MUT'AH DAN HUKUMNYA.
NIKAH MUT'AH IALAH PERKAWINAN ANTARA SEORANG LELAKI DAN WANITA
DENGAN MASKAWIN TERTENTU UNTUK JANGKA WAKTU TERBATAS YANG BERAKHIR DENGAN
HABISNYA MASA TERSEBUT, DIMANA SUAMI TIDAK BERKEWAJIBAN MEMBERIKAN NAFKAH, DAN
TEMPAT TINGGAL KEPADA ISTRI, SERTA TIDAK MENIMBULKAN PEWARISAN ANTARA KEDUANYA.
UANG KONTRAK nikah dalam
jumlah tertentu, tanpa perlu persetujuan atau sepengetahuan walinya.
Sayyid Husein Al Musawi, salah seorang tokoh Syiah di kota Najaf yang kemudian keluar dari Syiah menceritakan kisahnya ketika seorang pengikut Syiah marah kepada tokohnya yang menghalalkan anak-anak gadis mereka dimut’ah, tetapi putri pembesar dan tokoh diharamkan. Berikut kisahnya seperti ia tuturkan dalam bukunya Lillahi, Tsumma li Tarikh yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Mengapa Saya Keluar dari Syiah:
Sayyid Husein Al Musawi, salah seorang tokoh Syiah di kota Najaf yang kemudian keluar dari Syiah menceritakan kisahnya ketika seorang pengikut Syiah marah kepada tokohnya yang menghalalkan anak-anak gadis mereka dimut’ah, tetapi putri pembesar dan tokoh diharamkan. Berikut kisahnya seperti ia tuturkan dalam bukunya Lillahi, Tsumma li Tarikh yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul Mengapa Saya Keluar dari Syiah:
Ada 6 perbedaan prinsip antara nikah
mut'ah dan nikah sunni (syar'i):
1. Nikah mut'ah dibatasi oleh waktu,
nikah sunni tidak dibatasi oleh waktu.
2. Nikah mut'ah berakhir dengan
habisnya waktu yang ditentukan dalam akad atau fasakh, sedangkan nikah sunni
berakhir dengan talaq atau meninggal dunia.
3. Nikah mut'ah tidak berakibat saling
mewarisi antara suami istri, nikah sunni menimbulkan pewarisan antara keduanya.
4. Nikah mut'ah tidak membatasi
jumlah istri, nikah sunni dibatasi dengan jumlah istri hingga maksimal 4 orang.
5. Nikah mut'ah dapat dilaksanakan
tanpa wali dan saksi, nikah sunni harus dilaksanakan dengan wali dan saksi.
6. Nikah mut'ah tidak mewajibkan
suami memberikan nafkah kepada istri, nikah sunni mewajibkan suami memberikan
nafkah kepada istri.
Dalil-Dali Haramnya Nikah Mut'ah
Haramnya nikah mut'ah berlandaskan
dalil-dalil hadits Nabi saw juga pendapat para ulama dari 4 madzhab. Dalil dari
hadits Nabi saw yang diwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim
menyatakan bahwa dari Sabrah bin Ma'bad Al-Juhaini, ia berkata: "Kami
bersama Rasulullah saw dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami
berjalan bersama saudara sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa
muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut
(selendang) yang dipakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata:
"Ada selimut seperti selimut". Akhirnya aku menikahinya dan tidur
bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke Masjidil Haram, dan
tiba-tiba aku melihat Rasulullah saw sedang berpidato diantara pintu Ka'bah dan
Hijr Ismail. Beliau bersabda, "Wahai sekalian manusia, aku pernah
mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut'ah. Maka sekarang siapa
yang memiliki istri dengan cara nikah mut'ah, haruslah ia menceraikannya, dan
segala sesuatu yang telah kalian berikan kepadanya, janganlah kalian ambil
lagi. Karena Allah azza wa jalla telah mengharamkan nikah mut'ah sampai Hari
Kiamat (Shahih Muslim II/1024).
Dalil hadits lainnya: Dari Ali bin
Abi Thalib ra. ia berkata kepada Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad saw melarang
nikah mut'ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang Khaibar (Fathul
Bari IX/71).
Pendapat Para Ulama
Berdasarkan hadits-hadits tersebut
diatas, para ulama berpendapat sebagai berikut:
- Dari Madzhab Hanafi, Imam
Syamsuddin Al-Sarkhasi (wafat 490 H) dalam kitabnya Al-Mabsuth (V/152)
mengatakan: "Nikah mut'ah ini bathil menurut madzhab kami. Demikian pula
Imam Ala Al Din Al-Kasani (wafat 587 H) dalam kitabnya Bada'i Al-Sana'i fi
Tartib Al-Syara'i (II/272) mengatakan, "Tidak boleh nikah yang bersifat
sementara, yaitu nikah mut'ah".
- Dari Madzhab Maliki, Imam Ibnu
Rusyd (wafat 595 H) dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid
(IV/325 s.d 334) mengatakan, "hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut'ah
mencapai peringkat mutawatir" Sementara itu Imam Malik bin Anas (wafat 179
H) dalam kitabnya Al-Mudawanah Al-Kubra (II/130) mengatakan, "Apabila
seorang lelaki menikahi wanita dengan dibatasi waktu, maka nikahnya
batil."
- Dari Madzhab Syafi', Imam Syafi'i
(wafat 204 H) dalam kitabnya Al-Umm (V/85) mengatakan, "Nikah mut'ah yang
dilarang itu adalah semua nikah yang dibatasi dengan waktu, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki kepada seorang
perempuan, aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu
bulan." Sementara itu Imam Nawawi (wafat 676 H) dalam kitabnya Al-Majmu'
(XVII/356) mengatakan, "Nikah mut'ah tidak diperbolehkan, karena
pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu aqad yang bersifat mutlaq, maka tidak
sah apabila dibatasi dengan waktu."
- Dari Madzhab Hambali, Imam Ibnu
Qudamah (wafat 620 H) dalam kitabnya Al-Mughni (X/46) mengatakan, "Nikah
Mut'ah ini adalah nikah yang bathil." Ibnu Qudamah juga menukil pendapat
Imam Ahmad bin Hambal (wafat 242 H) yang menegaskan bahwa nikah mut'ah adalah
haram.
Rujukan:
1. Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Dirasat fil ahwa wal firaq wal Bida' wa Mauqifus
Salaf minha.
2. Drs. KH Dawam Anwar dkk, Mengapa
Kita menolak Syi'ah.
3. H. Hartono Ahmad Jaiz, Di bawah
Bayang-bayang Soekarno-Soeharto.
4. Abdullah bin Sa'id Al-Junaid,
Perbandingan antara Sunnah dan Syi'ah.
5. Dan lain-lain, kitab-kitab
karangan orang Syi'ah.
No comments:
Post a Comment