HIKMATUT AL-TASYRI’ DAN MAKNA MEMUKUL ANAK
YANG TIDAK SHALAT
Oleh Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag., Drs.
Setiap yang diperintahkan Allah dan
Rasul-Nya pasti memiliki maqashid,[1]
atau hikmah dan tujuan. Dalam hal
perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan,
yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan
(2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan
hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat
besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat
nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama
Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan
sholat, bertujuan untuk antara lain:
1.
Memberi pelajaran kepada anak bahwa
hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina
di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram)
disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak
Penciptanya.
2.
Menampakkan kepada anak bahwa orang
tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga
tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3.
Memberi pelajaran kepada anak bahwa
manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya,
tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
4.
Memukul yang Sesuai dengan Syari’ah
Ada perbedaan antara memukul
biasa, dengan memukul yang diatur
oleh syari’at.[2] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik
yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela.
Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais, ketika
mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah
satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, ia suka memukul wanita (maksudnya
akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul agar anak
takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar anak takut kepada bapaknya semata, sehingga
makin berwibawa. Maksudnya agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas
karena-Nya. Tidak ada manfaatnya apabila anak nampak taat, di hadapan orang tuanya
saja.
5.
Memukul Yang Melampaui Batas
Orang-orang yang memukul anak hendaknya takut kepada Allah.
Jangan sampai termasuk golongan
orang-orang yang tidak masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di
antaranya sekelompok manusia yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[3] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud orang
yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada
jaman sekarang ini.[4] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukuli dan
menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan mengamankan. Lalu bagaimana
caranya mereka dapat mengamankan dan mengatur tanpa berbuat
aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan
dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat!
Aturan
yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan
‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat,
secara religi ada lima,[5] kejahatan orang tua yang
wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri.
Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima
tidak memberi pendidikan anak. Merupakan
kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda,
cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama,
bangsa dan semesta.
Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
Tetapi argumentasi beliau ini bisa
dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa
dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya diterima pernyataan seperti
itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang
diterima dari orangtuanya, tentulah akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman
tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber
penderitaan.
Russel menambahkan, "Hukuman fisik ringan, yang tidak berbahaya, tapi tetap tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman
seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan anak. Sementara hukuman fisik
seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat anak
merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Tujuannya
anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu dan lebih mengerti
bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain. Jika ingin diterima oleh orang
lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain,
supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari
orang lain. Dengan demikian, menurut penulis, hukuman fisik yang ringan pun
masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[6]Argumen lain yang disodorkan kelompok penentang adalah pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan
rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus
mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan
perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang “bermental
budak” yang harus tunduk terhadap segala perintah.
Penulis membantah pendapat tersebut, dengan alasan, memang anak-anak tidak boleh
dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman fisik, akan
melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan
dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya,
tidak akan lahir anak-anak seperti itu. Seorang anak yang terus-menerus
melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan, agar tidak melakukan perbuatan tersebut harus dihentikan dengan hukuman. Kalau
kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan,
anak akan semakin berani melawan. Tentunya hukuman harus ringan dan tepat sasaran.
Alasan lain menurut kelompok penantang, bahwa hukuman fisik sama sekali
tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang akan mengurungkan niatnya, karena perasaan
takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu,
hilang, si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin
dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan
buruknya. Karena itu patut diingat statmen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan
anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
Pernyataan bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang
bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalan, menurut
penulis, harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalannya
dan dicari solusinya sehingga anak-anak, tidak mengulangi perbuatan buruknya.[7] Tetapi
jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, tidak ada cara lain
selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan
keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman
itu diberikan secara proporsional, tidak akan berdampak negatif. Memang anak
harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak
juga harus diajari bahwa di dunia ini orang
tidak bisa hidup dengan kebebasan mutlak, lebih-lebih lagi kalau
kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
6. Pukulan Terhadap Anak Sebagai Instrumen
Hukuman pukulan kepada anak, bagi pengsuhnya adalah Instrumen sekunder . Sebagian pakar menerima hukuman fisik, sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Instrumen
sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Menurut penulis, kalau guru atau orang tua masih bisa menangani anak
didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, tidak
perlu memberikan hukuman. Hukuman boleh diberikan setelah nasihat-nasihat tidak
lagi dapat mengusik kesadarannya. [8]
Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya
sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman fisik dalam
proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai
alternatif kedua." John Locke
menulis, "Benar bahwa hukuman fisik
kadang-kadang diperlukan, tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah hukuman adalah mendidik moral.
