40.000 IDE MUNCUL
DALAM SEHARI
0leh M.Rakib, dikutip dari
buku Jean Marie Stine :.
Setiap
manusia, diberi ilham oleh Tuhan 40.000 ide dalam sehari, tapi saying, tidak
dikemas dengan baik, karena daya ingat atau memori otak sangat berpengaruh dan dekat
dengan kehidupan kita, apapun akan terganggu jika kita mudah lupa tentang apa
yang sudah kita usahakan untuk selalu diingat. Misalnya saja, seorang
mahasiswa, apapun jurusannya, misal Biologi. Perlu banyak-banyak belajar
tentang bagaimana cara meningkatkan daya ingat atau memori otak agar kuliah
saya tetap lancar karena setiap hari ada istilah baru dan itu semua harus
benar-benar tertanam dalam otak. Begitupun dengan semua orang lainnya. Bukan
hanya mahasiswa yang harus dan perlu meningkatkan daya ingat tentang apa yang
dipelajari. Tetapi juga semua orang yang bekerja pada bidangnya masing-masing.
Berikut
merupakan tips-tips cara mengatur memori penyimpanan otak menurut buku Double
Your Brain Power yang ditulis oleh Jean Marie Stine :
Ø Jika
kalian ingin menyimpan sesuatu/memori anda dalam jangka pendek, maka
simpanlah pada waktu pagi hari.(bagian otak yang menyimpan memori jangka pendek
pada pagi hari lebih efisien sekitar 15%)
Banyak teman-teman yang saya tanya tentang kapan waktu
mereka belajar, kebanyakan dari mereka menjawab pada waktu pagi hari, alasannya
bermacam-macam. Ada yang bilang karena waktu pagi hari otak lagi fresh-freshnya
dan ada yang bilang pagi hari suasana masih sepi sehingga nyaman kalau waktu
itu digunakan untuk belajar. Yang dimaksud pagi disini adalah waktu-waktu
sebelum subuh. Walaupun secara pada waktu ini hanya dapat menyimpan memori jangka
pendek tapi hasilnya memang saat bagus untuk hari itu juga, maka tak heran
seharian mereka bisa mengingat apa yang dipelajari tadi pagi.
Istilah orientalisme secara umum
Secara Umum dimaknai sebagai pola pikir Barat terhadap dunia Timur yang
secara lengkap didefenisikan Ahmad Abd al-Hamid Ghurab (1992, hlm. 20-21)
sebagai “kajian akademis yang dilakukan bangsa Barat yang kafir tentang Islam
dan umat Islam dengan segala aspek, baik mengenai akidah, syari’at,
pengetahuan, kebudayaan, sejarah, aturan dan peraturan, hasil bumi dan
potensinya dengan tujuan untuk merusak dan mengotori citra Islam, meniupkan
keraguan kepada kaum muslimin akan kebenaran dan kepercayaan mereka terhadap
ajarannya, menyesatkan mereka dari jalan yang dianjurkan dalam syari’atnya.
Kemudian dengan berbagai cara mengelabui mereka dengan sebuah kajian yang
seolah-olah ilmiah dan objektif dengan mencitrakan adanya keunggulan dan
kelebihan ilmu pengetahuan bangsa Barat atas bangsa Timur yang Islam.”
Tampaknya pengertian di atas lebih
menekankan bahwa dalam Orientalisme Barat berperan sebagai Subjek, meskipun
tekanan kepada hanya orang-orang Barat saja sudah sukar untuk dipertahankan
karena ada orang-orang Timur sendiri yang dimasukkan ke dalam golongan
Orientalisme seperti Turki dan Filipina (A. Muin Umar, 1978, h. 8) sedangkan
Islam dan umat Islam dijadikan sebagai objek kajiannya. Hal ini dapat dimaklumi
dikarenakan kajian tentang Islam --utamanya di dunia Arab-- ternyata lebih
banyak dilakukan dibandingkan tentang ajaran agama lainnya yang berkembang di
Timur seumpama Hindu dan Budha.
Minat Barat untuk belajar dari Timur
pada awalnya --sebelum pecah perang salib--untuk mendapatkan ilmu pengetahuan
semata, hingga dari hasil belajar itu banyak petinggi Eropa terutama di
Andalusia telah menggunakan budaya Arab Islam dalam kehidupan mereka,
penggunaan bahasa Arab dan huruf Arab, cara berpakaian Arab dan lain-lain.
Inilah yang menjadi cikal bakal munculnya orientalisme, di mana hampir semua
perguruan tinggi di Eropa memasukkan bahasa Arab dalam kurikulumnya, seperti
Bologna (Italia) 1076, Chatres (Perancis) 1117, Oxford (Inggris) 1167 dan
lain-lain. Hal ini dikuatkan pendapat Syamsuddin Arif (2008), h. 282) yang
menyatakan bahwa di abad pertengahan, orientalisme adalah upaya mempelajari
karya-karya ilmuwan Islam, mereka bersemboyan Ex Oriente Lux yang berarti
“Cahaya berasal dari Timur”.
Namun setelah pecah perang Salib dan
Yerussalem jatuh ke tangan kerajaan Utsmani, mulailah semangat Eropa untuk
mengkritik, mengecam dan menyerang Islam dari berbagai kepentingan. Mereka
mulai mengarang buku dengan gambaran yang salah tentang Islam. Semangat
permusuhan terhadap Islam ini, baru mereda setelah memasuki masa pencerahan di
Eropa, yang diwarnai dengan keinginan mencari kebenaran secara objektif, namun
berbarengan dengan itu muncul pula era kolonialisme Barat terhadap dunia Timur
terutama Islam hingga objektifitas pengetahuan tentang Timur dan Islam
dijadikan alat untuk mengokohkan cengkraman kolonialisme Barat terhadap Timur.
Gerakan orientalisme dengan semangat
yang sama terus berlanjut setelah berakhirnya masa kolonialisme Barat di awal
abad ke-20, pada masa ini gerakan tersebut berupa penggalian dan pemunculan
kembali terhadap pemikiran-pemikiran para orientalis lama terhadap pemikiran
orientalis era baru seperti yang dilakukan di pusat-pusat studi Islam baik di
Barat maupun di Timur, baik oleh pemikir Muslim maupun pemikir Non Muslim.
Dalam melaksanakan misinya
mempelajari dunia Timur, penganut orientalisme mengadakan kegiatan-kegiatan
terencana, di antaranya:
- Mengadakan kongres-konres orientalis, dengan membahas issu-issu yang berkembang di Timur mengangkut georgafi, histori, antropologi, agama dan bidang lainnya;
- Mendirikan lembaga-lembaga ketimuran, seperti di Prancis Sylvester de Sacy mendirikan Ecole des Langues Orientales Vivantes (1795), di Inggeris King George V membuka the school of oriental studies London Institution (1917), di Belanda didirikan Oosters Instituut Leiden (1971) dengan tokohnya Snouck Hurgronje, Logemann dll. sedangkan di Amsterdam ada Instituut voor het mederne nabije oosten yang dipimpin oleh G.E. Pijper;
- Mendirikan organisasi-organisasi ketimuran;
- Menerbitkan Ensiklopedia dan buku-buku;
- Menerbitkan Majalah-majalah.
Kegiatan-kegiatan ini dilakukan
untuk mendukung misi dan sikap mereka terhadap Timur, terutama Islam. Di antara
sikap mereka tersebut menurut Ghurab adalah sikap-sikap lama yang pernah
ditunjukkan kaum musyrikīn dan ahl al-kitāb terhadap Islam pada masa lalu,
sikap tersebut antara lain:
- Menganggap bahwa al-Qur’an bukan merupakan wahyu dan Muhammad bukan Rasulullah, mereka menyatakan bahwa al-Qur’an adalah kata-kata dan buatan manusia, merupakan kesepakatan sepanjang masa. Karenanya mereka mendakwakan bahwa al-Qur’an adalah buatan Muhammad.
