ASBABUN NUZUL, PERLINDUNGAN ANAK
DARI ILO, YANG TERUS BERGERAK
TEKAT MENGHAPUS, BURUH DARI BUDAK
AGAR KEADILAN TETAP TEGAK
M.RAKIB LPMP RIAU INDONESIA...2014
Penulis tertarik membaca tulisan WIWIN
ISTANTIdan MARINA H.HARIS, tentang asal usul hukum perlindungan anak Indonesia, yang kemudian menjadi UU 23 tahun 2002.
Nah ceritanya, berawal pada tahun 1989, Persatuan Bangsa-Bangsa membentuk
Konvensi mengenai Hak Anak. Kemudian ILO, badan PBB yang bergerak di bidang
perburuhan membentuk Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan
Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Konvensi ILO 182 yang disetujui pada Konferensi Ketenagakerjaan Internasional
ke delapan puluh tujuh tanggal 17 Juni 1999 di Jenewa merupakan salah satu
konvensi yang melindungi hak asasi anak. Lahirnya konvensi ini didorong oleh
beberapa hal, antara lain adanya Konvensi ILO No. 138 Tahun 1973 mengenai Usia
Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang nantinya akan saling melengkapi dalam
usaha melarang dan menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
adanya Konvensi ILO No. 29 Tahun 1930 tentang Kerja Paksa, dan Konvensi
tambahan PBB mengenai mengenai Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, dan
Lembaga-Lembaga serta Praktek-Praktek Perbudakan atau Sejenis Perbudakan Tahun
1956.
Konvensi ILO 182 sebagai instrumen hukum internasional
memuat dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam pelaksanaan praktek perburuhan.
Bahwa mereka yang dikategorikan sebagai anak yang notabene dilindungi dari
praktek perburuhan adalah semua orang yang berusia di bawah delapan belas
tahun. Lalu, apa yang dimaksud "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak" dalam Konvensi ILO No. 182 Tahun 1999 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak? “Bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak" adalah a) segala bentuk perbudakan atau
praktek sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak, kerja ijon
(debt bondage), dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja,
termasuk pengerahan anak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam
konflik bersenjata, (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk
pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan yang
bersifat porno, (c) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk kegiatan
terlarang, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan terlarang
sebagaimana diatur dalam perjanjian internasional yang relevan, (d) pekerjaan
yang sifat atau keadaan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak-anak.
Kekuatan mengikat Konvensi ILO 182 bagi suatu negara anggota
ILO tergantung pada ada tidaknya komitmen suatu negara untuk meratifikasi
konvensi tersebut. Bagi negara yang telah meratifikasi konvensi ILO 182 maka
negara tersebut wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin
pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, wajib
menyusun program aksi untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk
anak, mengambil langkah-langkah agar ketentuan konvensi ini dapat diterapkan
secara efektif, termasuk pemberian sanksi pidana serta wajib melaporkan
pelaksanaannya.
Bagaimana sikap Indonesia sebagai negara anggota ILO?
Indonesia merupakan satu dari sepuluh negara yang tergolong paling cepat
meratifikasi Konvensi ILO 182. Ratifikasi tersebut terwujud dengan membentuk
Undang-Undang No. 1 tahun 2000. Beberapa dasar yang melatarbelakangi keputusan
Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO 182 antara lain bahwa isi dari
konvensi tersebut dirasa mampu mengakomodasi tujuan sila-sila Pancasila yang
berkedudukan sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia khususnya
sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan
Rakyat telah membentuk Ketetapan Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
yang menugaskan Presiden dan DPR untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB yang
berkaitan dengan dengan hak asasi manusia, Indonesia telah meratifikasi
Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak tanggal 30 September 1990. Di samping
meratifikasi Konvensi ILO 182, Indonesia telah meratifikasi tujuh Konvensi ILO
yang memuat hak-hak dasar pekerja, termasuk Konvensi No. 138 Tahun 1973
mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 1999.
Selama ini, pengamalan Pancasila dan penerapan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan usaha perlindungan hak anak dirasa
masih ada beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pengesahan Konvensi ILO 182
diharapkan dapat dijadikan sebagai instrumen hukum yang lebih aplikatif dalam
melindungi hak anak khususnya untuk menghapuskan segala bentuk terburuk dalam
praktek mempekerjakan anak. Selain itu, ratifikasi tersebut diharapkan dapat
meningkatkan perlindungan dan penegakan hukum secara efektif sehingga
diharapkan akan lebih menjamin perlindungan anak dari segala bentuk tindakan
perbudakan dan pekerjaan yang berkaitan dengan praktek pelacuran, pornografi,
dan obat-obatan terlarang. Perlindungan yang dimaksud juga mencakup
perlindungan dari pekerjaan yang sifatnya dapat membahayakan kesehatan,
keselamatan atau moral anak-anak.
Dalam kaitannya dengan hubungan
internasional, ratifikasi Konvensi ILO 182 dapat dijadikan sebagai sarana untuk
menunjukkan kepedulian Indonesia terhadap perlindungan hak-hak anak sekaligus
dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Internasional terhadap Indonesia.
Ratifikasi Konvensi ILO 182 bukan merupakan langkah akhir
Indonesia dalam melindungi anak-anak. Kepedulian pemerintah selanjutnya
diwujudkan dengan pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak bertujuan untuk
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Selain
pembentukan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, adapula Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Anak dalam Keppres No. 88 Tahun 2002 yang lahir karena
didorong oleh keprihatinan mendalam terhadap berbagai kasus perdagangan anak.
Hal ini didasarkan pada kenyataan yang termuat dalam Trafficking in Persons
Report June 2001 yang diterbitkan oleh Departemen Luar Negeri Amerika
Serikat. Dalam laporan tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-tiga bahkan
pada laporan tahun 2005 menjadi pertingkat ke-dua dalam hal upaya
penanggulangan perdagangan anak.
Regulasi lain yang dibentuk Indonesia dalam rangka
memberikan payung hukum terhadap usaha perlindungan hak-hak anak antara lain
- Keppres No. 40 Tahun 2004 tentang Ranham 2004-2009 tentang Memasukkan agenda ratifikasi Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (2005) dan Protokol Opsional konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak Dalam Konflik Bersenjata (2006).
- Keppres No. 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak
- Keppres No. 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA)
- Keppres No. 88 Tahun 2002 tentang Rencana Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN P3A)
Tentu saja Indonesia bukan satu-satunya negara yang
meratifikasi konvensi internasional mengenai anak. Negara ASEAN yang juga
meratifikasi konvensi ILO adalah Filipina. Seperti Indonesia, Filipina juga
telah meratifikasi konvensi Konvensi ILO No. 138 tahun 1973 dan Konvensi ILO
No. 182 tahun 1999. Namun, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, Filipina juga
mengalami berbagai hambatan dalam implementasi konvensi-konvensi tersebut.
Hambatan-hambatan tersebut antara lain adanya perbedaan persepsi antar aparat
mengenai keberadaan buruh anak serta persepsi sosial budaya dan sistem
pendidikan yang kurang memadai bahkan pada tahun 2000-2001, ditemukan data
bahwa terdapat peningkatan buruh anak di Filipina. Pada tahun 1997, buruh anak
di Filipina berjumlah 3,7 juta anak dan terus meningkat rata-rata 3,8 persen
tiap tahun, hingga tahun 2001 menjadi 4,018 juta anak.
Jika dibandingkan dengan Indonsia dan Filipina,
negara-negara Eropa terhitung jauh lebih konsisten menerapkan konvensi
internasional mengenai anak. Di satu sisi, negara-negara Uni Eropa cenderung
menganut paham liberal namun negara-negara tersebut tetap memperhatikan dan
berusaha meminimalisir pengaruh negatif pornografi terhadap anak. Sebagai salah
satu bukti nyata, Uni Eropa berencana membuat sistem peringatan satu atap yang akan
membantu polisi menindak tegas praktek pornografi anak di internet. Komisi
Eropa akan memberikan kepolisian Eropa, Europol, sejumlah uang untuk membangun
sistem tersebut. Sistem ini memungkinkan setiap penyelidikan mengenai akses
pornografi oleh anak di bawah umur di negara anggota Uni Eropa berjalan lebih
efektif.
Contoh di atas menunjukkan komitmen negara-negara lain dalam
melindungi hak-hak anak. Memang, yang diperlukan untuk melindungi hak-hak anak
bukanlah sekedar pembentukan berbagai regulasi. Pembentukan regulasi akan
menjadi nihil jika tidak dibarengi dengan kerja sama antara suprastruktur dan
infrastruktur yang bergerak untuk menciptakan dunia yang lebih bersahabat
dengan anak.
No comments:
Post a Comment