MELAFALZKAN
NIAT HAJI
Tempat niat : sepakat
para ulama tempat niat adalah dihati.
masalahnya terjadi ikhtilaf tentang "boleh tidaknya dilafazkan"
mahzab hambali dan syafi'i boleh.dengan 2 alasan dalil :
- dalil nash :pada talbiyah dalam haji
- dalil akal : kalo niat cuma dalam hati ditambah dengan ucapan lisan kan tambah kuat.
masalahnya terjadi ikhtilaf tentang "boleh tidaknya dilafazkan"
mahzab hambali dan syafi'i boleh.dengan 2 alasan dalil :
- dalil nash :pada talbiyah dalam haji
- dalil akal : kalo niat cuma dalam hati ditambah dengan ucapan lisan kan tambah kuat.
Ada pendapat kedua : tidak boleh dan menggolongkannya adalah bid'ah.Bantahannya:
- Talbiyah bukanlah niat dalam haji tapi termasuk syiar. Buktinya bahwa talbiyah tetap dilakukan sampai seseorang mau melakukan thowaf. Sedangkan niat kan hanya diawal. Kalo di sholat maka talbiyah hampir sama dengan takbiratul ikhram, harus dikeraskan agar makmum denger dan bukan sebagai niat.
- Anggap saja ini memang dalil untuk mengeraskan niat tapi ya hanya untuk talbiyah saja,jangan samakan dengan ibadah yang lain,karena tidak ada qiyas dalam hal ibadah 1 dengan ibadah lain.
niat shalat dhuhur apa dalilnya,puasa apa dalil nya pake nawaitu.gak bisa disamakan
- dalil akalnya pun tidak bisa diterima karena agama bukan berdasar akal tapi berdasarkan nash.
Lihat perkataan Ali bin abi thalib radiallahuanhu :"bila akal dijadikan sandaran dalam agama niscaya orang akan mengusap bawah sepatu,bukan atas nya sebagaimana yang dilakukan Rasulullah."
contoh lain bahwa akal tidak bisa dijadikan sandaran beragama : "kenapa kalo kentut disuruh balik wudhu bukan ngusap pantatnya?"
ini merupakan bantahan kepada para ahlul ro'yu bahwa agama berdasarkan nash bukan akal.
menit ke 31.00
II.Keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan."Al yaqinu laa ya zunu bi syak."
Ini adalah salah satu kaidah yang disepakati para ulama.dalil dasar kaidah ini :
Firman Allah "tidak lah kebanyakan mereka mengikuti kecuali prasangka."
Allah mencela orang2 yang mengikuti prasangka bukan keyakinan.
Rasulullah pernah bersabda "tinggalkan apa2 yang meragukanmu menuju kepada apa yang tidak meragukanmu."
Karena islam menginginkan kita hidup diatas ketenangan bukan diatas keraguan.
kita harus yakin.jangan sampai terkena penyakit was-was.kita harus melawan hati kita jiwa kita bila perlu dipaksa.
"jiwa itu seperti anak kecil,pengennya nyusu aja ama ibunya tapi bila dipaksa lama-lama tidak masalah."
Pernah ada seorang yang datang kepada syeikh bin baz :"ya syeikh aku ragu2 apakah istriku udah aku ceraikan?"
kata syeikh ;"dia tetap istrimu,karena pada asalnya orang yang sudah nikah berarti tidak cerai (ini yang telah pasti dan harus diyakini) tidak boleh dikalahkan dengan keraguan."
besok dia datang lagi tapi syeikh tetap mengatakan: "dia tetap istrimu."
Contoh dalam ibadah : dalam berwudhu, apakah kita tadi sudah wudhu atau belum dikembalikan seingat kita pada masa sebelumnya.Seingat kita tadi bangun tidur belum wudhu maka yang yakin diambil sementara keraguan ditinggalkan.
contoh lain bila kita terinjak air keruh bagaimana?pada asalnya air suci itu yang diyakini sampai ada keyakinan lain (berupa bukti) bahwa dia najis misal terlihat ada kotoran manusia di dalam genangan tersebut.
