KRITIK TERHADAP
HUKUM PERLINDUNGAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM
DAN UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2002
By Muhammad
Rakib Riau
A. Konsep
Kekerasan Terhadap Anak
Hasil penelitian ini, berupa
perbandingan antara Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2002, yang meliputi tindakan guru dan orang tua yang
memberi sanksi hukuman dalam mendidik anak-anak. Kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan tentang tindakan anak-anak yang melanggar hukum, berani menantang
orang tua, yang tidak sesuai dengan yang seharusnya prilaku anak, baik di rumah
maupun di sekolah.
Dibahas juga sanksi hukuman yang dapat mengubah sikap dan perilaku anak didik. Orang tua dan guru mengetahui sisi-sisi yang perlu
dipertimbangkan ketika hendak menjatuhkan sanksi kepada anak, karena setiap
kondisi menuntut sikap yang berbeda.
Menurut Hukum Islam, memukul anak
yang tidak shalat atau melanggar aturan disiplin, bukan suatu kezaliman atau
kekerasan. Apabila tidak memungkinkan, menggunakan kata-kata yang
baik,
dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga
ancaman sesuai dengan kesalahan dan dosa
yang dilakukan oleh anak. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi
manfaat serta efek jera, saat itulah
dibutuhkan pukulan (kekerasan yang mendidik),[1] dengan
mempertimbangkan unsur kekerasan:
1. Unsur Kekerasan Pada Hukuman Fisik
Hukuman fisik, berupa paksaan berdiri
di depan kelas, masih dipakai di seluruh pesantren dan madrasah sampai saat ini.
Informasinya dapat ditemukan di dalam fiqih
klasik. Dari literatur di perpustakaan, tapi tidak dianggap sebagai suatu
kekerasan apapun pada lembaga pendidikan Islam yang berkembang:
1.1. Berdiri di depan kelas
Pada Masa Kejayaan Islam bentuk
lembaga pendidikan Islam adalah kuttâb, pendidikan rendah di istana, halâqah, masjid, majelis, rumah sakit
dan rumah-rumah ulama’, dan perpustakaan. Pada pendidikan formal mulai ada
hukuman berdiri di depan kelas. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa
al-Makmun yaitu: kuttâb, pendidikan rendah di istana, halâqah,
masjid, majlis, rumah sakit, observatorium, khan,
ribâth, toko buku dan perpustakaan.[2]
1.2.
Membersihkan lingkungan
Hukuman berupa membersihkan
lingkungan, biasanya berupa menyapu, mencangkul dan menyiram bunga, sesuai dengan
tujuan pendidikan, metode, kehidupan
guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Menurut sejarah Pendidikan Islam
pada masa masa kejayaan Islam,jenis-jenis
hukuman dibuat berdasarkan kesepakatan guru dan murid. Berat ringannya sanksi,
didasarkan pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlâq al-karîmah.
Dari data historis tersebut,
menurut analisis penulis antara konsep Hukum Islam dan UU RI Nomor 23/2002,
seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara kontekstual, tidak ada pertentangan, karena
hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan
digunakan hanya sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi
kerusakan (dar’al-mafâsid),[3]
mencegah kerusakan yang lebih besar. Tidak semua hukuman
fisik mengadung kekerasan. Maksudnya memberikan hukuman fisik ringan kepada
anak-anak, untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi
jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan di kemudian
hari. Kalau itu terjadi, berarti pendidikan akan melakukan kesalahan besar. Di tengah
budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi disiplin, hukuman fisik
dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak orang tua dan pendidik yang
memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007
terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak,[4] di sekolah.
Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan
kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah.[5]
Tingginya angka kekerasan terhadap anak,
menggambarkan suasana yang tidak aman
di rumah atau di sekolah dan merupakan kondisi yang membahayakan. Hal ini dapat dianalisis dengan
menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan الضَـــرَرُ يُـــزَالُ . Kedua, bahaya yang lebih berat,
dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ اَخَفِّهَا “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang
sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya. Ketiga, keterpaksaan dapat
memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul
mahdzuraat).[6] Keempat, perubahan hukum Islam dapat
dilakukan. Dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi,
perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur al-ahkam bitaghayyur
al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[7]
2. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak-Anak
Ada argumentasi klasik di
kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi lebih baik. Dalam
hal hukuman terhadap anak, agar anak
yang lain lebih aman, karena ada kehawatiran kalau pelanggaran kecil dibolehkan
akan dijadikannya sebagai peluang pelaku
berbuat kesalahan yang lebih besar. Bila perkelahian kecil tidak dihukum, sama
dengan memberikan kesempatan untuk melakukan tawuran bebas antar pelajar. Penekananya
adalah bagaimana fikih menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya
angka pelnggaran disiplin oleh anak, sehinggan tidak aman.
Apakah hukuman fisik masih relevan menjawab
dengan argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak tekstual karena berorientasi pada teks tapi masih berkaitan dengan realitas bahwa ada satu kondisi yang mengancam orang tua dan guru
diabaikan anak. Karena itu perlu alat untuk menjembataninya supaya kenakalan tidak k terjadi. Di sinilah letak
kesenjangannya di lapangan. sebagian pakar pendidikan menganggap hukuman untuk
anak-anak dan remaja masih diperlukan dan masih bisa diandalkan,[8]
seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:
TABEL
IV.1
PRO KONTRA HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK
No
|
Pro
|
Kontra
|
|
1
|
Sebahagian psikolog
Marjorie
Gannoe
|
Sebagian filosuf
Plato dan Jean Jacke Rousseo
dan
Jean Soto
|
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits
|
2
|
Tokoh-tokoh
Pendidikan
Militer
|
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
|
Yahudi Berdasarkan
Taurat
|
Posisi Islam,[10] pada
konsep kovergensi, menggabungkan antara pro, [11] dan kontra, tapi tidak sekedar
gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan
fitrah manusia. Alasan Aristoteles
yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman
itu lebih efektif untuk membina manusia, dibandingkan ajakan-ajakan untuk berbuat
baik. Hal ini diakui oleh orang yang mengutamakan nalarnya. Pembuat peraturan untuk
mendisiplinkan anak, berkewajiban mengajak kepada tingkah laku yang nyata, dan memberikan hukuman kepada anak didik yang
melanggar. Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut, rasa hormat atas wacana
hukuman, pendidikan tidak akan berjalan efektif. Karena pendidikan adalah pembiasaan, dan pemaksaan termasuk salah satu cara di dalamnya.”
Para
ulama ushul fiqh menyatakan bahwa
anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya
dikenai khitab Allah SWT, bukan mukallaf. Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Istilah
mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum).[12] Orang mukallaf, mampu
bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah maupun dengan larangan. Apabila mengerjakan
perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, apabila mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat
ganjaran pula.
Anak-anak belum dikenai taklif (pembebanan hukum) karena
belum cakap untuk bertindak hukum. Untuk
itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah
akal dan pemahaman. Seseorang dapat dibebani
hukum apabila dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya.
Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, yaitu orang gila dan anak
kecil tidak dikenakan taklif. Tidak dapat memahami syara’. Begitu pula orang yang tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang mabuk, tidak
sadar (hilang akal). Sabda Rasulullah SAW. :
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)”
Artinya, Diangkatkan pembebanan
hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai bangun, anak kecil sampai baligh, gila sampai sembuh.[13]
Dalam hadits lain dikatakan bahwa “Umatku
tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan
terpaksa.” [14]
Ada
dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf. Pertama mukallaf yang dapat
memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash
yang dibebankan dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara langsung atau melalui
perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan
yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan
memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut
adanya nash yang dibebankan dapat
diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Kedua,
berakal. Ketika ada msalah yang tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh
indera lahir, Syari’ telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang
dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat bekerjanya akal, yaitu sifat
kedewasaan. Dengan demikian orang yang telah sampai pada keadaan dewasa dan tidak
rusak kekuatan akalnya, berarti dia sudah sempurna untuk diberi beban.
