Wednesday, April 1, 2015

at-Tasyri’ al-Jinai fi al-Islam, Abdul Qadir Audah

M.RAKIB  PEKANBARU  RIAU




at-Tasyri’ al-Jinai fi al-Islam, Ustadz Abdul Qadir Audah menulis, “Ketika saya membandingkan antara undang-undang yang kita gunakan pada masa ini dengan syariat, maka saya sesungguhnya sedang membandingkan antara undang-undang yang berubah, berkembang dan berjalan sangat cepat menuju kesempurnaan sehingga nyaris sampai pada batas kesempurnaan — sebagaimana yang mereka katakan — dengan syariat  yang turun sejak 13 abad silam dan tidak mengalami perubahan sejak dahulu dan takkan berubah atau tergantikan hingga masa yang akan datang. Syariat yang pada tabiatnya takkan mengalami perubahan dan revisi, karena ia datang dari Allah, dan tidak ada perubahan pada kalimat Allah. Karena syariat itu juga berasal Kalam Allah yang menyempurnakan segala sesuatu. Dan segala sesuatu yang diciptakannya tidak lagi membutuhkan penyempurnaan dari ciptaan-Nya.
Ketika kita sedang membandingkan kedua hal itu, maka kita sesungguhnya sedang membandingkan antara pendapat dan teori terbaru dalam undang-undang dengan yang lama dalam syariat. Atau kita sedang membandingkan antara yang baru yang dapat berubah dan direvisi dengan yang lama yang tidak dapat menerima perubahan dan revisi.




Usia Anak Menurut Fiqih
          Hukum Islam (Fiqih)  mengatur batas umur seseorang untuk dapat disebut dewasa  dan mampu  dari segi fisiknya saja. Lebih jelas ukurannya/kriterianya dewasa menurut Islam adalah sudah akil baligh yaitu adanya tanda-tanda tertentu seperti laki-laki sudah bermimpi basah dan wanita sudah haid.[1]
          Dalam Kompilasi Hukum Islam ada aturan secara khusus masalah batas umur untuk dapat dikatakan dewasa dan bisa melalkukan perkawinan bagi orang Islam yaitu pada Pasal 15 ayat (1) yang menegaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Perkawinan hanya boleh dilakukan oleh calon mempelai yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,  yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.[2]
         Menurut Imam Malik dan Abu Hanifah bahwa orang yang tidak pernah bermimpi (mengeluarkan mani) itu tidak dinyatakan dewasa kecuali bila telah sampai pada usia 17 tahun. Sedang dalam riwayat lain yang termasyhur dari Abu Hanifah adalah 19 tahun. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa keduanya lebih cenderung memilih usia anak dari pada ihtilâm  itu sendiri.[3] Kewajiban  Menafkahkan Anak Seorang ayah wajib memberi nafkah sampai anak itu dewasa yakni berusia menimal 21 tahun, Walaupun dia sudah bercerai dengan ibu si anak. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 156 Bab 17 tentang Akibat, sekalipun putusnya perkawinan, dinyatakan bahwa:
                       Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun) e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasrkan huruf (a),(b), dan (d); f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.[4]

 Para ulama sepakat (ijmak) atas wajibnya menafkahi anak. Dalil yang dijadikan dasar hukum adalah Al Quran Surat Al-Baqarah 2:33:
                       وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ......

Kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut (ma'ruf).[5]

3. Batas Kewajiban  Orangtua  Memberi Nafkah

Kewajiban membiayai anak bagi seorang ayah ada batasnya. Kewajiban itu gugur apabila anak mencapai usia dewasa. Dewasa menurut
Hukum Islam adalah sudah baligh (kira-kira 14 tahun). Sedang dewasa menurut ukuran negara dan KHI (kompilasi hukum Islam) adalah 21 tahun.[6] Kalau anaknya yang sudah dewasa itu miskin dan secara fisik sehat, sebagian besar ulama berpendapat tidak wajib memberi nafkah karena anak dianggap mampu untuk bekerja sendiri. Namun, ada sebagian ulama yang berpendapat sebaliknya yakni kewajiban menafkahi tetap pada bapak. Namun apabila anak yang miskin tadi secara fisik lemah atau cacat, maka menurut Ibnu Taimiyah kewajiban membiayai ada pada bapak. Wajibnya memberi nafkah anak perempuan walaupun dewasa sebagian besar ulama fiqih mengatakan wajib memberi nafkah sampai anak wanita menikah. Argumennya adalah karena anak perempuan tidak atau belum mampu bekerja.[7]

          Implementasi perlindungan anak dalam kajian fiqh,[8] terealisasi dalam tiga bentuk, yang  ketiganya bertujuan untuk memelihara kemaslahatan anak sebagai salah   satu tujuan syari’at,[9] yakni memelihara keturunan, yaitu:
Pertama, dalam bentuk hadhanah,  yaitu merawat dan mendidik orang yang belum Mumayyis , atau orang yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka belum bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Ulama fiqh sepakat bahwa hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang belum dewasa tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada   kehilangannyawa.Perlindungan dan pemeliharaan anak dalam  hadanah dibebankan kepada keluarganya terutama kedua orang tuanya. Ulama fiqh berbeda pendapat dalam  menentukan siapa yang memiliki hak hadanah. Ulama Hanafi dan Maliki mengatakan bahwa mengasuh, merawat dan mendidik anak merupakan hak ibu atau yang mewakilinya, ia boleh menggugurkan haknya itu sekalipun tanpa imbalan. Akan tetapi, menurut jumhur ulama hadanah menjadi hak bersama, antara kedua orang tua  dan anak. Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Ensiklopedi Hukum Islam, hak hadanah itu hak berserikat antara ibu, ayah dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiganya, maka yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.[10]
Kedua, dalam bentuk anak pungut (anak asuh). Bagi orang yang tidak menginginkan kehadiran anak, setelah anak itu lahir, diletakkannya (dibuang) pada suatu tempat, dengan harapan supaya dapat dipungut orang lain. Bagi orang yang menemukannya wajib memungut (membawa) anak itu.  Apakah anak itu akan dirawatnya sendiri atau dirawat orang lain.[11]
Ketiga, dalam bentuk  anak angkat. Mahmud Syaltut, dalam Ensiklopedi Hukum Islam mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian“pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Akan tetapi ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.[12]
4. Kekerasan Terhadap Anak Menurut Pandangan Islam

   Kekerasan terhadap anak ialah berbuat zalim terhadap anak, yaitu memberikan hukuman yang melampaui batas[13] yang telah ditetapkan, karena istilah tindakan kekerasan  hanya jika  mengarah kepada balasan yang tidak  setimpal, yang dikenal dengan kata Al-Baghy. Kata  al-baghy,  terdapat pada Qur’an Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.[14]
16:90

         Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[15]
           Dalam kaitannya dengan menghukum anak,  secara umum  ayat ini, al-Qur'an melarang melakukan tindakan yang melampaui batas, sebab menurut al-Ashfahani, al-baghy  berarti melampaui batas kewajaran.[16] Kemudian dalam arti yang sama, kata tughyan, terdapat dalam Qur’an Surat (QS). Hud [11]: 112.
11:112
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.[17]                                                                     
         
  Kata thughyan digunakan untuk segala sesuatu yang melampaui batas.[18] Demikian pula orangtua atau guru bertindak zalim dikategorikan dengan thaghut. Sikap ini sangat dikecam oleh al-Qur'an seperti pada QS. al-Naba' [78]: 22 yang menjanjikan balasan keras berupa neraka jahannam bagi orang-orang yang melampaui batas (thaghin). Pakar tafsir asal Tunisia, Ibnu 'Asyur, menjelaskan, ungkapan  tathghaw pada QS. Hud [11]: 112  mencakup larangan untuk melakukan segala bentuk kerusakan (ushul al-mafdsid). Dengan demikian, ayat tersebut mengandung perintah untuk  pencapaian kemaslahatan melalui sikap konsisten pada prinsip-prinsip agama, dan menghindari berbagai kerusakan yang tergambar dalam kata thughyan.[19]


