MENCARI ALTERNATIF
PENGGANTI AGAMA
M.RAKIB JAMARI
SUDAH BANYAK YANG TIDAK PERCAYA
AGAMA
KARENA KESALAHAN, PEMIMPINNYA
AGAMA DIANGGAP, TIDAK BERDAYA
MORAL DAN ETIKA, DIKACAUKANNYA
“AGAMA MEMILIKI SEMBILAN NYAWA, BEGITU JUGA
SEKULARISME.” UNGKAPAN INDAH PENUH MAKNA INI , DARI GOENAWAN MUHAMMAD, BUDAYAWAN TERNAMA,
DALAM SEBUAH DISKUSI TENTANG MASA DEPAN SEKULARISME DI TEATER UTAN KAYU. UNGKAPAN INI MERUPAKAN SEBUAH BENTUK OPTIMISME DAN --SAYA KIRA JUGA--
KRITIK TERHADAP DUA TEORI BESAR YANG BERKEMBANG SELAMA INI DALAM KAJIAN-KAJIAN
SOSIOLOGI AGAMA.
Bahaya Mempertuhankan Akal
Akal merupakan karunia Allah yang sangat menakjubkan dan istimewa. Allah
memuliakan dan mengangkat derajat manusia melebihi makhluk-makhluk Allah yang
lain dengan akalnya. Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
“Dan
sungguh kami telah memuliakan anak Adam.” (QS. Al Isra [17]: 70)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa manusia telah dimuliakan dengan
akal.(Lihat Tafsir al Baghawy: 5/108)
Karena karunia inilah diantaranya mengapa Allah membebankan tugas ibadah
kepada manusia. Karena beban ibadah hanya mampu dikerjakan oleh makhluk yang berakal. Akal
dengan fungsinya yang baik seharusnya dapat membuat manusia sadar diri bahwa
segala fenomena alam sekitar yang disaksikan, didengar, dan dirasakannya adalah
tanda yang sangat jelas atas sang Pencipta dan karenanya manusia harus tunduk
dan patuh kepada-Nya. Inilah poin terpenting yang sering Allah singgung seperti
dalam firman-Nya, “Tidakkah kalian berfikir?” “Tidakkah kalian berakal?” dan lafadz-lafadz yang lainnya yang menyinggung
soal fungsi akal manusia yang seharusnya sampai kepada satu pemikiran bahwa
Allah satu-satunya yang harus diibadahi dan ditaati.
Jika manusia telah sampai pada esensi ini, maka selanjutnya, akal tidak
dapat dijadikan sebagai sumber setiap kebenaran.
Karena akal, seistimewa apa
pun ia, tetap terbatas dalam mengetahui kebenaran. Untuk itulah Allah mengutus
seorang Rasul dengan membawa wahyu dari-Nya dengan tujuan mengabarkan kepada
manusia esensi-esensi lain yang tidak dapat diketahui oleh akal semata.
Syaikhunâ Dr. Sa’ad bin Nashir al Syatsry mengatakan, “Jika kebenaran
disumberkan kepada akal, maka akal siapakah yang dipakai? Akal berapa orang?
Satu, dua, tiga atau berapa? Bahkan, akal satu orang pun dapat berubah dari
masa ke masa. Betapa sering seseorang meyakini sebuah kebenaran berdasarkan
akalnya pada suatu waktu, dalam beberapa waktu kedepan akalnya berubah meyakini
kebenaran yang lain.”
Mensumberkan segala kebenaran
kepada akal semata berarti menempatkan akal sebagai Tuhan yang disembah selain
Allah. Dengan perbuatan itu manusia berarti telah melepaskan dirinya dari
penyembahan (ubudiyyah) kepada Allah, dan menuju kepada penghambaan kepada akal
yang hakikatnya adalah hawa nafsu yang ditunggangi oleh setan. Maka,
mempertuhan akal sama dengan mempertuhan hawa nafsu dan setan, musuh manusia
yang selalu berusaha membuat manusia menyimpang dari jalan Allah.
Manusia dengan akalnya memang mampu mencapai kebenaran. Namun kebenaran
akal ditempatkan setelah kebenaran yang dinyatakan oleh wahyu. Ahli iman menjadikan wahyu sebagai pokok dan akal sebagai cabang
yang mengikutinya dalam memahami kebenaran. Oleh karena itu, perhatikan firman
Allah tentang orang-orang kafir yang kelak di akhirat mengungkapkan penyesalan
mereka karena tidak mengikuti kebenaran:
وَقَالُوا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ نَعْقِلُ مَا
كُنَّا فِي أَصْحَابِ السَّعِيرِ
“Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau
memikirkan niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS. Al Mulk [67]: 10)
Orang-orang kafir itu pertama mengatakan, “sekiranya kami mendengar”
maksudnya mendengar wahyu yang disampaikan oleh para Rasul Allah. Kemudian
“memikirkan” maksudnya memikirkan dengan akal dalil-dalil rasional tentang
kebenaran yang dikandung oleh wahyu tersebut. Dari sini, kebenaran wahyu
sebetulnya didukung oleh akal yang sehat dan selamat dari dari hawa nafsu dan
syahwat.
Allah sering menyatakan dalam Al Quran bahwa sebab kesesatan orang-orang
kafir itu diantaranya karena mereka tidak menggunakan akalnya dalam memahami
ayat-ayat Allah baik berupa kitab suci atau seluruh ciptaannya yang
menakjubkan. Perhatikan firman Allah berikut ini:
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ
الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا
يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi
neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah).” (QS. Al A’raf [7]: 179)
أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ
أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُونَ أَوْ يَعْقِلُونَ إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ بَلْ
هُمْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu
mendengar atau memahami (dengan akal). Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti
binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak
itu).” (QS. Al Furqan [25]: 44)
Ini membuktikan, bahwa orang yang tidak menggunakan akalnya untuk memahami
ayat-ayat Allah, hakikatnya adalah orang yang tidak memfungsikan akalnya dengan
baik. Orang-orang yang mempertuhan akalnya adalah orang yang menzalimi akalnya
sendiri. Karena ia menggunakan akalnya pada tempat yang tidak semestinya.
Memancangkan Kembali Prinsip Ubudiyyah
Intinya, pemikiran liberal adalah syahwat menyesatkan yang ingin mencerabut
keimanan dari hati-hati manusia, menghancurkan keyakinan bahwa manusia adalah
makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk menghamba kepada-Nya. Untuk itu, jalan
satu-satunya untuk menangkal pemikiran ini baik dari diri kita sendiri dan
orang lain adalah dengan senantiasa menguatkan keyakinan kita terhadap prinsip
ubudiyyah. Bahwa manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, untuk tunduk,
taat, cinta, berserah diri, berharap dan takut kepada yang Mahakaya,
Mahaterpuji, Mahapencipta dan Mahasempurna. Karena kita hakikatnya makhluk
lemah dan miskin. Kehidupan kita sangat tergantung kepada pencipta kita.
Dari artikel 'Syahwat Liberal — Muslim.Or.Id'
Adaptasi Agama Terhadap Sekularisme
Menarik tulisan Luthfi Assyaukanie
“Agama memiliki sembilan nyawa, begitu juga sekularisme.” Ungkapan indah penuh makna ini , dari Goenawan Muhammad, budayawan ternama, dalam sebuah diskusi tentang masa depan sekularisme di Teater Utan Kayu minggu lalu. Ungkapan ini merupakan sebuah bentuk optimisme dan --saya kira juga-- kritik terhadap dua teori besar yang berkembang selama ini dalam kajian-kajian sosiologi agama.
“Agama memiliki sembilan nyawa, begitu juga sekularisme.” Ungkapan indah penuh makna ini saya dengar dari Goenawan Muhammad, budayawan ternama, dalam sebuah diskusi tentang masa depan sekularisme di Teater Utan Kayu minggu lalu. Ungkapan ini merupakan sebuah bentuk optimisme dan --saya kira juga-- kritik terhadap dua teori besar yang berkembang selama ini dalam kajian-kajian sosiologi agama.
