CARA
MENGGALI HUKUM
DARI AL-QURAN
M.RAKIB LPMP
PEKANBARU RIAU INDONESIA
CARA MENGGALI HUKUM DARI AL-QURAN
BAHASA ARAB HARUSLAH MENGERTI DAN PAHAM
BACA PULA TAFSIR YANG, AYAT AHKAM
DIRINCI MELALUI HADITS, YANG DISAHIHKAN
Cara Mengambil Hukum Dari Al-Quran.
Pertama, pahami bahasa Arab, atau terjemahan, karena al-Quran itu berbahasa
Arab. Dalam bahasa arab (منهج atau طريقة )
bermakna “cara” atau “jalan”. Maksudnya adalah cara atau jalan untuk
melakukan sesuatu baik dalam hal menemukan, menetapkan, mengkaji atau cara
menggali. Karena cara atau jalan ini berkaitan dengan hukum Islam, maka cara
atau jalan tersebut digunakan untuk menemukan hukum Islam. Cara atau jalan
untuk menggali dan menemukan hukum Allah ini, lazimnya disebut “ushul fikih”,
karena ushul fikih sendiri diartikan sebagai ilmu yang menyajikan berbagai cara
atau jalan (kaidah) yang digunakan untuk menggali dan menemukan hukum Allah
tersebut.
Berdasarkan
pengertian di atas, maka teranglah bahwa cara menggali hukum dari al-Quran
ialah melalui pengetahuan bahasa Arab dan gunakanlah qiyas,
istihsan, ‘urf, mashlahah, istishab, dzari’ah, qaul shahaby, syar’u man
qablana, termasuk juga kaidah-kaidah yang digunakan untuk
memahami hukum Allah melalui kajian kebahasaan nas Alquran dan hadis) dan
melalui kajian maqashid al-syari’ah. Beberapa
hal yang disebutkan di atas hanya berkedudukan sebagai cara, metode dan bukan
sebagai sumber hukum Islam sebagaimana yang dikemukakan para pakar ushul fikih
zaman klasik. Dikatakan demikian karena beberapa hal itu berfungsi hanya untuk
digunakan atau dipakai untuk menemukan hukum Allah, bukan mencari norma hukum
di dalamnya sebagaimana Alquran dan hadis.
Perbedaan
di antara sumber dan metode, sehingga dengan adanya kejelasan ini, kita sebagai
penstudi tidak lagi “latah” menggunakan kedua istilah itu.
Sedangkan
dalil yang berasal dari bahasa Arab (دلّ يدل دليلا، دلاّ، دلالة diartikan sebagai petunjuk. Maksudnya
sesuatu yang memberi petunjuk dan menuntun kita dalam menemukan hukum Allah. [2]
Dikatakan dalam bahasa lain bahwa dalil sesuatu yang dapat kita gunakan untuk
mengarahkan dalam menemukan hukum Allah atau dapat pula kita gunakan untuk
memperkuat hasil galian kita tentang hukum Allah tersebut.
Dalil
ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:
1. Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang
berasal dari nas langsung, yaitu Alquran dan Hadis.
2. Dalil aqli, yaitu dalil-dalil yang berasal
bukan dari nas langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu
Ijtihad.
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan Al-Sunnah, tetapi prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.[3]
Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan Al-Sunnah, tetapi prinsip-prinsip umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.[3]
Berdasarkan
pengertian dalil di atas, maka di sini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah
suatu petunjuk dalam menemukan hukum Allah. Dalil ini dapat berupa nas (Alquran
dan hadis) dan dapat pula berupa rasio, logika atau akal yang digunakan untuk
menemukan hukum Allah. Hal ini menunjukkan bahwa dalil memiliki dua makna yang
dapat bermakna sebagai sumber hukum Islam (Alquran dan Hadis) dan dapat pula
bermakna sebagai metode penggalian hukum Allah yang dikaji melalui ilmu ushul
fikih. Dengan demikian, ketika ada orang mengatakan Alquran dan Hadis merupakan
dalil dan ilmu ushul fikih juga disebut sebagai dalil, maka pendapat tersebut
benar.
B.
Alquran sebagai Sumber Hukum Pertama
1.
Pengertian Alquran
Secara
etimologis, Alquran adalah bentuk mashdar dari kata qa-ra-a (قرأ) se-wazan dengan
kata fu’lan (فعلأن), artinya: bacaan; berbicara tentang apa yang ditulis padanya;
atau melihat dan menelaah. Dalam pengertian ini, kata قران berarti مقرؤ , yaitu isim maf’ul objek dari kata قرأ.[4] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Qiyamah
(75): 17-18;
¨bÎ)$uZøn=tã¼çmyè÷Hsd¼çmtR#uäöè%urÇÊÐÈ#sÎ*sùçm»tRù&ts%ôìÎ7¨?$$sù¼çmtR#uäöè%ÇÊÑÈ
Artinya:
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di
dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami Telah selesai
membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu.
Arti Alquran secara terminology ditemukan dalam beberapa
rumusan defenisi sebagai berikut:
1. Menurut Syaltut, Alquran adalah; lafaz Arabi yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., dinukilkan kepada kita secara mutawatir.
Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kapada (jalan)
yang lebih lurus.
2. Al-Syakauni mengartikan Alquran dengan; Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tertulis dalam mushaf, dinukilkan secara
mutawatir.
3. Dafenisi Alquran yang dikemukakan Abu Zahrah ialah; Kitab
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad.
4. Menurut al-Sarkhisi, Alquran adalah; Kitab yang diturunkan
kapada Nabi Muhammad Saw., ditulis dalam mushaf, diturunkan dengan huruf yang
tujuh masyhur dan dinukilkan secara mutawatir.
5. Al-Amidi memberi defenisi Alquran; Al-kitab adalah Alquran
yang diturunkan.
6. Ibn Subki mendefenisikan Alquran; lafaz yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw., mengandung mukzijat setiap suratnya, yang beribadah
membacanya.
Dengan menganalisis unsur-unsur setiap definisi di atas dan
membandingkan antara satu definisi dengan lainnya, dapat ditarik suatu rumusan
mengenai definisi Alquran, yaitu; lafaz berbahasa Arab yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw., yang dinukilkan secara mutawatir.[5]
2. Kehujjahan Alquran
Tidak
ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin tentang Alquran itu sebagai
Argumentasi yang kuat bagi mereka dan bahwa ia serta hukum-hukum yang wajib
ditaati itu datang dari sisi Allah.
Sebagai
bukti bahwa Alquran itu datang dari sisi Allah ialah ketidaksanggupan
orang-orang membuat tandingannya, biar mereka itu adalah sastrawan sekalipun.
Ketika
Rasulullah Saw berada di Makkah, beliau diperintahkan oleh Allah agar
menjelaskan kepada orang banyak perihal Alquran dan bahwa ia adalah diluar
batas kemampuan manusia.
@è%ÈûÈõ©9ÏMyèyJtGô_$#ߧRM}$#`Éfø9$#ur#n?tãbr&(#qè?ù'tÈ@÷VÏJÎ/#x»ydÈb#uäöà)ø9$#wtbqè?ù't¾Ï&Î#÷WÏJÎ/öqs9urc%x.öNåkÝÕ÷èt/<Ù÷èt7Ï9#ZÎgsßÇÑÑÈ
Artinya;
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan Dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain".
Tetapi orang-orang kafir melancarkan tuduhan kepada Nabi
Muhammad bahwa beliaulah yang membuat Alquran itu. Kemudian Allah memerintahkan
menantang mereka dalam firmanNya;
÷Pr&tbqä9qà)tçm1utIøù$#(ö@è%(#qè?ù'sù;ouqÝ¡Î/¾Ï&Î#÷VÏiB(#qãã÷$#urÇ`tBOçF÷èsÜtGó$#`ÏiBÈbrß«!$#bÎ)÷LäêYä.tûüÏ%Ï»|¹ÇÌÑÈ
Artinya:
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad
membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu),
Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang
dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang
benar."[6]
3. Hukum-Hukum yang terkandung dalam Alquran
Sesuai
dengan definisi hukum syara’ sebagaimana telah dijelaskan, hanya sebagian kecil
dari ayat-ayat Alquran yang mengandung hukum, yaitu yang menyangkut perbuatan
mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat, dan ketentuan yang diterapkan.
Hukum-hukum tersebut mengatur kehidupan manusia, baik dalam hubungan dengan
Allah Swt. Maupun dalam hubungannya dengan manusia dan alam sekitarnya.
Secara
garis besar hukum-hukum dalam Alquran dapat dibahi tiga macam.
1. Hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Swt.
Mengenai apa-apa yang harus diyakini dan yang harus dihindari sehubungan dengan
keyakinannya, seperti keharusan mengesakan Allah dan larangan
mempersekutukan-Nya. Hukum yang menyangkut keyakinan ini disebut hukum
I’tiqadiyah yang dikaji dalam “ilmu tauhid” atau “ushuluddin”.
2. Hukum-hukum yang mengatur hubungan pergaulan manusia
mengenai sifat-sifat baik yang harus dimiliki dan sifat-sifat buruk yang harus
dijauhi dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum dalam bentuk ini disebut hukum
khuluqiyah yang kemudian dikembangkan dalam “ilmu Akhlak”.
