| 
   
AWAS MORAL HAZARD 
Intelektual dan Gerakan Moral  
Tempat orang, mencari rotan 
Wanita cantik, moralnya hilang, 
Jadi tempat, sarangnya Setan. 
Mencari benalu, ke sialang, 
Tempat orang, mencari rotan 
Iman dan malu,kalau hilang. 
Persis seperti, babi hutan. 
                                        KATA PENGANTAR 
Intelektual dan Gerakan Moral  
Mencari benalu, ke sialang, 
Tempat orang, mencari rotan 
Iman dan malu,kalau hilang. 
Persis seperti, babi hutan. 
       Penulis
  (M.Rakib, 2013), berkesimpulan bahwa Hang Tuah dan Hang Jebat, keduanya
  terkena jebatan moral (Moral Hazard)
  dari raja. Hal ini tidak terbaca oleh Francois atau C Hooykas asal Belanda.
  Penulis memberikan kritik terhadap kedua ilmuwan Eropa ini. Betapa tidak, semenjak ditunjukkan pertama kali oleh
  Francois Valentijn, seorang pendeta Belanda, pada 1726, di antara tujuh jilid
  buku tebal Oud en Nieuw Oost Indien, sudah terlalu sering terjadi kekacauan
  dalam penafsiran karya rekaan ini. Misalnya saja ia sempat dikira sebagai
  catatan sejarah dan kali lain bahkan dikira nama Hang Tuah adalah
  pengarangnya. Setelah melewati banyak sarjana, di antaranya Hans Overbeck
  (Jerman), C Hooykas (Belanda), dan Sir Richard Winstedt (Inggris), hikayat
  Hang Tuah mendapat maknanya yang modern justru dari penelitian dua sarjana
  Asia, yakni Kassim Ahmad (Malaysia) dan Sulastin Sutrisno (Indonesia). 
        Perkara yang
  relevan dengan dunia politik adalah kontroversi Hang Jebat. Benarkah dia itu
  pengkhianat ataukah dia sebenarnya pahlawan? Sebagaimana diketahui, lima
  sekawan Hang Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir, Hang Lekiu, dan Hang Kasturi yang
  menghamba kepada Raja Malaka berhasil mengangkat kejayaan Melayu. Namun
  segala penghormatan kepada Hang Tuah mengundang cemburu, ia pun difitnah
  bermain-main (baca: selingkuh) dengan gundik raja. Dan raja yang percaya
  memerintahkan Hang Tuah dibunuh. Hang Jebat berpikir, jika Hang Tuah yang
  tidak bersalah saja dibunuh apalagi dirinya yang banyak dosa. Ketika posisi
  Hang Tuah diberikan kepadanya, Hang Jebat merajalela dalam istana, sampai
  raja pun terusir dari sana. Untunglah Hang Tuah ternyata belum dibunuh,
  karena anak raja sendiri yang disuruh membunuhnya tahu bahwa Hang Tuah tidak
  bersalah. 
Sampai di sini tentunya sampai kepada suatu dilema moral.
  Apakah patut Hang Tuah mengabdi kepada raja begitu rupa, bahkan memilih untuk
  membunuh Hang Jebat, sahabatnya, meski raja itulah yang telah memberi
  perintah pembunuhan dirinya. Apakah patut Hang tuah membunuh Hang Jebat,
  sedangkan Hang Jebat menguasai istana justru sebagai pembalasan dendam atas
  dibunuhnya Hang Tuah. Hang Tuah lebih memilih mengabdi kepada negara dan
  karena itu ia harus membunuh Hang Jebat. 
         Dalam
  analisis sepanjang 428 halaman, Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan
  Fungsi, Sulastin Sutrisno menyebutkan bahwa episode Hang Jebat ini yang
  paling menarik perhatian dan paling mengharukan dari seluruh teks.
  Diceritakan bagaimana keris mereka tertukar, dan dengan keris parung sari
  itu, Hang Jebat membunuh beribu-ribu orang. Akhirnya Hang Tuah menikam Hang
  Jebat. Memang Hang Jebat meminta agar Hang Tuah sendiri yang membunuhnya. Ia
  berpesan pula agar anaknya yang belum lahir, apabila laki-laki dipelihara
  Hang Tuah sebagai hambanya. Hang Jebat mati di pangkuan Hang Tuah. Mayatnya
  digantung di tengah jalan raya supaya dilihat orang banyak. 
       Sulastin
  Sutrisno menyimpulkan, moral cerita menunjukkan Hang Jebat adalah
  pengkhianat. Peneliti Malaysia sendiri, Kassim Ahmad, menyatakan Hang Jebat
  patut mendapat tempat istimewa sebagai pahlawan epik Malaysia, karena sikapnya
  yang jujur dan progresif. Menurut Sulastin, pendapat Kassim itu tidak
  berpijak kepada nilai teks, tapi kepada nilai kebangsaan yang hendak memberi
  identitas anti feodal. Jadi Hang Tuah itu feodal karena menuruti apa saja
  perintah rajanya. Memang A Teeuw pun memberi rujukan sebuah film, sandiwara
  radio, dan sebuah cerpen, tentang betapa Hang Jebat ini dianggap pahlawan di
  Malaysia. 
        Kalau tentang
  pahlawan fiktif pun terdapat debat dalam taraf ilmiah, bagaimana dengan
  pahlawan yang sebenarnya dalam kenyataan sejarah. Apakah bisa
  memperdebatkannya. Bagaimana sebenarnya loyalitas dalam politik itu. Untuk
  direnung dan pikirkan tentunya. 
PENDAHULUAN 
          Di
  LPMP Riau Indonesia, penulis selalu menjadi pembina upacara senin pagi.
  Penulis menyampaikan bahwa, penjaminan mutu pendidikan yang kita lakukan
  belum sampai kepada yang diinginkan, berarti kita perlu meningkatkan kualitas
  diri. Tapi akhinya penulis seakan dimusuhi teman-teman. Mereka lakukan moral
  hazard terhadap penulis. Sering tidak diikutkan pada banyak acara., sehingga
  penulis merasa dizalimi, terkena moral
  hazard. Terniat dalam hati penulis ingin menjadi pensyarah di Brunei
  Darussalam atau Malaysia, tapi alamat yang dituju belum didapatkan. Kemudian
  belakangan kita terus mendengar seruan dari berbagai gerakan masyarakat,
  seperti gerakan melawan kebohongan yang dimulai dari tokoh agama, gerakan
  anti korupsi, gerakan anti mafia hukum dan pajak, serta berbagai seruan dari
  elemen mahasiswa dan masyarakat lainnya. Berbagai seruan itu dapat
  dikategorikan sebagai gerakan moral karena bertujuan untuk mengingatkan para
  penguasa yang dianggap telah lupa dengan kewajibannya. Lalu, apa relevansi
  gerakan moral ini bagi perubahan sosial di negeri kita? Ataukah itu hanya
  sekedar kamuflase untuk ikut menikmati kue kekuasaan? 
Mencari benalu, ke sialang, 
Tempat orang, mencari rotan 
Iman dan malu,kalau hilang. 
Persis seperti, babi hutan. 
Salah satu karakter utama intelektual adalah rasa malu kepada Allah dan komitmennya terhadap proyek membangun kembali (reconstruction) atau pemikiran kembali (rethinking) segala sesuatu yang berkaitan dengan masyarakat dan peradaban. Terutama apabila dehumanisasi semakin kentara dalam masyarakat. Karena itu, intelektual selalu akrab dengan perubahan dan sekaligus terlahir sebagai motor penggerak perubahan itu sendiri. Pun apabila masa transisi atau “masa yang baru” tiba, intelektual juga diharapkan tetap konsisten pada nilai kejujuran dan kebenaran. Tak heran kita akan selalu melihat banyak perubahan sosial di berbagai negara ternyata dimotori oleh lapisan menengah ke atas dan para intelektual yang sadar akan bobroknya kondisi di negerinya. Bung Hatta menyebut intelektual adalah mereka yang memiliki karakter dan teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, atau partai, lepas dari kedudukan, pangkat atau harta. Mereka juga harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. Intelektual dituntut selalu bersifat terbuka terhadap kebenaran yang lebih benar, bahkan jika kebenaran itu datang dari pihak lain maka ia juga harus jujur mengakui dan menerimanya. Namun demikian, keberpihakan intelektual terhadap kebenaran seringkali mendapat tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, masyarakat intelektual terbatas, dan dalam arti tertentu, diatur oleh hukum profesionalnya sendiri. Konstruksi pemahaman yang terbentuk terhadap kegiatan intelektual selama ini adalah kerja yang berkaitan dengan menulis (jurnal, surat kabar, majalah, internet) memberi kuliah, dan menerbitkan buku, serta tak lupa berburu gelar dan ijazah. Kegiatan ini kemudian menjadi semacam ideologi yang dirutinkan. Regulasi internal dan kontrol yang sedemikian ketat, serta di dalamnya mengandung ketentuan apa yang patut dan yang tidak patut? menyebabkan perubahan yang terjadi dalam dunia akademis cenderung lebih konservatif. Pierre Bouerdieu, dalam Homo Academicus ,menyatakan bahwa untuk sukses di dunia akademis, orang lebih harus “pandai-pandai” menyesuaikan diri, daripada “pandai” karena menjadi penemu cara-cara baru. Singkatnya, waktu yang seharusnya digunakan untuk mengejar ilmu pengetahuan, justru banyak disita untuk mengejar karir akademis belaka. Ini adalah penyakit intelektual paling kronis yang mungkin melanda sebagian besar “intelektual”. Buktinya, perubahan yang seharusnya bisa berlangsung cepat dengan sokongan total mereka, ternyata tidak sebaik dan secepat yang diharapkan. Alih-alih terjadi perubahan, yang ada suara intelektual seringkali bagai angin lalu belaka. Ibarat anjing menggonggong, kafilah yang dikritik pun tetap melenggang. Secara eksternal, dinamika perubahan sosial masyarakat senantiasa diiringi oleh silih bergantinya kekuasaan dalam lingkup kenegaraan. Akibatnya, relasi intelektual dengan kekuasaan seringkali membawa problem yang dilematis. Berbagai momen pergantian kekuasan telah memaksa intelektual untuk menganut dan memasukkan – dalam istilah Julien Benda – gairah-gairah politik ke dalam aktivitas intelektual mereka. Pembungkaman tradisi kritik intelektual berlangsung terus-menerus sejalan dengan ritme pergantian kekuasaan. Kondisi ini melahirkan dikotomi antara intelektual murni, yaitu yang terus menerus melakukan hal yang sama, dan intelektual plus-organik yang berhubungan langsung dengan penguasa-penguasa, dan kelas tertentu, yang memanfaatkan mereka untuk memperbesar kontrol dan kekuasaan (Edward W. Said, 1993). Tak heran, panggilan intelektual sebagai garda otonomi moral akhir-akhir ini terus menemukan relevansinya, terutama di Indonesia. Otonomi moral yang dimaksudkan adalah sikap dan perilaku yang dipimpin oleh hati nurani. Bukan kepentingan penguasa, kelompok atau organisasi, apalagi kepentingan etnis tertentu. Karena otonomi moral inilah, intelektual senantiasa ditarik atau menarik diri dalam dunia birokrasi ataupun pengelolaan pembangunan negara selama ini. Misalnya dengan menjadi menteri, penasehat pemerintah, ataupun staf ahli pemerintahan. Pertanyaannya adalah, ketika modal, kekuasaan, dan negara menjadi bagian dari kompetisi intelektual, mungkinkah para intelektual, tokoh agama, dan para aktivis tersebut mampu mempertahankan otonomi moral dan komitmennya terhadap kebenaran yang mereka yakini? Atau akankah intelektualitas hanya sekedar sebagai alat untuk mencapai tujuan sejati mereka, yaitu kekuasaan itu sendiri? Sejarah lah yang akan menjawabnya. Intelektual dan Dilema Pendidikan Tinggi Saat ini, bangsa kita berada dalam jeratan neo-liberalisme yang berhasil menghancurkan semua bentuk struktur kolektif dengan logika pasarnya. Kita pun terus menerus menyaksikan proses dehumanisasi dan pemiskinan merajalela di tengah masyarakat. Di sisi lain, otonomi moral intelektual sebagai hati nurani bangsa, terus bergulat mempertahankan kebenaran ilmu pengetahuan melawan kekuasaan dan modal. Fokus tentang kebenaran di sini bukan soal pertanyaan apa itu kebenaran, tetapi bagaimana kebenaran menjadi sebuah politik (politics of truth). 