Teori pertama menyatakan bahwa dunia kita sedang menuju kepada satu titik di mana agama-agama tradisional tak lagi punya tempat. Masa depan umat manusia adalah masa depan dunia sekular, masa depan sekularisme. Teori ini didukung oleh hampir seluruh sosiolog besar Barat, termasuk Weber, Durkheim, Comte, dan Luckmann.
Teori kedua adalah respon dari teori pertama itu. Teori ini menyatakan bahwa tesis tentang sekularisasi tak lagi bisa dipertahankan. Dunia kita bukannya sedang mengarah kepada satu titik yang sekular, tapi justru kepada titik di mana agama-agama menjalani kebangkitannya Teori ini dianut oleh para sosiolog belakangan seperti Peter Berger, Rodney Stark, dan Jose Cassanova.
Lalu, dengan demikian, apakah teori klasik sekularisasi benar-benar telah mati, dan masa depan dunia kita adalah masa depan agama, dan bukan sekularisme? Ungkapan yang dilontarkan Goenawan Muhammad di atas, saya kira, menjawab itu Baik agama maupun sekularisme sulit mati, karena keduanya punya banyak nyawa.
Pertanyaannya, mengapa agama begitu tegar dan mampu bertahan dari serangan sekularisme sejak dua abad belakangan? Jawabannya, saya kira, bukan karena agama memiliki “kekuatan supranatural” atau “kebenaran sejati” sehingga, seperti kerap diklaim kaum agamawan, “kebenaran akan mengalahkan kebatilan.”
Jawabannya, menurut saya, karena agama telah begitu pandai memainkan perannya dalam berhadapan dengan dunia modern. Agama mampu beradaptasi dengan produk-produk modernitas, termasuk sekularisme. Maksudnya, ada upaya dan proses terus-menerus dari tokoh maupun penganut agama untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang terus berubah, situasi dan keadaan yang diciptakan oleh dunia kita yang sekular. Tak ada satu pun agama di dunia ini yang mengaku punya ajaran universal tapi bersikap resisten terhadap perubahan. Menolak perubahan, bagi sebuah agama universal, sama artinya menolak karakter universalnya.
Islam misalnya. Ia adalah agama universal yang punya klaim agung sekali: “cocok untuk setiap masa dan keadaan” (salih li kulli zaman wa makan). Klaim inilah yang membuat Islam terus bertahan hingga sekarang. Ia akan selalu melihat perkembangan di dunia luar, mencontohnya, mempelajarinya, lalu menirunya (mimicry). Produk-produk peradaban sekular seperti sistem keuangan, industri turisme, dan kapitalisme media, diamati dan dipelajari oleh orang-orang Islam, lalu ditiru dan diberikan identitas keislaman menjadi ekonomi Islam, bimbingan haji plus, dan media Islami. Saya meyakini, masa depan Islam --dan juga agama-agama dunia lainnya-- terletak pada sejauh mana ia bisa berinteraksi dan beradaptasi dengan sekularisme dan dunia kita yang semakin sekular. (Luthfi Assyaukanie)
Komentar Masuk (6
komentar)
Saya kira Bapak Luthfi sudah mengenal Islam secara
mendalam, dan tentunya bapak sudah tahu, bahwa didalam Islam sendiri diajarkan
bagaimana cara bermuamalah ketika berdagang, dan perbuatan ekonomi lainnya. Dan
Islam mempunyai nilai-nilai dan dasar yang asli, sehingga berbagai bentuk
kegiatan ekonomi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maka tidak
diperbolehkan didalam Islam. Contoh yang jelas tentang kepemilikan, apakah
islam tidak mengakui tentang kepemilikan pribadi ???, atau islam mengakui
kepemilikan pribadi menurut bapak itu hanyalah meniru kapitalis....?, tidakkk.
Islam tidak meniru-niru, akan tetapi segala bentuk kegiatan yang sesuai dengan
nilai-nilai islam maka sah-sah saja, akan tetapi kalau tidak sesuai maka
dilarang oleh agama Islam. apakah hal tersebut meniru ?
