“PUKULLAH ISTRIMU” (QS 4:34),
“KURUNGLAH SAMPAI MATI” (QS
4:15),
Dulu negara tidak menghukum wanita,
Diserahkan kepada keluarga saja.
Terutama, suami dan ayah.
Kini wanita mampu, menjual negara.
Koruptor wanita, jauh lebih parah,
Dibandingkan, koruptor pria.
Kepada suami dan ayahnya, dia durhaka.
Dikurung di rumah, lebih berbudaya.
Kita tidak perlu menjadi seorang PROFESOR untuk
mengetahui mana agama yang salah, cukup dengan bekal HATI NURANI saja, kita
dapat mengetahuinya saat ini juga.
Dan kita juga tidak perlu menunggu sampai kiamat tiba
untuk mengetahui mana agama yang salah, karena dengan menguji ajaran moralnya
kita dapat tahu, apakah agama itu salah atau benar.
Nah, Bagaimana bila anda disuguhkan ini:
“Jagalah penismu, kecuali
terhadap istri dan pelayan-pelayanmu.” (QS
23:5-6)
atau,
“Kawinlah sebanyak 2, 3 atau 4, atau bila takut tidak mampu
menafkahi, setubuhi pelayan saja.” (QS
4:3)
“Pukullah istrimu” (QS
4:34),
“Kurunglah sampai mati” (QS 4:15),
“Merampok itu halal” (QS
8:69, QS 48:20),
“Di surga, pria Muslim akan dihadiahi cewek-cewek cantik” (QS 52:17-20, QS 56:22-24),
“Bunuh orang-orang kafir yang ada di sekitarmu” (QS 9:123, QS 9:5)…
Bagaimana
menjawab pelesetan terhadap terjemahan ayat-ayat di atas?
Jawaban ini, agak filosofis sedikit, untuk konsumsi
para Doktor (S3), perlu anda ketahaui,
bahwa etika dan ajaran moral Islam adalah ajaran yang sumbernya dari Tuhan, shalih
likulli zaman wa makan, karena memang sifat dan tabiat ajaran Islam
yang relevan dan realistis sepanjang sejarah peradaban dunia, kebenaran Islam
sebagai sebuah aturan universal yang bisa dipakai kapan saja, dimana saja, dan
dalam kondisi apa saja mulai dibukanya lembaran awal kehidupan, sampai pada
episode akhir dari perjalanan panjang kehidupan ini.
Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terkandung dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqashid al-syariah.
Mungkin bila kita berbicara tentang Maqashid Syariah, secara otomatis pikiran kita akan tertuju kepada seorang al-Syatibi. Yang di anggap sebagai peletak dasar konsep Maqashid Syariah. Namun sebenarnya banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama, salahsatu yang di anggap sebagai orang pertama yang berbicara tentang Maqashid ialah Abu Abdillah Muhammad bin ali yang popular dengan panggilan al-Turmudzi al- Hakim,Meskipun demikian dalam makalah ini tidak begitu mempersoalkan pada permasalahan tersebut dan lebih menitik beratkan pada urgensi dari Maqashid syariah itu sendiri.
Demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat baik dunia maupun akherat kelak dan dapat di gunakan sebagaimana mestinya.
PEMBAHASAN
1.Pengertian Maqashid Syariah
.
Secara bahasa maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yakni maqashid dan al-syari`ah. Maqashid bentuk jamak dari maqshid yang berarti tujuan atau kesengajaan . al-syari`ah diartikan sebagai :
المواضع تحددالي الماء “Jalan menuju sumber air”
Sedangkan syariah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan menurut Manna al-Qathan yang dimaksud dengan syariah adalah segala ketentuan Allah yang disyariatkan bagi hamba-hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari`ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Istilah maqashid al-syari`ah dipopulerkan oleh Abu Ishak Asy-Syatibi yang tertuang dalam karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :
هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصده الشارع قيام مصالح في الدين والدنيامعا
“Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah dalam mewujudkan kemashlahatan diniyah dan duniawiyah secara bersama-sama”.
2.Argumentasi atau Dasar Hokum dari Maqashid al-Syari`ah
Di dalam al-Quran salah satu ayat yang menyatakan bahwa hukum Islam itu diturunkan mempunyai tujuan kemaslahatan bagi manusia.
“ Sungguh telah datang kepadamu cahaya dari Allah dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah memimpin orang-orang yang mengikuti keridhoan-Nya ke jalan keselamatan dan dengan kitab itu pula Allah mengeluarkan dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan seizinnya dan memimpin mereka ke jalan yang lurus. (Q.S. Al-Maidah : 15-16) .
Para ulama fikih dan ushul fikih sepakat bahwa hukum diturunkan untuk kemaslahatan manusia di dunia maupun akhirat. Namun para ulama kalam dalam menanggapi masalah menta`lilkan hukum dengan maslahah – walaupun mereka mangakui bahwa hukum Islam mengandung maslahat – mempunyai tiga pendapat :
A.Pendapat pertama :
Bahwa hukum syara` tidak boleh dita`lilkan dengan maslahah. Jelasnya mungkin Allah mensyariatkan hukum yang tidak mengandung maslahah. Demikianlah pendapat golongan Asy`ariah dan Zahiriah, walaupun mereka mengakui segala hukum syara` disyariatkan untuk kemaslahatan manusia itu.
B.Pendapat kedua :
Maslahah itu dapat dijadikan illat sebagai hukum suatu tanda saja bagi hukum, bukan sebagai suatu penggerak yang menggerakkan Allah menetapkan suatu hukum itu. Demikianlah pendapat sebagian ulama Syafi`iyah dan Hambaliyah.
C.Pendapat ketiga :
Segala hukum Allah dita`lilkan dengan masalah karena Allah telah berjanji sedemikian dan karena Allah Tuhan yang senantiasa mencurahkan Rahmat atas hambanya, menolak daripada mereka kesempitan dan kebinasaan. Pendapat ketiga ini adalah pendapat golongan Mu`tazilah, Maturidiah, sebagian ulama Hambaliah dan semua ulama Malikiah.
Sesungguhnya perbedaan faham ini hanyalah pada teori saja, tapi dalam praktek semua mereka sepakat menetapkan bahwasanya segala hukum syara` adalah wadah kemaslahatan yang hakiki dan tidak ada suatu hukum yang tidak mengandung kemaslahatan.
3.Pembagian Maqâshid al-Syarî’ah
Maqâshid al-syarî’ah memiliki kategori dan peringkat yang tidak sama. Al-Syâthibiy membagi maqâshid ke dalam tiga kategori, yakni dlarûriyyah, hâjiyyah, dan tahsîniyyah.
Pengkategorian maqâshid tersebut didasarkan pada seberapa besar peran dan fungsi suatu mashlahah bagi kehidupan makhluk. Jika suatu bentuk mashlahah memiliki fungsi yang sangat besar bagi makhluk, yang mana jika bentuk mashlahah tersebut tidak terpenuhi maka kemaslahatan makhluk di dunia tidak dapat berjalan stabil (lam tajri mashâlih al-dunyâ ’alâ istiqâmah) atau terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang mengakibatkan ambruknya tatanan sosial (ikhtilâl al-nidhâm fî al-ummah) dan kemaslahatan di akhirat –yakni keselamatan dari siksa neraka– tidak tercapai, maka tujuan tersebut masuk dalam kategori maqâshid dlarûriyyah.
Maqâshid dlarûriyyah meliputi pemeliharaan terhadap agama (dîn), jiwa (nafs), akal (’aql), keturunan (nasab), dan harta (mâl).
-Memelihara Agama (hifzh al-din)
Memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :
a) Memelihara agama dalam tingkat dharuriyah yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk dalam peringkat primer, seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan, maka akan terancamlah eksistensi agama;
b) Memelihara agama dalam peringkat hajiyah yaitu melaksanakan ketentuan agama, dengan maksud menghidari kesulitan, seperti shalat jama dan qasar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak mengancam eksistensi agama, melainkan hanya kita mempersulit bagi orang yang melakukannya.
c) Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyah yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung martabat manusia, sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban kepada Tuhan, misalnya membersihkan badan, pakaian dan tempat .
-Memelihara jiwa (hifzh an-nafs)
Memihara jiwa berdasarkan tingkat kepentingannya dibedakan menjadi tiga peringkat
a) Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
b) Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c) Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan tata cara makan dan minum .
-Memelihara akal, (hifzh al-`aql)
Memelihara akal dari segi kepentingannya dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara akaldalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan meminum minuman keras karena berakibat terancamnya eksistensi akal.
b) Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan.
c) Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
-Memelihara keturunan (hifzh an-nasb)
Memelihara keturunan dari segi tingkat kebutuhannya dibedakan menjadi tiga
a) Memelihara keturunan dalam tingkat dharuriyah seperti disyariatkan nikah dan dilarang berzina.
b) Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah.
c) Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat seperti disyaratkannya khitbah dan walimah dalam perkawinan.
-Memelihara harta. (hifzh al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi 3 tingkat :
a) Memelihara harta dalam tingkat dharuriyah seperti syariat tentang tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang dengan cara yang tidak sah.
b) Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti syariat tentang jual beli tentang jual beli salam.
c) Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat seperti ketentuan menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan.
Kandungan Maqashid Syariah
4.Peranan Maqashid al-Syari`ah Dalam Pengembangan Hukum saat ini
Pengetahuan tentang maqashid al-syari`ah seperti yang ditegaskan Abdul Wahab al-Khallaf adalah berperan sebagai alat Bantu untuk memahami redaksi al-qur`an dan sunnah, menyelesaikan dalil- dalil yang bertentangan, dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam al-qur`an dan sunnah secara kajian kebahasaan .
Metode istinbat seperti qiyas, istihsan, dan maslahah al-mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqashid al- syariah . qiyas misalnya baru bisa dilaksanakan bila mana dapat ditemukan maqashid al-syari`ahnya yang merupakan alasan logis dari suatu hukum. Sebagai contoh kasus diharamkannya khamar dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqashid al-syari`ah diharamkannya khamar adalah karena sifa memabukkannya yang merusak akal. Dengan demikian yang menjadi alasan logis dari diharamkannya khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri adalah salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode qiyas bahwa setiap yang memabukkan adalah haram.
Penutup
Kajian tentang maqasid memang banyak mendapatkan perhatian yang serius. Saat ini.Lebih jauh dari itu, maqasid syariat, memahaminya secara sempurna dan mampu beristinbat dari pemahamnnya itu –sebagaimana di sebutkan Syaitbi dalam muwafaqatnya adalah syarat mutlak untuk mencapai tingkatan ijtihad.
Lalu apakah ini berarti bahwa maqasid syariat merupakan ilmu tersendiri seperti yang dikampanyekan Ibn ‘Asyur atau masih bagian yang tak terpisahkan dari ushul fiqh seperti yang diamini oleh kebanyakan ushuliyyun? Menurut Al-Raisani selama disepakati perlunya mengembangkan dan memberikan perhatian yang tinggi terhadap maqasid syariat, maka pertanyaan itu tidak begitu penting. Seperti yang dikemukakan Abdullah Dirâz, ada dua unsur utama dalam pengambilan hukum; ilmu lisan arab dan ilmu asrar maqasid syariat.
Demikian makalah ini kami buat dengan kemampuan kami yang terbatas,saran dan kritik dari semua sangat kami harapkan demi menutupi banyak kekurangan dari makalah ini,terimakasih.
Daftar Pustaka.
Bakri,Asafri Jaya.Dr.1996.Konsep Maqashid syariah Menurut Al-Syatibi,Raja grafindo Persada: Jakarta.
Riswanto,Lc Arif Muna.H.Terjemahan,Fiqh Maqashid Syaria’ah,Al-kautsar pustaka.Jakarta:2006
Uman Khairul.Drs-Aminudin Achyar.Drs.H.A.Ushul Fiqh II ,Pustaka setia. Bandung:1998
Khalaf.Abdul Wahab.Prof.Ilmu Ushul Fiqh. Di terjemahkan oleh Drs.H.Moh.Zuhri & Drs.Ahmad Qarib,MA.DinaUtama.Semarang…
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete