yang disyarah oleh Jalal al-Din al-Mahalli (W.864 H) yang diberi namanya Kanz al-Raghibin dan dikomentari oleh Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad al-Qalyubi (W. 1069 H), ia secara tegas mengatakan bahwa Abu Qasim 'Abd al-Karim al- Rafi'i[18] (W. 623 H) merupakan orang yang mula-mula men-tarjih pendapat yang berbeda dalam mazhab Syafi'i . Kemudian muncul al-Nawawi sebagai penerusnya.[19] Bahkan ada di antara ulama kemudian mengatakan, apabila terjadi  pertentangan dalam mentarjih antar al-Nawawi dengan al-Rafi'i, maka yang didahulukan adalah pendapat yang di-tarjih al-Nawawi. Di samping mereka menentukan urutan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'i adalah hukum yang disepakati oleh Syaikhani (imam al-Nawawi dan al-Rafi'i) kemudian yang dipastikan oleh al-Nawawi kemudian al-Rafi’i, kemudian yang di-tarjih oleh ulama-ulama lain yang alim dan yang wara’, dan yang di pastikan oleh para pen-tahqiq muta'akhirin seperti syekh Zakaria al-Ansari, Ibnu Hajar al-Haitami, Ibnu Ziyad dan lainnya. [20]
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Beranjak dari pembahasan ini, yang menarik perhatian penulis adalah mengenai imam al-Nawawi digolongkan ke dalam mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi'i. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah :
1. Apa latar belakang ia men-tarjih pendapat pendapat yang berbeda dalam mazhab al-Syafi`i.
2.  Langkah-langkah apa saja yang ditempuhnya dalam mentarjih salah pendapat Al-Syafi`i.
3. Metode apa yang digunakan dalam men-tarjih  pendapat tersebut, baik antara imam Syafi’i maupun perbedaan antara pendapat Syafi'iyah.
2. Batasan Masalah
Menurut  anggapan sementara penulis bahwa, Nawawi dalam kitab Minhaj         al-Talibin hanya menjelaskan pendapat dengan menggunakan tanda kata            al-Azhar, al-Masyhur, al-Jadid, al-Nash sebagai pendapat yang kuat imam  Syafi’i. sedangkan kata al-Ashah dan al-Sahih, sebagai pendapat ashab al-wujuh Syafi'i yang kuat. Dengan demikian yang ingin dikaji adalah bagaimana menentukan kuat-tidaknya dalil menurut Nawawi dalam melakukan pen-tarjihan.
Kitab Minhaj al-Talibin merupakan kitab fiqh yang pembahasannya  sangat luas karena di dalamnya terdapat fiqh iftiradi (fiqh                    pengandaian-pengandaian) dan kasus furu`nya yang banyak. Untuk membatasi permasalahan akan diambil beberapa contoh kasus tarjih tentang ibadah, mu'amalah, dan munakahat.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk menemukan metode yang dikembangkan Nawawi dalam menyelesaikan perbedaan pendapat Syafi'i atau pendapat ulama Syafi'iyyah dan mencari langkah-langkah yang digunakannya serta latar belakang melakukan pentarjih-an. Di samping itu dapat memperluas wawasan tentang pen-tarjihan yang dilakukan oleh Nawawi, terlebih lagi bagi orang awam yang tidak mampu berijtihad dan hanya berpegang kepada pendapat yang kuat saja. Mengingat bahwa sampai saat ini masyarakat Indonesia dan masyarakat Aceh pada khusus adalah orang yang masih kuat berpegang kepada mazhab Syafi'i yang berbaur dengan apa yang telah ditarjih oleh Nawawi.[21] Dan banyaknya kitab-kitab yang beredar di kalangan masyarakat seperti Tuhfat al-Muhtai ala Syarh al- Minhaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami (W. 974 H), Mughni al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini (W. 977 H)[22], Nihayat al-Muhtaj karangan Muhammad bin Abi al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihab al-Din al-Ramli (W 1004 H). Juga banyak kitab dalam bahasa jawi yang rata-rata merupakan pendapat Syafi'iyah yang sudah di-tarjih. Sehingga dapat memberikan gambaran tentang pen-tarjihan yang dilakukan Nawawi.
2. Kegunaan Penelitian