-----
#1. Hasanuddin at 2004-03-29
15:04:15
Manusia dan Agama lahir dan tumbuh secara bersamaan.
Selama manusia ada akan selalu ada orang yang merindukan Tuhan dan mencarinya
lewat agama. Agama selama penafsirannya sesuai dengan fitrah dia akan selalu
hidup dan dianut oleh manusia yang menemukannya. Sekularisme muncul sebagai
koreksi atas salah tafsir teks suci, bukan datang sebagai pengganti.
Sekulerisme datang sebagai bata pelengkap dari pilar agama yang digerogoti oleh
tafsir. Agama terbantu oleh sekularisme untuk bertahan atau keluar dari penjara
tafsir yang keliru. Radikalisme agama akan mudah diobati dengan sekularisme,
sedangkan kehampaan sekularisme akan riang kembali bila disiram dengan agama.
Ya ini sih kira-kira. Hanya Produsen agama yang tahu.
#2. sukarni at 2004-03-26
17:04:12
Manusia dan Agama lahir dan tumbuh secara bersamaan.
Selama manusia ada akan selalu ada orang yang merindukan Tuhan dan mencarinya
lewat agama. Agama selama penapsirannya sesuai dengan fitrah dia akan selalu
hidup dan dianut oleh manusia yang menemukannya. Sekularisme muncul sebagai
koreksi atas salah tafsir teks suci, bukan datang sebagai pengganti.
Sekulerisme datang sebagai bata pelengkap yang agama pilar suatu agama yang
digerogoti oleh penapsiran yang keliru. Agama terbantu oleh sekularisme untuk
bertahan atau keluar dari penjara tapsir yang keliru. Radikalisme agama akan
mudah diobati dengan sekularisme, sedangkan kehampaan sekularisme akan riang
kembali bila disiram dengan agama. Ya ini sih kira-kira. hanya Produsen agama
yang tahu.
#3. sukarni at 2004-03-26
17:04:07
Assalamuialaikum wr.wb.
Saya tidak setuju dengan pendapat anda bahwa kemampuan
agama beradaptasi dengan sekulerisme membuat agama tetap tegar sampai saat ini.
Adaptasi hanyalah hasil dari daya hidup yang tetap menyala dalam jiwa agama
yang bersemayam di setiap diri penganut suatu agama. Dengan kata lain,
kemampuan adaptasi bukanlah faktor penyebab, tapi justru merupakan akibat dari
faktor-faktor lain yang menghidupkan agama. Faktor-faktor itu antara lain
berasal dari kegelisahan, kehausan dan kegersangan jiwa akibat sekulerisme yang
menjadi-jadi. Tetapi saya setuju bahwa adaptasi memang kemudian ikut menopang
daya hidup jiwa agama itu karena setidaknya agama tetap bisa dibuat relevan
untuk kehidupan masa kini. Proses adaptasi meskipun setidaknya ikut menyelamatkan
dan memberi tambahan nafas bagi jiwa agama tetapi sekaligus mencerminkan posisi
defensif dan inferior. Yang terjadi saya kira bukan sekedar upaya mempelajari,
meniru lalu memberi identitas seperti yang anda contohkan dengan ekonomi islam,
media islami dsb. Ada proses perlawanan, kritik atau dialektika antara
unsur-unsur sekulerisme yang dianggap tidak islami dengan nilai-nilai islami.
Dalam konteks ilmu pengetahuan yang dinilai sekuler, yang dilakukan adalah
islamisasi ilmu pengetahuan sehingga lahir antara lain ekonomi islam. Tetapi
sekali lagi, dalam hal ini, ummat Islam berada pada posisi reaktif dan
defensif. Oleh karena itu, menambahkan pendapat anda, masa depan Islam terletak
tidak hanya pada sejauh mana mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan
sekulerisme, tetapi bagaimana ummat islam mampu bersikap proaktif dengan basis
nilai dan visinya sendiri sehingga dapat melampaui laju sekulerisme dan
mendikternya.
Wassalamualaikum wr.wb.
Kuswanto SA kuswanto@indo.net.id
#4. Kuswanto SA at 2004-03-25
13:03:59
Assalamualaikum, wr. wb.
Sekularisasi dan agama adalah arus yang bergerak di
dua kutub yang berbeda --yang kebetulan harus bertemu dalam diri manusia pada
khususnya, dan peradaban pada umumnya.
Yang menarik adalah sekularisasi tidak pernah menjadikan
agama sebagai musuhnya --walaupun Barat tampaknya juga takut terhadap militansi
Islam--karena dia menawarkan hidup bebas, kemerdekaan berpikir, teknologi tanpa
batas, dan penumpukan modal "sesuai yang diinginkan manusia".
Sekularisasi memasilitasi keinginan terdalam manusia, yaitu keinginan untuk
berkuasa. Sedangkan sepanjang sejarah, sayangnya agama hanya tampak menawarkan
keterbelakangan, ortodoksi, militansi, dan fanatisme. Tentunya, manusia yang
bisa berpikir akan dengan gampang menentukan pilihan. Jadi sekularisme
"have nothing to worry about".
Di sisi lain agama selalu menganggap sekularisasi
sebagai musuhnya, menghancurkan kemurnian, menghilangkan spiritualitas,
menyuburkan keserakahan dan sebagainya.
Dalam hal ini, agama selalu merasa mendapat ancaman
dari sekularisasi, dari modernisme. Betapa anehnya, agama yang dipercaya datang
dari Tuhan --yang seharusnya begitu kuat dan perkasa, karena yang menurunkan
adalah sebuah kekuatan dan kekuasaan absolut-- ternyata begitu
"ketakutan" dengan ciptaan manusia: sekularisme, modernitas, dan
teknologi.
Tidakkah pandangan kaum agamawan yang mempersoalkan
sekularisme dengan segala kekhawatirannya adalah pandangan yang melecehkan
agama itu sendiri?
Atau jika ini bukan masalah resistensi agama terhadap
modernitas, maka kekhawatiran terhadap sekularisme sejatinya bukanlah ketakutan
yang dihadapi oleh agama itu sendiri, tapi semata-mata karena ancaman atas
dominasi doktrin agama yang usang, dan kekuatan atau kekuasaan ulama terhadap
umatnya yang akan berkurang. Sebab, modernisme, termasuk di dalamnya akses yang
luas terhadap pendidikan dan teknologi, membuat umat mulai menjadi
"pintar" dan tidak membutuhkan mereka lagi sebagai agen agama.
Jadi jelas kan, dalam masalah sekularisme ini, pihak
mana yang akhirnya "kebakaran jenggot".
Jadi kalau kita berbicara masalah sekularisme dan
agama, ujung-ujungnya adalah masalah siapa yang lebih berkuasa. Bagi saya,
kuasa terbesar dalam diri manusia adalah hati nurani dan kemerdekaan akal untuk
memilih. Jadi kenapa harus khawatir?
Tuhan tidak akan berkurang ke-Maha-an-Nya karena tidak
ada orang yang "taat" pada diri-Nya lagi.
Masalah kewajiban berdakwah dan membuat dunia ini
menjadi tempat yang baik untuk ditinggali semua orang, menurut saya persoalan
lain. Berdakwah adalah mendidik. Mendidik adalah berdialog dan membuka pikiran,
bukan menanamkan "another form of power". Kalau sudah seperti itu,
beres kan?! Tidak ada yang perlu diributkan, apalagi ditakutkan, karena orang
yang beriman tidak akan pernah takut.
Toh, ketakutan tidak akan membawa kita kepada
kebenaran, kata Goenawan Muhammad. Saya baca itu di Catatan Pinggir-nya. Tapi
saya lupa itu edisi tahun berapa. Yang saya ingat, sejak membacanya, kalimat
itu menjadi salah satu moto hidup saya. Mohon maaf apabila saya salah mengutip.
Manusia itu merdeka, dan seharusnya bisa merdeka dari
rasa ketakutan dan kekhawatiran juga.
Wassalamualaikum wr. wb.
No comments:
Post a Comment