IMPEREALISME BARAT GAYA BARU
Oleh M.Rakib LPMP.Pekanbaru Riau 2014
Teksonomi Bloom oleh Semuel P.Bloom,
memperkenalkan tiga ranah pendidikan, yaitu 1.Kognitif. 2. Afektif
3. Psikomotor, yaitu ilmu, sikap
dan keterampilan. Tidak ada raanah spiritual ketuhanan. Anak murid
digiring kepada maerialisme..
Studi agama-agama juga keislaman
dewasa ini masih dihadapkan pada tantangan yang sama dengan yang dihadapinya
pada era super modern. Yaitu bagaimana
seharusnya kita memahami agama-agama termasuk Islam agar compatible
dengan modernitas? Berbagai pendekatan baru pun dilakukan dan tren-tren baru
pemikiran Islam bermunculan.
Pertanyaannya adalah apakah framework
studi itu sudah sejalan dengan paradigma keislaman yang genuine? Apakah proyek
pemikiran Islam kontemporer betul sedang membangun kembali peradaban Islam yang
adiluhung, seperti yang sudah diraih dalam sejarahnya, ataukah justru –sadar
atau tidak- sedang menyubordinasikan Islam ke dalam peradaban global?
Kebangkitan Islam Modern:
Akar hubungan antara pemikiran Islam
dengan imperialisme Barat bisa dilacak dari era ketika Barat menguasai dunia
Islam pada abad ke 19. Kontak ini memang bukan yang pertama kali. Karena
pada empat abad pertama Hijriyyah kontak serupa terjadi, ketika umat Islam
dengan percaya diri menerjemahkan khazanah ilmu dan filsafat Yunani. Bedanya,
kondisi umat Islam saat itu penuh dengan vitalitas. Sehingga kebudayaan baru
dengan mudah diserap, dimodifikasi dan dikembangkan tanpa merusak paradigma
keislaman umat. Lain halnya dengan abad ke 19, kondisi umat sedang rapuh, dan
pemikiran baru itu masuk dengan kendaraan imperialisme. Sangat logis jika
kontak terakhir itu rentan masalah.
Kerentanan itu timbul, pertama
karena ketidak berdayaan umat membuat kontrol serap sangat rendah. Kedua karena
sosiologi bangsa yang kalah biasanya melihat yang bangsa yang menang
segalanya([i]). Sehingga penyerapan unsur-unsur baru itu cenderung tidak
selektif dan mengalahkan doktrin-doktrin Islam sendiri.
Tidak heran jika kontak mutakhir itu
mendatangkan kebaikan dan keburukan sekaligus. Mendatangkan kebaikan karena
telah membuat umat melek dengan ilmu dan teknologi modern, tetapi mendatangkan
keburukan karena membuat keberagamaan umat semakin terpuruk. Persoalan inilah
yang membuat kontroversi di kalangan ahli sejarah, apakah kontak terakhir itu
layak disebut tonggak kebangkitan Islam modern atau tidak?
Ahmad Zakaria Syiliq dalam bukunya:
Modernisme dan Imprialisme: Penjajahan Prancis dan problem Kebangkitan
Mesir([ii]), mendiskusikan persoalan ini. Beliau mencatat dua persepsi:
Pertama, kebangkitan dan modernisasi Mesir –dan ini menjadi tonggak
kebangkitan dunia Islam- dimulai dan disebabkan oleh penjajahan Prancis. Maka
sejarah Mesir modern pun dimulai ketika tentara yang dipimpin Napoleon
Bonaparte (1769–1821) menginjakan kakinya di bumi Mesir. Saat itulah bangsa
Mesir membuka mata, melihat bentuk peradaban baru dan belajar banyak hal yang
membuat sosial politiknya bangkit. Perspektif ini dianut oleh orientalis dan
murid-muridnya yang memposisikan Barat sebagai sumber segala kebaikan,
kebangkitan, pencerahan dan kemodernan([iii]). Albert Hourani (1915-1993),
orientalis Inggeris asal Libanon, mempelopori pandangan ini([iv]).
Kedua, era penjajahan Prancis terhadap Mesir sebaliknya justru
dilihat sebagai masa yang paling hitam dalam sejarahnya, bahkan dalam sejarah
bangsa Arab. Menurut pandangan ini, keburukannya yang ditandai dengan semakin
ambruknya tatanan beragama jauh lebih besar dari pada kebaikannya([v]).
Dari perspektif yang pertama,
modernisasi berarti upaya-upaya yang dilakukan non-Barat untuk mengadopsi
produk peradaban Eropa modern seperti: ilmu pengetahuan, industri, management,
pemikiran, moral dan gaya hidup. Padahal menurut yang kedua, meniru kebudayaan
Barat yang mencakup gaya hidup, moral dan pemikiran itu bukan modernisasi
tetapi westernisasi. Duplikasi semacam itu beresiko mencabut bangsa-bangsa
Timur dari akar kebudayaannya.
Keberatan pihak kedua boleh jadi
benar. Tetapi kata Syiliq kita juga harus jujur, imperialisme modern membawa
konsep yang dibutuhkan umat untuk merecovery keterbelakangannya: "Penjajahan
Prancis atas Mesir telah membuat masyarakat Mesir melek dengan gaya baru
kebudayaan Barat yang dibangun di atas akal, ilmu, teknologi dan management.
Masyarakat Mesir melihat anasir peradaban yang berbeda secara ilmiah: teoritis
maupun praktis, masuk ke negara mereka secara paksa dengan kendaraan
imperialisme"([vi]).
Jadi imperialisme Barat sebenarnya
membawa dua hal yang harus disikapi berbeda. Pertama membawa sains dan
teknologi yang menjadi milik bersama umat manusia. Karena kemajuan Barat di
bidang ini juga tidak serta-merta, mereka berhutang budi kepada umat Islam.
Sebagai mana umat Islam sebelumnya berhutang budi kepada Yunani, dan Yunani
kepada bangsa-bangsa Timur. Termasuk dalam wilayah ini adalah keberhasilan
eksperimen Barat dalam mengelola urusan-urusan publik umat manusia. Wilayah ini
masuk kedalam kategori hadits Nabi: "Kearifan adalah barang yang hilang
milik seorang Mukmin. Di mana saja menemukannya, ia lebih berhak memungutnya
kembali"([vii]). Karenanya belajar kepada bangsa lain menyangkut
wilayah ini merupakan konsekwensi keislaman, tidak merusak keberagamaan.
Tetapi yang kedua,
persoalan-persoalan yang berhubungan dengan agama, pemikiran, moralitas dan
gaya hidup, masuk ke dalam wilayah privasi kebudayaan. Konsep-konsep Barat di
wilayah ini, kata Muhammad Emara (1931-), cenderung eksploitatif. Dimana
imperialisme Barat berusaha untuk menguasai, menghilangkan differensiasi dan
independensi peradaban, serta mengaburkan pengetahuan umat tentang
dirinya([viii]).
Masalah ini meskipun terlihat khas
abad kebangkitan Islam, tetapi relevan untuk diangkat dan direfleksikan dalam
kajian-kajian keislaman. Karena umat Islam, "Sejak kebangkitan bergulir
di awal abad 19 –dan terus begitu sampai sekarang- dihadapkan dengan dua model
peradaban: pertama peradaban Eropa yang menjadi tantangan bagi mereka –budaya
maupun militer- sekaligus memacu dan melahirkan kebangkitan; kedua peradaban
Arab dan Islam yang menjadi tumpuan mempertahankan eksistensi diri dalam
menghadapi tantangan itu"([ix]).
Dua hal itu membutuhkan penyikapan
yang tepat, karena polarisasi antara pro-imprialisme dengan anti-imperialisme
dalam pemikiran Islam, lahir dari penyikapan dua hal yang berbeda itu.
Pro dan Anti-Imperialisme:
Polarisasi ini dibahas Muhammad
Al-Bahi (1905-1982). Menurutnya: "Imperialisme Barat di dunia Islam
telah melahirkan dua tren pemikiran yang berlawanan: pertama tren membela
imperialisme, kedua tren melawan imperialisme"([x]).
Tren pertama muncul dari dua
kalangan. Pertama berasal dari kalangan orientalis yang ingin mengukuhkan
penjajahan Barat di dunia Islam, dan merayu masyarakat agar rela dengan
hegemoni itu. Hanoto, orientalis yang pernah menjabat menteri luar negeri
Prancis, mewakili pandangan ini.
Baginya, Islam tidak memiliki
kapasitas untuk memajukan peradaban. Karena itu, imperialisme Barat di dunia
Islam harus disyukuri sebagai keberkahan. Ketika ia dimintai komentar oleh
harian Al-Ahram tentang Islam yang diyakini penganutnya memiliki energi untuk
mengampu peradaban, seperti yang terjadi dalam sejarah, Hanoto menjawab: "Jika
Islam tidak menghalangi kemajuan, sebagaimana yang Anda dan para penulis Muslim
katakan, mengapa kalian tetap terbelakang sementara kami maju?" ([xi]).
Bahwa kondisi Timur sedang terpuruk
dan Barat sedang memimpin peradaban, suka atau tidak, diakui bangsa Timur.
Tetapi keluar dari keterbelakangan itu harus dengan cara menjadikan Barat
sebagai full model sambil melepaskan agama dan kebudayaan milik sendiri, hanya
diyakini oleh para sarjana yang dikategorikan Al-Bahi sebagai pembela
imperialisme. Toha Husein (1889-1973) bisa menjadi contoh.
Baginya, Eropa modern telah mencatat
prestasi yang paling gemilang dalam kemajuan umat manusia. Ketika akal
mendapatkan kebebasan untuk mengontrol kehidupan sosial, menundukkan alam
semesta dengan ilmu pengetahuan, membuat perudang-undangan untuk menciptakan
kebahagiaan umat manusia, dan mendirikan pemerintahan yang menghormati
supremasi hukum dan mengakomodasi berbagai kepentingan([xii]).
Sedemikian ideal sehingga seluruh
komponen peradaban Barat menurutnya layak diadopsi. Karena itu bangsa Timur
harus berperilaku persis seperti mereka. Dalam bukunya Masa Depan Kebudayaan di
Mesir, Toha Husein menunjukkan jalan kemajuan seperti ini: "Jalan
menuju ke situ hanya satu dan tidak berbilang. Kita harus mengikuti jejak
orang-orang Eropa dan menapaki jejak perjalanan mereka. Agar kita menjadi
bagian dari mereka dan berperadaban seperti mereka: baik atau buruk, manis atau
pahit, dicintai atau dibenci, dan terpuji atau tercela"([xiii]).
Sampel lain dari tren yang membela
imperialisme adalah gerakan Ahmad Khan di India. Kritik yang paling otentik
atas gerakan pemikiran ini ditulis oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh
dalam Al-Urwatul Wutsqo. Afgani dan Abduh, seperti ditulis Al-Bahi,
mewakili tren kedua yaitu anti-imperialisme([xiv]).
Mengomentari gerakan pemikiran Ahmad
Khan, kata Afgani, Inggeris ketika itu percaya bahwa "Selama umat Islam
konsisten dengan agamanya, selama Al-Quran dibaca dan dikaji, mustahil mereka
akan tunduk dengan tulus di bawah penjajahan asing. Terutama ketika bangsa
asing itu merampas kekuasaan dengan konspirasi yang dibungkus dengan cinta dan
persaudaraan. Mereka pun mencari berbagai cara untuk melemahkan akidah
Islam"([xv]).
Ahmad Khan dianggap orang yang tepat
melakukan proyek itu. Setelah melakukan kontrak tertentu, Ahmad Khan
menampilkan dirinya bermadzhab naturalisme yang dalam Al-Quran disebut dahriyyun.
Yaitu orang yang percaya, hanya proses alamiah yang menentukan hidup atau mati
seseorang (Al-Jatsiah [45]: 24). Dia mengaku tidak percaya dengan kenabian dan
ketuhanan, dan mengajak umat Islam untuk meninggalkan semua bentuk agama.
Baginya, Eropa tidak mengalami kemajuan kecuali dengan cara itu, kemudian total
konsern menggali rahasia alam semesta([xvi]).
Lebih parah lagi menurut Afgani,
naturalisme yang didakwahkan Ahmad Khan tidak seperti yang dipropagandakan di
Eropa. Ketika orang-orang Eropa meninggalkan agama, mereka tetap memiliki
nasionalisme. Tetapi ajakan Ahmad Khan untuk meninggalkan agama, karena agama
menjadi benteng kokoh yang melahirkan perlawanan terhadap imperialisme. Karena
itu target Inggeris dari proyek pemikiran Ahmad Khan adalah menghilangkan
resistensi masyarakat terhadap kekuasaan asing, agar mereka tunduk pada
hegemoni Inggeris. Dan target utama dari gerakan pemikirannya adalah menghapus
nasionalisme dan keislaman di India([xvii]).
Gerakan pemikiran yang dipelopori
Afgani dan Abduh meskipun kental dengan spirit untuk belajar banyak berbagai
hal yang bermanfaat dari Barat, tetapi semangat untuk melawan imperialisme juga
sangat dominan. Karenanya meskipun gerakan pemikiran ini dalam sosiologi
pemikiran Islam di Timur-tengah, dirujuk oleh orang-orang liberal karena
semangatnya yang pertama; tetapi juga dirujuk oleh kelompok islamist karena
model gerakan keduanya telah memberikan sumbangsih terhadap peningkatan
immunitas umat dari gejala kerentanan terhadap imperialisme.