Kewajiban zakat, nafkah, jaminan
(dhamman) terhadap anak, bukan berarti
memberi beban kepadanya, tetapi kepada walinya agar melaksanakan kewajiban
harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, antara lain, membayar
pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Dalam kaitan itu, dalam Surat an-Nisâ’: 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ
وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ...ّ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan... [15]
Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat
sendiri) adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya
hingga kacau perkataannya. Istilah “mabuk” tentu luas artinya, termasuk segala
kekacauan fikiran,[16]
bercabang kepada yang lain atau susah dibawa ke dalam shalat.[17]
Mabuk menurut sebabnya terbagi atas dua macam :
Pertama
yang sebabnya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum
khamar dan mabuk yang disebabkan obat-obatan. Hukumnya sama dengan pingsan,
tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Kedua yang penyebabnya
diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlaku hukuman bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti
thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin,
menghutangi dan minta dihutangi. Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia
kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat. Tetaplah taklifnya dalam hak dan
kewajibannya.’Atthiyyah
Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan
hukuman fisik terhadap anak, yaitu :
1.
Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak
tidak boleh dipukul.
2.
Pukulan tidak lebih dari tiga kali.
Yang dimaksud dengan pukulan disini
ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar dan
tidak sampai menyakiti, tanpa menimbulkan cedera. Diberikan kesempatan besar kepada
anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak
nama baiknya.
Penulis membandingkan dan
mengaitkan dengan teori hukuman yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang hukuman yang mendidik, timbullah beberapa teori tentang hukuman.[18]
Menurut Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany
bahwa “hukum alam bukan
saja mencakup segala makhluk, tetapi juga
merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam
tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti
ketentuan persyaratan di sekelilingnya,[19]
sependapat dengan penganjur pendidikan alam, yaitu J.J. Rousseau, yang tidak menghendaki hukuman
yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini
ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu
perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum
alam, akibat logis yang tidak dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon,
adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah
merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatannya. [20]
Aliran
nativisme dalam pendidikan,
berpendapat bahwa hukuman fisik kepada anak, tidak berguna. Semua pembawaan
anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya
kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak
akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam.
Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat
tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak
ada . Dari hukuman alam , anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak
menjalankan permainan berbahaya lagi. Ia
berusaha mengelak.
Anak diminta
bertanggung jawab atau menanggung risiko dari perbuatannya. Misalnya anak yang
mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak
yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus
mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru. Teori ganti rugi,[21]
di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya
anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang
tabungannya. Dalam kaitannya dengan hukuman terhadap anak, ada beberapa teori
yang dikenal:
1. Teori
Menakut-Nakuti.
Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak
tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai
didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga
jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut
saja,[22] melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya
kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut
kepada bapak atau ibu guru. Jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan
besar mereka mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya
secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa
nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[23]
Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada
anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.
Teori
ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman
dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab
perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama
makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori
hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
2. Teori balas dendam
Macam-macam
hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak
dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen.
Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang
dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun
hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru
merasa dikecewakan dalam hal cinta,
melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda, mungkin merasa bahwa siswa telah dianggap
sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, berusaha mencari
kesempatan menghukumnya.[24]
3. Teori memperbaiki
Satu-satunya
hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat
memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan
yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di
dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya. Hukuman yang demikian
inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat
memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman
pedagogis.[25]
Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk
memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[26]
Teori ini bertujuan untuk
memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang
kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara
penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya
pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan
lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa
terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan
edukatif.
Di dalam dunia pendidikan, guru tidak
menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai
dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap
luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak
didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak
bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya
menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[27]
4. Teori melindungi
Teori
melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[28] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang
merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[29]
5. Teori menjerakan
Teori
ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak
akan menjalankan pelanggaran lagi.[30]
Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya
pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian pakar menerima hukuman
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak.
Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat
tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani
anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka
tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah
nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya
tentang hak dan kewajiban.
Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq' yang
memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau
'kewajiban'.[31]Firman Allah
dalam QS Al-Anfal(8) :8
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ
الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
Agar Allah menetapkan yang hak (Islam)
dan membatalkan yang batil (syirik)
walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik)
itu tidak menyukainya. [32]
Di dalam hadits dinyatakan:
- رواه ابن حبان
عن أنس ابن مالك رشي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الغلام يعق عنه
يوم السابع ويسمى ويحاط عنه الأذى فإذا بلغ ست سنين أدب وإذا بلغ تسع سنين عزل عن
فراسه فإذا بلغ ثلاث عشرة سنة ضرب على الصلاة والصوم فإذا بلغ ست عشرة زوجه
أبوه ثم أخذ بيده وقال: قد أدبتك وعلمتك وأنكحتك أعوذ بالله من فتنتك
في الدنيا وعذابك في الأخرة
Seorang anak diakikahkan pada
hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah
berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun
hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah
dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah
mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang
kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[33]
Di
dalam hadits ini dinyatakan:
فإذا بلغ ثلاث عشرة سنة ضرب على الصلاة والصوم
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun”, hendaklah dipukul apabila
meninggalkan shalat dan puasa.
