M.RAKIB
LPMP RIAU INDONESIA..
Banayak bulan, di antara bulan,
Tidak semulaia, bulan puasa.
Banyaklah yang, dianggap Tuhan,
Tidak berkuasa, seperti Tuan Yang Esa
TUHAN TIDAK BERAWAL, MENURUT PROSES
DAN CAUSA PRIMA
Sedikit terbetik pemikiran mengenai
entitas Tuhan, bagaimana eksistensi kemuliaan-Nya kemudian tersebar dalam
berbagai bentuk dan penampakan di dunia. Adalah misteri bagi seluruh ciptaan (makhluk)
mengenai entitas ideal ini, yang mana "keber-ada-an"-Nya selalu
dipikirkan dan berusaha untuk difahami oleh makhluk berpikir; terutama
manusia.
Agama-agama (religions), sebagai
otoritas utama yang berusaha merunut "ide" tentang Tuhan, tersebar di
belahan bumi Barat dan Timur, berikut koridor-koridor filsafat yang senyatanya
membahas entitas Tuhan dan berusaha untuk melulu komprehensif dalam
"mencernanya". Entah itu menerima, mengakui, menegasikan dan
sebagainya, Tuhan tetaplah suatu hal yang menarik bagi makhluk berpikir;
utamanya manusia, di muka bumi.
Dalam KBBI, kata "Tuhan"
merujuk pada kesebenaran kata "tuan" yang dapat diartikan sebagai
berikut:
- orang tempat mengabdi, sebagai lawan kata hamba, abdi, budak: anjing itu sangat setia kepada -- nya;
- orang yang memberi pekerjaan; majikan; kepala (perusahaan dan sebagainya); pemilik atau yg empunya (toko dan sebagainya): hari ini -- saya tidak ada di kantor;
- orang laki-laki (yang patut dihormati): ada seorang -- datang kemari; sepeda -- , sepeda untuk orang laki-laki;
- sebutan kepada orang laki-laki bangsa asing atau sebutan kepada orang laki-laki yg patut dihormati: -- haji; -- sayid;
- sebutan bagi wanita bangsawan (putri raja dan sebagainya): -- putri
Dalam pemahaman lebih lanjut,
transformasi "tuan" menjadi "Tuhan" dalam pemahaman bahasa
melayu menurut ahli bahasa Remy Sylado yang menemukan bahwa perubahan kata
"tuan" yang tuan sifatnya insani, menjadi "Tuhan" yang
sifatnya ilahi itu bermula dari terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Melayu karya
Melchior Leijdecker yang terbit pada tahun 1733. Kini kata Tuhan yang mula-mula
ditemukan Leijdecker untuk mewakili dua pengertian pelik insani & ilahi
dalam teologi Kristen atas sosok Isa Almasih akhirnya menjadi lema khas dalam
bahasa Indonesia.
Konsep Tuhan, lebih lanjut dikaji
secara mendalam dalam kajian filsafat. Secara filsafat, prestasi dalam
pencarian Tuhan biasanya berujung pada penemuan eksistensi Tuhan saja, dan
tidak sampai pada substansi tentang Tuhan. Dalam istilah filsafat eksistensi
Tuhan itu dikenal sebagai absolut, berbeda (distinct) dan unik. Absolut artinya
keberadaannya mutlak bukannya relatif. Hal ini dapat dipahami, bahwa pernyataan
semua kebenaran itu relatif itu tidak benar. Kalau semua itu relatif, bagaimana
kita bisa mengetahui bahwa sesuatu itu relatif. Padahal yang relatif itu
menjadi satu-satunya eksistensi realitas. Ibarat warna yang ada di seluruh
jagat ini hanya putih, bagaimana kita bisa tahu putih padahal tidak ada
pembanding selain putih. Dengan demikian tidak bisa disangkal adanya kebenaran
itu relatif, dan secara konsisten tidak bisa disangkal pula adanya kebenaran
mutlak itu. Dengan kemutlakannya, ia tidak akan ada yang menyamai atau
diperbandingkan dengan yang lain (distinct). Kalau Tuhan dapat
diperbandingkan tentu tidak mutlak lagi atau menjadi relatif. Karena tidak
dapat diperbandingkan maka tuhan bersifat unik, dan hanya ada dia satu-satunya.
Kalau ada yang lain, berarti dia tidak lagi mutlak.
