M.Rakib LPMP
Riau Indonesia..
Dari Riau ke Jakarta,
Enaknya
naik, paesawat garuda.
Jangan
risau, jangan meronta,
Hukum
diterima, berlapang dada.
Teori Krido Kepercaayaan..Intisari dari teori ini adalah bahwa setiap muslim
memiliki kewajiban untuk melaksanakan seluruh hukum Islam sebagai bentuk
konsekuensi syahadatnya. Namun dalam prakteknya ternyata banyak umat Islam yang
tidak bisa melaksanakan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Islam. Oleh karena itu
teori ini tidak mengaitkannya dengan tradisi dan budaya yang ada di masyarakat
sehingga diperlukan teori lainnya untuk menjelaskan deskripsi dari penelitian
ini.
Matowa
masak, di musim haji,
HATI-hati,
dahannya rapuh.
Orang
yang taqwa, pasti mentaati,
Hukum
islam, tak boleh jauh.
Dari Riau ke Jakarta,
Enaknya
naik, paesawat garuda.
Jangan
risau, jangan meronta,
Hukum
diterima, berlapang dada.
Namun,
teori kredo ternyata belum mampu untuk menjelaskan mengenai penyerapan hukum
Islam oleh masyarakat adat. Karena dalam faktanya walaupun mereka telah memeluk
agama Islam namun dalam kehidupan sehari-hari tidak semua hukum Islam mereka
laksanakan. Oleh karena itu diperlukan teori lain untuk bisa menjelaskan obyek
penelitian ini yang akan dituangkan dalam middle theory.
Middle
Theory
Penyerapan
hukum Islam oleh masyarakat adat adalah sebuah fenomena yang terjadi di
Indonesia. Maka untuk mendeskripsikan fenomena ini peneliti menggunakan teori
resepsi (receptie) sebagai Middle theory. Teori ini digunakan
untuk menjelaskan lebih lanjut masalah penyerapan hukum Islam oleh masyarakat
di Indonesia maka. Teori resepsi adalah teori mengenai penyerapan hukum Islam
oleh masyarakat Indonesia karena beberapa alasan, sebagian karena kesadaran
akan konsekuensi syahadatnya, sebagian karena peraturan dari pemerintah
menghendaki demikian dan karena kondisi lingkungan mengharuskan hal tersebut.
Penyerapan
hukum Islam oleh masyarakat di Indonesia telah menarik perhatian beberapa
cendekiawan dari Belanda untuk melakukan studi dengan tema ini. Maka munculah
beberapa teori mengenai hal ini yaitu teori receptio in complexu dan theory
receptie. Kedua teori ini setelah masa kemerdekaan dikritik oleh para ahli
hukum dalam negeri dengan theory receptie exit dan theory receptio a
contrario. Berikut adalah pembahasannya:
Teori
pertama tentang penyerapan hukum adalah teori receptio in complexu yang
dirumuskan oleh Lodewijk Willem Cristian Van Den Berg (1845-1927). Sebelumnya teori ini
juga disebutkan oleh H.A.R. Gibb, Menurut teori ini bagi orang Islam yang
berlaku penuh adalah hukum Islam sebab dia telah memeluk Islam walaupun dalam pelaksanaannya
masih terdapat penyimpangan-penyimpangan. Secara fakta teori Berg lebih rinci
dibandingkan teori yang dikemukakan H.A.R. Gibb, sebab prakteknya hingga
sekarang umat Islam di Indonesia masih banyak yang belum taat dalam menjalankan
ajaran Islam. Ketaatan mereka masih terbatas pada shalat lima waktu, zakat,
puasa dan haji, sedangkan ajaran Islam lainnya masih kurang diperhatikan
misalnya ajaran Islam tentang ekonomi dan perbankan Islam.
Teori
penerimaan hukum ini kemudian dikenal dengan istilah receptio in complexu
yaitu penerimaan hukum Islam secara keseluruhan oleh masyarakat yang beragama
Islam. Karakteristik dari teori ini adalah:
1.
Hukum Islam dapat berlaku di
Indonesia bagi pemeluk Islam
2.
Umat Islam harus taat pada ajaran
Islam
3.
Hukum Islam berlaku universal pada
berbagai bidang ekonomi, hukum pidana dan hukum perdata.
Teori
ini menjadi acuan dalam kebijakan-kebijakan pemerintah penjajah waktu itu
dengan dikeluarkannya peraturan dalam Regeering Reglement (RR) th.1855,
Statsblad 1855 Nomor 2. RR merupakan Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Bahkan
dalam ayat 2 pasal 75 RR itu ditegaskan: ”Dalam hal terjadi perkara perdata
antara sesama orang Indonesia itu atau dengan mereka yang dipersamakan dengan
mereka maka mereka tunduk kepada hakim agama atau kepala masyarakat mereka menurut
undang-undang agama (godsdienstige wetten) atau ketentuan-ketentuan lama
mereka”.
Teori
ini kemudian digantikan oleh teori receptie yang menyatakan bahwa hukum
Islam di Indonesia baru berlaku apabila hukum adat menghendaki hal tersebut.
Teori ini merupakan hasil dari penelitian Christian Snouck Hurgronye
(1857-1936) yang dilakukan di Aceh dan Gayo. Ia menyimpulkan bahwa hukum Islam
di Indonesia baru berlaku ketika telah diterima (receptie) oleh hukum
adat. Teori ini tidak lepas dari kepentingan bangsa penjajah waktu itu yang
ingin melemahkan perjuangan umat Islam di Indonesia. Teori ini kemudian
dikuatkan oleh kebijakan pemerintah kolonial dengan dikeluarkannya Wet op De
Staatsregeling (IS) atau IS (Indische Staatsregeling) tahun 1929
Pasal 134 ayat (2) yang berbunyi: ”Dalam hal terjadi masalah perdata antar
sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh Hakim agama Islam apabila hukum adat
mereka menghendakinya”.
Teori
ini mendapat pertentangan yang sengit dari kalangan umat Islam dan juga
tokoh-tokoh hukum Belanda, Hazairin menyebut teori ini sebagai teori Iblis
karena telah mematikan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Sementara Mr.
Scholten van Oud Haarlem menulis sebuah nota kepada Pemerintah Hindia Belanda
untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap Bumiputera sebagai pencegahan
terhadap perlawanan yang akan terjadi, maka diberlakukan pasal 75 RR (Regeering
Reglement) suatu peraturan yang menjadi dasar bagi pemerintah Belanda untuk
menjalankan kekuasaannya di Indonesia, S. 1855: 2 memberikan instruksi kepada
pengadilan agar tetap mempergunakan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan
kebiasaan-kebiasaan itu sejauh tidak bertentangan dengan kepatutan dan keadilan
yang diakui umum.
Teori
yang dirumuskan Hazairin dikenal dengan teori receptie exit yang berarti
bahwa setelah Indonesia merdeka dan setelah UUD 1945 dijadikan UUD negara, maka
walaupun aturan peralihan menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku selama
jiwanya tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan
perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan ajaran receptie
tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945. Setelah
Proklamasi, kemudian Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku yang di
dalamnya ada semangat merdeka di bidang hukum. Dengan peraturan peralihannya
guna menghindari kevakuman hukum masih diberlakukan ketentuan-ketentuan hukum
dan bangunan-bangunan hukum yang ada selama jiwanya tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Beliau berpendapat bahwa banyak aturan pemerintah Hindia Belanda yang
bertentangan dengan UUD.
salam hangat dari kami ijin menyimak sahabat
ReplyDelete