ANAK BISA MENJADI PENGGUGAT
M.Rakib
LPMP Riau Indonesia.2014
KABUL,
5 Februari 2014 – Parlemen Afghanistan dikabarkan menyetujui rancangan
undang-undang yang memperbolehkan suami memukuli istri, anak, dan saudara
perempuannya demi menjaga kehormatan keluarga.
Aturan yang akan berlaku secara efektif jika
disetujui Presiden Hamid Karzai itu juga memuat ketentuan bahwa kerabat yang
menolak bersaksi untuk menjerat suami pelaku pemukulan tak akan diperkarakan
secara hukum.
Usulan hukum baru Afghanistan ini diprediksi
makin memperburuk intimidasi terhadap kaum perempuan di negara bekas jajahan
Uni Soviet itu. RUU baru itu sekaligus akan membungkam para saksi potensial
untuk mengungkap kebenaran gaya Barat sekuler JIL.
“Aturan ini membuat penegak hukum Eropa, tak bisa
lagi menuntut para pelaku kejahatan yang korbannya kaum wanita. Mereka tak lagi
dapat keadilan,” ucap Manizha Naderi, Direktur Pelindungan Perempuan
Afghanistan seperti dikutip dari Guardian, Rabu (5/2).
Jika disetujui presiden, lanjut Naderi, kasus
penganiayaan berat seperti dialami Sahar Gul, pengantin cilik yang dikerangkeng
di gudang tanpa diberi makan karena menolak jadi pelacur, dipastikan takkan
pernah sampai ke pengadilan.
Penulis
tertarik dengan sajian yang pernah diketengahkan oleh Ustadzah Nur Hamidah, di
Geogle, tentang anak yang belum baligh..
Swedia tercatat sebagai negara pertama di dunia
yang menerapkan larangan hukuman fisik terhadap anak pada 1979. Langkah Swedia
ini kemudian diikuti oleh 36 negara lainnya.
Negara di Eropa ini tidak main-main dengan
larangan tersebut. Mau bukti? Baru-baru ini pasangan suami istri Malaysia,
Azizul Awalludin dan Shalwati Norshal, harus merasakan kerasnya peraturan
tersebut.
Azizul dan
istrinya diganjar hukuman penjara masing-masing 10 dan 14 bulan karena terbukti
memukul anak mereka yang berusia antara tujuh hingga 14 tahun dengan tongkat,
gatungan baju, dan tangan. Artinya, kendati anak sendiri, terlarang bagi para
orangtua untuk melakukan kekerasan terhadap anak. Dan, Swedia tidak main-main
dengan larangan tersebut.
“Saya
telah berbicara dengan klien saya (Awalludin) dan dia tentu saja sangat kecewa
dan menyanggah dakwaan itu,” ujar kuasa hukum Jonas Tamm seperti diberitakan AFP,
Sabtu (29/3/2014).
Keluarga
Malaysia ini tinggal di Stockholm terkait tugas Azizul pada Dinas Pariwisata
Malaysia. Kekerasan terhadap anak ini tercium setelah salah satu anak dari
empat anak pasangan ini mengadu ke pihak sekolah. Staf sekolah yang tanggap
segera melaporkan curhat sang anak ini ke dinas sosial yang berujung penahanan
terhadap pasangan Malaysia tersebut.
Kasus ini
menjadi pembicaraan ramai di kalangan pegiat hak anak di Swedia. Sebaliknya,
kasus ini juga menimbulkan pro dan kontra di Malaysia. Pasalnya, di Negara
Jiran memukul anak bukan dianggap sebagai pelanggaran.
