KASUS
HAK ASASI MANUSIA DI EROPA
Kasus Handyside versus Pemerintah
Inggris.
Kasus ini terjadi pada tahun 1971
yang dimulai dengan handyside seorang warga berkewarganegaraan inggris yang
memiliki sebuah penerbitan melakukan percetakan sebuah buku yang berjudul the
little red school book. Buku tersebut merupakan sebuah terjemahan dari buku
berbahasa denmark yang telah beredar dibeberapa negara dan digunakan sebagai
buku pada taman kanak-kanak. Dalam buku tersebut secara garis besar berisikan
mengenai pendidikan dan pengajaran dari perspektif yang tidak biasa dan
berlawanan dengan kebudayaan. Sepuluh persen bagiannya berisikan materi
mengenai masturbasi, hubungan seks, alat kontrasepsi, homoseksual, pornografi
dan penyakit kelamin. Hal-hal yang tidak biasa dalam yang terdapat dalam buku
ini adalah mengajarkan anak agar melakukan hal-hal mereka ingin ketahui oleh
diri sendiri dan tanpa takut akan celaan dari orang lain. Maka jelas dari apa
yang terkandung dalam buku tersebut mendapat berbagai macam tentangan dari
berbagai macam kelompok seperti sekolah, gereja dan orang tua murid.
Berdasarkan pertentangan yang
terjadi pemerintah inggris mengambil suatu kebijakan untuk bertindak
berdasarkan undang-undang mengenai karya terbitan yang mengandung unsur cabul,
karena buku yang terbitkan tersebut diduga akan menghancurkan dan merusak
akhlak bagia anak yang membacanya. Oleh sebab itu pengadilan di Inggris
menjatuhkan hukuman pada handyside untuk membayar sejumlah denda dan
memerintahkan agar seluruh buku tersebut dimusnahkan.
Pada tahun 1972 Handyside mengajukan
melaporkan pemerintah inggris kepada komisi HAM Eropa karena menurut pihaknya
pemerintah inggris telah melakukan suatu pelanggran terhadap pasal 10 konvensi
HAM Eropa. Komisi HAM dan Pengadilan HAM eropa berpendapat bahwa dalam
keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan di inggris berkaitan dengan kasus
Handyside tidak melanggar ketentuan dalam pasal 10 dalam konvensi HAM Eropa.
Pengadilan HAM eropa menyatakan bahwa hakim inggris memiliki dasar yang kuat
bahwa buku tersebut dapat menimbulkan efek buruk pada moral anak yang berusia
antara 12 sampai 18 tahun.
Dari kasus diatas dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa penghukuman terhadap handyside bukan merupakan suatu
pembatasan atas kebebasan seseorang dalam berekspresi yang dilakukan negara
terhadap warganya berdasarkan pasal 10 ayat 1 konvensi HAM Eropa. Komisi maupun
pengadilan HAM Eropa berpendapat bahwa Handyside lah yang telah melakukan
penafsiran berlebihan mengenai pengertian kebebasan berpendapat maupun
berekspresi yang dimiliki oleh seseorang. Pada ayat 2 dalam pasal 10 disebutkan
bahwa masih ada suatu pembatasan atas kebebasan yang dimiliki seseorang yaitu
bahwa kebebasan tersebut haruslah merupakan kebebasan yang bertanggungjawab dan
tidak bertentangan dengan keadaan, larangan yang terdapat dalam undang-undang
dan segala hal yang penting bagi kehidupan berdemokrasi, hal yang berguna bagi
keamanan nasional, kesatuan atau keselamatan umum, upaya pencegahan kejahatan,
upaya perlindungan bagi kesehatan maupun moral, upaya perlindungan atas nama
baik maupun hak orang lain, upaya perlindungan suatu kerahasiaan informasi atau
pemeliharaan atas kewenangan dan keadilan dalam hukum. Jadi gugatan handyside
tidak dapat dimenangkan karena penerbitan buku yang menimbulkan kontroversi
tersebut merupakan perbuatan yang dipandang bertentangan dengan perlindungan
terhadap moral.
Blasphemy case
1. Otto Preminger Institute versus
Austria.
Kasus antara Otto Preminger institut
dengan pemerintah austria terjadi karena penggugat yaitu Otto Preminger
institut telah mengiklankan sebuah tayangan mengenai adegan dalam film Das
Liebeskonzil berdasarkan adegan 1894 yang menggambarkan tuhan dalam agama
yahudi, agama nasrani dan agama islam sebagai sosok orang tua uzur yang tak
berdaya di hadapan iblis, mereka saling berciuman dan menyebut iblis tersebut
sebagai teman.. adegan lainnya menunjukkan bunda maria memberikan ijin untuk
dibacakannya sebuah cerita cabul kepada dirinya dan suatu perwujudan tindakan
erotis yang dilakukan antara bunda maria dan iblis. Jesus dewasa digambarkan
sebagai seorang yang memiliki mental terbelakang dan pada salah satu adegan
ditunjukkan hasrat jesus yang berusaha untuk ditimang dan mencium dada bunda
maria yang telah diberikan ijin padanya.
Pengadilan regional Innsbruck di
Austria memerintahkan untuk dilakukan suatu perampasan dan denda terhadap film
tersebut karena telah melakukan tindakan kriminal berupa penghinaan ajaran
suatu agama yang diatur dalam Bab 188 KUHP Austria.
Karena tidak adanya suatu perdebatan
mengenai campur tangan pemerintah Austria yang merupakan perampasan kebebasan
berekspresi perkumpulan tersebut, pengadilan eropa mempertimbangkan bahwa
perampasan tersebut sah sesuai dengan kondisi yang diatur dalam pasal 10 ayat 2
konvensi HAM Eropa.
Pada tahun 1994 pengadilan HAM Eropa
menyimpulkan bahwa interfensi yang dilakukan oleh pemerintah Austria memiliki
tujuan yang logis untuk melindungi kebebasan pemeluk agama lain. Dengan
mengartikan pasal 9 dalam konvensi tersebut ada suatu hak untuk menghormati
perasaan pemeluk agama lain, pengadilan menekankan bahwa harus ada suatu penghormatan
terhadap pemeluk agama lain karena tindakan provokatif yang merupakan suatu
penyerangan terhadap perasaan pemeluk agama lain adalah suatu pelanggaran yang
sangat jahat terhadap semangat toleransi. Jadi pehaman mengenai kebebsan
berekspresi memang tercantum mengenai tugas dan tanggungjawab yang ada
dibelakangngnya namun dalam mengintrepetasikan suatu pasal harus dibaca secara
menyeluruh sehingga akan ditemukan maksud yang ingin dicapai dalam konvensi
tersebut.
2. Wingrove versus Pemerintah Inggris.
Kasus ini bermula dari seorang
sutradara berkewarganegaraan inggris yang mengajukan komplain kepada komisi HAM
eropa mengenai tuduhan bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan campur tangan
terhadap kebebasannya berekspresi dengan cara menolak untuk memberikan ijin
untuk filmnya yang berjudul Vision of ecstasy untuk didistribusikan. Dalam film
yang berdurasi 18 menit tersebut berceritakan pandangan Bunda Teresa mengenai
penyaliban yang dialami jesus. Dewan sensor film inggris berpendapat bahwa film
tersebut berisikan suatu penghinaan terhadap agama karena dalam film tersebut
digambarkan jesus yang menginginkan Bunda Teresa dengan suatu gambaran yang
erotis, sehingga dewan menyimpulkan untuk tidak memberikan ijin dalam
pendistribusian film tersebut.
Komis HAM Eropa berdasarkan hasil
voting 14-2 menyatakan bahwa telah ada suatu pelanggaran terhadap kebebasan
berekpresi yang dilakukan oleh pemerintah inggris. Namun pengadilan HAM eropa
menyatakan lain yaitu tidak ada suatu pelanggaran yang dilakukan oleeh pemerintah
inggris terhadap kebebasan berekspresi, pengadilan beralasan penolakan terhadap
ijin distribusi yang dilakukan adalah sangat tepat karena penolakan tersebut
merupakan usaha perlindungan terhadap hak orang lain sebagai alasan khusus
adalah sebagai perlindungan terhadap enyerangan pada hal yang disucikan dalam
agama kristen.
Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan kasus-kasus
diatas maka sangat sulit bagi hukum internasional (dalam hal ini komisi dan
pengadilan HAM Eropa) melakukan suatu penyeragam terhadap nilai-nilai yang
terdapat dalam masyarakat eropa seperti nilai moral, nilai keagamaan, nilai
kebudayaan dan lainnya. Karena ukuran mengenai nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat eropa tersebut memiliki berbagai macam sudut pandang dari waktu ke waktu
maupun dari tempat satu dengan tempat lainnya. Karena perbedaan sudut pandang
tersebut maka penafsiran ataupun kompetensi hakim lokal memiliki posisi lebih
dibandingkan hakim internasional sehingga diberikan suatu kebebasan kepada
negara peserta konvensi untuk menafsirkan dan menerapkan pasal tersebut. tetapi
kebebasan yang diberikan kepada negara peserta konvensi bukan merupakan suatu
kebebasan yang tanpa batas tetapi melainkan menjadi suatu tanggungjawab dari
komisi maupun pengadilan HAM Eropa untuk memastikan pengawasan terhadap
perjanjian mengenai hak yang diberikan melalui konvensi HAM Eropa untuk
menafsirkan dan menerapkan pasal-pasal undang-undang tersebut berdasarkan
karakteristik masing-masing negara peserta.
HAK
ANAK DALAM KONVENSI ILO 182
Koord
: WIWIN ISTANTI
Anggota
: MARINA H.HARIS
Anak sebagai kelompok usia istimewa sejak dahulu telah
mendapatkan perhatian dari masyarakat internasional. Perhatian itu diwujudkan
salah satunya dalam bentuk pembuatan konvensi internasional oleh organisasi
internasional tertentu yang terkait dengan anak.
Berawal pada tahun 1989, Persatuan Bangsa-Bangsa membentuk
Konvensi mengenai Hak Anak. Kemudian ILO, badan PBB yang bergerak di bidang
perburuhan membentuk Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Konvensi ILO 182 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional
ke delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah satu
konvensi yang melindungi hak asasi anak. Lahirnya konvensi ini didorong oleh
beberapa hal, antara lain adanya Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang nantinya akan saling melengkapi dalam
usaha melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
adanya Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi
tambahan PBB mengenai mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan
Lembaga-Lembaga serta Praktek-Praktek Perbudakan atau Sejenis Perbudakan Tahun
1956.
Konvensi ILO 182 sebagai instrumen hukum internasional
memuat dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam pelaksanaan praktek perburuhan.
Bahwa mereka yang dikategorikan sebagai anak yang notabene dilindungi dari
praktek perburuhan adalah semua orang yang berusia di bawah delapan belas
tahun. Lalu, apa yang dimaksud "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak" dalam Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak? “Bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak" adalah a) segala bentuk perbudakan atau
praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon
(debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja,
termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam
konflik bersenjata, (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk
pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan yang
bersifat porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan
terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang
sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan, (d) pekerjaan
yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Kekuatan mengikat Konvensi ILO 182 bagi suatu negara anggota
ILO tergantung pada ada tidaknya komitmen suatu negara untuk meratifikasi
konvensi tersebut. Bagi negara yang telah meratifikasi konvensi ILO 182 maka
negara tersebut wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, wajib
menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak, mengambil langkah-langkah agar ketentuan konvensi ini dapat diterapkan
secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana serta wajib melaporkan
pelaksanaannya.
Bagaimana sikap Indonesia sebagai negara anggota ILO?
Indonesia merupakan satu dari sepuluh negara yang tergolong paling cepat
meratifikasi Konvensi ILO 182. Ratifikasi tersebut terwujud dengan membentuk
Undang-Undang No. 1 tahun 2000. Beberapa dasar yang melatarbelakangi keputusan
Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO 182 antara lain bahwa isi dari
konvensi tersebut dirasa mampu mengakomodasi tujuan sila-sila Pancasila yang
berkedudukan sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan
Rakyat telah membentuk Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
yang menugaskan Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang
berkaitan dengan dengan hak asasi manusia, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak tanggal 30 September 1990. Di samping
meratifikasi Konvensi ILO 182, Indonesia telah meratifikasi tujuh Konvensi ILO
yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973
mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 1999.
Selama ini, pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha perlindungan hak anak dirasa
masih ada beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi ILO 182
diharapkan dapat dijadikan sebagai instrumen hukum yang lebih aplikatif dalam
melindungi hak anak khususnya untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam
praktek mempekerjakan anak. Selain itu, ratifikasi tersebut diharapkan dapat
meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga
diharapkan akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk tindakan
perbudakan dan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi,
dan obat-obatan terlarang. Perlindungan yang dimaksud juga mencakup
perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan,
keselamatan atau moral anak-anak.
Dalam kaitannya dengan hubungan
internasional, ratifikasi Konvensi ILO 182 dapat dijadikan sebagai sarana untuk
menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap perlindungan hak-hak anak sekaligus
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap Indonesia.
Ratifikasi Konvensi ILO 182 bukan merupakan langkah akhir
Indonesia dalam melindungi anak-anak. Kepedulian pemerintah selanjutnya
diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Selain
pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, adapula Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak dalam Keppres No. 88 Tahun 2002 yang lahir karena
didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak.
Hal ini didasarkan pada kenyataan yang termuat dalam Trafficking in Persons
Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-tiga bahkan
pada laporan tahun 2005 menjadi pertingkat ke-dua dalam hal upaya
penanggulangan perdagangan anak.
Regulasi lain yang dibentuk Indonesia dalam rangka
memberikan payung hukum terhadap usaha perlindungan hak-hak anak antara lain
- Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (2006).
- Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
- Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
- Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A)
Tentu saja Indonesia bukan satu-satunya negara yang
meratifikasi konvensi internasional mengenai anak. Negara ASEAN yang juga
meratifikasi konvensi ILO adalah Filipina. Seperti Indonesia, Filipina juga
telah meratifikasi konvensi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 dan Konvensi ILO
No. 182 tahun 1999. Namun, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Filipina juga
mengalami berbagai hambatan dalam implementasi konvensi-konvensi tersebut.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain adanya perbedaan persepsi antar aparat
mengenai keberadaan buruh anak serta persepsi sosial budaya dan sistem
pendidikan yang kurang memadai bahkan pada tahun 2000-2001, ditemukan data
bahwa terdapat peningkatan buruh anak di Filipina. Pada tahun 1997, buruh anak
di Filipina berjumlah 3,7 juta anak dan terus meningkat rata-rata 3,8 persen
tiap tahun, hingga tahun 2001 menjadi 4,018 juta anak.
Jika dibandingkan dengan Indonsia dan Filipina,
negara-negara Eropa terhitung jauh lebih konsisten menerapkan konvensi
internasional mengenai anak. Di satu sisi, negara-negara Uni Eropa cenderung
menganut paham liberal namun negara-negara tersebut tetap memperhatikan dan
berusaha meminimalisir pengaruh negatif pornografi terhadap anak. Sebagai salah
satu bukti nyata, Uni Eropa berencana membuat sistem peringatan satu atap yang akan
membantu polisi menindak tegas praktek pornografi anak di internet. Komisi
Eropa akan memberikan kepolisian Eropa, Europol, sejumlah uang untuk membangun
sistem tersebut. Sistem ini memungkinkan setiap penyelidikan mengenai akses
pornografi oleh anak di bawah umur di negara anggota Uni Eropa berjalan lebih
efektif.
Contoh di atas menunjukkan komitmen negara-negara lain dalam
melindungi hak-hak anak. Memang, yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak
bukanlah sekedar pembentukan berbagai regulasi. Pembentukan regulasi akan
menjadi nihil jika tidak dibarengi dengan kerja sama antara suprastruktur dan
infrastruktur yang bergerak untuk menciptakan dunia yang lebih bersahabat
dengan anak. (***)
No comments:
Post a Comment