Imperialisme dan
Rentan-Imperialisme:
Imperialisme tidak akan efektif
merubah tatanan umat jika umat Islam sendiri memiliki immunitas. Sebaliknya
umat akan mudah terinfeksi jika "vitalitas"-nya sedang terganggu.
Sayangnya, gerakan pemikiran yang pro-imperialisme telah berperan melemahkan
ketahanan tubuh umat ini.
Gejala ini dielaborasi oleh Malik
Ben Nabi (1905-1973), pilsuf Muslim asal Al-Jazair, dalam sebuah konsep yang
disebut dengan imperialisme dan rentan-imperialisme (al-isti'mar wal
qobiliyyah lil isti'mar). Menurutnya "Target-target imperialisme
tidak akan tercapai jika tidak ada unsur-unsur internal yang membuatnya rentan
dengan imperialisme di tengah suatu bangsa"([xviii]). Imperialisme
selalu membutuhkan suporting system yang menyiapkan dan mendukung suksesnya
kolonialisasi.
Imperialisme adalah suatu negara
menguasai negara lain, baik dengan kekuatan senjata, uang, kemajuan teknologi
dan ilmu pengetahuan, serta mengeksploitasi sumber daya yang dimilikinya.
Sedangkan kerentanan terhadap imperialisme (al-qobiliyyah lil isti'mar)
adalah penyakit kebudayaan yang diderita suatu bangsa, yang membuatnya siap
dihegemoni oleh bangsa lain.
Gejalanya terlihat ketika suatu
bangsa memiliki pemikiran bahwa mereka harus menginduk dan menjadi bagian dari
bangsa tertentu yang memiliki interest. Budaya berpikir seperti ini akan
melahirkan mental, bahwa hegemoni bangsa lain itu akan dianggap keberkahan.
Maka ketika imperialisme terjadi, pada waktu yang sama akan melihat gejala
kesiapan untuk menerima perlakuan eksternal yang meruntuhkan harga diri mereka,
dengan tangan mereka sendiri.
Secara normatif gejala semacam itu
pernah terjadi dalam perjalanan dakwah kenabian, dalam fenomena kemunafikan.
Al-Quran menyebut mereka "sammauna lahum", orang-orang yang
senang mendengar dan mengikuti pembicaraan orang Yahudi tentang umat Islam
(At-Taubat [9]: 47). Ibn Katsir menafsirkan ayat ini: "Mereka turut dan
menerima pembicaraan mereka (Yahudi), bahkan meminta nasihat kepada
mereka..Kondisi ini mengakibatkan terjadinya kejahatan dan kerusakan dalam
tubuh umat Islam"([xix]). Sejarahnya, orang-orang munafik terlibat
pro-aktif bersama orang Yahudi dalam melakukan konspirasi terhadap umat Islam
di Madinah, meskipun akhirnya kekuatan mereka melemah.
Dalam konteks tren pro-imperialisme,
Al-Bahi menyebut orang-orang seperti itu "Memerankan dirinya sebagai
juru bicara atau penerjemah terhadap ide-ide kaum imperialis, dengan
mengatasnamakan riset ilmiah"([xx]).
Secara historis, teori ini bisa
dipakai untuk menganalisa kejatuhan Turkey Ustmani ke pangkuan imperialisme
Barat modern. Data paling valid tentang ini bisa diperoleh dari catatan harian
politik Sultan Abdul Hamid (1842-1918).
Sultan mencatat gerakan pemikiran
yang dilakukan Inggeris dalam propaganda ide nasionalisme sebagai antitesis
khekholifahan. "Kita harus paham, dan sangat didasayangkan, Inggeris
berhasil menyebarkan propaganda mereka yang berbisa, untuk menyebarkan
bibit-bibit nasionalisme dan fanatisme di negara kita. Kaum nasionalis telah
melakukan pergerakan di semenanjung Arabia dan Albania. Di Syuria terjadi
gerakan yang sama"([xxi]).
Tidak sampai di situ, mereka
kemudian lebih mendahulukan konsep-konsep Barat ketimbang Islam sendiri. Sultan
menulis: "Inggeris telah melakukan segala cara untuk merusak citra kita
di Mesir. Sekarang mereka berhasil mengelabui masyarakat Mesir dengan
konsep-konsep mereka, hingga sebagian orang percaya bahwa model Inggeris
merupakan jalan menuju keamanan dan keselamatan. Bahkan mereka mendahulukan
nasionalisme dari pada agama itu sendiri"([xxii]).
Masalahnya gerakan seperti itu tidak
berhenti sampai dunia Islam jatuh ke tangan Barat. Tetapi mengukuhkan
hegemoninya di dunia Islam membutuhkan upaya-upaya yang tidak kalah serius dari
pada sebelum imperialisme itu terjadi. Dalam posisi seperti ini, Barat
membutuhkan lebih banyak lagi orang-orang, yang disebut Muhammad Emara, sebagai
umala hadzoriyyin atau agen-agen peradaban, yang memiliki agenda menarik
masyarakat pada putaran peradaban Barat([xxiii]).
Dalam konteks ini, kritik pedas
Afgani dan Abduh terhadap para agen itu bisa dipahami. Afgani mengatakan: "Orang-orang
yang bertaklid kepada peradaban bangsa lain, mereka sesungguhnya bukan pemilik
ilmu-ilmu yang mereka transfer itu. Pengalaman mengajarkan kepada kita,
orang-orang yang bertaklid di setiap bangsa, yang meniru tahapan-tahapan
perjalanan bangsa lain, mereka menjadi pelabuhan untuk masuknya musuh dengan
serangan-serangan militernya. Mereka menyiapkan jalan, membukakan pintu untuk
mereka, kemudian mengukuhkan cengkeraman kuku mereka"([xxiv]).
Tidak hanya Afgani, Abduh juga
menyampaikan kritik yang sama. Dalam Tafsir Al-Manar Abduh berkata:
"Para pendakwah ateisme yang terbaratkan..mereka menyebut dirinya sedang
mengajak pada kemajuan dan peradaban..Yang benar, mereka adalah para perusak
akidah, kebajikan, dan seluruh potensi kebaikan umat. Mereka sama sekali tidak
membangun. Kecuali jika ateisme, perampasan terhadap harkat dan martabat,
melempangkan jalan bagi bangsa asing untuk memperbudak bangsanya, bisa disebut
sebagai usaha membangun kemuliaan umat"([xxv]).
Dari perspektif Afgani dan Abduh
ini, tidak setiap pemikiran baru menyangkut Islam yang berasal dari Barat
bersifat positif. Tidak setiap wacana pemikiran Islam juga bisa membangun dan
memberdayakan umat. Karena jika trennya salah, bertentangan dengan nilai-nilai
fundamental dalam Islam, yang akan terjadi justru mendekonstruksi Islam itu
sendiri. Gerakan pemikiran seperti itu bisa merupakan gejala al-qobiliyyah
lil isti'mar, membuka jalan untuk terjadinya hegemoni imperialisme, seperti
yang diteorikan oleh Malek Ben Nabi.
Orientalisme Bias Imperialisme:
Merefleksikan teori Ben Nabi dalam
pemikiran Islam kontemporer mungkin tidak terlalu sulit. Barangkali ketundukan
pada perspektif orientalisme tentang Timur dan Islam menjadi kunci penilaian,
apakah seseorang terjebak dalam qobiliyyah lil isti'mar atau tidak?
Tentu saja orientalisme dalam konteks ini adalah mayoritas mereka yang
cenderung bias dalam melihat persoalan-persoalan Islam, bukan orientalis yang
jujur dalam melihat Islam.
Mengapa orientalisme? Pertama,
karena orientalisme adalah produk langsung dari imperialisme. Karena itu negara
yang menjadi pelopor gerakan imperialisme selalu negara yang memiliki basis
koloni di negara-negara Islam. Fakta menunjukkan: "Sejak awal abad ke 19
sampai berakhir perang dunia kedua, Prancis dan Inggeris menguasai Timur dan
orientalisme. Tetapi sejak berakhirnya perang itu, Amerikalah yang menguasai
Timur dan mengadopsi cara yang sama yang telah dilakukan oleh Prancis dan
Inggeris dalam menghadapi dunia Islam"([xxvi]).
Alasan ini pula yang membuat umumnya
orientalis Jerman memiliki pemikiran yang clear tentang Islam. Karena mereka
tidak memiliki kepentingan imperialisme di dunia Islam([xxvii]).
Kedua, karena orientalisme seperti kata Edward Said (1935-2003)
dan tergambar jelas dalam judul bukunya, adalah konsepsi Barat tentang Timur.
Dan meskipun wilayah kajian orientalisme mencakup Timur secara umum, tetapi
Islam menjadi objek kajian yang paling utama.
Yang membuat orientalisme
terpojokkan dalam perspektif Said, karena produknya cenderung politis. Itu bisa
dipahami karena hubungan antara Barat dan Timur-Islam cenderung diwarnai
kebencian dan permusuhan. Setidaknya ada tiga faktor, menurut Said, yang membuat
saling memahami antara Barat dan Islam menjadi sulit, dan hubungannya cenderung
politis dan sensitif.
Pertama, sejarah fanatisme Barat yang anti Arab dan Islam sudah
terjadi dalam rentang yang panjang. Sejarah inilah yang mengawali dan menjadi
mainstream orientalisme. Kedua, clash antara Arab dan Zionisme Israel.
Benturan ini pada gilirannya mempengaruhi zionisme Amerika dan terefleksikan
dalam media massa, sehingga mempengaruhi persepsi masyarakat Amerika secara
umum. Ketiga, tidak adanya iklim kondusif yang membuat orang bersimpatik
terhadap Arab atau Islam, atau mendiskusikan persoalan Arab dan Islam secara
jernih dan tidak emosional([xxviii]).
Karena itu menurut Said, "Perhatian
orang Eropa kemudian Amerika tentang Timur (Islam) adalah konsern
politik..Mustahil bisa dipungkiri, seorang peneliti Eropa atau Amerika tentang
Timur, terpengaruh oleh kondisi penting sekarang. Artinya ketika dia mengkaji
Timur, tidak bisa melepaskan kapasitasnya: pertama sebagai orang Eropa atau
Amerika, kedua sebagai peribadi yang memiliki loyalitas kepada negara yang
memiliki kepentingan tertentu di Timur"([xxix]).
Karena produk orientalisme menjadi
pengetahuan politis, konsekwensinya tidak keluar dari frame politik secara
umum, yaitu tujuan menghalalkan segala cara. Kualitas produk karena itu, tidak
ditentukan oleh objektifitas, tetapi ditentukan oleh pragmatisme, yaitu
bermanfaat atau tidak untuk tujuan-tujuan imperialisme. Sangat logis jika para
ulama menilai produk orientalisme pada umumnya jauh dari objektifitas([xxx]).
Karenanya menurut Said, banyaknya
karya orientalisme berkenaan dengan Islam tidak menunjukkan nilai yang besar di
hadapan objektifitas. Baginya "Ketidak-tahuan Barat pada akhirnya telah
menambah rumit dan semakin jauh dari simplikasi, tidak karena pengetahuan
positif Barat telah bertambah dan menjadi semakin detil. Karena kebohongan
memiliki logika dan dialektikanya sendiri"([xxxi]).
Karena kebohongan itu maka kaum
orientalis model itu, dalam pandangan Al-Quran termasuk orang-orang yang tidak
memiliki integritas moral (fasik). Sehingga berita yang diperoleh dari
mereka harus direcek (tabayyun) (Al-Hujurat [49]: 6). Kualifikasi yang
harus menyertai pembacaan karya seperti itu setidaknya adalah kritisisme, tidak
bisa dijadikan patokan atau diterima apa adanya.
Tren Pemikiran Islam yang Bias
Orientalisme:
Bias orientalisme itu semakin hari
semakin menggejala dalam pemikiran Islam kontemprer di dunia Islam. Gejala itu
sepertinya tidak lepas dari kekuatan imperialisme yang memegang kendali
orientalisme dewasa ini. Grand design dari gerakan pemikiran ini adalah
menciptakan keislaman baru yang sekuler dan mengakomodasi Barat.
Sebuah sampel, Research And
Depelopment (RAND) Corporation, lembaga kajian Amerika tentang Timur-tengah dan
Islam, tahun 2007 merilis report berjudul Building Moderate Muslim Networks.
Ketika mendefinisikan siapa yang dikategorikan islamist atau yang oleh Barat
lazim disebut fundamentalis, RAND mengatakan: "Definisi yang paling
sempit tapi paling bermanfaat tentang siapa yang disebut islamist adalah setiap
orang yang menolak pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan negara,
berusaha untuk membangun bentuk tertentu dari negara Islam, atau paling tidak
mengajak untuk mengakui syariat sebagai asas perundang-undangan"([xxxii]).
Menurut design ini seorang Muslim
moderat adalah seorang sekuler, yang menganggap keterlibatan agama dalam
wilayah publik, dalam bentuk apapun adalah bagian dari teokrasi. Padahal
moderat (wasatiyyah) dalam perspektif Islam adalah sikap yang melihat
doktrin Islam -akidah, syariah dan akhlak- sebagai satu kesatuan yang
diaplikasikan dengan adil dan bijaksana.