Dengan kajian ini dapatlah kiranya bermanfaat yang ingin mendalami dan mengkaji ulang terhadap pendapat ulama terdahulu dan dalil-dalilnya dalam mazhab Syafi'i khususnya bagi orang yang masih ber-taqlid kepada ulama Syafi'iyyah, dan dapat mengetahui kenapa pendapat itu kuat dan kenapa yang lainnya dhaif.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai rujukan dasar dalam pembahasan ini adalah kitab Minhaj al Talibin karangan imam Nawawi. Penulis melihat kitab ini lebih selektif dalam menjelaskan persoalan dengan menggunakan istilah dalam pen-tarjihan pendapat, terlebih lagi kitab yang disyarah oleh Jalal al-Din al-Mahalli (W. 835 H) dalam kitabnya Kanz al-Raghibin bahkan kitab ini dijadikan sebagai rujukan fiqh dalam mazhab Syafi'i bagi Mahasiswa SI (strata satu) di Universitas al Azhar pada Fakultas Syari'ah. Juga kitab ini dipakai oleh kaum santri di Pesanteran Tradisional di nusantara ini. Kitab ini sudah diberi syarah dan komentar oleh Imam Qalyubi dan Umairah,  dari sisi ini ada beberapa metode yang digunakan  Nawawi dalam melakukan  tarjih.
E. Metode Penelitian
1. Sumber dan Tekhnik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam katagori penelitian kepustakaan. Oleh Karena itu pengumpulan data melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka sebagai sumber data. Sumber data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berupa literatur yang terkait langsung dengan subtansi penelitian ini.
Sumber data dibagi dalam dua katagori, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan sumber yang merujuk langsung kepada kitab Minhaj al-Talibin seperti Syarh JaIal al-Din al-Mahali, Nihayah al-Muhtaj, Mugni al-Muhtaj dan Tuhfah al-Muhtaj sebagai sumber sekunder juga digunakan beberapa kitab lain sebagai rujukan yang ada hubungannya dengan pendapat Nawawi seperti Majmu' Syarh al-Muhadhdhab, Rawdah al-Talibin, dan beberapa kitab yang lain seperti Syarh al-Wajiz atau lebih di kenal dengan Syarh al-Kabir karangan al-Rafi'i. Serta beberapa kitab lain yang ada relefansi dalam kajian ini sebagai pendukung data primer di atas.
Tekhnik pengumpulan data primer adalah mengumpulkan semaksimal mungkin kitab yang dianggap paling urgen yang menyangkut dengan masalah penelitian ini, kemudian dikaji, dianalisa dan memilah data-data terseleksi berdasarkan poin-poin  permasalahan terkait.
Sedangkan tekhnik  pengumpulan data sekunder adalah mengumpulkan data dari berbagai tulisan, baik berupa kitab Arab dan buku-buku Indonesia. Setelah mengumpulkan data tersebut langkah selanjutnya adalah mengkaji, menganalisa, dan memilah-memilah data yang terseleksi untuk mendapatkan data yang jelas, akurat dan benar yang mendukung data primer.
2. Analis Data
Setelah data terkumpul melalui beberapa leteratur yang dijadikan sumber dalam penelitian ini, lalu dilakukan pemahaman dan analisa contoh-contoh kasus pen-tarjih-annya dan hasil pengkajian akan terungkap metode yang digunakan dalam men-tarjih-kan pendapat-pendapat baik imam Syafi'i maupun ulama Syafi'iyah. Untuk kemudian mengambil kesimpulan terhadap apa yang diteliti dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan Content analisis, hasil itu akan menjadi j awaban terhadap masalah yang diteliti.
F. Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkenaan dengan judul: "Metode Tarjih Nawawi dalam Menyelesaikan Perbedaan Pendapat dalam Mazhab Syafi'i" dengan menempuh beberapa langkah yang dijadikan sebagai sistematika pembahasan yaitu :
Bab Pertama berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, kemudian rumusan masalah, lalu tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika pembahasan..
Bab Kedua akan dijelaskan sejarah ringkas imam Nawawi yang meliputi di dalamnya riwayat hidupnya, karya-karya, setting sosial, kedudukan dan pengaruhnya dalam mazhab Syafi'i.
Bab Ketiga akan dijelaskan gambaran umum tentang tarjih berupa pengertian tarjih, sejarah, rukun dan syarat tarjih, landasan  tarjih dan kedudukan tarjih  dalam hukum Islam.
Bab keempat akan dijelaskan metode tarjih Nawawi yang meliputi di dalamnya: Metode pen-tarjih-an perbedaan pendapat-pendapat imam Syafi'i juga metode Pen-tarjih-an perbedaan pendapat ulama-ulama pengikut Syafi'i atau yang lebih di kenal dengan ashab al-wujuh atau Syafi'iyyah. Pada bab ini akan dijelaskan juga langkah-langkah pen-tarjih-an dan beberapa contoh kasus Fiqh dari tarjih Nawawi.
Bab kelima akan dijelaskan berupa kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran yang dapat membantu dalam penyempurnaan penelitian dan perluasan.








BAB II
BIOGRAFI IMAM AL-NAWAWI


A.    Riwayat Hidup Imam al-Nawawi

Imam al-Nawawi adalah ulama yang paling banyak mendapat cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari biaografinya akan melihat adanya wira`i, zuhud, kesungguhan dalam mencari ilmu yang bermanfaat, amal saleh, ketegasan dalam membela kebenaran dan amar makruf, nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah dan kepada rasul Nya.
Ia telah melebihi ulama-ulama yang semasa dengannya. Menurut pendapat yang rajih, ia meninggal dunia sermentara umurnya tidak lebih dari 45 tahun. Ia meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-ketetapan dan kitab-kitab ilmiyah yang berbobot. Dengan peninggalan-peninggalan tersebut, ia telah menunjukkan  bahwa ia melebihi ulama-ulama dan imam-imam pada masanya.
Imam al-Nawawi adalah seorang ahli hukum Islam ternama dan ahli hadith yang dipercaya. Nama lengkapnya ialah Yahya Ibnu Syaraf Ibnu Muri Ibnu Hasan Ibnu Husein Ibnu Muhammad Ibnu  Jum`ah Ibnu Hizam al-Hawrani al-Dimasyqi al-Syafi`i, dengan sebutan Kuniyahnya yaitu, Abu Zakariya al-Nawawi al-Dimasyqi. [23]
Adapun Imam al-Nawawi dijuluki Abu Zakariya[24] karena namanya adalah Yahya. Orang Arab sudah terbiasa memberi julukan Abu Zakariya kepada orang yang namanya Yahya karena ingin meniru Yahya Nabi Allah dan ayahnya, Zakariya Alaihima al-Salam sebagaimana juga seseorang yang namanya Yusuf dijuluki Abu Ya`qub, orang yang namanya Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang namanya Umar dijuluki Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar dari orang-orang Arab.
Gelarnya adalah Muhyiddin.[25] Namun, ia sendiri tidak senang diberi gelar ini. Ketidaksukaannya itu disebabkan rasa tawadhu` yang tumbuh pada diri Imam al-Nawawi, meskipun sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dengan dia Allah menghidupkan sunnah, mematikan bid`ah, menyuruh melakukan yang makruf, mencegah perbuatan yang mungkar dan memberi manfaat kepada umat Islam lewat karya-karyanya yang berbobot.
Ia dilahirkan di Nawa, yaitu sebuah desa sebelah barat daya Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H atau bertepatan dengan Oktober tahun 1233 M,[26] sesuai dengan kesepakatan para sejarawan.  Sementara menurut K.H. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan mazhab Syafi`i, Imam al-Nawawi lahir pada tahun 630 H atau bertepatan dengan tahun 1234 M.[27] Perbedaan tahun kelahiran al-Nawawi ini bukanlah suatu yang prinsip, di samping perbedaan ini pula dengan angka yang tidak terpaut terlalu jauh, dan kemungkinan besar perhitungan menurut Sirajuddin Abbas adalah akhir tahun 630 H.
Ayah Imam al-Nawawi bernama Syaraf Ibnu Muri adalah seorang yang terkenal saleh dan taat. Dalam rumah tangga yang taat dan saleh itulah Imam Nawawi dibesarkan. Diriwayatkan bahwa Nawawi yang terkenal pintar itu, di masa kecilnya selalu menyendiri dari teman-temannya yang suka mengahabiskan waktu hanya untuk bermain-main. Dalam kondisi yang demikian, Nawawi yang dari kecilnya mendapat perhatian besar dari orang tuanya itu, banyak menggunakan waktunya untuk membaca dan mempelajari al-Qur`an dan mempelajari ilmu-ilmu agama.
Adapun mengenai sifat-sifat Imam al-Nawawi, sebagaimana yang dilukiskan oleh al-Zahabi, adalah "Imam al-Nawawi berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak, berwibawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-sungguh dalam hidupnya, sselalu mengatakan yang benar meskipunhal itu sangat pahit baginya dan tidak takut hinaan orang yang menghina dalam membela agama Allah."