           Istilah lain  yang juga dapat diartikan kekerasan ialah Al-Zhulm yang disebutkan dalam al-Qur'an sebanyak  315 kali.[20] Pengertiannya yang populer seperti yang terdapat dalam   Mu'jam Alfdzh al-Qur'an al-Karim,  melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, baik karena berlebih atau kurang. Karena itu  menyeleweng dari kebenaran juga disebut zhulm, dan dapat terjadi dalam hubungan manusia dengan Tuhan dalam bentuk kekafiran atau syirik (QS. Luqman [31]: 17) dan kemunafikan, dalam hubungan antara manusia dan manusia dalam bentuk penganiayaan atau lainnya (Q5. al-Syura [42]: 42), dan dalam hubungan antara manusia dan dirinya (QS.Al- Fathir [35]: 32).[21]
     
         Esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarīmah menurut Islam adalah  pertama pencegahan serta pembalasan (ar-rad’u wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-işlāh wa al-tahżīb). Pelaksanaan pidana penjara di Islam termasuk dalam kategori hukuman ta’zīr karena di dalam al-Qur’ān memang tidak mengatur tentang pidana penjara. Hal ini mengacu pada pengertian tentang hukuman ta’zīr bahwa hukuman atas jarīmah yang hukumannya belum di tentukan oleh syara’ disebut sebagai hukum ta’zīr. Sehingga pedoman pelaksanaan umum untuk hukuman penjara sebagai ta’zīr, diserahkan kepada ijtihad hakim dengan memperhatikan perbedaan kondisi jarīmah, pelaku, tempat, waktu, dan situasi ketika jarīmah itu tejadi.[22]
5. Delinkuensi Dalam Pandangan Islam
           Delinkuensi artinya kenakalan, diartikan sebagai perilaku anak yang nakal bahkan cenderung kepada melanggar hukum. Banyak penyebab terjadinya perilaku delinkuen ini. Berdasarkan beberapa sumber yang penulis paparkan ternyata pemberian hukuman fisik pada anak di sekolah bukan faktor utama perilaku delinkuen remaja. Delinkuensi[23]  dalam pandangan fiqh anak-anak perlu mendapat perhatian khusus, berupa pembinaan, pendidikan, dan perlindungan hukum. Anak-anak termasuk golongan orang lemah dari segala aspek. Oleh karena itu, perlindungan yang diberikan kepadanya melebihi perlindungan terhadap orang dewasa.[24]
           Hukuman yang diberikan terhadap orang yang melakukan kejahatan pada anak-anak dapat diperberat, mengingat kondisi anak-anak yang lemah, sehingga seharusnya lebih dilindungi. Apapun yang dilakukan oleh anak-anak belum dikenai beban hukum. Sehingga kalaupun anak itu diberikan sanksi, maka sanksinya harus bersifat pendidikan, tidak melampaui batas kemampuan anak, dan harus mempertimbangkan efeknya terhadap perkembangan jiwa anak. Konsep dan Implementasi perlindungan anak dalam fiqh dilakukan dalam bentuk hadanah, anak angkat, dan anak asuh (pungut), serta berbagai proses dan pemberian hukum kepada anak yang lebih bersifat pendidikan.[25]
6. Hukum Islam Tentang Sanksi Terhadap Anak
          Sanksi  dalam Islam Hukum Islam disebut al-Uqubaah yang berkaitan dengan hukuman jika ada hal yang merugikan maupun tindak kriminal. Nama lain dari al- ‘Uqubah adalah al-Jaza’ atau hudud.[26] Beberapa ulama berpendapat bahwa hukuman adalah bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia. Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafaz ‘uqubah menurut bahasa berasal dari kata عَقبَ yang sinonimnya خَلفهُ وَجَاءَبعَقبهِ artinya mengiringnya dan datang di belakangnya.[27]
            Pada dasarnya Hukum Islam menyatakan hukuman fisik adalah berbahaya dan terlarang, buktinya Ali  bin Abi Thalib mengatakan, “Orang yang cerdas dapat dibimbing dengan kelembutan; hanya binatang yang tak dapat diperbaiki tanpa pemukulan. Kemudian Imam Ja`far Shadiq mengatakan, “Siapapun yang mencambuk orang lain sekali, Allah akan hujankan cambukan yang menyakitkan (berapi) kepadanya, bahkan Rasulullah saw bersabda, “Gunakanlah cinta dan kasih sayang dalam mendidik dan membina, dan jangan menggunakan kekejaman. Sebab, seorang penasihat yang bijak adalah lebih baik ketimbang seorang yang kejam.”[292]
         Hukuman fisik bisa mendatangkan bahaya dalam mendidik anak-anak dan harus dihindarkan. Akan tetapi, jika tidak ada cara lain untuk memperbaiki anak, gunakan ini sebagai cara terakhir bila terpaksa. Islam juga mengizinkan ini dalam kondisi tertentu. Rasulullah saw bersabda, “Mintalah anak-anakmu untuk mulai melaksanakan shalat pada usia enam tahun. Jika dia tak mendengarkan peringatanmu yang berulang-ulang, engkau boleh memukul mereka agar terbiasa melakukan shalat ketika mereka berumur tujuh tahun.”[294]
           Ali bin Abi Thalib berkata, “Sebagaimana engkau menegur anakmu sendiri, engkau dapat menegur seorang anak yatim. Dan pada saat di mana engkau mungkin memukul anakmu, pada saat yang sama engkau dapat memukul anak yatim. Jika budakmu tidak taat kepada Allah, pukullah ia. Jika ia tidak menaatimu, maafkanlah ia.”[297]


               [1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, terj. A. Ali, Jilid. III (Semarang:: Toha Putera, 2001) hlm 410.
             [2] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm 182
             [3] Ibid
            [4]M. Azil Maskur, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Nakal (Juvenile Delinquency) Dalam Proses Acara Pidana Indonesia. Menurut catatan UNICEF, pada tahun 2000 ada 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan pada bulan Januari-Mei 2002 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia dan lebih menyedihkan lagi, sebagian besar (84,2%). Kemudian di sisi lain, kejahatan orangtua ialah memaki dan menghina anak. Bagaimana orang tua dikatakan menghina anak-anaknya? Yaitu ketika seorang ayah menilai kekurangan anaknya dan memaparkan setiap kebodohannya. Lebih jahat lagi jika itu dilakukan di hadapan teman-teman si anak. Termasuk dalam kategori ini adalah memberi nama kepada si anak dengan nama yang buruk.
             [5] Hashbi Ash-Shiddieqi (Editor) op.cit, Surat Al-Baqarah 2:33
           [6] Bandingkan dengan kasus di bawah umur menurut Tempo.Co , Pekanbaru: Boris Yusman Telaubanua, ayah bocah terpidana mati Yusman Telaumbanua, memastikan anaknya masih berusia 16 tahun, saat dituduh melakukan pembunuhan berencana pada 24 April 2012. Yusman merupakan anak ke dua dari lima bersaudara kelahiran 5 Agustus 1996. “Surat baptis saat kelahirannya pun masih ada,” kata Boris Yusman, saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Maret 2015.Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias, Sumatera Utara memvonis mati Yusman Telaumbanua, bersama Rasulah Hia, pada 21 Mei 2013 lalu. Keduanya kini mendekam di Lapas Batu, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.Yusman dan Rasulah divonis atas kasus pembunuhan berencana terhadap Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Br. Haloho, pada 24 April 2012.Namun Boris mengaku belum memegang surat baptis yang menguatkan bukti tanggal kelahiran Yusman. Surat baptis tersebut tertinggal di Desa Hiliongeka, Nias. Meski demikian, dia sudah meminta kepala desa setempat untuk mencarikan keberadaan surat baptis itu. “Surat itu sudah ada, tapi belum saya terima,” ujarnya.Saat ini Boris sudah memboyong seluruh keluarganya ke Desa Tambusai Timur, Kecamatan Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Ia bekerja di perusahaan perkebunan PT Torus Ganda, Afdeling 6.

           [7]Pendapat ini didukung oleh madzhab Hanafi dalam Al-Mabsuth V/223, madzhab Maliki dalam Al-Mudawwanah II/263, madzhab Syafi'i dalam Al-Umm VII/340, dan madzhab Hanbali dalam Al-Mughni VIII/171.
             [8]Harun Zaini, Qaidah Fiqhiyyah Suatu Pengantar,bahwa definisi Fiqih: Mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (Perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari dalili-dalilnya yang tafshili.Himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah (perbuatan-perbuatan orang mukallaf) yang diambil dari dalili-dalilnya tang tafshili. Perbedaan-perbedaan yang ada antara Qowaid Fiqihiyah dengan Qowaid Ushuliyah:  1).Obyek Qowaid Ushuliyah adalah dalil hukum, sedang Qowaid Fiqihiyah adalah perbuatan mukallaf.  2).Ketentuan Qowaid Ushuliyah berlaku bagi seluruh bagiannya (juziyahnya) sedangkan Qowaid Fiqihiyah berlaku pada sebagian besar (Aghlabiah) juziyahnya.  3) Qowaid Ushuliyah sebagai sarana istimbats hukum, sedangakan Qowaid Fiqihiyah sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
              [9] Djaenab ,(Jurnal) Perlindungan anak Perspektif fiqh dan perundang-undangan, Al-Risalah
| Volume 10  Nomor 1 Mei 2010 ), hlm 112
               [10] Ibid, hlm 114
               [11] Ibid
               [12] Ibid
                    [13] Abdul Hamid Hakimas-Sullam, juz II, (Jakarta: Maktabah as-Sa’diyah Putra, 1980), hlm. 82.Kaidah ketujuh 
 در المفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض مفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
       Menolak kerusakan lebih diutamakan dari pada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya”.   Kaidah kedelapan  إِذَاتعارَضَ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَاضَرَرًاباِرْتِكاَبِ أَخَفِّهماَ “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar madharatnya dengan memilih yang lebih ringan madharatnya”.
               [14] Ibid
                      [15] Hasbi Ash-Siddieqi (Editor)Al-Quran Dan Terjemahannya (Semarang: Toha Putra, 2001), hlm  471, Qur’an Surat(QS) al-Nahl [16]: 90.
                 [16] Fath al-Rahman, Al-Qur’an al-Mufradat,  hlm. 55.
              [17]Op.Cit, QS  Hud : 112
                 [18] Mu'jam, Alfazh al-Qur'an at-Karim, hlm 327
              [19] Fath  al-Rahman, Li –Thalib al-Ayati al- Qur’an.(Jakarta: CV. Diponegoro), hlm 231
               [20] Ibid
              [21] Supeno Hadi, Kriminalisasi anak, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm 87
               [22]  Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, terj. Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, “Pedoman Pendidikan anak dalam Islam”, Semarang : Asy-Syifa’, Jilid II, t.th, hlm. 542.
              [23] Nelly Marhayati,(Disertasi) Dampak Hukuman Fisik Terhadap Perilaku Delinkuen Remaja
  Institut Agama Islam Negeri (IAIN) (Bengkulu, 2011), hlm 9
               [24] Ibid                                         
               [25] Ibid
               [26] A. Rahman Ritonga dan Furqan, H. Arif, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum.( Jakarta: Departemen Agama RI, 2002),hlm 224
             [27] Ibid, hlm 225


