Pukulan yang tidak mangandung unsur
kekerasan, menurut Atha’ bertanya kepada Ibnu Abbas, “Apa yang dimaksudkan
dengan pukulan yang tidak membahayakan?” Beliau menjawab, “Gunakan siwak dan
sejenisnya.” Jika memukul, hindari
lokasi-lokasi berbahaya seperti kepala, perut, juga wajah. Karena Nabi
melarang memukul wajah secara umum. Dalam hadits Mu’awiyyah bin Hidah –
rodhiyallohu ‘anhu – disebutkan bahwa ia bertanya, tentang hak istri atas
diri suami.?” Beliau menjawab, “Hendaknya engkau memberinya makanan sebagaimana
yang engkau makan dan memberinya pakaian sebagaimana yang engkau kenakan;
jangan engkau menjelek-jelekkannya dan jangan memukul sembarangan.‘jangan
memukul wajah.”[1]
HUMANIORAMUI: Guru Mencubit
Demi Kemajuan Murid Senin, 06 Mei 2013 | 08:32 WIBIlustrasi--MI/Immanuel
Antonius.
Metrotvnews.com, Waykanan:
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Waykanan Provinsi Lampung
Bunyamin Sidik mengatakan, tindakan guru Sari Asih Sosiawati yang dipidanakan
orang tua murid lantaran mencubit siswa seharusnya dimaknai sebagai peringatan
pendidikan demi anaknya.
"Rasanya hampir semua
murid di zaman dulu mengalami peringatan oleh gurunya, dicubit, dijewer, disebat
pakai mistar, dipukul pakai rotan, dilempar pakai kapur dan pengapus dan lain
sebagainya," ujar Bunyamin, di Blambangan Umpu, Senin (6/5).
Oleh sebab itu, Ketua MUI
Waykanan menambahkan, orang tua murid seharusnya bisa menyikapi cubitan Asih
sebagai peringatan demi kemajuan
pendidikan anaknya.
"Saya sewaktu belajar di
pondok pesantren juga pernah mengalami pukulan rotan di telapak tangan kiri dan
kanan masing-masing tujuh kali karena tidak hafazd atau hafal mata pelajaran
alfiah olah almarhum KH Mustafa. Dan saya memaknainya sebagai peringatan
sehingga memacu untuklebih giat belajar," ujarnya lagi.
Bunyamin yang juga Kepala Badan
Keluarga Berencana, Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Perempuan itu
menegaskan pelapor perlu mendapat pencerahan moral dan psikologi agama serta
psikologi pendidikan.
Sari Asih Sosiawati, pengajar
Bahasa Lampung di SDN Tiuhbalak, Baradatu, pada 29 Agustus 2012 mencubit
seorang murid. Asih mengatakan mencubit pada bagian atas perut bawah ketiak
sebelah kiri dengan tangan kanannya karena pelajar yang dicubitnya tersebut
tidak mengerjakan ulangan serta terhitung sudah dua kali.
Akibat cubitan itu, PNS
golongan III A itu dilaporkan oleh ke Polsek Baradatu oleh orang tua siswa yang
dicubitnya. Dan kepada sejumlah jurnalis pula, Asih yang disangkakan terkena
pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak, juga mengatakan jika dimintai
pelapor Rp24 juta sebagai uang damai. (Ant)
Editor: Irvan Sihombing
Jabir, berkata, “Rasulullah melarang memukul di wajah dan memberi alamat (dengan menggores) di wajah”[2] Berkata Imam An-Nawawi, “Adapun pemukulan di wajah dilarang pada seluruhnya…, pada manusia, keledai, kuda, unta, kambing, dan yang lainnya. Pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain”.[3]
Jika Rasulullah SAW melarang memukul
wajah hewan, lebih-lebih lagi wajah manusia.., lebih lagi jika wajah seorang wanita dan anak-anak,
karena itu Rasulullah melarang secara khusus untuk memukul wajah. Seseorang
bertanya kepada Nabi SAW, “Apa hak seorang wanita terhadap suaminya?”, Rasulullah menjawab,
“Memberi
makan kepadanya, memberi pakaian, dan tidak memukul wajahnya, tidak
menjelekannya,[4]
serta tidak
meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat tidur) kecuali di dalam rumah”[5].
Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.
Suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang ada di tangannya?. Ini menunjukkan lemahnya nilai keaagamaan dan pendeknya akal sang suami. Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan terhadap istri dan anak, adalah ibarat obat yang harus diperhatikan jenisnya, kapan dilakukan, bagaimana caranya, dan ukuran pemukulan tersebut. “Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian, dan jika mereka melakukan maka “pukullah” mereka dengan pukulan yang tidak membekas”[6]
Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, “Jika perkara yang besar ini (yaitu sang istri memasukkan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih ringan)? tentunya lebih utama tidak dipukul hingga membekas...” [7]
Berkata Ibnul ‘Arabi, “ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di badan berupa darah maupun patah”[8] Yang sangat menyedihkan sebagian suami yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?[9] Rasulullah SAW.,bersabda,“Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari”[10]Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka” menurut Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja. Karena itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Kemudian
dinyatakan, “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, nasehatilah
mereka dan pukullah mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”.Ayat ini,
memberikan informasi tentang memukul
istri yang tidak patuh, pada perintah suami, di mana perintah suami tidak untuk
kejelekan istri tetapi untuk kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup
tentu suami yang baik menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula.
Terkadang banyak istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami.
Dalam hal ini jika ada kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak
baik) maka suami harus menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat
diatas kata menasehati lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati
ini tentu tidak hanya sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar.
Nah, jika istri sudah dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami
boleh memukul. Ayat tentang ini ada asbanunnuzulnya.[11]
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul tersebut. Banyak
kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu yang menakutkan.
kata “Pukullah”,[12]
adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan sendiri-sendiri dari
kata ini. Adapun maksud dan arti “memukul” :
1. Membenturkan benda ke tubuh.
2. Membenturkan kepalan tangan
(tangan) ke tubuh.
Dari dua arti diatas tentu masih
bernuansa umum, karena benda yang dipakai juga tidak jelas, apakah besar,
sedang atau kecil. Apakah bendanya panjang atau pendek. Dalam membenturkan
tangan juga tidak jelas apakah dengan kekuatan penuh, sedang atau lemah. Ayat
diatas tidak ada keterangan bagaimana harus memukul. Dalam pemahaman Islam
mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul adalah membenturkan sesuatu
benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu bisa menyadarkan pihak
istri. Dan tentu masing-masing pukulan akan berbeda tentunya, karena ada istri
yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja sudah sadar, dan
ada yang dipukul keras, baru sadar dan yang terakhir tadi tentu sejelek-jelek
pukulan. [13]
Bagaimana jika sudah
dipukul dengan segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk
menyakiti manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika
memang demikian daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka
diperbolehkah bercerai meski itu sangat dibenci oleh Allah. Memukul peminum
khamar,memang diberlakukan hukum hudud,
seorang muslim yang kedapatan dan terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya adalah
dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah,
artinya bentuknya sudah menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh
diganti dengan bentuk hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.
Dalam
istilah fiqih disebut hukum hudud,
yaitu hukum yang bentuk, syarat, pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh
Allah SWT.[14] Hudud jamak dari hadd,
arti aslinya batas antara dua hal. Menurut bahasa bisa juga cegahan. Sedangkan
menurut syari'at yang dimaksud ialah hukuman yang telah ditetapkan dalam al
qur'an sebagai hak Allah. Ketetapan Allah SWT mengenai hukuman zina pada Qs.An-Nisa':15-16.
Kegunaannya untuk mencegah perbuatan keji, antara perbuatan zina, dan semua perbuatan mesum seperti, :
zina, homosek dan yang sejenisnya. Keji menurut pendapat Muslim dan mujahid,
bahwa yang dimaksud dengan perbuatan keji ialah musahaqah (homosek antara wanita dengan wanita). Menurut Jumhur
Mufassirin jalan yang lain itu, itu ialah dengan turunnya ayat 2 surat An Nur. Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :
"Siapa yang minum khamar
maka pukullah". Hadits ini termasuk jajaran hadits
mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi pada tiap
thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi kebohongan diantara mereka. Di
tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda.
Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir,
As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin
Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.
Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu
dapat terlanksana, syarat dan ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu.
Tidak asal ada orang minum khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan
ketentuannya antara lain :
1. Berakal
Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga
orang gila bila meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.[15]
2. Baligh
Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang
anak kecil di bawah umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum
hudud. [16]
3. Muslim
Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman
keras yang bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan
tidak bisa dilarang untuk meminumnya.
4. Bisa memilih
Peminum
minuman keras, dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang
dipaksa.
[4]Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan
“Wajahmu jelek” atau mengatakan, “Semoga Allah menjelekkan wajahmu”. Syaikh
Ibnu Utsaimin mengatakan, “Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang
istri dengan keburukan. Dan zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak
mensifati istrinya dengan keburukan baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun
dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan tubuhnya misalnya ia mensifati
kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau tingginya atau
pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan kepada
istrinya, “Kamu goblok”, “Kamu gila” dan yang semisalnya. Karena jika sang
suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang
istri terus mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama” (Syarah
Bulughul Maram kaset no 12)
[5]HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu
Majah no 1850 dari hadits Mu’awiyah bin Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini
bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
[9]Berkata Ibnu Hajar, “(yaitu)
kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua perkara dari seorang
yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian menjimaknya di
akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai
kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang
dicambuk lari dari orang yang mencambuknya…dan jika harus memukul maka
hendaknya dengan pukulan yang ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri
rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh), maka janganlah ia berlebih-lebihan
dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi pelajaran bagi sang istri”
[Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009]Barangsiapa yang berbuat
aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia
memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka
sesungguhnya Allah lebih tinggi darinya dan akan membalasnya. Allah berfirmam, jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.QS.