Tetapi perspektif Barat tentang
Islam, yang melihat keislaman sebagai ekstrimisme dan anti kemodernan, telah
menciptakan sikap politik yang sangar dalam menghadapi Islam. Target dari sikap
itu adalah menjinakkan Islam, agar mau menginduk ke dalam kebudayaan global.
Sehingga "Memerangi Islam adalah kebutuhan mendesak untuk membuatnya
menjadi Islam modernis, liberalis dan sekuleris. Target dari perang ini adalah
membawa pendidikan Islam dan wacana keagamaan Islam ke jalan Ataturk
(1881-1938), yang telah memaksa Turkey untuk meninggalkan masa lalunya"([xxxiii]).
Untuk itu, di bawah ini akan
dideskripsikan dua sampel pemikiran Islam yang bias orientalisme itu. Pertama,
revisionisme dengan sampel kajian Al-Quran, karena model interaksi dengan
Al-Quran akan menentukan corak keislaman seseorang. Kedua,
dekonstruksionisme akidah, syariah dan akhlak. Jika kedua gerakan ini berhasil,
keislaman baru yang khas orientalis akan menjadi fenomena baru di dunia Islam.
Pertama, Revisionisme (Sampel Kajian
Al-Quran):
Sebenarnya akar revisionisme adalah
skeptisisme, yaitu keraguan tentang kebenaran segala hal yang berhubungan
dengan Islam, baik sumber-sumber keagamaan atau doktrin-doktrinnya. Karena
validitasnya diragukan, maka revisionisme memiliki itikad untuk merevisi
disiplin-disiplin keislaman.
Meskipun begitu, gerakan ini paling
populer dalam kajian Al-Quran. Maka sebagai sampel cara kerja gerakan ini dalam
merekonstruksi keilmuan dalam Islam, ada baiknya gerakan revisionisme dalam
kajian-kajian Al-Quran diketengahkan.
Revisionisme secara harfiah
mengandung makna keberanian untuk merevisi pandangan yang salah. Tetapi bukan
itu yang dimaksud disini. Gerakan ini bertujuan untuk merevisi segala persoalan
yang berhubungan dengan Al-Quran, dengan meninggalkan pandangan para ulama
karena dianggap pro-ortodoksi, dan hanya mengambil sumber-sumber orientalisme
karena dipandang memiliki basis ilmiah yang kuat.
Karenanya pendekatan kaum revisionis
bersifat monolitik. Mereka sepakat untuk menolak validitas sejarah berkenaan
dengan sejumlah masalah, semata-mata karena data-datanya berasal dari literatur
Muslim([xxxiv]). Mereka melihat sikap ilmiah ini valid, walaupun sifat
monolitik yang menolak segala sesuatu yang berasal dari sumber Islam dalam tema
keislaman, menurut kita bertentangan dengan klaim ilmiah.
Gerakan ini dimotori oleh para
orientalis tetapi diikuti oleh sejumlah sarjana Muslim, seperti Toha Husein,
Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zeid dan Muhammad Arkun([xxxv]).
Agenda utamanya adalah menolak
validitas wahyu, atau setidaknya meragukan keaslian Al-Quran khususnya mashaf
Utsmani. Tataran operasionalnya adalah merevisi hakikat Al-Quran seperti yang
diyakini umat Islam sebagai "Lafadz Arab yang diturunkan Allah kepada
Nabi Muhammad Saw. yang sampai kepada kita dengan cara yang mutawatir"([xxxvi]).
Agenda turunannya ada tiga: pertama merevisi akidah umat berkenaan dengan
kewahyuan Al-Quran, kedua revisi atas klaim kearaban lafadz Al-Quran, dan
ketiga skeptis atas otentisitas Al-Quran.
Pertama, secara normatif keyakinan bahwa Al-Quran adalah Kitab Allah
yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. itu masuk dalam wilayah akidah.
Karena mustahil seseorang mendapatkan status iman jika tidak percaya kepada
Al-Quran sebagai wahyu Allah.
Tetapi revisionis mendekonstruksi
akidah ini dengan beragam cara. Nasr Hamid Abu Zeid (1943-2010) pertama-tama
melihat bahwa pewahyuan adalah peralihan Al-Quran dari alam metafisik ke dunia
fisik. Dengan itu terjadi humanisasi sumber ketuhanan teks keagamaan, sejak
teks itu masuk ke wilayah sejarah dan bahasa. Sehingga baik teks maupun
maknanya pada akhirnya masuk ke dalam konstruk historis([xxxvii]).
Tetapi pandangannya terhadap
Al-Quran menjadi sangat ekstrim, ketika Abu Zeid menganalisa sebab-sebab
pewahyuan (asbanun nuzul) dengan dialektika Marxis. Menurut dialektika
ini, pemikiran adalah realitas yang ditransfer ke dalam otak manusia dan
direfleksikan olehnya. Bagi Abu Zeid, teks Al-Quran merupakan realitas
kebudayaan yang direfleksikan oleh Muhammad Saw. sehingga melahirkan teks dalam
bentuk ayat-ayat dalam Al-Quran.
Perspektif ini melahirkan keyakinan
baru, bagi Abu Zeid, bahwa Al-Quran adalah produk budaya, yang meski setelah
terformulasi menjadi teks keagamaan ia memproduk kebudayaan yang khas. "Konsep
bahwa teks merupakan produk budaya adalah fase pembentukan dan penyempurnaan
format Al-Quran. Setelah itu Al-Quran memproduk budaya..Perbedaan antara dua
fase itu dalam sejarah teks adalah perbedaan antara ketika teks menjadi derivat
dan refleksi dari budaya, dan ketika teks itu mempengaruhi dan merubah
budaya"([xxxviii]).
Dengan kata lain, teks-teks Al-Quran
terformulasikan dengan dialektika menaik (ascend dialectic) bukan
dialektika menurun (descend dialectic). Karena itu yang benar menurut
Abu Zeid adalah su'udul qur'an bukan nuzulul qur'an.
Kesimpulan Abu Zeid, sejak awal Al-Quran adalah ciptaan Muhammad Saw, bukan
wahyu Allah Swt.
Kedua, revisi terhadap keyakinan ortodoksi menyangkut kearaban
teks Al-Quran dieksplorasi kaum revisionis dari kritik Zarkasyi dan Suyuti
terhadap pendapat yang menyebut bahwa Jibril menurunkan Al-Quran dengan
maknanya saja, kemudian Nabi Muhammad Saw. menarasikannya dengan bahasa
Arab([xxxix]).
Menurut Suyuti pendapat itu ambigu.
Karena tidak bisa membedakan antara dua entitas wahyu. Wahyu pertama berbentuk
Al-Quran, dimana lafadz dan maknanya berasal dari Allah Swt. Wahyu kedua
berbentuk hadits qudsi, dimana maknanya berasal dari Allah dan lafadznya
berasal dari Nabi Muhammad Saw([xl]).
Meskipun begitu, kaum revisionis
menjadikannya sebagai argumen dimana lafadz Al-Quran berasal dari Muhammad Saw.
sehingga aransement (nudzum) Arab tidak menjadi bagian dari hakikat
Al-Quran. Karena itu perspektif revisionis ini memberikan legitimasi untuk
mereformulasi ayat-ayat Al-Quran ke dalam bahasa-bahasa lain, bukan sebagai
terjemah tetapi ayat-ayat Al-Quran versi bahasa itu.
Spirit orientalisme di sini terlihat
jelas, ketika objektifitas tidak menjadi panglima. Kata Siba'i: "Ketika
mereka mencari argumen, validitas tidak penting. Yang penting data itu bisa
dipergunakan untuk mendukung pandangan peribadinya"([xli]).
Tren ini pula yang membuat mereka
menjadikan pandangan Abu Hanifah sebagai data pendukung, ketika berpendapat
bahwa orang Parsi yang tidak hapal surah Al-Fatihah boleh membaca
makna-maknanya dalam bahasa itu. Argumen revisionis itu sangat bias, karena
konteks pendapat Abu Hanifah berkenaan dengan pemahamannya bahwa membaca ayat
Al-Quran dalam sholat adalah doa (munajat), dan doa sah meski tidak
memakai bahasa Arab([xlii]).
Berdasarkan konteksnya itu, pendapat
Abu Hanifah tidak bisa dijadikan rujukan untuk kebolehan mengaransment teks
Al-Quran dengan bahasa lain. Karena Abu Hanifah sendiri berpendapat sebaliknya.
Kata Al-Bazdawy (1010-1089) dari madzhab Hanafi: "Al-Quran yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw. yang tertulis dalam mashaf, yang diriwayatkan
dari Nabi Saw. dengan cara yang mutawatir, menurut konsensus ulama adalah
aransement (nudzum) dan maknanya sekaligus. Itulah pendapat yang benar menurut
Abu Hanifah"([xliii]).
Ketiga, skeptisisme terhadap otentisitas mushaf Utsmani
dilakukan dalam dua tahap. Pertama, skeptis terhadap kodifikasi Al-Quran pada
zaman Abu Bakar atas usulan Umar bin Khatab. Karena riwayat gugurnya sejumlah
penghapal Al-Quran pada perang Yamamah yang mendorong Umar mengusulkan
pengumpulan Al-Quran kepada pemerintah Abu Bakar, menurut Caetani dan Schwally
adalah bohong([xliv]). Gerakan revisionis lebih memilih perspektif orientalis
ini, dan menganggap hadits soheh yang diriwayat Imam Bukhari tentang ini
(4/4402; 6/6768) sebagai hadits palsu (maudu).
Keraguan ini disusul oleh
skeptisisme kedua tentang ketulusan Utsman bin Affan dalam melakukan kodifikasi
Al-Quran pada masa pemerintahannya. Meskipun revisionis mengakui telah terjadi
kodifikasi dimasa pemerintahan ini, tetapi mereka menuduh pemilihan Zaid bin
Tsabit sebagai ketua komisi dan pemihakan Utsman pada logat Quraisy dianggap
sarat dengan rekayasa dan konspirasi.
Karena itu Al-Quran yang ada
sekarang diklaim tidak otentik, karena sarat dengan pemihakan terhadap ideologi
Quraisy. Sehingga Al-Quran membutuhkan revisi total, aransement dan
sistematisasi baru. Inilah yang disebut dengan edisi kritis Al-Quran.
Kedua, Dekonstruksionisme:
Dekonstruksionisme adalah bacaan
ganda dalam mengkaji suatu teks. Pertama menggunakan bacaan konvensional untuk mengetahui
makna-makna eksplisitnya. Kedua mendekonstruksi kesimpulan itu, dengan
melakukan pembacaan sebaliknya yang merujuk pada makna-makna implisit dan
bertentangan dengan makna eksplisitnya. Bacaan pertama menunjukkan
makna-maknanya. Bacaan kedua menjelaskan kelemahan-kelemahan, kontradiksi, dan
kekeliruan yang disingkap oleh teks itu sendiri.
Dekonstruksionisme terkait dengan
epistemologi Barat, yang cenderung prustrasi untuk sampai pada tingkat
pengetahuan yang yakin. Seluruh ilmu pengetahuan dianggap hipotesis yang setiap
waktu bisa dimodifikasi dan berubah. Konsep pengetahuan yang objektif dan pasti
telah runtuh. "Sesungguhnya pengetahuan selalu berubah, karena dunia
eksternal yang berhubungan dengan keberadaan ini selalu berubah"([xlv]).
Menurut dekonstruksionisme, ciri
utama sebuah teks adalah simbolik, yang bisa dibaca dan dibaca balik. Tidak ada
bacaan yang innocent, karena setiap bacaan tidak akan luput dari misreading.
Karena itu interpretasi atas sebuah teks tidak mungkin bersifat final([xlvi]).
Tetapi ketika disebut tidak ada
bacaan yang bersih, tidak berarti bacaan itu salah. Tidak ada bacaan yang
salah, karena tidak ada bacaan yang benar. Karena itu dekonstruksionisme berada
di jantung relativisme. Ia bisa meruntuhkan aksioma-aksioma metafisika, tetapi
akan membuat keresahan dan kebingungan yang terus-menerus.
Dekonstruksionisme yang khas
epistemologi Barat ini cenderung diterima dan melembaga dalam wacana pemikiran
dan pendidikan di dunia Islam seiring dengan diterimanya hermeneutika.
Persoalannya, hermeneutika tidak hanya berhenti pada tataran teks, tetapi
memiliki ekses yang lebih luas ke dalam tataran akidah, syariah dan akhlak.
Dalam tataran akidah, penolakan
terhadap pengetahuan yang pasti telah menghantarkan manusia modern pada teologi
global, seperti yang dipelopori oleh WS Smith (1916-2000) dan John Hick
(1922-). Bagi Smith, masyarakat modern dihadapkan pada problem bagaimana
masyarakat internasional membentuk dirinya menjadi sebuah jamaah yang
mewujudkan persahabatan global yang saling memahami, meskipun agamanya berbeda.
Sebuah mega proyek yang tidak bisa dilakukan kecuali oleh sebuah entitas yang
disebut agama. Tetapi menurutnya, agama yang ada di dunia justru merobek-robek
masyarakat global itu, bukan menyatukannya.
Solusi Smith adalah membuang konsep
agama. Menurutnya tidak ada hakikat yang disebut agama, tidak di bumi tidak
juga di langit. Yang sekarang disebut agama tidak lain adalah sekumpulan
keyakinan yang terus berkembang dari waktu ke waktu, dimana manusia melihatnya
dari perspektif berpikir dan budaya tertentu. Sehingga dia melihat sesuatu yang
sesungguhnya tidak ada dalam realitas yang objektif([xlvii]).
Karena itu Smith mengusulkan dua
istilah alternatif. Pertama tradisi akumulatif untuk menyebutkan bahwa apa yang
disebut agama tidak lain merupakan sekumpulan tradisi yang mengkristal dalam
perjalanan sejarah umat manusia dan terus berkembang. Kumpulan tradisi itu
terkadang disebut Hindu, Buda, Yahudi, Kristen atau Islam. Kedua istilah iman
yang disebutkan untuk keberagamaan pribadi. Dan karena agama menurutnya tidak
bersifat objektif, maka istilah Mukmin bisa disematkan kepada orang-orang yang
secara formal menganut agama Yahudi, Kristen, Islam dan lain-lain([xlviii]).
Dan menurut Hick skat-skat agama
formal ini semakin hari akan semakin menipis dan cair berkat media massa yang
telah membuat dunia menjadi global village, sehingga kehadiran teologi
globalpun menurutnya adalah suatu keniscayaan([xlix]). Pluralisme agama, dalam
arti pluralisme kebenaran agama, inilah yang disebut teologi global itu. Para
sarjana muslim yang konsern dengan pluralisme ini menyebut bahwa sorga dan
keselamatan adalah milik seluruh umat beragama.
Relativisme yang sama ketika
diterapkan ke dalam persoalan-persoalan hukum juga melahirkan dekonstruksi
syariah. Itu karena kebenaran teks-teks Al-Quran dan Sunnah dalam perspektif
hermeneutika tidak mengikat perjalanan hidup manusia, kecuali setelah realitas
dan akal. Karena itu akal dan realitas menjadi parameter kebenaran teks agama.
Ayat-ayat Al-Quran selalu memiliki kemungkinan benar atau salah sampai realitas
atau akal memberikan justifikasi. Tetapi ketika realitas itu sendiri berubah,
maka makna-makna yang bisa ditangkap manusia dari teks itu juga berubah dari
waktu ke waktu.
Konsep inilah yang memberikan
legitimasi bagi pembaca untuk memproduksi makna-makna yang tidak dimaksudkan
oleh pemilik teks. Dalam konteks ini Roger Trigg mengatakan: "Hermeneutika
adalah metodologi interpretasi teks-teks klasik, dimana persoalan-persoalan
yang dibicarakan bisa dipahami dalam konteks kekinian. Karena teks ditulis
dalam kondisi yang betul-betul berbeda dari kondisi sekarang"([l]).
Dalam perspektif ini, tidak ada
hukum syariah yang tetap dan mengikat. Syariah tidak lain merupakan sekumpulan
variabel yang setiap waktu bisa dibaca secara berbeda. Tidak ada perbedaan
antara akidah yang disepakati sebagai aksioma (maklum minaddini bid dorurah)
dengan masalah-masalah yang menjadi wilayah ijtihad, karena semuanya relatif
dan bisa berubah.
Dekonstruksi akidah dan syariah ini
pada gilirannya mendekonstruksi Islam dimana agenda utamanya menciptakan
integritas moral umat. Karena, bagaimana mungkin sebuah ajaran akan menjadi
keyakinan dan hukum-hukumnya diamalkan, jika tidak memiliki unsur kepastian?
Tanpa kepastian tidak mungkin akidah
dan syariat Islam berfungsi. Padahal akidah memiliki pengaruh yang sangat dalam
terhdap pembentukan cara pandang, sikap dan budaya seseorang. "Agama..menyuguhkan
kepada kita prinsif-prinsif mendasar yang menentukan perjalanan hidup manusia.
Prinsif-prinsif itu akan membentuk persepsi dan menentukan sikap dalam
berhubungan dengan alam dan kehidupan secara umum"([li]).
Begitu pula syariah, karena "Jika
tidak ada hukum yang mengikat maka tidak akan ada tanggungjawab. Jika tidak ada
tanggungjawab maka tidak mungkin ada keadilan. Ketika itu yang akan menggejala
adalah kekacauan, pemerintahan akan rusak, dan premanisme akan melembaga. Tidak
hanya dalam realitas tetapi juga di bidang hukum"([lii]).
Dengan kata lain, relativisme
kebenaran telah mendekonstruksi seluruh tatanan Islam baik akidah, syariah dan
akhlak. Karenanya menyematkan sifat yang relatif terhadap seluruh doktrin dalam
Islam, akan menghilangkan sifat dan fungsi agama itu sendiri. Ia akan
menjadikan Islam sebagai wacana, dan menggugat fungsinya sebagai pedoman hidup
manusia.
Kelemahan Pemikiran Islam yang Bias
Orientalisme:
Sampai di situ, kelemahan pemikiran
Islam yang bias orientalisme sangat jelas. Secara retorik mungkin bisa diklaim,
liberalisasi pemikiran keislaman misalnya, dimaksudkan agar Islam compatible
dengan modernitas. Tetapi menjadikan produk orientalisme sebagai panglima,
tidak saja menciptakan keberagamaan yang chaos, tetapi membuat umat Islam
kehilangan identitas dan substansi agamanya.
Evelyn Baring yang terkenal
dengan Earl of Cromer (1841–1917), Konsulat Jenderal Inggeris di Mesir,
memberikan gambaran riil tentang masyarakat muslim Mesir yang mengalami
liberalisasi. Mereka mengalami split personality. Disebut Muslim tetapi
melepaskan akidah dan identitas Islam, disebut Barat tapi tidak memiliki spirit
dan percaya diri sebagai pemilik kebudayaan Barat. Katanya: "Masyarakat
Mesir yang terpengaruh dengan Barat, meskipun memakai nama Islam, pada
hakikatnya agnostic. Kesenjangan antara mereka dengan seorang ulama dari
Universitas Al-Azhar adalah seperti kesenjangan antara orang Azhar dengan orang
Eropa"([liii]).
Jadi persoalannya bukan senang atau
tidak senang dengan peradaban Barat. Karena Islam juga bukan agama yang
tertutup. Karakter aslinya adalah keterbukaan untuk berhadapan dan menerima
kebudayaan luar yang dinilai baik. Karena itu, seorang Muslim dengan
komitmennya terhadap Islam adalah orang yang terbuka terhadap kebudayaan asing
yang bermanfaat. Hanya saja, ketika dia mengadopsi gagasan-gagasan baru, itu
didasarkan atas kaidah-kaidah tertentu.
Kaidah yang paling penting adalah
kesatuan dan keserasian epistemologis. Parameter penilaiannya: apakah
konsep-konsep baru itu bertentangan dengan akidah Islam atau tidak? Apakah bisa
dimodifikasi menjadi bagian yang serasi dalam paradigma keilmuan Islam atau
tidak? Kata Ismail Al-Faruqi (w. 1986): "Anasir-anasir peradaban harus
menyatu, harmonis, satu bagian dengan bagian lainnya serasi. Itu bagian
terpenting dalam kebudayaan, jika itu hilang yang akan terjadi adalah campuran
yang berakumulasi, bukan kebudayaan"([liv]).
Karenanya proses kebudayaan bukan
mekanisme vacum cleaner yang menyerap apa saja. Ia seperti budaya hidup
sehat yang selektif memilih nutrisi yang baik. Barangkali penyerapan filsafat
Yunani dan modifikasinya menjadi filsafat dan teologi Islam bisa menjadi
gambaran tentang proses ini.
Dengan begitu menyerap kebudayaan
luar merupakan masalah yang serius dan rumit. Menuntut kesadaran penuh, pikiran
yang kritis dan akidah yang kuat. Mengabaikan kapasitas ini akan berdampak
menguras Islam dari akal dan hati umat, dan menggantinya dengan pikiran dan
emosi yang palsu. Proses semacam ini tidak akan memajukan peradaban umat,
tetapi justru menghancurkan eksistensinya.
Kata Muhammad Husein Haikal
(1888-1956): "Tauhid yang telah menerangi spiritualitas orang tua kita,
dengan karunia Allah telah membuat fitrah kita selamat, dan membuat kita sadar
tentang bahaya propaganda Barat. Dan umat yang hari ini terputus dari masa
lalunya akan tersesat. Sesungguhnya bangsa yang tidak punya masa lalu, dia
tidak akan punya masa depan"([lv]).
Dengan kata lain, jika Islam
tersubordinasikan ke dalam peradaban Barat, setidaknya umat Islam akan
menghadapi dua kerugian besar:
Pertama, akan kehilangan jati diri agama dan peradabannya. Ketika
umat Islam terbawa arus kebudayaan Barat, berarti telah meninggalkan dirinya.
Mereka akan jatuh ke dalam "berhala" kemajuan yang telah membuat
spiritualitas dunia Barat menderita. Itu ketika Barat memarginalkan agama
sehingga hanya menjadi gemericing lonceng yang sayup-sayup terdengar di ujung
berbagai kejadian.
Kedua, setelah umat Islam kehilangan jati dirinya, mereka akan
menderita kelumpuhan total dalam melaksanakan peran peradabannya untuk umat
manusia. Kesalahan sejarah ketika Islam disubordinasikan ke dalam peradaban
Barat inilah yang disesali oleh Muhammad Asad (1900-1992): "Andai saja
umat Islam tetap tenang, mau menerima bahwa kemajuan itu sekedar wasilah bukan
tujuan utama, tidak saja mereka akan mampu menjaga kemerdekaan
spiritualitasnya, tetapi mungkin juga mereka akan memberikan kepada manusia
Barat rahasia kelezatan hidup yang hilang dari tangan mereka"([lvi]).
Karena itu program kajian-kajian
keislaman perlu melakukan introspeksi dan koreksi. Bahwa umat Islam dengan
kebesaran agama yang dianugerahkan Allah, tidak selayaknya menjadi gerbong yang
paling belakang. Tidak selayaknya hanya menjadi murid, sekedar catatan kaki,
hidup di pinggiran bangsa-bangsa lain, atau rela menginduk kepada peradaban
lain.
Sikap yang benar adalah kita umat
yang merdeka. Memiliki iradah yang kuat dan berpikir yang independen.
Umat yang jika membutuhkan sesuatu dari bangsa-bangsa lain, ia memilih sesuatu
yang layak dan sesuai dengan jati diri, kemuliaan, privilage dan percaya
dirinya. Dengan kebebasannya pula umat bisa menolak segala hal yang melemahkan
kepribadian dan kedudukannya, yang bisa membuatnya lebur dengan kebudayaan
lain.[]
Oleh Dr. Abas Mansur Tamam, MA (dosen Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI),
Paska Sarjana Universitas Indonesia, Salemba Jakarta)
Disampaikan pada acara TFT Andal FLP
di SD Bintang Madani, Bandung, tanggal 29-31 Juli 2011
CATATAN KAKI:
([i]) Ibn
Khaldun, Muqodimah, hal. 147, Beirut: Darul Qolam, cet. 5, 1984
([ii])
Syiliq, Ahmad Zakaria (Dr), Al-Hadatsah wal Imbriyaliyyah: Al-Gowzu
Al-Faransi wa Isykaliyyatu Nahdoti Misr, Cairo: Dar Syuruq, 2005
([iii]) Syiliq, Al-Hadatsah
wal Imbriyaliyyah, hal. 7
([iv]) Hourani, Albert,
Al-Fikru Al-Arabi fi Ashrin Nahdah 1798-1939, terj. Karim Azqul, Beirut:
Dar Nahar, tt, hal. 9
([v]) Syiliq, Al-Hadatsah
wal Imbriyaliyyah, hal. 8
([vi]) Syiliq, Al-Hadatsah
wal Imbriyaliyyah, hal. 178
([vii]) Sunan
At-Turmudzi 5/2687; Sunan Ibn Majah 2/4169
([viii]) Emara, Muhammad
(Dr), Al-Istiqlal Al-Hadori, Cairo: Nahdotu Misr, 2007, hal. 4
([ix]) Al-Jabiri,
Muhammad Abid (Dr.), Al-Khitab Al-Arabi Al-Muashir: Dirasah Tahliliyyah
Naqdiyyah, Beirut: Markaz Dirasat Al-Wihdah Al-Arabiyya, 1994, Hal. 22-23
([x]) Al-Bahi, Muhammad (Dr.),
Al-Fikru Al-Islami Al-Hadits wa Shillatuhu bil Isti'mar, Cairo: Maktabah
Wahbah, cet. 4, hal. 24
([xi]) Abduh, Muhammad, Al-Islam
Bainal Ilmi wal Madaniyyah, Cairo: Darul Hilal, 1960, Hal. 66
([xii]) Hourani, Al-Fikru Al-Arabi,
hal. 391
([xiii]) Husein, Toha (Dr), Mustaqbal
Tsaqofah fi Misr, vol. 1, Cairo: Dar Ma'arif, 1938, hal. 45
([xiv]) Al-Bahi, Al-Fikru
Al-Islami Al-Hadits, hal. 61
([xv]) Jamaluddin Al-Afgani,
Muhammad Abduh, Al-Urwatul Wutsqo was-Tsaurah At-Tahririyyah Al-Kubra,
Sholahuddin Al-Bastawi (Ed.), Cairo: Darul Arab, 1993, Hal. 382-383
([xvi]) Al-Afgani dan Abduh, Al-Urwatul
Wutsqo, hal. 384
([xvii]) Al-Afgani dan Abduh, Al-Urwatul
Wutsqo, hal. 385
No comments:
Post a Comment