3. Hukum-hukum yang menyangkut tindak tanduk manusia dan
tingkah laku lahirnya dalam hubungan dengan Allah SWT., dalam hubungan dengan
sesame manusia, dan dalam bentuk apa-apa yang harus dilakukan atau harus
dijauhi. Hukum ini disebut hukum amaliyah yang pembahasannya dikembangkan “ilmu
Akhlak”.[7]
4. Dalalah Alquran
Yang
dimaksud dengan dalalah dalam konteks pemahaman makna atau pengertian
dari nas ialah petunjuk yang dapat dijadikan pegangan untuk membawa kepada
pengertian yang dikehendaki. Dengan kata lain, dalalah berkaitan dengan
bagaimana pengertian atau makna yang ditunjukkan oleh nas dapat dipahami.
Dalam
kajian ushul fiqh, untuk dapat memahami nas apakah pengertian yang ditunjukkan
oleh unsur-unsur lafalnya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama’ ushul
menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath’i dan
zhanny. [8]
a.
Nas yang qath’i
dalalahnya ialah nas yang menunjukkan kepada makna yang bisa dipahami secara
tertentu, tidak ada kemungkinan dita’wilkan, Seperti firman Allah SWT:
öNà6s9ur ß#óÁÏR $tB x8ts? öNà6ã_ºurør& bÎ) óO©9 `ä3t £`ßg©9 Ó$s!ur ÇÊËÈ….
Artinya: dan bagimu (suami-suami)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak
mempunyai anak….. (QS>An-Nisa 4:12)
Ayat tersebut adalah qath’i
dalalahnya. Artinya bahwa bagian suami dalam keadaan seperti ini adalah
seperdua, tidak yang lain.
b.
Nas yang zhanny dalalahnya ialah nas
yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk dita’wilkan atau
dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain, Seperti firman Allah
SWT:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur ÆóÁ/utIt £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% ÇËËÑÈ….
Artinya: wanita-wanita yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu) t iga kali
quru'… ((QS>Al-Baqarah 2:228)
Padahal
lafadaz “quru” itu dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yaitu suci dan haid.
Maka ada kemungkinan bahwa yang dimaksud ayat tersebut tiga kali suci atau tiga
kali haid. Jadi ini berarti dhanni (tidak pasti) dalalahnya atas satu makna
dari dua makna tersebut.[9]
C.
Hadis sebagai Sumber Hukum Kedua
1.
Pengertian Hadis
Sunnah
atau hadis artinya adalah cara yang dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan
menurut istilah bahwa hadis adalah perkataan Nabi, perbuatannya dan taqrirnya
(yakni ucapan dan perbuatan sahabat yang beliau diamkan dengan arti membenarkannya).
Dengan demikian sunnah Nabi dapat berupa: sunnah Qauliyah (perkataan), Sunnah
Fi’liyah (perbuatan), Sunnah Taqriryah (ketetapan).[10]
2.
Macam-macam dan pembagian Hadits
Hadits dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu:
a.
Hadits mutawatir
Hadits mutawatir ialah hadits yang diriwayat oleh rawi yang
banyak dan tidak mungkin mereka mufakat berbuat dusta pada hadits itu,
mengingat banyaknya jumlah mereka.
1) Pembagian hadits mutawatir
-
Mutawatir lafzi, ialah hadits yang
serupa lafaz dan maknanya dari setiap rawi.
-
Mutawatir maknawi, ialah hadits yang
berbagai-bagai lafaz dan makna, akan tetapi didalamnya ada satu bagian yang
sama bagian yang sama tujuannya.[11]
b. Hadits ahad
Hadits ahad ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau
lebih tidak kebatasan hadits mutawatir.[12] Hadits ini tidak sampai kederajat
mutawatir yaitu Shahih, hasan, dhaif.
a.
Pembagian hadits ahad
-
Hadits shahih ialah hadits yang
berhubungan sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dhabith dari orang yang
seumpanya, terpelihara dari perjanjian bersih dari cacat yang memburukkan.[13]
-
Hadits hasan ialah hadits yang
dihubungkan sanad diriwayatkan oleh orang yang adil yang kurang dhabitnya,
terpelihara dari perjanjian dan bersih dari cacat yang memburukkan.[14]
-
Hadits dhaif ialah hadits yang
kurang satu syarat atau lebih diantara syarat-syarat hadits shahih dan hasan
atau dalam sanadnya ada orang yang bercacat.[15]
3. Kedudukan dan kehujjahan Hadits
Tidak ada perbedaan pendapat jumhur (ahlusunah wal jama’ah),
ulamak tentang hadits Rasul sebagai sumber hukum yang kedua sesudah Al-qur’an
dalam menentukan suatu keputusan hukum, seperti menghalalkan atau mengharamkan
sesuatu. kekuatannya sama dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu, wajib bagi
umat Islam menerima dan mengamalkan apa-apa yang tercandung di dalamnya selama
hadits itu sah dari Rasulullah SAW.