4:34.
[11]Ibnu Abu Hatim mengetengahkan dari Hasan, katanya,
"Seorang wanita datang kepada Nabi saw. mengadukan suaminya karena telah
memukulnya, maka sabda Rasulullah saw., 'Berlaku hukum kisas,' maka Allah pun
menurunkan, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin atas kaum wanita...' sampai akhir
ayat." (Q.S. An-Nisa 34.) Demikianlah wanita itu kembali tanpa kisas. Ibnu
Jarir mengetengahkan pula dari beberapa jalur dari Hasan, yang pada sebagiannya
terdapat bahwa seorang laki-laki Ansar memukul istrinya, hingga istrinya itu
pun datang menuntut kisas. Nabi saw. pun menitahkan hukum kisas di antara
mereka, maka turunlah ayat, "Dan janganlah kamu mendahului Alquran sebelum
diputuskan mewahyukannya bagimu." (Q.S. Thaha 114) dan turunlah ayat,
"Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita..." Dan dikeluarkan pula
yang serupa dengan ini dari Ibnu Juraij dan Saddiy. Ibnu Murdawaih
mengetengahkan juga dari Ali, katanya, "Seorang laki-laki Ansar datang
kepada Nabi saw. dengan membawa istrinya, maka kata istrinya, 'Wahai
Rasulullah! Dia ini memukul saya hingga berbekas pada wajah saya.' Jawab
Rasulullah, 'Tidak boleh ia berbuat demikian', maka Allah swt. pun menurunkan
ayat, 'Kaum lelaki menjadi pemimpin kaum wanita...sampai akhir ayat.' (Q.S.
An-Nisa 34) Maka hadis-hadis ini menjadi saksi, yang masing-masingnya
menguatkan yang lainnya."
[12]Bahwasanya Abdullah bin
‘Umar radhiallahu ‘anhuma apabila mendapati salah seorang anggota keluarganya
bermain dadu, beliau memukulnya dan memecahkan dadu itu. (HR. Al-Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad no. 1273. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu berkata dalam
Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad mauquf) Begitu pula Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,
sebagaimana penuturan Syumaisah Al-’Atakiyyah: “Pernah disebutkan tentang
pendidikan bagi anak yatim di sisi ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, maka beliau pun
berkata, ‘Sungguh, aku pernah memukul anak yatim yang ada dalam asuhanku hingga
dia telungkup menangis di tanah.” HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 142, dan dikatakan Asy-Syaikh Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabul Mufrad: shahihul isnad. Akan tetapi, ada yang perlu
diperhatikan dalam hal ini. Orang tua tidak diperkenankan memukul wajah. Hal
ini secara umum dilarang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana
dalam hadits Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu: “Apabila salah seorang di
antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
[13]Para
ulama mengatakan bahwa ini adalah larangan memukul wajah secara tegas. Karena
wajah merupakan sesuatu yang lembut yang terkumpul padanya seluruh keindahan.
Anggota-anggota tubuh yang ada di wajah demikian berharga, dan sebagian besar
penginderaan seseorang diperoleh dengan anggota tubuh tersebut. Sehingga
terkadang pukulan di wajah bisa menghilangkan atau mengurangi fungsi anggota
tubuh itu, terkadang pula menjadikan wajah cacat. Sementara cacat di wajah itu
sendiri demikian buruk karena nampak jelas dan tidak mungkin ditutupi. Dan pada
umumnya pukulan di wajah itu tidak lepas dari kemungkinan timbulnya cacat.
Termasuk pula dalam larangan ini seseorang yang memukul istri, anak, ataupun
budaknya dalam rangka mendidik, hendaknya dia hindari wajah. (Syarh Shahih
Muslim, 16/164) Hal lain yang perlu diperhatikan pula, pukulan pada si anak
adalah semata-mata dalam rangka mendidik. Yang dimaksud dengan pukulan yang
mendidik adalah pukulan yang tidak membahayakan. Sehingga tidak diperkenankan
seorang ayah memukul anaknya dengan pukulan yang melukai, tidak boleh pula
pukulan yang bertubi-tubi tanpa ada keperluan. Namun bila dibutuhkan, misalnya
sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah
boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai. Karena
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk memukul
bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan meluruskan mereka.
(Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 2/123-124). Semua ini
perlulah kiranya untuk diketahui oleh orang tua yang hendak mengarahkan
anak-anak mereka, mengingat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak mereka,
manakala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan
akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Seorang pemimpin yang memimpin manusia
adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang
laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya
tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan
anak-anak suaminya, dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah
penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya.
Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai
tentang tanggung jawabnya.”HR. Al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829
[14]Keterangan ayat tentang Hudud. (Perempuan yang berzina
dan laki - laki berzina) kedua - duanya bukan muhshan atau orang yang terpelihara dari berzina disebabkan telah
kawin. Hadd bgi pelaku zina muhshan adalah dirajam, menurut keterangan dari
sunnah.(maka deralah tiap - tiap seorang dari keduanya seratus kali dera) yakni
seratus kali pukulan.Jika dikatakan Jalahadu artinya ia memukul kulit
seseorang; makna yang dimaksud adalah mendera. kemudian ditambahkan hukuman
bagi pelaku zina yang bukan muhshan ini menurut keterangan dari Sunnah, yaitu
harus diasingkan atau dibuang selama satu tahun penuh. bagi hamba sahaya hanya
dikenakan hukuman separuh dari hukuman orang yang merdeka tadi. Lihat Muchtar
Yahya, op.cit., hlm. 511.
[15]Ta'ziî
adalah jenis hukuman, bukan bentuk hukuman. Bentuk hukuman bisa dalam bentuk
cambuk, rajam atau diasingkan. Tapi kalau kita bicara tentang jenis hukuman, maka
jenis hukuman itu ada 2 macam, yaitu hukum hudud dan hukum ta'zir. Sedangkan
bentuknya bisa saja cambuk, rajam atau lainnya. Beda Ta'zir dengan Hudud
.Jadi padanan dari hukum ta'zir bukan cambuk, melainkan hukum hudud. Hukum
hudud adalah hukum yang semua aturannya langsung ditetapkan Allah. Mulai dari
batasan pelanggaran, pembuktian, syarat saksi hingga pada bentuk hukumannya. Semua ditetapkan Allah SWT bahkan nabi SAW tidak
punya hak untuk mengubahnya.Contoh hudud adalah ketentuan memotong tangan
pencuri. Allah secara langsung menetapkan hukuman buat pencuri. Bahkan ketika
seorang wanita dari Bani Makhzum mencuri dan para shahabat berpandangan untuk
meminta keringanan dari nabi untuk tidak dipotong tangannya, beliau SAW menolak
keringanan itu seraya menjelaskan bahwa ketentuan potong tangan bukan
wewenangnya. Hukum ta'zir adalah hukuman yang semua ketentuannya ditetapkan
oleh hakim. Meski tetap mengacu kepada syariat dari Allah SWT juga. Namun
khusus untuk hukuman ta'zir, hakim mendapatkan hak lebih besar untuk menentukan
bentuk dan beratnya hukuman.Contohnya adalah hukuman buat pelaku zina yang
kurang buktinya, misalnya tidak ada 4 orang saksi yang memenuhi syarat. Mereka
ini tidak bisa dirajam meski melakukan zina, bila tidak ada saksinya. Tetapi
karena jelas-jelas melakukan kemesuman, maka hakim berhak untuk menjatuhkan
hukuman 'pelajaran' kepada mereka, misalnya dicambuk 10 kali. Hukuman ta'zir
ini bukan untuk menghukum kasus zina, melainkan tindakan mesum yang boleh jadi
belum memenuhi derajat zina.Maka salah satu peran hukuman ta'zir ini adalah
agar para pelaku hukum hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja.
Maklumlah, kita tahu bahwa untuk menjatuhkan hukum hudud, diperlukan syarat
yang sangat njelimet dan nyaris bisa-bisa semua tertuduh bebas.
[16]Hukum Hudud telah sekian
lama dipropagandakan oleh media-media barat dan musuh-musuh Islam agar
masyarakat melihatnya sebagai ganas dan tidak sesuai diamalkan dalam zaman yang
serba moden ini. Sedangkan Hukum Hudud
dan undang-undang Islam lain yang Allah
perintahkan dalam AlQuran untuk dilaksanakan adalah relevan sepanjang zaman
hinggalah ke Hari Kiamat, dan ianya WAJIB untuk dilaksanakan. Hudud ialah satu
cabang dari undang-undang jenayah Islam. Di dalam perundangan jenayah Islam
terdapat tiga jenis hukuman iaitu Hudud, Qisas dan Ta'zir.Hudud ialah kesalahan
jenayah yang melanggar hak-hak Allah iaitu melanggar batas-batas yang telah
ditetapkan oleh Allah dan hukumannya adalah berdasarkan kepada nas, sama ada
melalui AlQuran atau AlHadits. Ia meliputi keperluan menjaga agama, nyawa,
akal, keturunan dan harta benda. "Itu
adalah Hudud (had-had) dari Allah, barangsiapa ta'at kepada Allah dan
Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di
dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan
yang besar." Surah An-Nisaa'(4) : Ayat 13.