Contoh dalam shalat : terkadang kita lupa sudah berapa rakaatkah kita 3 atau 4? kalau kita yakin 4 rakaat ambil 4 rakaat.tapi kalo seimbang antara yakin dan ragu maka ambil bilangan terkecil yaitu 3 karena itu yang kita yakini.
contoh ketika thawaf : lupa udah dapat berapa,cari yang kita yakini.bila tidak yakin maka kembalikan kepada yang terkecil karena itu yang kita ingat yang kita ambil sebagai keyakinan.
contoh ketika puasa: pada asalnya belum puasa sampai kita betul-betul yakin dengan 2 hal. dengan hilal atau dengan sempurnanya bulan sya'ban 30 hari.
contoh ketika masuk hari raya : pada asalnya masih puasa sampai benar-benar terlihat hilal atau sempurnanya 30 hari bulan ramadhan.
Ada 3 keadaan dimana kita tidak boleh melihat ada keraguan :
1. Setelah selesai melakukan ibadah.kadang kita dihinggapi was-was,apakah saya kentut atau tidak ya?tadi perut saya mules2.
2. Demikian juga kalo banyak,sering,was-was.Terkadang kita ragu dengan wudhu sehingga memakan waktu yang lama karena was-was takut belum kena semua.
3. Kalo keraguan itu kecil. Maka tidak perlu dilirik (dianggap)
Cabang dari kaidah ini :
1.Asal dari air,batu,pakaian,dan benda-benda selain benda yang dinajiskan dalam syariat adalah suci sampai ada bukti yang menajiskannya.
2.Asal dari jual beli adalah halal sampai ada dalil yang mengharamkannya.
3.Asal dalam ibadah adalah haram sampai ada dalil yang mencontohkannya.
4.Asal dalam kehormatannya adalah haram sampai ada yang menghalalkannya.Misal seorang wanita adalah haram sampai ada bukti yang menghalalkannya misal nikah.
III.Kesulitan itu membawa kemudahan
albaqarah 185 : "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur."
al hajj 78 : "Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan."
hadits Rasulullah : "sesungguhnya agama ini adalah agama yang mudah."
Kemudahan terbagi 2 :
1.kemudahan asli (ini adalah kebanyakan dalam syariat islam)contohnya:shalat cuma 5x,puasa cuma setengah hari tidak sampai berhari-hari,
2.kemudahan tidak asli (datang tatkala ada kesulitan)disebut jg ruqshah,contohnya :qashar shalat ketika safar,shalat duduk dan berbaring ketika sakit.
Kemudahan ada beberapa gambaran:
1.dengan menggugurkan ibadah .spt tidak shalat karena haid,tidak haji karena tidak mampu,
2.dengan pngurangan,contoh : qashar dari shalat yang 4 rakaat menjadi 2 (maghrib 3rakaat tidak bisa diqashar menjadi 2)
3.dengan menggabung ibadah,seperti jamak shalat.patokan qasar adalah safar & jamak adalah hajah kebutuhan,seperti ketika safar sakit dll.
4.mengganti kepada yg lebih mudah,wudhu diganti tayamum,
5.merubah model ibadah,shalat khauf,
6.membolehkan hal-hal yang diharamkan ketika tedesak,tapi harus memenuhi syarat
1.betul-betul terpaksa/trdesak.
2.kita yakin bahwa hal haram tersebut benar-benar dapat memenuhi kebutuhan yg mendesak td.
Contoh makan sesuatu tp tersangkut ditenggorokan didekat kita tidak ada air selain khamr,maka boleh tapi hanya sejumlah yang dibutuhkan untuk melancarkan tersedak td.
Bila berbentur pada 2 keharaman cari yg paling ringan.sebagai contoh : seseorang terdampar disebuah pulau dalam keadaan lapar yang menganam kepada kematian yang ditemukan cuma ada bangkai ayam&bangkai babi,pilih bangkai ayam.
Contoh lain kita lebih pilih khamr daripada air kencing.dikarenakan :
1.khamr masih diselisihkan najisnya yang insya Allah yang rajih adalah tidak najis,sedang air kencing manusia para ulama sepakat kenajisannya.
2.Air kencing menjijikan tidak seperti khamr.
Disini dapat diambil anak kaidah bahwa tidak semua yang haram itu najis,tapi semua yang najis pasti haram.
IV.Adat bisa dijadikan sebagai hukum.
Dalil :
- QS:Annur 58.dimana Allah memerintahkan kita untuk meminta izin dulu dalam 3 waktu.
1.Sebelum sembayang subuh
2.setelah zuhur
3.malam
Mengapa?karena waktu ini biasanya (adat) orang membuka aurat.
- hadits Rasulullah :"kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian."
mau kerja atau melakukan aktifitas selama tidak ada larangan maka boleh.
- hadits Rasulullah suatu waktu pernah onta seorang sahabat dilepas terus makan sawah orang lalu dilaporkan kepada Nabi maka Nabi memberikan hukum bahwa penjaga sawah hendaknya menjaga disiang hari.orang yang memiliki kambing onta sapi hendaknya menjaga dimalam hari.Sesuai adat.
Hanya saja kaidah ini disyaratkan bila tidak bertentangan dengan syari'at. Bila bertentangan jangan berdalil dengan adat. misal ada adat kebiasaan suatu daerah gak pake hijab terus berdalil dengan kaidah ini.salah.keliru penempatannya.karena ada syarat tadi.
contoh : apa hukum pake sarung,peci hitam,boleh karena adat.
al imam ibnu akil pernah berkata :"tidak sepantasnya untuk menyelisihi adat manusia kecuali itu adalah adat yang haram."
contoh : saling berkunjung ketika idhul fitri,boleh!
bangun rumah trus ngadain syukuran dengan tujuan yang baik misal untuk berkenalan silaturahmi dengan para tetangga baru.Boleh asal bukan dengan niat agar setan hilang atau lainnya yang melanggar syari'at.
V.Larangan membahayakan diri & org lain.
Karena Allah melarang manusia untuk membunuh dirinya.“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu...."
Contoh : bunuh diri,aksi pengeboman, rokok (berbahaya bagi diri dan orang lain) yang oleh dokter muslim atau kafir telah dilakukan riset dan terbukti rokok berbahaya,dalam rokok sendiri terdapat peringatan bahaya.
dan contoh lainnya.
Kaidah fiqih terbagi 2 besar,yaitu :
-kaidah fiqih kubra (induk)
-kaidah fiqih secara hukum
Adapun 5 kaidah besar yang dikatakan oleh para ulama sebagai kaidah fiqih kubra,adalah :
1.Semua amal tergantung kpd niat / setiap perkara tergantung kpd tujuannya
2.Keyakinan tidak dihilangkan dengan keraguan.Al yaqinu la ya zunu bi syak.
3.Kesulitan itu membawa kemudahan
4.Adat bisa dijadikan sebagai hukum
5.Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain.
PENJELASAN :
I. Semua amal tergantung kepada niat / setiap perkara tergantung kepada tujuannya.
Niat adalah keinginan yang kuat didalam hati untuk melakukan ibadah dalam rangka ibadah kepada Allah, mendekatkan diri kpd Allah.
a. Niyyatul amal : niat dalam amal . Yang biasa dibahas dalam kitab fiqih
Tujuannya:
- Membedakan masalah adat dengan ibadah.contoh : thowaf, khusus tempatnya tidak boleh ditempat lain.bila ada orang yang memutari rumah seperti thowaf tapi tujuannya nyari sesuatu yang hilang bukan ibadah apakah dikatakan bidah atau syirik.Tidak karena niatnya.contoh lain : panggilan umi dek atau ibu untuk istri termasuk yang dilarang rasulullah apakah termasuk talak?tidak.karena niatnya.contoh lain: misal seorang suami nyuruh istrinya pulang kerumah orang tuanya apakah termasuk cerai?tergantung niatnya.
- Membedakan satu ibadah dengan ibadah lain.Seperti : shalat sunnah dengan shalat wajib,rawatib,dll.mandi wajib atau mandi bersih2 saja.
b.niyyatul makmulilah : niat kepada siapa kita beribadah.ini niat yang sering dibahas dalam kitab akidah kepada siapa kita beribadah.apakah karena riya,atau hanya kepada Allah.
seorang ulama berkat "orang yang diberi taufik oleh Allah adalah orang yang menjadikan adat kebiasaan sebagai ibadah,dan orang yang merugi adalah orang yang menjadikan ibadah sebagai adat."
kok bisa : dalil nabi pernah berkata "seorang lelaki bersenggama dengan istrinya itu berpahala," lalu para sahabat bertanya "apakah seorang diantara kami mendatangkan syahwatnya lalu dia dapat pahala?"nabi menjawab :"bukankah kalo dia meletakkan syahwatnya pada tempat yang haram dia berdosa,begitu pun sebaliknya bila ditempatkan pada yang halal maka dia mendapatkan pahala."
contoh : bila makan di niatkan agar kuat dalam bekerja dalam ibadah dan ibadah lain maka bernilai ibadah.
Khiyal : adalah melakukan perbuatan haram tapi nampaknya (kelihatannya) boleh.Berkelit atau berbelok-belok seakan yang dilakukannya itu boleh tapi sebenarnya tuuannya haram.
Perlu diketahui orang yang melakukan hal haram dengan cara khiyal memiliki 2 kerusakan :
1.Dia tetap melakukan dosa karena perbuatan itu tetap hukumnya haram sekalipun sehebat apapun dia berkelit.
2.Dosa besar karena dia berusaha menipu Allah.Padahal Allah Mahatahu.
seorang ulama pernah berkata :"mereka menipu Allah sebagaimana menipu anak kecil, seandainya saja mereka melakukan keharaman itu dengan yang biasa-biasa saja (bukan dengan khiyal) tentu lebih ringan.Tapi orang yang melakukan dengan cara khiyal tambah dosanya.contoh : mengada-ada safar di bulan ramadhan agar dapat keringanan puasa.Caranya (kelihatannya) boleh tapi niatnya/tujuannya haram.
Niat adalah hal yang kita dan Allah yang mengetahui.
Penulis tertarik dengan kaedah fiqhiyah
ini, semenjak sekolah di madarasah MTI Ranah Airtiris, tahun 1974-1980, tetapi
hanya sedikit waktu bagi penulis untuk menghafalnya, karena sambil sekolah,
sambil menari sesuap nasi:
Pernah kucoba, berldng padi,
Lima tahun mengorbankan diri.
Sambil sekolah, mencari rezeki,
Ke Airtiris, pergi mengaji.
Di pertengahan 1980-an penulis masuk
fakultas tarbiyah IAIN, juga tidak banyak dapat mengusai kaedah fiqhiyah, yang
banyak disajikan justru psikologi pendidikan dan statistik. Tapi setelah tahun 2008 entah mengapa penulis
bisa masuk ke fakultas Syari’ah program doktor UIN Suska Riau. Nah di sinilah
penulis menggali kembali kaedah fiqhiyah dan usul fiqih yang lama tidak digunakan,
sehingga penulis membaca berbagai buku, dan semua artikel fiqih di internet.
Semoga Allah meredai. Robbi zidni ilman, warzuqni fahman.
Penulis mengutip kaedah
fiqhiyah ini, rasanya seperti mengutip mutiara di tengah samudera. Kaidah-kaidah
fiqih yaitu kaidah-kaidah yang bersifat umum yang mengelompokkan
masalah-masalah fiqih terperinci menjadi beberapa kelompok adalah merupakan
kaidah atau pedoman yang memudahkan mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah
yaitu dengan cara menggolongkan masalah-masalah yang serupa di bawah suatu
kaidah. Kaidah itu digali dari sumber-sumber hukum, baik melalui al qur’an dan
as sunnah. Karena itu setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat
dinilai sebagai standar hukum fiqih sehingga sampai dari nash itu dapat
diwakili dari sekian populasi nash-nash ahkam.