B.     Perkembangan pendidikan intelektual Nawawi
Saat Imam al-Nawawi sudah mencapai umur tamyiz (kurang lebih delapan tahun), Allah membimbingnya agar nantinya mengemban syari`at Islam yang suci. Pada saat berumur tujuh tahun, sudah memperlihatkan tanda-tanda bimbingan-Nya kepadanya. Hal itu terjadi pada malam dua puluh tujuh Ramadhan, yaitu ketika ia tidur di samping ayahnya, sebagaiman yang diriwayatakan oleh Ibnu al-Aththar dari orang tua Imam al-Nawawi tersingkap rahasia Allah dalam bulan Ramadhan yang diberkahi yang mana rahasia itu disembunyikan dari kebanyakan orang. Rahasia tersebut tidak lain adalah Lailatul qadar.
Pada mulanya ia mempelajari ilmu pengetahuan dari ulama-ulama terkemuka di desa kelahirannya, yaitu pada umur sembilan tahun. Dalam waktu empat bulan setengah, ia sudah hafal kitab al-Tanbih kemudian dilanjutkan dengan mengahafal seperempat kitab al-Muhazzab.[28] Ia terus bersama dengan Syaikh Kamaluddin Ishaq bin Ahmad, kemudian pergi haji bersama ayahnya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa, ayahnya merasa tidak cukup kalau anaknya belajar di desa tempat kelahirannya itu. Maka pada tahun 649 H, atau bertepatan dengan 1251 M, bersama ayahnya Nawawi berangkat ke Damaskus. Damaskus di waktu itu tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan tempat kunjungan orang-orang dari berbagai pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di kota itu juga terdapat beberapa sekolah agama, dan ada yang menyatakan tidak kurang dari 300 buah sekolah tersebar di Damaskus waktu itu.
Begitu Nawawi sampai di Damaskus ia langsung berhubungan dengan seorang alim terkenal, yaitu syech Abdul Kafi ibnu Abdul Malik al-Rabi (w. 698 H), dan dengan syech Abdurrahman ibnu Ibrahim ibnu al-Farkah (w. 690 H),[29] dan dari mereka Nawawi banyak belajar. Beberapa waktu kemudian ia dikirim oleh gurunya itu kesebuah lembaga pendidikan yang terkenal dengan al-Madrasah al-Rawahiyah, dan di situlah ia tinggal dan banyak belajar.
Sejak kecil Nawawi telah menampakkan kecerdasan dan keseriusannya dalam mendalami ilmu Islam. Terutama pada usia 19 (sembilan belas) tahun ia pernah belajar di madrasah al-Rawahiyah  di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu pengetahuan khususnya lmu fiqih dan ilmu Hadith.
Dalam bidang fiqih ia belajar dari ulama-ulama terkemuka dari mazhab Syafi`i. Di antara guru-guru fiqihnya yaitu: syekh Abu Ibrahin Ishaq ibnu Ahmad ibnu Uthman al-Maghribi al-Dimasyqi (w. 650 H). Ia juga belajar dari mufti Damaskus yaitu Abu Muhammad Abdurrahman ibnu Nuh ibnu Muhammad al-Dimasyqi (w. 654 H). Dan dari Abul Hasan Sallar ibnu al-Hasan al-Diamasyqi  (w. 670 H), seorang ulama terkenal ahli dalam seluk-beluk mazhab Syafi`i.[30]
Selanjutnya ia belajar fiqih kepada Ridha  bin Burhan, Zaid al-Khalid, Abdul Azis bin Muhammad al-Anshari, Zainuddin bin Abdul Daim, Imamuddin Abdul Karim al-Harastani, Zainuddin Khalaf bin Yusuf, Taqiyuddin bin Abi al-Yasar, Jamaluddin bin al-Sirafi, dan Syamsuddin bin Amr.[31]
Dalam bidang ilmu Hadith ia belajar antara lain kepada al-Hafidh Ibrahim Isa al-Muradi al-Andalusi al-Dimasyqi (w. 668 H), juga kepada Abu ishaq Ibrahim ibnu Abi Hafas Umar ibnu Mudar al-Wasiti, dan daripadanya Nawawi menamatkan pelajaran kitab Sahih Muslim. Kemudian ia belajar Hadith pula kepada syekh al-Hafiz al-Mutqin Zainuddin Abul Baqa Khalud ibnu Yusuf ibnu Sa`ad al-Nabulisi (w. 663 H).[32]

"Berkelahi cara Melayu,
Menikam dengan pantun,
Menyanggah dengan senyum,
Merendah bukan menyembah
,
Meninggi bukan melonjak..." (Dato' Usman Awang)

Wawan Budi's photo.Wawan Budi's photo.

Melayu itu orang yang bijaksana
Jauh dari, konflik berdarah
Permasalahan yang besar, terus ditarah
Menjadi kecil, lama-lama musnah
Bukan takut, kepada manusia
Hanya takut, kepada Yang Mahakuasa saja.
Nakalnya bersulam jenaka
Budi bahasanya tidak terkira
Kurang ajarnya tetap santun
Jika menipu pun masih bersopan
Bila mengampupun bijak beralas tangan
Berkelahi cara Melayu
Menikam dengan pantun
Menyanggah dengan senyum
Marahnya dengan diam
Merendah bukan menyembah
Meninggi bukan melonjak
Berdamai cara Melayu indah sekali
Silaturrahim hati yang murni
Maaf diungkap senantiasa bersahut
Tangan dihulur senantiasa bersambut
Luka pun tidak lagi berparut
Bagaimana Melayu diabad dua puluh satu
Masihkah tunduk tersipu-sipu
Jangan takut melanggar pantang
Jika pantang menghalang kemajuan
Jangan segan menentang larangan
Jika yakin kepada kebenaran
Jangan malu mengucapkan keyakinan
Jika percaya kepada keadilan
Jadilah bangsa yang bijaksana
Memegang tali memegang timba
Memilih ekonomi mencipta budaya
Menjadi TUAN di negara MERDEKA

Di forum ini banyak caci makian yang saling menghina bangsa Indonesia dan Malaysia , padahal kasus2 seperti Manohara , Ambalat , dan Tari pendet dah kelar & udah selesai walau masih ada sengketa kecil . harus nya kita bersatu , jangan pecah belah . lebih baik kita ramai2 bantu orang palestina agar merdeka & juga tempat2 yang saat ini dilanda perang ( Afghanistan , Kongo , Iraq , dll ).

1. Ikhlas dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat. Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
2. Mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah berfirman yang artinya: “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab) dan Rasul”. (An-Nisa: 59).
3. Berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya cacat.
4. Sebisa mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.
5. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang.
6. Berlapang dada di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.
7. Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
8. Berpegang teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan.






























No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook