ASAL
USUL SEMUA BUDAYA ADALAH MUBAH
Segala sesuatu pada dasarnya Mubah
Drs.M.Rakib Jamari.SH., M.Ag
KOK BEGITU MUDAH SALAFI MENUDUH BI'AH
Semua adat dan budaya adalah mubah...bahkan adat bisa menjadi hukum, jika adatnya baik. Al-Adatu al muhakkamah....Maksud dari prinsip ini adalah bahwa
hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash
yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat
nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu
tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah.
Kaidah ini disandarkan pada firman
Allah swt,
“Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS.
Al-Baqarah: 29)
“Dan dia Telah menundukkan untukmu
apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 13)
“Tidakkah kamu perhatikan
Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit
dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman: 20)
Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa
segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang
diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya. Dia hanya mengharamkan
beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu
sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah
sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.
Berkenaan dengan hal ini Rasulullah
saw bersabda,
“Apa yang dihalalkan Allah dalam
kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram; sedang apa
yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan (diperkenankan). Oleh karena itu terimalah
perkenan dari Allah itu, karena Allah tidak akan pernah lupa sama sekali.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat (surat Maryam ayat
64): “Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (HR. Al-Hakim).
Dalam hadits lain disebutkan,
“Sesungguhnya Allah telah menetapkan
berbagai kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya; dan Dia telah
menentukan beberapa batas maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah mengharamkan
sesuatu, maka janganlah kamu melanggarnya; dan Dia telah mendiamkan sesuatu
sebagai rahmat buat kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu
mencari-carinya.” (HR. Daruquthni)
Kaidah ini tidak hanya berlaku pada
masalah benda, tapi juga mencakup masalah amal, adat kebiasaan atau mu’amalah
yang tidak termasuk urusan ibadah. Artinya seluruh amal, adat kebiasaan atau
muamalah—yang tidak termasuk urusan ibadah—itu pada dasarnya mubah; tidak haram
dan tidak terikat kecuali apa yang diharamkan dan ditegaskan oleh Pembuat
Syariat.
Dalam masalah ibadah ada kaidah
lain. Imam Ahmad dan beberapa fuqaha ahli hadits mengatakan bahwa:
Innal ashla fil ibaadati at-tauqiif
“Pada dasarnya ibadah itu tauqif
(bersumber pada ketetapan Allah dan Rasul).”
Karena itu tidak boleh melakukan
ibadah kecuali apa yang telah disyariatkan Allah. Nabi saw bersabda:
“Barangsiapa yang mengada-adakan
dalam urusan agama kami, sesuatu nyang tidak ada dalam agama, maka ia
tertolak.” (HR. Bukhari Muslim).
Tidak ada seorang pun yang diperkenankan
mengada-adakan suatu cara ibadah dari dirinya sendiri, sebab hanya Allah Sang
Pembuat Syariat yang berhak membuat cara-cara ibadah untuk mendekatkan
diri kepada-Nya.
Sedangkan dalam masalah adat dan
mu’amalat, pada dasarnya dimaafkan. Tidak ada yang terlarang kecuali apa yang
diharamkan Allah. Masalah jual beli, hibah, sewa menyewa, dan lain-lain adalah
termasuk persoalan adat yang diperlukan manusia dalam kehidupan mereka. Syariat
mengaturnya dengan adab yang baik, yaitu diharamkan apa yang menimbulkan
kerusakan, diwajibkan apa yang harus diwajibkan, dimakruhkannyha apa yang tidak
pantas, dan dianjurkan apa yang mengandung kemaslahatan.
Contoh masalah yang didasarkan pada
prinsip ini adalah masalah ‘azl, yakni senggama terputus/mengeluarkan
sperma di luar kemaluan wanita yang dilakukan untuk menghindari kehamilan.
Jabir bin Abdullah berkata,
“Kami biasa melakukan ‘azl,
sedangkan al-Qur’an masih turun. Seandainya hal tersebut dilarang, sudah tentu
al-Qur’an melarangnya.”
Ini menunjukan bahwa apa yang
didiamkan oleh wahyu adalah tidak terlarang, dan mereka halal melakukannya
sehingga ada nash yang melarangnya.
Berkaitan dengan uraian di atas
ditetapkanlah kaidah berikut ini,
Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi
syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…
“Tidak boleh dilakukan suatu ibadat
kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu adat kecuali
yang diharamkan oleh Allah.”
No comments:
Post a Comment