Najib
Razak, Perdana Menteri Malaysia, bahkan turun tangan dengan menawarkan bantuan
hukum bagi pasutri yang terpaksa harus mendekam di penjara akibat memukul anak
sendiri. Hal itu diungkapkan Najib saat menyambut keempat anak pasangan Azizul
dan Shalwati sementara kedua orangtua itu harus mendekam di penjara Stockholm
sejak Desember 2013. (yuliani s aryuntra)
Caption
foto: keempat anak Malaysia yang pulang tanpa orangtuanya yang dipenjara di
Swedia. (themalaysianinsider.com)
Kajian dimulai dengan penuturan beliau bahwa anak
bisa menjadi penolong
atau penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan, ada seorang bapak
yang tertatih2 berjalan di atas shirathal mustaqim, dan akhirnya kemudian
tergelincir, namun terselamatkan berkat doa tulus anaknya. Memangnya anaknya
doa apa? Ternyata bukan doa yang macam2 loh, tampaknya hampir semua anak muslim
hafal doa ini. Yup, doa orang tua. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa
kamaa rabbayaanii shaghiiraah. Subhanallah. :)
Sebaliknya, anak juga dapat menjadi penggugat
orang tuanya. Beliau menceritakan kisah di jaman Rasulullaah ketika ada seorang
anak yang hendak dihukum karena mencuri, namun anak tersebut menginginkan
keadilan dengan meminta ibunya yang dihukum, karena ibunyalah yang mengajarkan
ia untuk mencuri. Naudzubillaah. Dari latar belakang itulah beliau mengajak
untuk mengajarkan anak dengan sebaik2nya. Ibaratnya, maukah kita orang tua
nanti di surga dituntut anak kita hanya karena anak kita tidak beristinja
dengan baik dan benar, karena kesalahan/kekurangan ajaran kita? *menurut beliau
istinja yang tidak bersih berakibat sesuatu yang cukup fatal, tapi saya lupa
apa yah, kalo ga salah tidak diterima shalatnya, cmiiw .. :D*
Lalu siapakah anak itu? Menurut beliau ada
perbedaan pemahaman mengenai anak dalam kaidah Islam dengan anak dalam kaidah
kehidupan sehari-hari *khususnya di Indonesia*. Dalam Islam, anak adalah fase
pemula dalam rentang kehidupan manusia. Tepatnya ada dua fase menurut Islam
dipandang dari sisi hukum, fase pra baligh (belum dewasa), dan fase baligh
(dewasa). Pada fase baligh seseorang sudah bertanggungjawab secara langsung
terhadap seluruh ucapan, sikap, tindakan yang dia lakukan, baik kepada Allah
maupun aparat hukum di dunia. Maka sudah sepantasnya orang tua memperlakukan
anak yang telah memasuki fase baligh sebagai seorang dewasa.
Beliau kemudian menceritakan pengalaman seorang
teman perempuannya ketika mencapai masa baligh, kira2 di awal SMP. Saat itu
sang Ibu dari temannya meminta sang anak untuk berwudhu dan memakai mukena.
Setelah berwudhu dan memakai mukena, sang anak pun diajak sang ibu untuk duduk
berhadapan, kemudian keduanya saling berjabat tangan layaknya ijab. Sang ibu
pun kemudian berkata yang kurang lebih intinya adalah sebagai berikut, “Nak,
kini sudah tiba saatnya bagimu untuk bertanggung jawab atas dirimu sendiri.
Selama ini jka engkau melakukan kesalahan, Ibu lah yang menanggung dosa2mu.
Namun kini kau sudah baligh, sudah dewasa. Dan Ibu tidak bisa lagi membantumu
mempertanggungjawabkan semua ucapan dan perbuatanmu. Kini malaikat Rakib dan
Atid di kanan kirimu siap untuk mencatat semua amal perbuatanmu. Maka
berhati2lah dalam melakukan sesuatu, karena sungguh seluruhnya akan dicatat
oleh kedua malaikat tersebut.” Subhanallaah.
Saat ini banyak anak perempuan yang memasuki masa
baligh dalam usia muda. Dan umumnya orang tuanya menganggapnya masih seperti
anak kecil. Padahal hal tersebut adalah salah menurut ustadzah. Bandingkan
dengan Usamah bin Zaid. Pemuda hebat yang pada usia belianya, 13tahun, sudah
dipercayakan oleh Rasulullaah memimpin pasukan perang Islam. Tidak
tanggung-tanggung, kala itu musuhnya adalah sekutu bangsa2 besar, yakni
Quraisy, Persia dan Romawi. Subhanallaah.
Ada yang tahu mengapa diperintahkan untuk
mengajarkan shalat kepada anak ketika umur 10 tahun, kemudian dipersilahkan
untuk memukul anak umur 10 tahun yang tidak shalat? Ternyata memang usia
tersebut pada jaman sekarang ini, sudah masuk usia baligh (khususnya untuk
perempuan). Bahkan sudah ada yang menjadi baligh di usia 8, 9 tahun. Oleh
karena itu memang sudah saatnya untuk bersikap tegas kepada mereka, menyikapi
mereka yang sudah harus dianggap orang tua sebagai orang dewasa.
Sedikit membahas tentang `memukul`. Menurut
beliau, memukul walau diperintahkan, tapi bukan berarti jadi landasan orang tua
memukul anak. Karena Rasulullaah sendiri tidak pernah memukul anaknya. Nabi
Ayyub sendiri yang bernazar untuk memukul istrinya 1000 kali jika sembuh dari
sakit, pada akhirnya memohon wahyu dulu dari Allah untuk memukul sitrinya, ga
langsung asal pukul saja. Dan pada akhirnya Allah memerintahkan Nabi Ayyub
untuk mengumpulkan 1000 batang padi kering, mengikatnya kemudian memukulkannya
sekali kepada istrinya, yang melambangkan nazar 1000 kali pukulannya. Jadi
tidak segampang dan seringan itu untuk memukul, walau diperintahkan. Karena
Islam penuh kasih sayang, bukan? :)
Sang ustadzah pun kemudian menjabarkan pendidikan
dan pengasuhan anak dalam tiga bagian per 6 tahun. Untuk 6tahun pertama,
utamakanlah kasih sayang dan disiplin. Limpahkan kasih sayang, pelihara
disiplin untuk segala hal. Contoh, disiplin dalam makan, buang air, tidur dan
sebagainya. Pada 6tahun ke dua, kenalkanlah Allah dalam hidupnya. Jelaskanlah
hukum-hukum Islam, seperti halal dan haram, aurat, wudhu, shalat, mencuri,
mahram, juga surga dan neraka. Ajarkan dan biasakanlah ia dengan Al-Quran.
Ajarkan juga mengenai hak-hak orang tua. Kenalkanlah dengan tokoh2 teladan
dalam Islam. Ajarkan norma2 dalam masyarakat, dan tak lupa kembangkan rasa
percaya diri dan tanggung jawab. Pada 6tahun terakhir, perlakukanlah anak
sebagai seorang yang telah dewasa. Yang tak kalah penting, kenalkanlah ia
dengan teman yang baik. Sebetulnya poinnya tidak sesedikit ini, tapi yang
sempat tercatat hanya yang telah saya tuliskan di atas. Maaf yaa.. :D
Pada akhir kajian, beliau membacakan tulisan
indah dan cukup panjang, yang intinya adalah anak kita tanpa kita sadari
memperhatikan apa-apa yang kita lakukan. Dan ternyata tindakan kita yang mereka
perhatikan, lebih mudah untuk dipahami dan tertanam dalam diri anak,
dibandingkan ucapan kita. Oleh karena itu hati-hati lah para orang tua dalam
bertindak dan bertingkah laku.
Terakhir, beliau menutup dengan sebuah kalimat
yang cukup dalam. Tutur beliau, “Yang penting itu bukanlah seberapa cerdas anak
kita, namun lihatlah betapa salehnya anak kita”. Subhanallaah.
No comments:
Post a Comment