Lain halnya dengan golongan Syiah yang tidak mengakui semua
hadits yang dipandang sah oleh golongan ahlu sunnah sebab mereka hanya mengakui
sahnya suatu hadits atau khabar kalau diriwayatkan oleh imam-imam dan ahli
hadits mereka sendiri. Berbeda dengan ahli zahir mereka masih dapat menerimanya
selama hadits itu sah menurut kriteria ilmu hadits.
Kehujjahan sunnah berdasarkan beberapa ayat Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah Saw., diantaranya:
!$tBurãNä39s?#uäãAqߧ9$#çnräãsù$tBuröNä39pktXçm÷Ytã(#qßgtFR$$sù
Artinya;
apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa
yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah.(QS.Al-hasyr:7)
$pkr'¯»ttûïÏ%©!$#(#þqãYtB#uä(#qãèÏÛr&©!$#(#qãèÏÛr&urtAqߧ9$#
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (nya), (QS. An-Nisa: 59).
`¨BÆìÏÜãtAqߧ9$#ôs)sùtí$sÛr&©!$#(`tBur4¯<uqs?!$yJsùy7»oYù=yör&öNÎgøn=tæ$ZàÏÿymÇÑÉÈ
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah
mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami
tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa: 80).[16]
4. Hubungan Hadits dan Alquran
Al-hadits
didefinisikan oleh pada umumnya ulama seperti definisi Al-Sunnah sebagai
“Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan
dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun sesudahnya.” Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan
hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadis seperti
yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.[17]
Adapun fungsi As-Sunnah terhadap Alquran ditinjau dari segi penggunaan hujjah
dan pengambilan hukum-hukum syari’at bahwa As-Sunnah itu sebagai sumber hukum
yang sederajat lebih rendah dari Alquran.
Adapun fungsi As-Sunnah./hadis terhadap Alquran dari segi materi hukum yang
terkandung di dalamnya Ada tiga macam, yakni:
a.
Menguatkan (mu’akkid) hukum suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya di dalam Alquran.
b.
Memberikan keterangan (bayan)
terhadap ayat-ayat Alquran.
c.
Menciptakan hukum baru yang
tiada terdapat didalam Alquran.
Penutup
Dalil
adalah sesuatu yang diambil daripadanya hokum syara’ mengenai perbuatan
manusia. Istilah adillah al-ahkam dan al-mashadir al-tasyri’iyah lil-ahkam
adalah istilah-istilah dengan makna yang sama yang dalam bahasa Indonesianya
sering diterjemahkan dengan dalil-dalil hukum Islam, dasar-dasar hukum
Islam dan suber-sumber hukum Islam.
Alquran
ialah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw
dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril sebagai hujjah
(argumentasi) bagi-Nya dalam mendakwahkan kerasulanNya dan sebagai pedoman bagi
manusia yang dapat digunakan untuk mencari kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat serta sebagai media untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada
Allah dengan membacanya. As-sunnah Al-Qauliyah adalah (hadis) ialah
hadis-hadis yang berupa ucapan di dalam berbagai tujuan dan permasalahan.
[1]Amir syarifuddin, ushul fiqh 1,-- Ed.1.—Cet. 4.
Jakarta: PT kencana, 2008. h. 43.
Read more: http://www.abdulhelim.com/2012/06/alquran-dan-hadis-sebagai-sumber-hukum.html#ixzz3F8D36mBx
[2]Ibid.
[4]
Amir syarifuddin, ushul fiqh 1,.. h. 55.
[5]Ibid.,
h. 55-56.
[6]
Miftahul arifin, kaidah-kaidah penetepan hukum Islam.—Cet.1. Surabaya:
Citra Media, 1997. h. 81-83.
[7]
Amir syarifuddin, ushul fiqh,.. h. 69.
[9]
ibid.. Hal.93-94.
[10]
Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh, --Ed. 1. Cet. 4.—Jakarta: PT
RajaGrapindo Persada, 2003, h. 40.
[11]Ibid.,
h. 41.
[12]
Satria effendi. M. Zein, ushul fiqh, --Ed. 1. Cet. 2. – Jakarta: PT
Kencana, 2008. h. 118.
[13]
Nazar bakry, fiqh dan ushul fiqh,.. h. 42.
[14]Ibid.,
h. 43.
[15]Ibid.
[16]
Khairul umam, ushul fiqh 1, -- Cet. 2. Jakarta: CV Pustaka
Setia, 2000. h. 64-65.
[17]http://kajianislam.wordpress.com/2007/06/26/hubungan-hadis-dan-al-quran/. Diunduh tanggal
04-10-2011.
No comments:
Post a Comment