- Menganggap bahwa Islam adalah ajaran yang penuh distorsi dan kekurangan, hingga secara spiritual sama sekali tidak sah. Bahkan ajaran Islam disebut sebagai Muhammadanisme (Agama Muhammad).
- Menuduh bahwa Nabi Muhammad adalah orang yang haus kekuasaan, dengan menyatakan bahwa tabiat yang ada pada Muhammad bukanlah sosok ahli pikir atau filosof agama, karena itu ia memusatkan pada kekuasaan dan sama sekali tidak mengarahkan perhatian pada pembentukan aqidah.
- Menganggap hadits sebagai hasil rekayasa sahabat dan bukan berasal dari Rasul.
Uraian di atas menunjukkan bahwa
para orientalis sesungguhnya tidaklah secara jujur menilai Islam sebagai agama
yang berasal dari Allah, melainkan hanya sekedar menganggapnya sebagai hasil
budaya manusia Timur dalam hal ini Muhammad dan para sahabatnya yang diteruskan
oleh pengikut-pengikut mereka. Sikap-sikap ini tercermin dalam isi setiap karya
tulis yang mereka hasilkan.
Dengan demikian, menurut Zufran
Rahman (1995, h. 148) --dengan mengutip Musthafa al-Siba’i dari al-Isyrāq wa
al-Mustasyrikūn-- bahwa jika diamati ternyata taktik dan methode penulisan
buku-buku orientalisme ialah membuatnya seolah-olah ilmiah dan objektif, di
antara trik yang mereka lakukan adalah :
- Menentukan ide, kemudian mencari dalil-dalil yang dapat menguatkan ide tersebut walaupun secara dipaksakan dan tidak mengena, bahkan tanpa mempedulikan dari mana sumber pengambilannya (jika perlu buku-buku dongeng atau lelucon-lelucon yang sama sekali tidak ilmiah);
- Dalam tulisannya, mereka awalnya memuji Islam untuk menarik simpati para pembaca kemudian melancarkan tuduhan dan pandangan buruk yang dapat merusak kebaikan yang sebelumnya dipuji;
- Menonjolkan kesalahan dan kelemahan kaum muslimin sebagai kekeliruan ajaran Islam, bukan karena kebodohan dan kesalahan mereka terhadap nilai-nilai Islam;
- Membesar-besarkan kekeliruan dan kesalahan yang kecil dari umat Islam, sehingga memungkinkan untuk mencoreng lembaga sejarah dan peradaban Islam dan memupuskan segala kebaikan Islam.
Cara-cara penelitian mereka terhadap
khazanah Islam dengan apa yang disebut metodologi ilmiah, kritis dan objektif
namun tanpa landasan keimanan yang kokoh, menurut hemat penulis sangat
berbahaya dan akan membawa keraguan seorang muslim terhadap keimanannya kepada
Islam sebagai agama, bahkan ikut-ikut menganggap Islam bukan ajaran dari Allah
yang maha agung melainkan sekedar hasil budaya dan karya manusia semata. Hingga
tidaklah mengherankan jika pengaruh pemikiran yang dihasilkan kaum orientalis
ini akan menjadikan seorang muslim meragukan kebenaran dan membenarkan
keraguan.
Di pihak lain, oksidentalisme secara
umum dimaknai sebagai cara pandang terhadap yang lainnya dari kacamata
ketimuran. Kelahirannya dipicu oleh dominasi kajian Barat terhadap Islam dan
adanya ketimpangan akibat westrenisasi yang berpengaruh luas tidak hanya pada
budaya dan konsepsi tentang alam, tapi juga mengancam kemerdekaan peradaban
manusia.
Hadirnya oksidentalisme bertujuan
menguraikan inferioritas hubungan Timur dan Barat, menumbangkan superioritas
Barat dengan menjadikannya objek kajian dan melenyapkan inferioritas Timur
dengan menjadikannya sebagai subjek pengkaji. Secara historis terdapat
perbedaan antara orientalisme dan oksidentalisme, dimana orientalisme muncul di
tengah ekspansi imperialisme Eropa pada abad ke-17 yang kemudian berkembang
membawa paradigma riset ilmiah dan aliran politik yang tidak bersifat netral
karena banyak didominasi struktur kesadaran Eropa, sedangkan oksidentalisme
cenderung berupa upaya pembebasan tanah air dan belum mengembangkan bentuk
apapun hingga berposisi netral karena tidak memburu kekuasaan dan hak kontrol.
Sesungguhnya oksidentalisme sudah
ada sejak lama, Dunia Timur yang diwakili Tradisi Islam dan tradisi lain yang
telah ada sebelum Islam pada masa lalu telah mengupayakan pengkajian terhadap
Yunani dan Romawi sebagai represantasi sumber kesadaran Eropa. Proses
pengkajian tersebut menghadirkan dialektika antara tradisi Islam sebagai
peradaban Timur dan Barat sebagai objek kajian.
Pada tataran konseptual,
oksidentalisme berusaha memahami Eropa secara holistis (menyeluruh) mengenai
sejarah kelahiran dan perkembangannya, serta meletakkan Eropa dalam batas
geografis dan demografisnya. Oksidentalisme mendambakan terhapusnya budaya kosmopolit
yang dipropagandakan Barat dan menemukan jati diri sebuah bangsa dengan ciri
khasnya. Oksidentalisme menawarkan kesadaran bahwa setiap bangsa memiliki tipe
peradaban dan kesadarananya sendiri, hal ini membuka jalan bagi terciptanya
inovasi bangsa non Eropa dan membebaskannya dari pengaruh Eropa yang
menghalangi nuraninya, sehingga mereka dapat berpikir dengan akal dan dalam
kerangka lokalnya sendiri.
Secara epistimologis, oksidentalisme
berupaya mengakhiri hegemoni orientalisme dan mengembalikan status Timur dari
sekedar monumen yang dikaji menjadi manusia yang mengkaji. Lebih dari itu,
oksidentalisme juga menjelma sebagai ilmu pengetahuan yang akurat serta
membentuk peneliti yang mempelajari dan menyelami peradabannya dengan
kacamatanya sendiri dan mengkaji peradaban lain secara lebih netral, tidak
seperti yang dilakukan Barat terhadap peradaban lain. Dengan oksidentalisme,
manusia akan mengalami era baru yang menampilkan rasialisme sebagai penyakit
yang harus dimusnahkan, yang selama ini terpendam dan menjadi borok nafas
peradaban yang dihembuskan bersama kesadaran Eropa.
Oksidentalisme bertujuan mengakhiri
mitos bahwa Barat sebagai representasi seluruh umat manusia serta sebagai pusat
kekuatan dan penentu modernitas, menghapus eurosentrisme dan menjelaskan
bagaimana kesadaran Eropa mengambil posisi tertinggi sampai pada yahap hegemoni
di sepanjang sejarah. Selain itu, oksidentalisme juga mengembalikan kebudayaan
Barat ke batas alamiahnya setelah selama kejayaan imperialisme menyebar keluar
menlalui penguasaan teknologi mendia informasi, pusat penelitian ilmiah dan
media penakluk lainnya.
Oksidentalisme hadir sebagai bentuk
reaksi dari keberadaan orientalisme yang --dalam kurun waktu antara abad ke-17
sampai abad ke-20-- telah memposisikan Barat sebagai Subjek pengkaji Timur
hingga menimbulkan stereotipe-stereotipe psikologis yang luar biasa parah,
antara lain rasa superioritas Barat karena mereka selalu mensubyekkan diri,
sebagai pengamat. Sebaliknya Timur yang melulu dijadikan obyek kajian, dan
bahkan sasaran penjajahan Barat, lalu merasa inferior. Karena jika hubungan
superior-inferior ini dipelihara terus, tidak saja berakibat pada
ketidakharmonisan Barat-Timur selama berabad-abad, tapi juga memperkeruh
komplikasi sejarah dalam konflik peradaban.
