TARJIH DAN TALFIQ
DALAM
FALSAFAH DAN ETIKA
BERBEDA PENDAPAT
Coretan M.Rakib LPMP
Riau Indonesia 2014
Adapun bentuk pentarjihan yang mereka lakukan pada periode ini terdiri dari dua
bentuk, yaitu :
- Tarjih al-riwayah, yaitu tarjih di mana bila terjadi perbedaan dalam penukilan-penukilan dari imam mereka terhadap berbagai kasus dalam fiqh, ulama-ulama berikutnya mentarjih riwayat orang terkenal kemasyhuran dan kecermatannya, seperti dikuatkan al-Rabi'i (w. 270 H), yang apabila bertentangan dengan riwayat al-Muzanni (w. 264 H) dalam men-tarjih perbedaan pendapat imam al-Syafi’i.[7]
- Tarjih al-dirayah (tarjih pemikiran). Dalam melakukan pentarjihan pemikiran ini, mereka mentarjih pendapat imam mereka sendiri apabila terjadi perbedaan pendapat atau antara pendapat imamnya dengan pendapat para murid dan pengikutnya. Mereka mentarjih pendapat yang lebih sesuai dengan usul imamnya dan yang lebih dekat kepada al-Qur’an, Hadith dan qiyas.[8]
Pentarjihan[9] ini
muncul sesudah tidak ada lagi orang yang dianggap sanggup berijtihad secara
bebas, bahkan di waktu sebahagian ulama yang mengatakan bahwa pintu ijtihad
sudah tertutup, maka yang muncul kemudian
adalah orang berbondong-bondong
untuk melakukan tarjih bila tarjih perbedaan pendapat antara satu ulama dengan
ulama lainnya. Anggapan tidak ada lagi mujtahid mutlaq terus berkembang. Ini
terlihat dari komentar ulama terkenal seperti at-Ghazali “sesungguhnya tidak
terisi zaman ini dengan mujtahid mutlaq juga imam Abu Ishaq at-Syairazi
mengatakan “Tidak boleh kosong zaman harus ada seorang mujtahid” dan banyak
lagi komentar ulama yang lainnya.[10] Dari berbagai komentar ulama terdahulu tidak
secara tegas mengatakan pintu ijtihad telah tertutup, juga dalam sejarah tidak
ditemukan data otentik tentang ulama yang berpendapat bahwa pintu ijtihad telah
tertutup.[11]
Imam
Mal al-Din ‘Abd al-Rahman al-Suyuti salah seorang ulama Syafi’yyah yang terkenal
(w. 911 H) menolak wacana bahwa ijtihad sudah tertutup. Lebih lanjut ia
mengatakan bahwa ijtihad terus berkembang selamanya hingga akhir zaman karena
ulama-ulama mazhab mengemukakan dalil-dalil dan pendapat tentang keharusan
berijtihad dan mencela taqlid juga melarang bertaqlid pada mereka dan menyuruh
untuk berpikir[12] sebagaimana disebutkan dalam hadist, yaitu:
عن ابى هريرة رضىالله عنه قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: يبعث الله على راس كل مائة سنة من يجد د لهذه الامة
امردينها (رواه ابوداودالحاكم والبيهقى)
Artinya
: “Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Bahwa
Nabi SAW bersabda: Allah mengutus dalam tiap seratus tahun dari orang-orang
yang memperbaharui urusan agama”.
Sebagian
ulama memahami hadist di atas, bahwa tajdid (pembaharu agama) dalam pengertian
menetap kembali syari’ah bukan sebagai suatu upaya munculnya kembali mujtahid
mutlaq, melainkan mujtahid mazhab (mujtahid
tarjih).[13] Dari beberapa komentar di atas sepertinya ulama mengatakan
bahwa pintu ijtihad bisa terus terbuka dengan memahami bahwa ijtihad itu
dibutuhkan. Di sini persoalan yang muncul kemudian adalah mungkinkah ada
mujtahid mutlaq sekaliber imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dalam hal
ini Sirajuddin Abbas salah seorang yang berpegang teguh kepada mazhab Syafi’i
mengatakan sampai saat ini (abad ke-20 M) belum ada yang mampu mencapai
tingkatan mujtahid mutlaq.