Yang harus dilakukan adalah membuat anak
merasa malu berbuat nakal dan bukan karena takut akan sanksi hukuman. Hukuman yang
terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[9]
A.L Gary Gore menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman fisik kepada
anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa
mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka. Sebelumnya sudah diperingatkan tapi
tetap meneruskan kenakalannya, anak-anak
itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman
dengan strategi yang tepat. Kalau dilaksanakan ketika dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan
terhadap kondisi dan psikologis anak,
bisa-bisa merusak hubungan orangtua dan anak. Anak akan
kehilangan kepercayaan dan juga bisa dendam.
Hukuman yang tidak tepat, akibatnya anak tidak
mematuhi keinginan orang tua, karena melukai hatinya. Timbul dalam
diri anak keinginan membalas rasa sakit hatinya. Sebelum
menjatuhkan hukuman terhadap anak dipertimbangkan secara baik dan manfaat dan
mudaratnya. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan
dan tidak patut diberikan terhadap anak.
Hukuman
memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak, malahan
dalam situasi tertentu mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang lain, sama sekali tidak perlu secara
mutlak dengan hukuman fisik. Beberapa
psikolog tidak
keberatan dengan hukuman-hukuman fisik tapi bukan yang berat. Menurut psikolog "Perlu
diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga
diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi
menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul,
atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit."[10]
Secara yuridis, Undang-Undang
tentang perlindungan guru telah
termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada
Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi
profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan perlindungan terhadap
guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005
telah memuat perlindungan,[11] terhadap guru
atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum
terlaksana. Ajaran Islam menerima
hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan.
Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman,
peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda,
dan diat. Ayat al-Quran
mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk
orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa. Nabi-nabi
diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan. Hukuman jenis kedua yaitu hukuman fisik yang
bersyarat,[12] misalnya hukuman
pengasingan, qishash, pukulan,
hukuman aturannya telah ditetapkan oleh
syari’at.
Kekerasan yang disengaja terhadap anak, walinya bisa meminta hukuman qishas terhadap hakim. Tindak kekerasan yang tidak disengaja, dikenakan denda (diat)
melalui walinya. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam
kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi
tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi
tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan. Siapa saja yang dengan sengaja
mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan diqisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama,
tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu.
Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang
ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi lebih ringan dari had.
Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syari’at,
hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya
demi kemaslahatan umum, tapi bisa memberikan hukuman yang kurang dari had.
Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan
istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
Laki-laki dan perempuan (bukan muhrim)
yang tidur seranjang, secara umum bisa
dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang
hakim. “Islam memberi tempat bagi hukuman fisik”,[13] dan non-fisik
sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan
ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman itu bukan sebagai bentuk
balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas
sosial dan hak-hak manusia. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan
ukurannnya oleh Al-quran dan hadits, artinya untuk menentukan batas terendah
dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian,
syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman
kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir
Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi
tiga, yaitu :
1) Jarimah hudud dan
qishash diyat yang mengandung unsur
shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai
perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang
bukan harta benda.
2) Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas,
tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah
palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji,
menghianati amanah, dan menghina agama.
3) Jarimah ta’zir
dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi
terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap
peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah
lainnya.[14]
Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang
menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap
anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan
jarimah ta’zir harus sesuai dengan
prinsip syar’i.[15]Hukuman
ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai
dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang
untuk memilih diantara hukuman tersebut, yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya..