Mencari
  benalu, ke sialang, 
Tempat
  orang, mencari rotan 
Wanita
  cantik, moralnya hilang, 
Jadi
  tempat, sarangnya Setan.  
        Wanita
  cantik selau diperalat ke arah kiri, oleh para intelektual yang lemah
  imannya. Kita mahfum, intelektual adalah ruang produksi pengetahuan yang
  sarat kepentingan, bias-bias sosial, politik, dan budaya, mudah diselewengka
  nafsu birahi. Intelektual bukanlah seorang malaikat yang selalu berpijak pada
  "kebenaran", karena "kebenaran" sendiri adalah konstruksi
  politik. Ilmu pengetahuan adalah hasil kesepakatan. Dengan cara pandang ini,
  intelektual sebenarnya tidak pernah berkhianat. Sebab dia senantiasa berada
  dalam wilayah wacana kekuasaan yang tidak mengenal konsep pengkhianatan. 
Fenomena terlibatnya kaum intelektual di pusaran kekuasaan juga tidak perlu digusarkan. Sebab, masyarakat telah sedemikian kompleks, konsekuensi dari hal itu adalah lahan garap intelektual yang juga semakin luas. Kompleksitas masyarakat melahirkan pandangan yang mendukung beragam gerakan sosial (sipil, politik, lingkungan, ekonomi, budaya, jender). 
Sebagian dikutip dari
  tulisan  Yanu Endar Prasetyo    peneliti
  LIPI, Pegiat Komunitas Blogger Subang 
        Moral hazard dan distribution of
  burden merupakan istilah-istilah ekonomi yang sudah ada artinya sendiri,
  tetapi di bahasa Indonesia belum mempunyai terjemahan yang cocok. Oleh karena
  itu untuk permulaan di sini dipakai istilah Inggrisnya saja. 
       Makna moral hazard mungkin dapat
  ditangkap dalam bahasa Indonesia sebagai "jebakan moral", akan
  tetapi masih memerlukan keterangan lebih lanjut. Di kamus Inggris maka
  "moral hazard" diterangkan sebagai "the hazard arising from
  the uncertainty or honesty of the insured". Rupanya, istilah "moral
  hazard" dipakai di bidang asuransi. Kalau pengusaha ambil asuransi
  resiko kebakaran untuk gudangnya, maka kalau ia kejepit hutang dan tidak
  jujur, ia membakarnya sendiri dan mengantongi ganti ruginya. Kalau semua
  deposito di semua bank dilindungi oleh jaminan terhadap bankrutnya bank maka
  ini bisa memberikan insentip bagi para deposan untuk menitipkan hartanya di
  bank gurem yang berani menawarkan suku bunga yang paling tinggi.  
        Yang
  dirugikan adalah bank-bank yang bonafid yang tidak mau memberikan suku bunga
  tinggi demikian. Kalau bank-bank (swasta) tahu, dari pengalaman, bahwa Bank
  Indonesia akan menolong kalau mereka melanggar prudential requirements maka
  akibatnya mereka bisa nakal-nakalan dan nekad saja. "Jaminan" bank
  sentral disalahgunakan karena ada ketidak-jujuran pengurus atau pemilik
  bank-bank itu. Jebakan moralnya adalah bahwa seluruh ekonomi sebetulnya harus
  "membayar" atas akibat ketidakjujuran ini, dikala ekspansi kredit
  bank sentral demikian menyebabkan inflasi. 
       Mungkin
  masalah
  jebakan moral ini bisa muncul dalam penyelesaian hutang macet sektor swasta
  kepada kreditor luar negeri. Sampai sekarang baik pemerintah maupun IMF tidak
  mau mengucurkan uang dolar untuk membantu debitor yang terjebak krisis mata
  uang ini. Alasannya mudah dimengerti. Yang salah hitung adalah baik debitor
  maupun kreditornya. Pemerintah dan IMF tidak salah apa-apa, sehingga apa
  alasan rasional untuk menolongnya dengan penyediaan dana dolar? Kalau pemerintah,
  dengan menggunakan dana paket IMF, menolong mereka maka timbul "moral
  hazard": yang semberono dan yang tidak jujur justru diberi hadiah! Pada
  akhirnya, semua dana yang dipinjamkan oleh IMF harus dibayar kembali oleh
  rakyat Indonesia lewat pembayaran pajak, atau dengan menanggung inflasi. Ini
  tidak adil. 
        Akan tetapi, pengalaman di
  lain-lain negara yang pernah mengalami krisis moneter dan merebaknya hutang
  serta proyek macet, menunjukkan bahwa akhirnya pemerintah terpaksa ikut
  menanggung sebagian beban dalam bail-out, sudah tentu dengan mengorbankan
  uang dari pajak. Amerika Serikat akhirnya menggunakan uang pajak untuk
  menyelamatkan krisis bank-bank tabungan (loan-and-savings associations).
  Pemerintah Meksiko dan AS juga ikut menyelamatkan utang-utang swasta di
  krisis Meksiko. Terakhir ini, gejala yang sama mulai tampak di Jepang di mana
  pemerintah Jepang, yang semula enggan sekali, akhirnya cenderung menggunakan
  uang anggaran untuk menolong bank-bank yang bermasalah. 
Alasan untuk intervensi pemerintah ini adalah agar
  penderitaan ekonomi, atau resesi, yang disebabkan oleh krisis moneter dan
  perbankan itu, tidak berkepanjangan. Di Jepang, krisis demikian telah
  berjalan bertahun-tahun dengan korban laju pertumbuhan ekonomi yang rendah
  sekali. 
       Maka timbul masalah
  "distribution of burden" atau membagi beban antara
  golongan-golongan ekonomi untuk keluar dari krisis. Krisis ekonomi tidak
  disebabkan oleh ulah rakyat atau masyarakat umum, akan tetapi dalam
  penyelesaiannya mereka dipanggil untuk ikut menanggung bebannya. Ini terang
  moral hazard, akan tetapi bisa mempercepat usainya krisis, dan kalau itu
  terjadi maka masyarakat umum juga ikut untung. 
Di Indonesia, masalah moral hazard dan distribution
  of the burden dari penyelesaian krisis moneter ini belum menjadi kenyataan.
  Tetapi, akibatnya adalah kurs rupiah tetap di atas Rp 7000 atau Rp 8000
  (selisihnya adalah cermin unsur ketidak pastian politik berhubungan dengan
  suksesi) karena terlalu banyak perusahaan nubruk dolar untuk mengangsur
  hutangnya. 
Pada suatu waktu mungkin suatu keputusan harus
  diambil ke arah intervensi pemerintah. Yang bisa diusahakan adalah untuk
  memperkecil moral hazard ini. Misalnya, pertama-tama para deposan bank-bank
  (swasta) harus dijamin utuh depositonya. Ini untuk mengembalikan kepercayaan kepada
  perbankan swasta secara keseluruhan. Sekarang ini perbankan swasta tidak
  jalan dan rodanya tidak berputar. Yang tetap akan ditentang adalah
  mem-bail-out konglomerat. 
Bagaimana mem-bail-out bank-bank swasta? Kalau mereka
  hancur maka ekonomi Indonesia juga akan macet. Bank-bank pemerintah sudah
  tidak dominan lagi. Empat bank BUMN pun akan ditolong secara finansial oleh
  Bank Dunia dalam mergernya. Apakah itu bukan moral hazard? 
   
         Karena
  jebakan moral (moral hazard) pula petaka
  menimpa Hang Tuah yang berasal dari orang-orang yang tidak menyukainya.
  Fitnah yang tidak berdasar dan dholim disebarkan oleh pejabat pengadilan dan
  Patih Karma Wijaya untuk menghancurkan karier
  Hang Tuah. Fitnah yang dituduhkan kepada Hang Tuah tidak
  tanggung-tanggung yakni sang prajurit kesayangan sultan dituduh telah merayu permaisuri yang notabene
  atasannya sendiri di kesultanan. Maka tanpa ampun lagi, Sultan Mansur Syah
  yang mendengar rumor tersebut tidak pikir panjang lagi dan segera
  memerinahkan Bendahara Tun Perak untuk mengeksekusi Hang Tuah yang
  dianggapnya menghina derajat sang sultan yang menjadi penguasa di Melaka.
  Alih-alih menjalankan penyelidikan lebih lanjut, tuduhan terhadap Hang Tuah
  malah ditanggapi dengan sikap emosional. 
       Sikap yang
  diambil Sultan Mansur sangat disayangkan oleh banyak pihak karena tidak
  mencerminkan seorang pemimpin yang bijaksana. Sikap sultan juga disayangkan
  oleh bawahan yang diperintahkan untuk mengeksekusi Hang Tuah sendiri, yakni
  Tun Perak. Namun kalau ia membangkang perintah sultan maka kariernya sendiri
  akan terancam dan pastinya cap sebagai pengkhianat akan melekat didadanya.
  Makanya ia seolah-olah mengikuti perintah sultan untuk mengeksekusi Hang
  Tuah. Tun Perak pun kemudian membawa Hang Tuah ke hutan untuk melaksanakan
  eksekusi. 
         Tun Perak
  tahu kalau Hang Tuah sebenarnya dijebak moral hazard dan kasusnya direkayasa oleh pihak yang
  menginginkan kehancuran terhadapnya. Makanya ia kemudian membuat rencana
  bagaimana caranya supaya sultan percaya bahwa ia telah mengeksekusi Hang Tuah
  tanpa melukai sahabatnya sendiri. Idenya ialah pakaian Hang Tuah direndam
  dalam darah kambing sampai merah semerah-merahnya dan kemudian ditunjukkan
  kepada sultan sebagai bukti bahwa Hang Tuah telah tewas. Dan rajapun percaya
  bahwa Hang Tuah telah benar-benar tewas terlebih yang mengeksekusinya sendiri
  ialah Tun Perak, orang kepercayaanya. 
           Berita bahwa Hang Tuah
  meninggalpun dengan cepat menyebar ke seantero negeri dan sampai di telinga
  sahabatnya sendiri, terutama Hang Jebat. Kabar tersebut sampai juga ke
  telinganya Hang Jebat yang menjadi salah satu temannya. Segaris itu pula Hang
  Jebat berubah haluan sikapnya terhadap sultan. Dia melawan dan dan berusaha
  untuk membalas kematian temannya itu—Hang Jebat belum tahu kalau sebenarnya
  Hang Tuah diselamatkan oleh Tun Perak yang berpura-pura mengeksekusinya di
  hutan. Hang Jebat menginginkan kalau sultan memberikan sahabatnya itu
  kesempatan untuk membela diri di pengadilan untuk membuktikan apakah dia
  benar-benar bersalah atau hanya korban rekayasa. 
         Namun nasi
  sudah menjadi bubur. Sultan Mahmud sudah keburu memutuskan untuk menghukum
  Hang Tuah yang dalam perkiraannya salah karena telah berani mengganggu permaisuri yang dicintainya.
  Akhirnya, Hang Jebat pun naik pitam dan berseru dengan suara lantang bahwa seorang raja yang adil yang harus
  dihormati dan disembah, tetapi raja yang kejam yang mesti dibenci. Dan seperti telah diduga pada akhirnya
  Sultan Mahmudpun murka besar mendengar perkataan Hang Jebat itu. Sultan
  memutuskan untuk mengeksekusi Hang Jebat yang sebenarnya menyuarakan
  ketidakadilan. 
          Namun
  kesaktikan dan ilmu kanuragan yang dimiliki Hang Jebat susah dikalahkan. Ia
  mengamuk dan membunuh setiap orang yang ditemuinya, yang diperintahkan sultan
  untuk mengeksekusinya. Banyak orang yang meninggal ditangan Hang Jebat karena
  ia mengamuk seperti kesetanan. Khawatir hidupnya berakhir ditangan anak
  buahnya sendiri, sultan dan keluarganya kemudian meninggalkan istana untuk
  mengungsi dan lari dari kejaran Hang Jebat. Sebelum pergi sultan telah
  memerintahkan prajurit-prajurit untuk menahan dan membunuh Hang Jebat supaya
  tidak membahayakan jiwanya. Namun ternyata tak ada seorangpun yang mampu
  melawan pendekar tanpa tanding ini. 
          Melihat
  kondisi yang kian parah, sultan pun tidak punya pilihan lainnya kecuali
  mendekati Tun Perak dan menyatakan penyesalannya telah membunuh Hang Tuah
  sebagai upaya lobi untuk mengambil hati patih kesayangannya itu. Sultan
  percaya bahwa hanya Tun Peraklah orang yang mampu menghentikan kebrutalan dan
  kesaktian yang dipunyai Hang Jebat.Dan ketika sultan telah menyatakan rasa
  penyesalannya itulah kemudian Tun Perak menceritakan kejadiannya yang
  sebenarnya bahwa apa yang dituduhkan tidak benar adanya. Hang Tuah hanya
  orang yang menjadi korban fitnah. Hang Tuah tidaklah bersalah. Dan akhirnya Hang Tuahpun dibawa menghadap sultan lagi. 
          Di  saat yang bersamaan sultan pun segera
  mengeluarkan pengampunannya dengan tujuan supaya Hang Tuah yang notabene
  kesaktiannya sebanding dengan Hang Jebat yang bisa mengalahkannya. Dan Hang
  Tuahpun dilema antara cinta dan ikatan pertemanan kepada sahabatnya dengan kesetiaan
  kepada sultan. Namun ia lantas memutuskan bahwa sultan lebih layak untuk
  mendapatkan kesetiaan dan perlindungan darinya. Iapun kemudian menemui Jebat
  dan mencoba untuk membuatnya menyerah. Namun Hang Jebat yang sudah kadung
  marah kepada sultan tak ada yang diinginkannya selalin kematian sultan. Maka
  Hang Tuah pun tidak punya pilihan selain bertempur dengan sahabatnya sendiri,
  Hang Jebat. 
        Pertempuran sengitpun terjadi. Karena
  mereka sepeguruan dan telah lama bersama maka sulit untuk mengalahkan satu
  sama lainnya. Konon pertempuran yang terjadi diantara kedua jawara
  berlangsung selama 3 hari 3 malam. Singkat cerita, Hang Tuah mengeluarkan
  keris yang pernah dikasihkan kepadanya Taming Sari. 
       Dan dalam satu kesempatan, Hang Tuah
  berhasil menikam sahabatnya itu meskipun tidak mati dalam pertempuran. Hang
  Jebat yang terluka kemudian melarikan diri dan masih sanggup membunuh banyak
  orang yang ditemuinya dan menginginkannya dibawa ke sultan. Sampai pada
  akhirnya, Hang Jebat merasa kelelahan dan kembali ke rumah sahabatnya Hang
  Tuah. Iapun akhirnya meninggal dipelukan sahabatnya itu, Hang Tuah. Cerita
  keberanian dan sikap ksatria Hang Jebat terus menjadi buah bibir masyarakat,
  dan bahkan menjadi inspirasi beberapa pihak. Bahwa raja dholim mesti dilawan dengan keberanian dan kedigdayaan. Luar
  biasa. Itulah kisah yang berkaitan dengan jebakan moral(Moral hazard) 
 | 
 
Wednesday, June 19, 2013
JEBAKAN TOPENG MORAL (Moral Hazard)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

No comments:
Post a Comment