Segala
sesuatu selain dari zikir
adalah sia-sia, atau
melalaikan, kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan.
2. Memanah,
3. Mendidik
kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan 4. Mengajarinya
anak berenang.[34]
[1]Indah SY, Cara Cerdik Mendidik
Anak, Pukullah Anakmu dengan Cinta, (Surabaya: PT Jaya Pustaka, Cetakan I,
Mei 2010), hlm. 57.
[3] Asmawi, Benturan antara
mashlahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan
kemaslahatan tersebut, mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi,
secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih
besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan
daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih
diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. karena itu, jihad berperang
melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu
hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di
muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat
seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada
meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan
mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk
mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak
boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011), hlm. 57.
[5]Seto
Mulyadi, Kekerasan Fisik Terhadap Anak,
Diskusi di Jakarta,majalah Forum Keadilan,
Rabu (3/5 2011).
[8]Khoja
Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar
tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa
melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka
mencuri, suka mengadu domba, dan jugabandel, suka mencampuri urusan orang lain.
Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka
memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan
disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya,
waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti
peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan
larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan
dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar
dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan
buruknya."Lihat juga Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Asawi, Ensiklopedi
Anak, Tanya-jawab A Sampai Z, (terj) Jakarta : Darus Sunnah, 2008), hlm 721
[11]Tidak akan mati
kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi
engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua
atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak
semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab
mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi
siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya” Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga
Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
[12] Ninuk
Widyantoro, Argumentasi
klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah
rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan
berstatus menikah.[12] Penelitian
terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus
menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang
Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga
Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit.
, hlm. 189
[16]Ibnu
Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, Asbab al-nuzulnya : Ketika
telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah haram, tetapi tidak
secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari mereka yang
masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku mereka
sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya Allah
menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara
mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan,
yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al
najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah
(diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan
yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini semua para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode
tadrij dalam hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir
min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009), hlm. 87
[21]Membiasakan anak dengan
pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan
jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak
perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model
pakaian Barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat. Rasulullah
bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu. (HR.
Abu Daud).
[22]Umar Muhammad
Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk
yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang
semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau
berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy
Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan
Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), hlm. 58.
[28] Andri Priyatna,
Hukuman sebagai salah satu teknik
pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa
pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat
terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan.
Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan
korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang
benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi
suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu
perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan
sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam
pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang
diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman
walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat
dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini
adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah
laku siswa yang menyimpang.
Lihat Andri
Priyatna, Let’s End Bullying,Memahami,
Mencegah Dan Mengatasi Kekerasan Bullying,(PT.Alex Media Komputindo, 2010),
hlm. 117.
[30]Hukuman pun
sering diterima siswa manakala mereka melanggar tata tertib yang telah
disepakati. Hukuman itu dimaksudkan sebagai upaya mendisiplinkan siswa
terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip
bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk
hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah
menjadi dilema bagi kaum pendidik dalam mengemban kewajiban
dan tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak
diadakan niscaya perilaku siswa akan lebih
semrawut. Orang dapat menduga-duga, ada penerapan hukuman saja
siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan.
Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik
itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan
bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar
tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang
bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkan “ Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
[31] Muhammad Al-Ghazali, Kerusakan anak-anak kebanyakan bersumber dari orang tua yang
membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak
memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat
sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa
memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul
Maudud, I: 229.Lihat Muhammad Al-Ghazali, op.cit., hlm. 463.
[33]H.R.Ibnu
Hiban. Bandingkan pula hadits yang secara rinci tentang fase-fase perkembangan
anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai dengan
perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas bersabda
Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya disembelihkan
aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur 6 tahun
dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya, bila telah
berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta umur 16
tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan tangan
dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya Allah
lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
No comments:
Post a Comment