Permasalahan
Dalam makalah ini kami bersama-sama untuk mendiskusikan permasalahan mengenai sepuluh kaidah yaitu mulai kaidah sebelas sampai kaidah dua puluh.
Pembahasan
1. Kaidah pertama
الخرا با لضمان
“Hak mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”
Dasar kaidah ini ialah hadist Nabi:
انَ رجلا ابتاع عبدا فاقام عنده ما شا ء الله ان يقيْم,
ثموجد به عيبا فخا صمه الى النبي صلى
الله عليه وسلم فردَ ه عليه فقا ل الرجل: يا رسول الله فقد استعمل غلا
مى فقال: الخراج با لضمان.
“Bahwa seorang laki-laki menjual seorang budak, maka budak itu bermukim di tempat pembeli dalam beberapa hari kemudian si pembeli mendapatkan cacat pada budak tersebut dan melaporkan kepada nabi SAW, maka nabi mengembalikan budak itu kepada laki-laki yang menjual. Maka berkata lah laki-laki itu: “Wahai rasulullah, ia (pembeli) telah mempekerjakan (mengambil manfaat) terhadap budakku”. Rasulullah bersabda: “Hak mendapatkan hasil itu disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian”.
2. Kaidah kedua
الخروج من الخلا ف مستحبَ
“Keluar dari khilaf itu adalah keutamaan”.
Maksud dari kaidah ini ialah bahwa menghindari barang atau perbuatan yang hukum halalnya atau bolehnya diperselisihkan adalah terpuji atau dianjurkan.
Dasar kaidah ini ialah sabda nabi SAW:
فمن اتقى الشبها ت فقدا ستبرأ لدينه وعرضه
“Maka barang siapa menjaga diri dari subhat (tidak jelas hukumnya) maka ia telah mencari kebersihan untuk agama dan kehormatannya”.
Menurut Tajuddin As-Subky, kaidah ini berasal dari firman Allah:
ياايّها الذين امنوااجتنوْاكثرامن الظّنّ انّ بعض الظّنّ اثْم
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa”.
Selanjutnya beliau berkata, bahwa ayat ini mengandung perintah untuk meninggalkan sesuatu pekerjaan yang tidak berdosa, karena dikhawatirkan jatuh kepada pekerjaan yang berdosa. Tindakan berhati-hati ini memang kadang-kadang menganggap ada terhadap barang yang tidak ada, dan sesuatu yang diragukan menjadi seperti sungguh-sungguh.
Contoh dari perbuatan dalam rangka keluar dari khilaf, artinya melaksanakan sesuatu dengan cara yang dapat dibenarkan oleh dua pendapat yang berbeda ialah:
Mengutamakan menggosok anggota wudlu, meratakan dalam mengusap kepala, meninggalkan shalat ada’ di belakang orang yang shalat qodlo’ dan sebaliknya, melakukan shalat qashar dalam bepergian yang berjarak tiga markhalah dan meninggalkan qashar dalam jarak yang kurang dan sebagainya.
Dalam memperhatikan dan menjaga khilaf itu ada beberapa syarat, yaitu:
1. Jangan sampai membawa khilaf yang lain. Karena itu memutus shalat witir itu lebih utama dari pada menyambung nya.
2. jangan sampai menselisihi sunnah yang tsabitah. Sehingga karenanya dihukumi sunnah mengangkat tangan dalam shalat, dan tidak perlu memperhatikan pendapat yang membatalkan shalat dari sebagian ulama Hanafi, karena hadist tentang mengangkat tangan ini adalah jelas dari nabi SAW diriwayatkan dari 50 orang sahabat.
3. Hendaknya kuat dasarnya, tidak hanya yang dianggap sebagai suatu kesilapan, sehingga karena itu puasa itu dalam bepergian lebih utama bagi yang kuat, dan tidak perlu diperhatikan pendapat Adh-Dhohiry yang menganggap bahwa puasanya tidak sah. Dalam hal ini Tahuddin As-Subky mengatakan, bahwa kalau pendapat itu kemah dan jauh dari dasar penetapan hukum syara’ maka dianggap sebagai kesilapan, bukan perbedaan pendapat.
Jadi diutamakan keluar dari khilaf itu kalau kedudukan dua pendapat itu sama atau hampir sama, sehingga tidak semua perbedaan pendapat diperhatikan.
3. Kaidah ketiga
الدّفع اقوى من الرفع
“Menolak itu lebih kuat dari pada mengangkat”
Artinya menolak agar tidak terjadi itu lebih kuat daripada mengembalikan seperti sebelum terjadi.
Menjaga diri agar tidak sakit lebih utama dari pada mengobati setelah sakit.
Contoh pelaksanaan kaidah ini ialah:
Air musta’mal apabila sampai dua kulah, kembalinya menjadi suci diperselisihi, tetapi kalau sejak semula sudah dua kulah banyaknya, disepakati sucinya. Bedanya kalau sudah banyak sejak semula berarti menolak, dan banyak setelah musta’mal berarti mengangkat. Jadi menolak lebih kuat dari pada mengangkat.
4. Kaidah keempat
الرّ خص لا تنا ط با لمعاصى
“Keringanan atau rukhshoh itu tidak dihubungkan atau dikaitkan dengan kemaksiatan-kemaksiatan”.
Rukhshoh diberikan adalah karena adanya sebab, namun apabila sebab itu ada kaitannya dengan perbuatan maksiat atau perbuatan haram, maka rukhshoh ini tidak diberikan. Atau dengan kata lain, pada perbuatan maksiat itu tidak diberikan rukhshoh.
Bepergian untuk maksiat tidak diizinkan untuk mengqosor dan menjamak, atau berbuka puasa. Sedang kalau bepergiannya tidak maksiat semua ini dibolehkan.
5. Kaidah kelima
الرّ خص لا تنا ط با لشّكّ
“Keringanan atau ruhsoh tidak dikaitkan atau dihubungkan dengan syak (ragu-ragu)”
Artinya apabila orang ragu-ragu tentang dibolehkannya qashar, maka ia wajib menyempuranakan shalatnya, karena yang asal ibadah harus dikerjakan secara sempurna.
Demikian juga bagi mereka yang ragu-ragu akan mubah akan bolehnya mengusap sepatu, wajib membasuh kedua kakinya, karena yang asal dalah membasuh. Mengusap adalah ruhsoh dengan syarat-syarat. Apabila tidak yakin denan syarat-syarat, maka kembali kepada asal yaitu fardlu untuk membasuh.
6. Kaidah keenam
الرّ ضا با لشّيء رضا بما يتو لّد
منْه
“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini adalah kaidah:
“Rela terhadap sesuatu adalah (juga) rela terhadap apa yang timbul dari sesuatu itu”
Searti dengan kaidah ini adalah kaidah:
المتو لد منْ مأ ذون فيه لا اثر له
“Yang timbul dari sesuatu yang telah diizinkan (diterima) tidak ada pengaruh baginya”.
Artinya apabila seseorang telah rela dan menerima sesuatu, maka ia harus menerima segala rentetan persoalan akibat dari sesuatu yang telah diterima. Yang berarti menerima segala resiko akibat penerimaannya.
Contoh: orang membeli barang yang sudah cacat, dia harus rela terhadap semua keadaan akibat dari cacat itu. Misalnya: cacatnya berkembang lebih besar. Demikian pula membeli binatang yang sakit, dia harus menerima semua yang terjadi akibat dari sakitnya binatang itu.