Sebagai bentuk reaksi itu
oksidentalisme mengambil sikap bahwa ekspansi kolonialisme Barat yang tanpa
batas harus segera dihentikan. Perang kebudayaan pun mesti cepat-cepat
diakhiri, lalu kebudayaan dan peradaban Barat dikembalikan ke wilayah geografis
dan historisnya dengan menghapus rasa inferior dunia Islam vis a vis dengan
superior dunia Barat.
Dalam hal ini Hasan Hanafi (2000, h.
57) megilustrasikan bahwa yang terpenting adalah “mengakhiri
orientalisme” dalam pengertian mengubah status Timur dari sekadar obyek,
menjadi subyek. Timur sebagai subyek, sedangkan Barat yang dijadikan obyek
kajian. Bahkan lebih dari itu, oksidentalisme juga dapat mengubah peradaban
Barat dari kajian-obyek menjadi obyek-kajian dengan melacak sejarah, sumber,
lingkungan, awal, akhir, kemunculan, perkembangan, struktur, dan keterbentukan
peradaban Barat.
Lebih lanjut diungkapkan, ada
harapan bahwa pembebasan diri dari dominasi pihak lain yang selama ini
dicita-citakan proyek oksidentalisme dapat tercapai, sehingga muncul “harmoni
kebudayaan-peradaban” antara ana (yakni, “saya”, umat/dunia Islam) dengan
al-akhar (the other, pihak lain, Barat/Eropa Kristen). Harmoni tersebut perlu
dilestarikan terus, terutama dari sudut pandang ontologisnya. Misalnya, seperti
dilukiskan begitu indah oleh Hasan Hanafi, “membebaskan ego dari kekuasaan the
other pada tingkat peradaban, agar ego dapat memposisikan dirinya sendiri
secara bebas.” “Saya tidak teralienasi” karena itu “saya ada”; atau “saya bukan
orang lain” dan karenanya “saya ada”.Yang dimaksud dengan ego dalam hal ini
adalah peradaban Timur, khususnya Islam; dan the other adalah Barat.
Akhirnya, oksidentalisme idealnya
diharapkan mampu membentuk sosok bangsa Timur yang mengenal dirinya, mengenal
agamanya, tradisi intelektual secara mendalam dan menyeluruh. Bahkan kalau bisa
dapat menghadirkan rasa self confident atau --dengan bahasa gaulnya--“pe de”
dengan cara melawan pembaratan dengan cara-cara rasional dan ilmiah. Saat ini
harus diakui bahwa hegemoni politik, ekonomi, dan budaya sudah di tangan
mereka. Dalam bidang intelektual, mereka juga berhasil menciptakan anggapan
bahwa otoritas ada pada mereka dan salah satu langkah konkritnya adalah
pemperdalam pengetahuan orang Islam tentang sejarah Islam, sejarah al-Qur’an,
sejarah hadits dan hukum Islam, di samping --yang tak kalah perlunya--
mempelajari sejarah Kristen dan Yahudi. Semua ini harus dilakukan karena mereka
faham sejarah Islam sedangkan umat Islam mayoritas buta sejarah mereka,
sehingga tidak heran jika umat Islam akan gamang ketika mereka mengatakan “What
you know, we know. What we know you don’n kwow” artinya “apa yang anda tahu,
kami juga tahu. Apa yang kami tahu, anda tidak tahu”.
Sudah saatnya umat Islam percaya
diri untuk menggali khazanah sendiri yang bersumber dari kalangan sendiri yang
begitu kaya dan tak terpermanai jumlahnya, tanpa harus terhanyut oleh pesona
khazanah “import” yang datang dari luar Islam yang dapat meracuni umat dan
membawa umat jauh dari akar ke-Islamannya. Seraya pula berupaya untuk terus
jadi orang yang dengan yakin mengatakan kepada mereka para “importir” tersebut
“lakum dinukum wa liya din.”
No comments:
Post a Comment