Imam
Nawawi [14]
yang hidup pada abad Ke VII ini merupakan salah seorang tokoh pengikut mazhab imam
Syafi’i yang membela mazhab imamnya sama halnya dengan ulama sebelumnya seperti
imam a--Ghazali, al-Mawardi, al-Juwaini, dan lainnya yang
telah mengembangkan pendapat imam Syafi’i dalam karyanya masing-masing serta
mengemukakan dalil dan mencari 'illat (alasan yang logis) serta mengulas
dan menguraikan furu' fiqh secara lengkap sesuai kemampuannya. Imam
Nawawi dinilai sangat ahli dalam bidang Hadist, fiqh, bahasa dan lainnya.
Karena keilmuannya ini ulama mutakhkhirin menganggapnya sebagai mujtahid tarjih[15] dalam mazhab Syafi'i sama
halnya dengan imam al-Rafi' i.[16]
Kitab
Minhaj al-Talibin [17]
merupakan salah satu kitab karya imam Nawawi yang disyarah oleh Jalal al-Din
al-Mahalli (W.864 H) yang diberi namanya Kanz
al-Raghibin dan dikomentari oleh Syihab al-Din Ahmad bin Ahmad al-Qalyubi (W.
1069 H), ia secara tegas mengatakan bahwa Abu Qasim 'Abd al-Karim al- Rafi'i[18]
(W. 623 H) merupakan orang yang mula-mula men-tarjih pendapat yang berbeda
dalam mazhab Syafi'i . Kemudian muncul al-Nawawi sebagai penerusnya.[19]
Bahkan ada di antara ulama kemudian mengatakan, apabila terjadi
pertentangan dalam mentarjih antar al-Nawawi dengan al-Rafi'i, maka yang
didahulukan adalah pendapat yang di-tarjih al-Nawawi. Di samping mereka
menentukan urutan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'i adalah hukum yang
disepakati oleh Syaikhani (imam al-Nawawi dan al-Rafi'i) kemudian yang
dipastikan oleh al-Nawawi kemudian al-Rafi’i, kemudian yang di-tarjih oleh
ulama-ulama lain yang alim dan yang wara’, dan yang di pastikan oleh para
pen-tahqiq muta'akhirin seperti syekh Zakaria al-Ansari, Ibnu Hajar al-Haitami,
Ibnu Ziyad dan lainnya. [20]
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
1.
Rumusan Masalah
Beranjak
dari pembahasan ini, yang menarik perhatian penulis adalah mengenai imam al-Nawawi
digolongkan ke dalam mujtahid tarjih dalam mazhab Syafi'i. Lalu yang menjadi
pertanyaan adalah :
1. Apa latar belakang ia men-tarjih
pendapat pendapat yang berbeda dalam mazhab al-Syafi`i.
2.
Langkah-langkah apa saja yang ditempuhnya dalam mentarjih salah pendapat
Al-Syafi`i.
3.
Metode apa yang digunakan dalam men-tarjih pendapat tersebut, baik antara
imam Syafi’i maupun perbedaan antara pendapat Syafi'iyah.
2. Batasan Masalah
Menurut
anggapan sementara penulis bahwa, Nawawi dalam kitab Minhaj
al-Talibin hanya menjelaskan pendapat dengan menggunakan tanda
kata al-Azhar, al-Masyhur, al-Jadid, al-Nash
sebagai pendapat yang kuat imam Syafi’i. sedangkan kata al-Ashah
dan al-Sahih, sebagai pendapat ashab al-wujuh Syafi'i yang kuat.
Dengan demikian yang ingin dikaji adalah bagaimana menentukan kuat-tidaknya
dalil menurut Nawawi dalam melakukan pen-tarjihan.
Kitab Minhaj al-Talibin merupakan kitab fiqh yang pembahasannya sangat luas
karena di dalamnya terdapat fiqh iftiradi (fiqh
pengandaian-pengandaian) dan kasus furu`nya yang banyak. Untuk membatasi
permasalahan akan diambil beberapa contoh kasus tarjih tentang ibadah,
mu'amalah, dan munakahat.
C. Tujuan
dan Kegunaan Penelitian.
1. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk
menemukan metode yang dikembangkan Nawawi dalam menyelesaikan perbedaan
pendapat Syafi'i atau pendapat ulama Syafi'iyyah dan mencari langkah-langkah
yang digunakannya serta latar belakang melakukan pentarjih-an. Di samping itu
dapat memperluas wawasan tentang pen-tarjihan yang dilakukan oleh Nawawi,
terlebih lagi bagi orang awam yang tidak mampu berijtihad dan hanya berpegang
kepada pendapat yang kuat saja. Mengingat bahwa sampai saat ini masyarakat
Indonesia dan masyarakat Aceh pada khusus adalah orang yang masih kuat
berpegang kepada mazhab Syafi'i yang berbaur dengan apa yang telah ditarjih
oleh Nawawi.[21] Dan banyaknya kitab-kitab yang
beredar di kalangan masyarakat seperti Tuhfat
al-Muhtai ala Syarh al- Minhaj karangan Ibnu Hajar al-Haitami (W. 974 H), Mughni
al-Muhtaj, karangan Khatib Syarbaini (W. 977 H)[22], Nihayat al-Muhtaj karangan Muhammad bin Abi
al-Abbas Ahmad bin Hamzah Syihab al-Din al-Ramli (W 1004 H). Juga banyak kitab dalam bahasa jawi yang rata-rata merupakan
pendapat Syafi'iyah yang sudah di-tarjih. Sehingga dapat memberikan gambaran
tentang pen-tarjihan yang dilakukan Nawawi.
2. Kegunaan
Penelitian
Dengan kajian ini dapatlah kiranya
bermanfaat yang ingin mendalami dan mengkaji ulang terhadap pendapat ulama
terdahulu dan dalil-dalilnya dalam mazhab Syafi'i khususnya bagi orang yang
masih ber-taqlid kepada ulama Syafi'iyyah, dan dapat mengetahui kenapa pendapat
itu kuat dan kenapa yang lainnya dhaif.
D. Tinjauan Pustaka
Sebagai
rujukan dasar dalam pembahasan ini adalah kitab Minhaj al Talibin karangan imam Nawawi. Penulis melihat kitab ini
lebih selektif dalam menjelaskan persoalan dengan menggunakan istilah dalam
pen-tarjihan pendapat, terlebih lagi kitab yang disyarah oleh Jalal al-Din al-Mahalli (W. 835 H) dalam
kitabnya Kanz al-Raghibin bahkan kitab ini dijadikan sebagai rujukan
fiqh dalam mazhab Syafi'i bagi Mahasiswa SI (strata satu) di Universitas al
Azhar pada Fakultas Syari'ah. Juga kitab ini dipakai oleh kaum santri di Pesanteran
Tradisional di nusantara ini. Kitab ini sudah diberi syarah dan komentar oleh
Imam Qalyubi dan Umairah, dari sisi ini ada beberapa metode yang
digunakan Nawawi dalam melakukan tarjih.
E. Metode Penelitian
1.
Sumber dan Tekhnik Pengumpulan Data
Penelitian
ini termasuk dalam katagori penelitian kepustakaan. Oleh Karena itu pengumpulan
data melalui penelusuran terhadap bahan-bahan pustaka sebagai sumber data.
Sumber data yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah berupa literatur yang
terkait langsung dengan subtansi penelitian ini.
Sumber data dibagi dalam dua
katagori, yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan
sumber yang merujuk langsung kepada kitab Minhaj al-Talibin seperti Syarh JaIal al-Din al-Mahali, Nihayah
al-Muhtaj, Mugni al-Muhtaj dan Tuhfah al-Muhtaj sebagai sumber sekunder
juga digunakan beberapa kitab lain sebagai rujukan yang ada hubungannya dengan
pendapat Nawawi seperti Majmu' Syarh
al-Muhadhdhab, Rawdah al-Talibin, dan beberapa kitab yang lain seperti Syarh al-Wajiz atau lebih di kenal
dengan Syarh al-Kabir karangan
al-Rafi'i. Serta beberapa kitab lain yang ada relefansi dalam kajian ini
sebagai pendukung data primer di atas.
Tekhnik pengumpulan data primer
adalah mengumpulkan semaksimal mungkin kitab yang dianggap paling urgen yang
menyangkut dengan masalah penelitian ini, kemudian dikaji, dianalisa dan
memilah data-data terseleksi berdasarkan poin-poin permasalahan terkait.
Sedangkan tekhnik pengumpulan
data sekunder adalah mengumpulkan data dari berbagai tulisan, baik berupa kitab
Arab dan buku-buku Indonesia. Setelah mengumpulkan data tersebut langkah
selanjutnya adalah mengkaji, menganalisa, dan memilah-memilah data yang
terseleksi untuk mendapatkan data yang jelas, akurat dan benar yang mendukung
data primer.
2. Analis Data
Setelah data terkumpul melalui
beberapa leteratur yang dijadikan sumber dalam penelitian ini, lalu dilakukan
pemahaman dan analisa contoh-contoh kasus pen-tarjih-annya dan hasil pengkajian
akan terungkap metode yang digunakan dalam men-tarjih-kan pendapat-pendapat
baik imam Syafi'i maupun ulama Syafi'iyah. Untuk kemudian mengambil kesimpulan
terhadap apa yang diteliti dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan Content
analisis, hasil itu akan menjadi j awaban terhadap masalah yang diteliti.
F.
Sistematika Pembahasan
Dalam penelitian ini akan dijelaskan
beberapa hal yang berkenaan dengan judul: "Metode Tarjih Nawawi dalam
Menyelesaikan Perbedaan Pendapat dalam Mazhab Syafi'i"
dengan menempuh beberapa langkah yang dijadikan sebagai sistematika pembahasan
yaitu :
Bab Pertama berupa
pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, kemudian rumusan masalah, lalu
tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan
sistematika pembahasan..
Bab Kedua akan
dijelaskan sejarah ringkas imam Nawawi yang meliputi di dalamnya riwayat
hidupnya, karya-karya, setting sosial, kedudukan dan pengaruhnya dalam mazhab
Syafi'i.
Bab Ketiga
akan dijelaskan gambaran umum tentang tarjih berupa pengertian tarjih, sejarah,
rukun dan syarat tarjih, landasan tarjih dan kedudukan tarjih dalam
hukum Islam.
Bab keempat akan
dijelaskan metode tarjih Nawawi yang meliputi di dalamnya: Metode pen-tarjih-an
perbedaan pendapat-pendapat imam Syafi'i juga metode Pen-tarjih-an perbedaan
pendapat ulama-ulama pengikut Syafi'i atau yang lebih di kenal dengan ashab al-wujuh atau Syafi'iyyah. Pada
bab ini akan dijelaskan juga langkah-langkah pen-tarjih-an dan beberapa contoh
kasus Fiqh dari tarjih Nawawi.
Bab kelima akan
dijelaskan berupa kesimpulan dari penelitian ini dan saran-saran yang dapat
membantu dalam penyempurnaan penelitian dan perluasan.
BAB II
BIOGRAFI IMAM AL-NAWAWI
A.
Riwayat
Hidup Imam al-Nawawi
Imam al-Nawawi adalah ulama yang
paling banyak mendapat cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari
biaografinya akan melihat adanya wira`i, zuhud, kesungguhan dalam mencari ilmu
yang bermanfaat, amal saleh, ketegasan dalam membela kebenaran dan amar makruf,
nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah dan kepada rasul Nya.
Ia telah melebihi ulama-ulama yang
semasa dengannya. Menurut pendapat yang rajih, ia meninggal dunia sermentara
umurnya tidak lebih dari 45 tahun. Ia meninggalkan berkas-berkas,
ketetapan-ketetapan dan kitab-kitab ilmiyah yang berbobot. Dengan
peninggalan-peninggalan tersebut, ia telah menunjukkan bahwa ia melebihi
ulama-ulama dan imam-imam pada masanya.
Imam
al-Nawawi adalah seorang ahli hukum Islam ternama dan ahli hadith yang
dipercaya. Nama lengkapnya ialah Yahya Ibnu Syaraf Ibnu Muri Ibnu Hasan Ibnu
Husein Ibnu Muhammad Ibnu Jum`ah Ibnu Hizam al-Hawrani al-Dimasyqi
al-Syafi`i, dengan sebutan Kuniyahnya yaitu, Abu Zakariya al-Nawawi
al-Dimasyqi. [23]
Adapun
Imam al-Nawawi dijuluki Abu Zakariya[24] karena namanya adalah Yahya.
Orang Arab sudah terbiasa memberi julukan Abu Zakariya kepada orang yang
namanya Yahya karena ingin meniru Yahya Nabi Allah dan ayahnya, Zakariya Alaihima
al-Salam sebagaimana juga seseorang yang namanya Yusuf dijuluki Abu Ya`qub,
orang yang namanya Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang namanya Umar
dijuluki Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak sesuai dengan
aturan yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun gaya
pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar dari orang-orang Arab.
Gelarnya adalah Muhyiddin.[25]
Namun, ia sendiri tidak senang diberi gelar ini. Ketidaksukaannya itu
disebabkan rasa tawadhu` yang tumbuh pada diri Imam al-Nawawi, meskipun
sebenarnya dia pantas diberi julukan tersebut karena dengan dia Allah
menghidupkan sunnah, mematikan bid`ah, menyuruh melakukan yang makruf, mencegah
perbuatan yang mungkar dan memberi manfaat kepada umat Islam lewat
karya-karyanya yang berbobot.
Ia dilahirkan di Nawa, yaitu sebuah
desa sebelah barat daya Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H atau
bertepatan dengan Oktober tahun 1233 M,[26] sesuai dengan kesepakatan
para sejarawan. Sementara menurut K.H. Sirajuddin
Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan mazhab Syafi`i, Imam al-Nawawi
lahir pada tahun 630 H atau bertepatan dengan tahun 1234 M.[27] Perbedaan tahun kelahiran al-Nawawi ini bukanlah suatu yang
prinsip, di samping perbedaan ini pula dengan angka yang tidak terpaut terlalu
jauh, dan kemungkinan besar perhitungan menurut Sirajuddin Abbas adalah akhir
tahun 630 H.
Ayah Imam al-Nawawi bernama Syaraf
Ibnu Muri adalah seorang yang terkenal saleh dan taat. Dalam rumah tangga yang
taat dan saleh itulah Imam Nawawi dibesarkan. Diriwayatkan bahwa Nawawi yang
terkenal pintar itu, di masa kecilnya selalu menyendiri dari teman-temannya
yang suka mengahabiskan waktu hanya untuk bermain-main. Dalam kondisi yang
demikian, Nawawi yang dari kecilnya mendapat perhatian besar dari orang tuanya itu,
banyak menggunakan waktunya untuk membaca dan mempelajari al-Qur`an dan
mempelajari ilmu-ilmu agama.
Adapun mengenai sifat-sifat Imam
al-Nawawi, sebagaimana yang dilukiskan oleh al-Zahabi, adalah "Imam
al-Nawawi berkulit sawo matang, berjenggot tebal, berperawakan tegak,
berwibawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-sungguh
dalam hidupnya, sselalu mengatakan yang benar meskipunhal itu sangat pahit
baginya dan tidak takut hinaan orang yang menghina dalam membela agama
Allah."
B. Perkembangan
pendidikan intelektual Nawawi
Saat Imam al-Nawawi sudah mencapai
umur tamyiz (kurang lebih delapan tahun), Allah membimbingnya agar
nantinya mengemban syari`at Islam yang suci. Pada saat berumur tujuh tahun,
sudah memperlihatkan tanda-tanda bimbingan-Nya kepadanya. Hal itu terjadi pada
malam dua puluh tujuh Ramadhan, yaitu ketika ia tidur di samping ayahnya,
sebagaiman yang diriwayatakan oleh Ibnu al-Aththar dari orang tua Imam
al-Nawawi tersingkap rahasia Allah dalam bulan Ramadhan yang diberkahi yang
mana rahasia itu disembunyikan dari kebanyakan orang. Rahasia tersebut tidak
lain adalah Lailatul qadar.
Pada mulanya ia mempelajari ilmu
pengetahuan dari ulama-ulama terkemuka di desa kelahirannya, yaitu pada umur
sembilan tahun. Dalam waktu empat bulan setengah, ia sudah hafal kitab al-Tanbih
kemudian dilanjutkan dengan mengahafal seperempat kitab al-Muhazzab.[28]
Ia terus bersama dengan Syaikh Kamaluddin Ishaq bin Ahmad, kemudian pergi haji
bersama ayahnya. Kemudian setelah umurnya menginjak dewasa, ayahnya merasa
tidak cukup kalau anaknya belajar di desa tempat kelahirannya itu. Maka pada
tahun 649 H, atau bertepatan dengan 1251 M, bersama ayahnya Nawawi berangkat ke
Damaskus. Damaskus di waktu itu tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, dan
tempat kunjungan orang-orang dari berbagai pelosok untuk mendalami ilmu-ilmu
keislaman. Di kota itu juga terdapat beberapa sekolah agama, dan ada yang
menyatakan tidak kurang dari 300 buah sekolah tersebar di Damaskus waktu itu.
Begitu Nawawi sampai di Damaskus ia
langsung berhubungan dengan seorang alim terkenal, yaitu syech Abdul Kafi ibnu
Abdul Malik al-Rabi (w. 698 H), dan dengan syech Abdurrahman ibnu Ibrahim ibnu
al-Farkah (w. 690 H),[29] dan dari mereka Nawawi banyak belajar.
Beberapa waktu kemudian ia dikirim oleh gurunya itu kesebuah lembaga pendidikan
yang terkenal dengan al-Madrasah al-Rawahiyah, dan di situlah ia tinggal
dan banyak belajar.
Sejak kecil Nawawi telah
menampakkan kecerdasan dan keseriusannya dalam mendalami ilmu Islam. Terutama pada
usia 19 (sembilan belas) tahun ia pernah belajar di madrasah al-Rawahiyah
di Damaskus. Ia sangat tekun dalam mencari ilmu pengetahuan khususnya lmu fiqih
dan ilmu Hadith.
Dalam bidang fiqih ia belajar dari
ulama-ulama terkemuka dari mazhab Syafi`i. Di antara guru-guru fiqihnya yaitu:
syekh Abu Ibrahin Ishaq ibnu Ahmad ibnu Uthman al-Maghribi al-Dimasyqi (w. 650
H). Ia juga belajar dari mufti Damaskus yaitu Abu Muhammad Abdurrahman ibnu Nuh
ibnu Muhammad al-Dimasyqi (w. 654 H). Dan dari Abul Hasan Sallar ibnu al-Hasan
al-Diamasyqi (w. 670 H), seorang ulama terkenal ahli dalam seluk-beluk
mazhab Syafi`i.[30]
Selanjutnya ia belajar fiqih kepada
Ridha bin Burhan, Zaid al-Khalid, Abdul Azis bin Muhammad al-Anshari,
Zainuddin bin Abdul Daim, Imamuddin Abdul Karim al-Harastani, Zainuddin Khalaf
bin Yusuf, Taqiyuddin bin Abi al-Yasar, Jamaluddin bin al-Sirafi, dan
Syamsuddin bin Amr.[31]
Dalam bidang ilmu Hadith ia belajar
antara lain kepada al-Hafidh Ibrahim Isa al-Muradi al-Andalusi al-Dimasyqi (w.
668 H), juga kepada Abu ishaq Ibrahim ibnu Abi Hafas Umar ibnu Mudar al-Wasiti,
dan daripadanya Nawawi menamatkan pelajaran kitab Sahih Muslim. Kemudian ia
belajar Hadith pula kepada syekh al-Hafiz al-Mutqin Zainuddin Abul Baqa Khalud
ibnu Yusuf ibnu Sa`ad al-Nabulisi (w. 663 H).[32]
"Berkelahi cara Melayu,
Menikam dengan pantun,
Menyanggah dengan senyum,
Merendah bukan menyembah,
Meninggi bukan melonjak..." (Dato' Usman Awang)
Menikam dengan pantun,
Menyanggah dengan senyum,
Merendah bukan menyembah,
Meninggi bukan melonjak..." (Dato' Usman Awang)
Melayu itu orang yang bijaksana
Jauh dari, konflik berdarah
Jauh dari, konflik berdarah
Permasalahan
yang besar, terus ditarah
Menjadi
kecil, lama-lama musnah
Bukan
takut, kepada manusia
Hanya
takut, kepada Yang Mahakuasa saja.
Nakalnya bersulam jenaka
Budi bahasanya tidak terkira
Kurang ajarnya tetap santun
Jika menipu pun masih bersopan
Bila mengampupun bijak beralas tangan
Berkelahi cara Melayu
Menikam dengan pantun
Menyanggah dengan senyum
Marahnya dengan diam
Merendah bukan menyembah
Meninggi bukan melonjak
Berdamai
cara Melayu indah sekaliBudi bahasanya tidak terkira
Kurang ajarnya tetap santun
Jika menipu pun masih bersopan
Bila mengampupun bijak beralas tangan
Berkelahi cara Melayu
Menikam dengan pantun
Menyanggah dengan senyum
Marahnya dengan diam
Merendah bukan menyembah
Meninggi bukan melonjak
Silaturrahim hati yang murni
Maaf diungkap senantiasa bersahut
Tangan dihulur senantiasa bersambut
Luka pun tidak lagi berparut
Bagaimana Melayu diabad dua puluh satu
Masihkah tunduk tersipu-sipu
Jangan takut melanggar pantang
Jika pantang menghalang kemajuan
Jangan segan menentang larangan
Jika yakin kepada kebenaran
Jangan malu mengucapkan keyakinan
Jika percaya kepada keadilan
Jadilah bangsa yang bijaksana
Memegang tali memegang timba
Memilih ekonomi mencipta budaya
Menjadi TUAN di negara MERDEKA
Di forum ini
banyak caci makian yang saling menghina bangsa Indonesia dan Malaysia , padahal
kasus2 seperti Manohara , Ambalat , dan Tari pendet dah kelar & udah
selesai walau masih ada sengketa kecil . harus nya kita bersatu , jangan pecah
belah . lebih baik kita ramai2 bantu orang palestina agar merdeka & juga
tempat2 yang saat ini dilanda perang ( Afghanistan , Kongo , Iraq , dll ).
1. Ikhlas dan
mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu di saat berbeda pendapat.
Juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.
2. Mengembalikan perkara yang diperselisihkan
kepada Kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah
berfirman yang artinya: “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Kitab) dan Rasul”. (An-Nisa: 59).
3. Berbaik sangka kepada orang yang berbeda
pendapat denganmu dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya
cacat.
4. Sebisa mungkin berusaha untuk tidak
memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar
dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.
5. Berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah
menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan
secara matang.
6. Berlapang dada di dalam menerima kritikan yang
ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.
7. Sedapat mungkin menghindari
permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah.
8. Berpegang teguh dengan etika berdialog dan
menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan.
No comments:
Post a Comment