7. Kaidah ketujuh
السّؤال معاد فى الجواب
“Pertanyaan itu diulangi di dalam jawaban”
Jadi hukum dari pada suatu jawaban itu adalah terletak pada soalnya. Sehingga apabila seorang hakim bertanya dengan maksud minta keterangan kepada seorang tergugat: “Apakah istrimu telah engkau talak?”. Apabila dijawab: “Ya”, maka istri tergugat telah berlaku hukum sebagai wanita yang telah ditalak oleh suaminya. Dalam hal ini tergugat telah mengakui atas gugatan muda’iy.
8. Kaidah kedelapan
لا ينسب الى سا كت قوْل
لا ينسب الى سا كت قوْل
“Tidak dapat diserupakan kepada orang yang diam, suatu perkataan”
Kaidah ini adfalah kata-kata Imam Syafi’i dan berdasarkan kaidah ini, maka diamnya seseorang tidak menepati kedudukan sebagi orang yang bicara.
Diamnya janda waktu diminta ijin untuk dikawinkan tidak berarti memberi ijin.
Pengecualian dari kaidah ini ialah diamnya gadis waktu diminta ijin untuk dikawinkan. Sabda Rasul SAW:
واذْ نها صما تها
“Ijin adalah diamnya”
Diamnya seorang tertuduh setelah disumpah adalah berarti mengingkari tuduhan
9. Kaidah kesembilan
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaanya”
Dasar dari kaidah ini adalah sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
ما كان اكثر فعلا كان اكثر فضلا
“Apa yang lebih banyak perbuatannya, tentu lebih banyak keutamaanya”
Dasar dari kaidah ini adalah sabda Nabi SAW kepada Aisyah RA:
اجرك على قدر نصبك
“Pahalamu adalah berdasarkan kadar usahamu”
Sesuai dengan hadist yang menjadi dasar kaidah ini, maka dengan sendirinya yang dimaksud oleh kaidah ialah perbuatan kebaikan, sehingga makin banyak diperbuat, makin tambah keutamaannya.
Contoh: shalat witir dengan cara diputus lebih utama dibanding dengan secara disambung, sebab dengan diputus akan tambah niat, takbir, dan salam.
Merupakan pengecualian dari kaidah ini ialah beberapa perbuatan, diantaranya ialah:
1) Shalat qashar dalam bepergian yang memenuhi syarat-syaratnya, lebih baik dari pada shalat dengan tidak qashar.
2) Membaca surat-surat pendek dalam shalat lebih utama dari pada bacaan panjang potongan dari surat yang panjang karena inilah yang banyak dikerjakan oleh Nabi SAW.
3) Shadaqah qurban dengan lebih dahulu dimakan sedikit untuk mengambil barakah, lebih utama dari pada seluruhnya dishadaqahkan, sesuai dengan saba nabi SAW:
كلوا و تصدّ قوْا وادّ خروا
“Makan lah kamu sekalian, kemudian shadaqah kan dan simpanlah”
10. Kaidah kesepuluh
المتعدّى افضل من القا صر
“Perbuatan yang mencangkup kepentingan orang lain, lebih utama daripada yang hanya terbatas untuk kepentingan sendiri”.
Suatu perbuatan yang dapat menghasilkan kemanfaatan yang dapat mencakup kepada orang lain, lebih utama dari pada perbuatan yang manfaatnya hanya dirasakan oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan kaidah ini maka Abu Ishak, Imam Haramain, dan ayahnya berpendapat, bahwa bagi yang melakukan fardu kifayah mempunyai kelebihan daripada melakukan fardu ‘ain, karena dengan melakukan fardlu kifayah itu berarti menghilangkan kesukaran-kesukaran yang pada umat.
Menurut Imam Syafii, mencari ilmu itu lebih utama dari pada shalat sunnah, karena mencari ilmu akan bermanfaat kepada orang banyak, sedangkan shalat sunnah itu hanya manfaatnya hanya pada diri sendiri.
Kesimpulan
Dari penjabaran kaidah-kaidah di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa di dalam penentuan hukum Islam telah ditetapkan kaidah-kaidah yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam menentukan suatu permasalahan hukum yang belum ada dalam nash al qur’an atau as sunnah.
No comments:
Post a Comment