Salah satu argumentasi ontologis yang paling terkenal adalah argumentasi
yang dilontarkan oleh Anselmus, seorang uskup dari Canterbury. Dalam
argumentasinya, Anselmus menyatakan bahwa Tuhan itu adalah aliquid quo nihil
maius cogitari possit. Dalam bahasa Indonesia, ide tentang Tuhan dari
Anselmus ini bisa diartikan sebagai “yang lebih besar daripadanya tidak dapat
lagi dibayangkan.” Apa artinya argumentasi seperti ini? Argumentasi ini
menunjukkan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang lebih daripadanya tidak dapat lagi
dibayangkan sehingga absolutisme dan kesempurnaan Tuhan menjadi nyata disana.
Tuhan adalah yang tersempurna dari segala sesuatu yang eksis, dari segala
sesuatu yang ada. Mengapa demikian? Menurut Anselmus, jika Tuhan itu tidak ada
dan tidak eksis, maka akan masih ada substansi lain yang bisa dibayangkan yang
lebih besar daripada Tuhan. Bagi Anselmus, sebuah keadaan imajiner adalah
keadaan yang tidak eksis atau dengan kata lain: jika Tuhan hanya berada dalam
tataran konsep manusia, maka dia tidak pernah eksis dan tidak pernah menjadi
yang tersempurna dari semua yang eksis. Oleh karena itu, karena Tuhan dipahami
sebagai yang tersempurna, Ia harus ada, Ia harus eksis. Dalam keadaannya yang
eksis inilah, Tuhan menjadi pribadi yang paling sempurna sedemikian sehingga
tidak ada sesuatu lainnya yang eksis di dunia ini lebih besar daripada Tuhan.
Dengan demikian, eksistensi Tuhan dikatakan sebagai sesuatu yang necessary.
Artinya, secara prinsip, eksistensi Tuhan itu mutlak dan tidak mengandung
negasi di dalamnya. Argumentasi ontologis lain dikeluarkan oleh Descartes.
Dalam argumentasinya, Descartes menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan itu juga
merupakan sesuatu yang necessary sebab tidak mungkin untuk memikirkan
tentang Tuhan tanpa membuat eksistensi itu sebagai sebuah predikat dari Tuhan.
Jika Tuhan itu adalah sebuah kesempurnaan, maka Tuhan juga harus memiliki
eksistensi sebagai predikatnya. Dalam hal ini, Descartes memahami eksistensi
sebagai sebuah predikat kualitas.
Dalam kepercayaan Judaisme yang
secara ketat didasarkan pada unitarian monoteisme. Doktrin ini
mengekspresikan kepercayaan kepada satu Tuhan. Konsep Tuhan yang mengambil
beberapa bentuk (misalnya Trinitas) dianggap bidaah dalam Judaisme. Allah
adalah disusun sebagai zat yang kekal, pencipta alam semesta, dan sumber
moralitas. Allah mempunyai kuasa untuk campur tangan di dunia. Istilah Allah
sehingga terkait dengan kenyataan sebenarnya, dan bukan hanya proyeksi dari
jiwa manusia. Allah dijelaskan dalam pengertian seperti: "Ada satu Zat,
sempurna dalam segala cara, yang merupakan penyebab utama dari semua
keberadaan. Semua tergantung pada keberadaan Allah dan semua berasal dari
Allah. "
Konsekuensi dari kemutlakan ini
adalah Tuhan akan tidak terikat sama sekali dengan konsepsi ruang dan waktu.
Bagi entitas Tuhan, tidak dipengaruhi yang dulu atau yang akan datang
(periodisasi ke-waktu-an). Tuhan tidak memerlukan tempat (konsepsi
ke-ruang-an), sehingga pertanyaan tentang dimana Tuhan hanya akan membatasi
kekuasaannya. Maka baginya tidak ada kapan lahir atau kapan mati. Konsepsi ini
lebih lanjut merupakan linieritas pemahaman monoteistik atas entitas Tuhan dan
keber-ada-an-Nya.
Dalam konsepsi politeistik, dikenal
entitas supranatural yang majemuk yang dalam bahasa melayu dikenal dengan
sebutan "Dewa" (masculine) dan "Dewi" (feminine).Kata Dewa
muncul dari agama Hindu, yakni dari kata Deva atau Daiwa (bahasa
Sanskerta), yang berasal dari kata div, yang berarti sinar. Kata dewa
dalam bahasa Inggris sama dengan Deity, berasal dari bahasa Latin deus.
Bahasa Latin dies dan divum, mirip dengan bahasa Sanskerta div
dan diu, yang berarti langit, sinar (lihat: Dyaus). Kata deva
(sinar, langit) sama sekali tidak ada hubungannya dengan kata devil
(iblis; setan). Istilah dewa diidentikkan sebagai makhluk suci yang berkuasa
terhadap alam semesta. Meskipun pada aliran politeisme menyebut adanya banyak
Tuhan, namun dalam bahasa Indonesia, istilah yang dipakai adalah
"Dewa" (contoh: Dewa Zeus, bukan Tuhan Zeus). Biasanya istilah dewa
dipakai sebagai kata sandang untuk menyebut penguasa alam semesta yang jamak,
bisa dibayangkan dan dilukiskan secara nyata, sedangkan istilah Tuhan dipakai
untuk penguasa alam semesta yang maha tunggal dan abstrak, tidak bisa
dilukiskan, tidak bisa dibayangkan.
Lebih jauh mengenai permasalahan ini
dapat di baca dalam buku "Masa Depan Tuhan" karya Karen Armstrong.
Terlepas dari segala konsepsi benar
salah atas Tuhan, adalah menarik hubungan antara Tuhan (khalik) dan
ciptaannya (makhluk). Karena Tuhan; seperti terpapar sebelumnya, adalah
entitas yang terlepas dari konsepsi ruang dan waktu, maka Tuhan tidak mengenal
"proses" yang senyatanya bersandar pada ruang dan waktu. Lain halnya
dengan ciptaan (makhluk) apapun bentuknya; dalam dimensi alam
bagaimanapun; pastinya terjebak dalam hukum ruang dan waktu. Karenanya ciptaan
(makhluk) pastinya aksiomatik mengalami "proses".
Ruang dan waktu dalam pemahaman
filsafat muslim juga adalah ciptaan (makhluk), selayaknya segala firman
serta qada dan qadar (takaran / takdir). Karena selain Tuhan;
entitas tunggal, hanya ada makhluk / ciptaan (eksistensi dengan substansi
Tuhan). Hukum ini berkait dengan sifat Maha Pencipta dari Tuhan, dengan objek
luar selain pribadi Tuhan adalah keseluruhannya ciptaan. Ciptaan memiliki
"pertalian" dengan Tuhan yang kepada manusia dan makhluk hidup
lainnya (binatang dan tumbuhan) disebut ruh. Permasalahan ruh dalam
pemikiran psikologi kontemporer dikenal dengan istilah "kesadaran
keberadaan" atau thetan (terminology yang dipakai oleh pseudo-agama
Scientology).
Dalam Islam, Allah (Tuhan) dikatakan
begitu dekat dengan manusia bahkan "lebih dekat dari pada urat
leher"nya. Pemahaman yang didapat dari hal ini adalah keterkaitan
Tuhan dengan makhluk melalui ruh. Yang mana ruh
"ditiupkan langsung oleh Allah (Tuhan)" dan kembali kepada-Nya ketika
makhluk telah mengalami proses mati di alam dunia. Dapat dimaknai bahwa
dalam diri makhluk terdapat "kesadaran keberadaan" Tuhan yang
"mengendalikan" makhluk dengan hukum-hukum prosesnya (qada
dan qadar). Bentuk aktivitas makhluk dengan lain makhluk
(antar ciptaan) dalam "proses" sesuai dengan hukum (qada dan qadar)
adalah "interaksi". Interaksi ini bersifat "bebas kehendak"
(free-will) sesuai dengan kodrat (hukum; qada dan qadar)
masing-masing ciptaan berbanding ciptaan objek interaksinya, namun tetap tunduk
pada hukum pertanggung-jawaban (bagi ciptaan / makhluk yang diberi 'aql)
selaras dengan apa yang termaktub dalam QS 52:21, 74:38, 2:283, 102:8.
Kesetimbangan hukum-hukum ini
sebenarnya adalah 'ilmu Allah yang juga adalah makhluk dan bagian
dari Allah (Tuhan). Adalah "interaksi antar Tuhan" yang terjadi di
dunia (ruang dan waktu), dimana ketika tiada keber-ada-an selain Tuhan sendiri,
seluruhnya adalah manifestasi (Tuhan dalam manifesto-Nya). Sehingga secara
hipotesis, apapun yang terjadi, semua adalah karena "kehendak Allah
(Tuhan)" yang berinteraksi dengan diri-Nya sendiri (auto-interaction).
Karenanya hal ini sesuai dengan sifat Maha Tahu dan Maha Kuasa dari entitas
Tuhan. Hipotesis yang dapat diambil oleh saya adalah; Tuhan karena keterbebasan
dari ruang dan waktu (yang merupakan ciptaannya sehingga nihil Ia
"bertempat" di sana), "berproses" melalui celah ciptaannya
(keseluruhan makhluk) agar selaras dengan ejawantah (manifestasi)
sifat-sifat ke-ilahian-Nya. Dalam hal ini adalah cinta kasih (rahman dan
rahim) demi tercapainya kondisi ideal rahmatan lil alamin yang
merupakan Ia-Nya sendiri.
No comments:
Post a Comment