[1]Teori maqashid al-Syari’ah yang
disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin
dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy membuat
kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal
dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah,
maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:Mutakallimin, Hanafiyyah, al-Jam’i, Takhrij
al-Furu’ ‘alal Ushul dan Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000:
8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam
al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn
corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena
dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat)
ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga
produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut
Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan
para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani
antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah
mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan
“aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid
ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih
demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model
al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al
fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang
penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah
menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
[2]Suruhlah
anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah
mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta
pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad
(II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84),
Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan
Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma.
Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
[5]
Editor Tribun Pontianak,
Pelajaran bagi orangtua di tengah kehidupan
global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan
budaya. Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong,
Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini,
berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di
rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita
mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang
ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan
busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami
memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul
21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak,
mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya
menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya,
tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau
yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan.
Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak,
lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan,
9 Januari 2012.
[6]Apabila manusia telah
meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo’akan kebaikan baginya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631),
Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud
(no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278)
dari Abu Hurairah.
[7] Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ketetapan Ta’zir, Pihak pondok menetapkan aturan dengan cara menta'zir
yang salah satunya dengan menarik uang(denda) bagi santri yang melanggar aturan
yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh pada pesantren di Jawa, karena,
mereka para kiyai tahu hukum menta'zir
dengan uang, sehingga timbul pertanyaan:
1. bagaimanakah hukum menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika
tidak boleh,apakah ada cara lain yang membolehkannya, mungkin dengan hilah(merekayasa
daya hukum)? 3. hukum helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang
diperbolehkan menurut syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum
dengan denda uang itu tidak boleh, tapi menurut pendapat Imam Malik boleh
menghukum dengan denda uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke
bawah,kalau pun organ atas yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat
bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang
paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang
lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya
akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia
dan akhirat.” Ash Sholah wa Hukmu
Tarikiha, Ibnul Qayyim,.
[8]
Mahjuddin, Masa’il al-Fiqhi , Kasus-Kasus
Aktual Dalam Hukum Islam, Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah
rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan
Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu
kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia.Qs. Al-Kahfi: 46 Kehadiran anak di
tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang
tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan
perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering
ditemui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan
orang tuanya. Lihat Mahjuddin, Masa’il
al-Fiqhi , Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (Kalam Mulia Jakarta:
2012), hlm. 71.
[10]Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak,
pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir
89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain
yang dirilis Kementerian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di
Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke pengadilan dan 4.622 ABH di
antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka
ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di
Indonesia terdapat 62 Bapas, Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012.
[11]Pemerintah
RI, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tahun 2005, (Jakarta,
Sinar Grafika: 2004), hlm 27. Secara
yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU
No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39
yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau
satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
[12]Pemerintah
RI, Undang-Undang Guru Dan Dosen, Edisi 2012,(Jakarta, Fokussindo
Mandiri, 2012), hlm 79. Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru
telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat
jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat,
organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan
terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU
No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun
implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.Lihat
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah
Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), hlm. 115.
[13]Bunadi
Hidayat, Op.Cit, hlm. 183. Secara tidak sadar orangtua menghukum
anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya.
Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua
turut menciptakan kondisi anak pada masa mendatang.Rasulullah SAW
mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak,
yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan secara langsung,
menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn
pukulan adalah jalan terakhir untuk menghukum anak
agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang.
[14]Akram Kasab, Memadukan nash dan akal Metode Yusuf
Al-Qaradhawi, (Jakarta : Pustaka Al-Kausar, 2010), hlm 572. Menurut sebagian madzhab Hanafi boleh
menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madzhab al-arba'ah 5/
401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis
a-lmurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan
mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), hlm. 392.
[15]Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah al-Jamal
V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur janggut, memotong anggauta dan
melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda
karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat
diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang
tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam Taqiyuddin
yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”.
Mathaalib Uli al-Nuhaa, Jilid VI, hlm. 224.
No comments:
Post a Comment