TA’ZIR HUKUMAN UNTUK ANAK-ANAK
     M.Rakib Pekanbaru  Riau Indonesia  2015


Hukuman untuk, anak-anak
Membantunya, agar tidak terhenyak
Lupa diri, berbuat asal enak
Padahal melakukan perbuatan merusak

 Hukum Pidana Islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
       Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang meliputinya.
Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an.  Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.

Masalah
1.      Bagaimana  jarimah ta’zir untuk anak-anak?
2.      Apa dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
3.      Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
Manfaat  dan Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.      Untuk mengetahui dan memahami apasaja dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir.
3.      Untuk mengetahui dan memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir.










       Pemahaman ta’zir
Ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.[1] Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah [2] dan Wa dan Wahbah Zuhaili [3].
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.[4]
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

B.     HUKUM DISYARI’ATKAN JARIMAH TA’ZIR
1.      Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2.      Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.
3.      Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
4.      Lihat QS. Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
  QS. Al-Maidah: 12 
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 12)
Ø  QS. Al-A’raf: 157
 
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”( QS. Al-A’raf: 157)

Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.      Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.      Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.      Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[5]

C.    HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM TA’ZIR
1.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :  لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)[6]
Substansi:
a.      Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.      Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim.
c.       Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[7]
d.      Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.[8]

2.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود.
 (رواه احمد ابو داوود و النسائي و البيها قي)
Artinya: Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [9]
Substansi:
Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[10]
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”[11]

3.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عن بهز ابن حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى التهمة (رواه ابو داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم)

Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).[12]
Substansi:
Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena suatu tuduhan” itu menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman, juga sebagai membersihkan diri.[13]

D.    JENIS-JENIS HUKUMAN TA’ZIR
Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing- masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat- beratnya. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
1.      Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya. Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.
2.      Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah.
3.      Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟ Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4.      Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.
5.      Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
n?tãur ÏpsW»n=¨W9$# šúïÏ%©!$# (#qàÿÏk=äz #Ó¨Lym #sŒÎ) ôMs%$|Ê ãNÍköŽn=tã ÞÚöF{$# $yJÎ ôMt6ãmu ôMs%$|Êur óOÎgøŠn=tæ óOßgÝ¡àÿRr& (#þqZsßur br& žw r'yfù=tB z`ÏB «!$# HwÎ) Ïmøs9Î) ¢OèO z>$s? óOÎgøŠn=tæ (#þqçqçFuÏ9 4 ¨bÎ) ©!$# uqèd Ü>#§q­G9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÊÑÈ  
Artinya: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”(Q.S. At-Taubah: 118)

6.      Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
7.      Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.

E.     PENDAPAT  IMAM MAZHAB
1.      Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14]

2.      Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.





BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1.      Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2.      Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.

B.     SARAN
Menurut pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat. Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat. Hukum Ta’zir dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah adalah hukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive. Sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang aman, damai dan tentram.




















DAFTAR PUSTAKA

Shan’Ani ASH, Subulus Salam, jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya, 1983
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
2005, Cet.II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, jilid
9, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001, Cet III
Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-
Ikhlas, 1987
Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk,
Jakarta : Gema Insani, 2005





[1 ]  Ibrahim Unais, et. al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa tahun, hlm. 598.
[2] dan Wa   Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.
[3]   Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 197.
[4]  Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5]  Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hlm. 255
[6] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[7] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[8] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[9] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[10]   Ash.Shan’Ani,  Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 158
[11] Abd Al-Qadir Audah, I, op. cit., hlm. 155-156
[12]   Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,  hlm. 202.
[13]  Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Authar, Juz VI, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2005, hlm. 2662-2663
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press, Hal. 76

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook