M.Rakib LPMP Riau
Indonesia 2014
Pukul anak, ada hikmahnya tuan,
Asalkan saja, jangan berlebihan.
Ada hadits dan ayat Al-Qur'an,
Sesuai psikologi, yang punya keahlian.
Pukul anak, ada hikmahnya tuan,
Asalkan saja, jangan berlebihan.
Ada hadits dan ayat Al-Qur'an,
Sesuai psikologi, yang punya keahlian.
MEMUKUL ANAK TIDAK SHALAT
ADA HIKMAH DAN MAQOSHID AL-SYARI’AHNYA
M.RAKIB LPMP RAIU
INDONESIA 2014
Hikmah pertama, supaya anak sampai hari tuanya mengingat bahwa
shalat itusangat-sangat penting. Kedua, suapaya si anak jujur dan jentelmen
mengakui kesalahnnya.2 supaya anak sampai dewasa mematuhi aturan hukum secara
transparans, tidak menutup-nutupi untuk menghindarinya. Hasil renungan penulis
ini, seperti ada kaitannya dengan hasil penelitian Marjori Gunnoe.
Nah jika ingin memukul anak, pertama
tidak boleh menimbulkan bekas atau luka. Kedua, tidak memukul dengan keras dan Ketiga,
tidak boleh menyebabkan masalah kesehatan mental dalam jangka waktu panjang.
“Orangtua tidak boleh memukul anaknya dengan sembarangan apalagi jika menggunakan alat,” ujar Marjorie Gunnoe, seorang profesor psikologi di Calvin College, Grand Rapids, Michigan, seperti dikutip dari Telegraph, Senin (4/1/2010). Bagaimana memukul yang diperbolehkan? Gunnoe menjelaskan sebuah tepukan ringan seringkali menjadi cara paling efektif untuk mengajarkannya agar tidak melakukan sesuatu yang berbahaya atau merugikan orang lain. Pukulan ringan itu pun hanya berlaku sampai usianya 6 tahun. Berdasarkan hasil penelitiannya, anak yang dipukul hingga usia 6 tahun memiliki sifat positif yang lebih baik diantaranya dalam hal akademis dan optimisme, dan tidak memiliki sifat negatif yang buruk. Tapi anak yang masih sering dipukul hingga usia 11 tahun memiliki sifat negatif seperti terlibat dalam perkelahian.
Penelitian itu juga menunjukkan anak yang dipukul ringan oleh orangtuanya hingga usia 6 tahun akan memiliki prestasi sekolah yang lebih baik dan lebih optimis. Anak-anak ini nantinya akan lebih bersemangat dalam hal belajar, mengejar cita-citanya untuk masuk universitas terkemuka serta membantunya lebih optimis dalam hal meraih mimpinya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah dipukul sama sekali oleh orangtuanya. Penelitian ini melibatkan 179 remaja yang ditanya mengenai seberapa sering mereka dipukul saat masih anak-anak dan pada usia berapa terakhir kali orangtua memukulnya. Jawaban yang didapat dibandingkan dengan perilakunya termasuk kelakuan negatif seperti anti sosial, aktivitas seksual yang lebih dini, kekerasan, depresi serta kelakuan positif lainnya.
Hal yang boleh dilakukan oleh orangtua adalah hanya melakukan tepukan ringan, sementara jika lebih dari itu sudah termasuk dalam kekerasan dan merupakan cara mendidik anak yang salah.
Cara mendidik dengan memberikan tepukan ringan jika anak melakukan kesalahan sebaiknya juga diiringi dengan kata-kata positif agar anak tahu apa kesalahannya.
Jika tepukan ringan tersebut dilakukan dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, maka anak akan lebih mengerti dan juga membantunya untuk berprestasi disekolah serta lebih optimis.Tapi orangtua tidak boleh memukul anak di daerah wajah atau dengan menggunakan alat, karena bisa mengembangkan masalah-masalah perilaku atau mental seperti menjadi agresif.
http://health.detik.com/read/2010/01/04/134531/1271244/764/cara-memukul-anak-yang-dibolehkan
<p>Your browser does not
support iframes.</p>
|
<p>Your browser does not
support iframes.</p>
|
1. Pengertian Maqashid Syariah
Maqashid al-Syari’ah
terdiri dari dua kata yaitu maqashid dan asy-syari’ah. Sebelum
menjelaskan pengertian maqashid asy-syari’ah secara istilah terlebih dahulu
dijelaskan pengertiannya secara bahasa (lughawi).
Secara bahasa, maqashid
merupakan jama’ dari kata maqshid yang berarti kesulitan dari apa yang
ditujukan atau dimaksud.1 Secara akar bahasa, maqashid
berasal dari kata qashada, yaqshidu, qashdan, qashidun, yang berarti
keinginan yang kuat, berpegang teguh, dan sengaja.2 Namun, dapat
juga diartikan dengan menyengaja atau bermaksud kepada (qashada ilaihi).3
Sebagaimana firman Allah SWT : “Wa’alallahi Qashdussabili”, yang
artinya, Allah lah yang menjelaskan jalan yang lurus.4
Sedangkan kata asy-syari’ah
berasal dari kata syara’a as-syai yang berarti menjelaskan sesuatu, atau
diambil dari asy-syar’ah dan asy-syari’ah dengan arti tempat
sumber air yang tidak pernah terputus dan orang datang ke sana tidak memerlukan
alat.5 Terkadang bisa juga diartikan sumber air, di mana orang ramai
mengambil air. Selain itu asy-syari’ah berasal dari akar kata syara’a,
yasri’u, syar’an yang berarti memulai pelaksanaan suatu pekerjaan,6
dengan demikian asy-syari’ah mempunyai pengertian pekerjaan yang baru
mulai dilaksanakan. Syara’a juga berarti menjelaskan, menerangkan dan
menunjukkan jalan. Syar’a lahum syar’an berarti mereka telah menunjukkan
jalan kepada meraka atau bermakna sanna yang berarti menunjukkan jalan atau
peraturan.7
Jadi, secara bahasa syari’ah
menunjukkan kepada tiga pengertian, yaitu sumber tempat air minum, jalan yang lurus
dan terang dan juga awal dari pada pelaksanaan suatu pekerjaan.8
Syariat adalah hukum yang ditetapkan
oleh Allah bagi hamba-Nya tentang urusan agama, atau, hukum yang ditetapkan dan
diperintahkan oleh Allah baik berupa ibadah (shaum, shalat, haji, zakat, dan
seluruh amal kebaikan) atau muamalah yang menggerakkan kehidupan manusia (jual,
beli, nikah, dan lain-lain). Allah SWT berfirman:
الامر من ىعه شر على جعلنا ثم
“kemudian kami jadikan kamu berada
di atas sebuah syariat, peraturan dari urusan agama itu” (QS. al- Jatsiyah
:18).9
Dengan mengetahui pengertian maqashid
dan asy-syari’ah secara bahasa, maka dapat membantu kita menjelaskan pengertian
yang terkandung dalam istilah, yaitu tujuan-tujuan dan rahasia-rahasia yang
diletakkan Allah dan terkandung dalam setiap hukum untuk keperluan pemenuhan
manfaat umat. Atau tujuan dari Allah menurunkan syari’at, dimana menurut
al-Syatibi tujuan dari pada maqashid asy-syari’ah adalah untuk
mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.10
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa
maqasid asy-syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam
segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan
sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang
ditetapkan oleh al-syari’ dalam setiap ketentuan hukum.11
Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan maqashid
asy-syari’ah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum
partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa
perintah, larangan dan mubah, untuk individu, keluarga, jamaah dan umat,12
atau juga disebut dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum,
baik yang diharuskan ataupun tidak.13 Karena dalam setiap hukum yang
disyari’atkan Allah kepada hambanya pasti terdapat hikmat,14 yaitu
tujuan luhur yang ada di balik hukum.15
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan maqashid
asy-syari’ah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam
mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid
asy-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah,
yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’,
berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya,
syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama
Allah SWT.16 Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah
maqashid al-syari’ah ini diidentik dengan filsafat hukum islam.17
2. Mempertimbangkan antara
Maqashid Syariah dan Detail-Detail Nash
Yang menjadikan keharusan di sini
adalah mempertimbangkan antara dua hal yang sama-sama pentingnya, yaitu
memelihara maqashid “tujuan” syariah yang menyeluruh (kulli) dan memelihara
nushush yang parsial (juz’i).18
Kesimpulannya adalah bahwa tujuan
syariat itu untuk mencapai kebaikan, maslahat bagi manusia, dan menghindari
bahaya dan kerusakan mereka. Inilah tang menjadi pusat kajian Imam asy-Syatibi
dalam kitab muwafaqat yang menjadikan ilmu dan pemahaman merupakan sebab
ijtihat bukan hanya sekadar syarat. Ini pula yang kita terangkan yang dilakukan
oleh para sahabat terutama Khulafaur-Rasyidin, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Aisyah,
Zaid bin Tsabit, dan lainnya.
3. Kategori Hukum (Maqashid
asy-Syari’ah)
Imam asy-Syathibi berpandangan bahwa
tujuan utama dari maqashid asy syari’ah adalah untuk menjaga dan memperjuangkan
tiga kategori hukum yaitu antara lain :
a) Daruriyyat
Secara bahasa berarti kebutuhan yang
mendesak atau darurat. Dalam kategori ini ada lima hal yang perlu diperhatikan,
yaitu memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara
kehormatan dan keturunanan, serta memelihara harta benda. Dalam kebutuhan
Daruriyyat, apabila tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka akan mengancam
keselamatan umat manusia di dunia maupun di akhirat.19
b) Hajiyyat
Secara bahasa berarti
kebutuhan-kebutuhan sekunder. Apabila kebutuhan ini tidak terwujud tidak sampai
mengancam keselamatan, namun akan mengalami kesulitan. Untuk menghilangkan
kesulitan tersebut, dalam Islam terdapat hukum rukhsa (keringanan) yaitu hukum
yang dibutuhkan untuk meringankan beban, sehingga hukum dapat dilaksanakan
tanpa rasa tertekan dan terkekang.20
c) Tahsiniyyat
Secara bahasa berarti hal-hal
penyempurna. Tingkat kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap. Apabila
kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka tidak akan mengancam dan tidak pula
menimbulkan kesulitan.21
4. Unsur-Unsur yang Membentuk
Maqashid Asy Syari’ah
Secara umum, tujuan-tujuan hukum
dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yang luas.22 Dalam sub
kategori yang pertama, Syatibi membahas maksud Tuhan yang sebenarnya dalam
menetapkan hukum, dalam hal ini untuk melindungi kemaslahatan manusia (baik
yang berkenaan dengan duniawi maupun agama). Sepanjang yang diakui oleh
prinsip-prinsip dharuriyyah, hajiyah, takhsiniyyah. Dalam sub kategori yang
kedua, Syatibi membicarakan tentang maksud Tuhan membuat syariat. Dengan
demikian syariat mestilah dapat dipahami oleh orang awam dan tidak boleh
dimengerti oleh kalangan tertentu. Jadi, tujuannya adalah agar orang-orang yang
beriman dapat mengenali hukum Allah, karena jika mereka tidak mengerti bahasa
yang digunakan oleh hukum itu, maka berarti mengabaikan hukum itu sendiri. Sub
kategori yang ketiga cenderung mudah dipahami, dan pada sebagian besar dari
tulisan bagian ini mengatakan bahwa dalam menurunkan hukumnya menghendaki agar
umat Islam mematuhi peraturannya secara menyeluruh.
Begitulah semestinya pelanggaran
atas hukum secara sengaja dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan jenis
pelanggarannya tersebut. Dapat pula dinyatakan bahwa ada perbuatan yang
praktiknya melanggar hukum padahal niatnya tidak demikian. Tampak bahwa
kehendak manusia dalam wacana Syatibi sejauh ini dijelaskan dengan menjadikan
sufi sebagai contoh. Namun disini dia melajutkan diskusi tentang siasat hukum
(biyal) dalam hubungan yang erat, ataupun tidak, antara kehendak Tuhan dan
keinginan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa sasarannya kali ini berpindah dari
kaum sufi kepada kelompok ahli fiqih yang dianggapnya telah bertindak
berlebih-lebihan dalam menyepelekan hukum, barangkali dalam menyampaikan
kritikannya pada para ahli fiqih tersebut. Ia berpendapat bahwa tujuan utama
biyal adalah untuk mencegah berlakunya suatu hukum atau menggantinya dengan ketentuan
yang lain agar tidak terjadi akibat yang tidak diinginkan oleh hukum.23
5. Norma-Norma Hukum Maqashid
asy-Syari’ah
Pembahasannya pada
perbuatan-perbuatan yang berkategori mubah, yang baik dilakukan ataupun tidak
sama-sama diperbolehkan, dan tidak mengakibatkan pahala maupun dosa. Syatibi
mengembangkan sebuah penjelasan dan taksonomi baru mengenai mubah. Menurutnya
perbuatan-perbuatan yang termasuk mubah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian
yang masing-masing terbagi lagi menjadi dua sub-kategori.
Perbuatan itu menjadi sesuatu yang
dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka akan mejadi mandub atau wajib.
Kedua adalah perbuatan yang dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika
perbuatan itu merugikan dalam skala yang lebih luas, maka perbuatan tersebut
menjadi makruh atau haram.Dari dua pembagian ini kemudian memunculkan empat sub
kategori, yaitu :
1)
Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun secara keseluruhan bisa menjadi
mandub.
2)
Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dala skala luas dapat menjadi wajib.
3)
Perbuatan yang pada dasarnya mubah tetapi dalam skala besar dapat menjadi
makruh.
4)
Perbuatan yang pada dasarnya mubah namun dalam kerangka yang lebih luas dapat
menjadi haram.
Jadi, garis yang membedakan antara
perbuatan mubah yang diperbolehkan atau tidak adalah karena kadar dan frekuensi
perbuatan tersebut. Perbuatan-perbuatan yang mandub dan makruh dapat dianalisa
dengan pembagian yang serupa. Sebuah perbuatan yang berstatus mandub, tetapi
dalam kerangka yang luas yaitu universal dan dilakukan secara rutin akan
menjadi wajib. Demikian pula halnya dengan perbuatan yang dipandang makruh
apabila dilakukan sekadarnya saja, akan menjadi haram ketika terlalu sering
dilakukannya.
Syatibi kemudian menambahkan norma
yang kemudian dianggap bagian yang tidak terpisahkan dari hukum. Norma ini juga
memperkuat dua norma lain yaitu mandub dan makruh dan memperkenankan
penyimpangan dan toleransi dalam hukum. Syatibi kemudian menyebut norma ini
sebagai ‘afw, sebuah konsep yang mewakili sesuatu yang belum atau tidak
memiliki status hukum atau yang telah memiliki status hukum, tetapi dalam hal
telah memiliki status hukum, orang yang mengerjakannya tidak tahu atau lupa
akan status hukum perbuatan tersebut. Sebuah sejarah yang bermula dari hadis
nabi ‘afw: “orang yang paling bersalah adalah orng yang menanyakan
tentang sesuatu yang sebelumnya tidak dilarang, kemudian menjadi dilarang
setalah dinyatakan status hukumnya”.24
Maksud dari hadis tersebut adalah
bahwa selama sebuah perbuatan tidak memiliki status hukum yang jelas, maka
perbuatan itu termasuk yang tidak berstatus hukum. Jika suatu masalah belum
memiliki status hukum, maka seorang muslim selama ia tidak meminta pandangan
seorang ahli hukum, boleh melakukannya tanpa memperoleh pahala atau dosa.
Dalam masalah-masalah dimana norma
hukum telah ditetapkan, ‘afw berarti menjadikan dosa, apapun masalahnya
selama ada alasan yang kuat untuk itu. Melakukan sebuah perbuatan yang dilarang
karena lupa tidak mengakibatkan dosa.
Yang termasuk juga dalam kategori
ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan seseorang
untuk melaksanakannya. Dalam hal ini ketentuan yang berlaku yang dikenal dengan
‘azima dan rukhsah. Diperbolehkannya menggunakan rukhsah karena
adanya kebutuhan yang mendesak, namun dalam menghilangkan kesulitan bukan hanya
berdasarkan kebutuhan yang mendesak tetapi juga karena ketidakmampuan pada
kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan.
6. Tujuan Allah menurunkan
syariat
Tujuan Allah Swt menurunkan syari’at
menurut asy-Syatibi terbagi dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu :
a) Maksud Allah Swt dalam
memberlakukan syari’at (qasdu al-syari’ fi wad’i al-syariah)
Dalam pembahasan ini imam Syatibi
menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT memberlakukan syariah adalah untuk kemaslahatan
hambanya baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian ia membagi maslahat menjadi
tiga bagian; yang pertama dharuriyah (primer), yang kedua hajiyah (sekunder),
yang ketiga takhsiniyah (tertier).
Dharuriyah adalah sesuatu yang harus
ada untuk mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhirat. Jika tidak ada, maka
bisa menyebabkan kehancuran dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dharuriyah
ini, menurut penelitian, mencakup pada pemeliharaan terhadap lima hal;
hizfhuddin (agama), hizfhunnafs (jiwa), hizfhunnasl (keturunan), hizfhunmaal
(harta) dan hizfhun ‘aqal (akal).
Untuk menjaga hal-hal tersebut, imam
Syatibi menawarkan dua cara pendekatan. Pertama dari sisi al-wujud (yang
mengokohkan eksistensinya atau positif) dan al-‘adam (menjaga hal-hal yang bisa
merusak maupun menggagalkannya atau bersifat preventif).
Sebagai contoh, pemeliharaan agama
dari sisi positif dengan menetapkan kewajiban ibadah misalnya shalat, puasa,
zakat, dan haji, serta dari sisi preventif dengan disyariatkannya jihad.
Kemudian hajiyah adalah sesuatu yang
diperlukan keberadaannya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka akan
membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai pada tahap kehancuran seperti
yang pertama tadi. Misalnya boleh menqashar shalat dalam perjalanan.
Sementara takhsiniyah adalah sesuatu
yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak
maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Contohnya menutup
aurat dalam ibadah dan menjauhi makanan dan minuman yang haram dan bernajis.
Ketiga tingkatan di atas berderet
secara urut. Artinya, ketika terjadi sebuah kasus pertentangan antara
dharuriyah dan hajiyah atau takhsiniyah, maka yang diutamakan adalah yang
dharuriyah. Misalnya shalat, ketika pada satu kasus tidak bisa menutup aurat maka
shalatnya tetap harus dilakukan, dan tidak boleh menggugurkan shalat gara-gara
tidak bisa menutup aurat. Namun dalam keadaan normal, tingkatan-tingkatan ini
saling melengkapi, yang takhsiniyah melengkapi hajiyah, kemudian melengkapi
dharuriyah.
Oleh karena itu, imam Syatibi
kemudian menyimpulkan sebuah kaidah dharuriyah adalah asas bagi hajiyah dan
takhsiniyah. Ketika dharuriyah gugur maka yang lainpun ikut gugur, tapi tidak
sebaliknya, namun kadang-kadang gugurnya hajiyah dan takhsiniyah secara mutlak
bisa mempengaruhi kualitas dharuriyah, karena itu hajiyah dan takhsiniyah perlu
dipelihara untuk dharuriyah.
b) Tujuan Allah Swt menurunkan
syari’at untuk bisa dipahami (qasdu al-syari’ fi wad’i al-syariah lil ifham)
Ada dua hal penting yang disinggung
oleh imam Syatibi dalam pokok pembahasan ini. Yaitu syariah diturunkan dengan
menggunakan bahasa Arab, dan syariah ini bersifat ummiyyah. Oleh karena itu
imam Syatibi mensyaratkan bagi orang yang ingin memahami syariah ini, maka ia
harus memahaminya dari sudut pandang lisan Arab, dan bukan yang lain.
Sementara yang dimaksud dengan
ummiyyah, imam Syatibi menjelaskan bahwa syariah ini diturunkan kepada umat
yang ummi, yang tidak mengetahui ilmu-ilmu lain, ia mengibaratkannya dengan
keadaan mereka sama seperti ketika dilahirkan, tidak belajar ilmu apa-apa. “wal
ummi mansubun ila al umm, wa huwa al baqi ‘ala ashli wiladati al umm lam
yata’allam kitaban wa la ghairahu”. Atau secara sederhana, barangkali kita
bisa mengatakan mereka disebut ummi karena pengetahuan mereka tidak pernah
melampaui lingkungannya.
Hal ini tidak lain untuk menegaskan
bahwa al Qur’an adalah mu’jizat yang turun dari Allah SWT dan bukan jiplakan
atau kumpulan dari ilmu-ilmu dan agama yang ada di luar Arab, seperti yang
dituduhkan oleh orang-orang yang tidak mengakui Nabi Muhammad Saw waktu itu.
c) Tujuan Allah Swt menurunkan
syari’at untuk dijalankan (qasdu al-syari’ fi wad’i al-syariah li al taklif
bi muqtadlaha)
Dalam pembahasan ini, imam Syatibi
menyoroti dua hal; pertama taklif (pembebanan) di luar kemampuan, yang kedua
taklif dengan yang mengandung unsur masyaqqah (kesulitan).
Yang pertama tidak terlalu ia
jelaskan secara panjang lebar, sebab persoalan ini memang sudah jelas, setiap
taklif di luar kemampuan manusia maka ia tidak sah karena tidak mungkin
dilakukan oleh manusia. Kemudian ia mengurai persoalan yang timbul pada
nash-nash yang nampak diluar kemampuan manusia (seperti perintah untuk
mencintai atau larangan marah) dengan melihat pengantarnya maupun dampaknya.
Ketika misalnya syariat melarang marah pada hakekatnya bukan melarang marahnya,
sebab marah adalah tabiat yang tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, tetapi
yang dilarang adalah melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan atau hal-hal
yang diakibatkan oleh marah seperti dendam pertengkaran dan sebagainya.
Sementara yang kedua yaitu taklif
dengan ada unsur masyaqqahnya lebih ia terangkan secara agak panjang. Ia
menjelaskan bahwa Allah memberlakukan taklif yang ada unsur masyaqqahnya bukan
bermaksud untuk memberikan masyaqqah pada manusia, tapi meraih maslahah yang
ada dibalik taklif tersebut. Oleh karena itu ia kemudian menegaskan seseorang
tidak boleh melakukan aktifitas dengan masksud mencapai masyaqqahnya, karena
hal ini bertentangan dengan tujuan kemudahan bagi manusia yang ada dalam
syariat.
Lebih jauh ia memaparkan, pada
dasarnya setiap aktifitas mengandung unsur masyaqqah di dalamnya, seperti
shalat, haji, bekerja dan lain sebagainya. Namun masyaqqah itu pada umumnya
masih bisa diterima dan dipikul oleh manusia, bahkan orang-orang yang
menghindari aktifitas-aktifitas tersebut dengan dalih masyaqqah di dalamnya
bisa dikategorikan ke dalam kelompok orang malas.
Ia juga memperhatikan bahwa
kadang-kadang perasaan adanya masyaqqah ini secara tidak sadar muncul karena
didorong oleh nafsu yang menentang melakukan perintah-perintah syariat, maka di
sini ia mengingatkan bahwa termasuk tujuan Allah SWT memberlakukan syariat
adalah supaya manusia tidak tertawan dan dikendalikan oleh nafsunya sehingga ia
bisa menjadi hamba Allah SWT dengan baik.
Apabila masyaqqah yang ada ini sudah
diluar kemampuan manusia umumnya atau memberatkan, maka syariat mentolelirnya
dengan adanya rukhshah (keringanan) seperti yang terjadi pada orang yang sakit
ketika ia tidak mampu untuk shalat berdiri, ia diperkenankan untuk duduk dan
seterusnya. Pada akhirnya ia menyimpulkan bahwa syariat yang diturunkan oleh
Allah SWT ini seimbang diantara terlalu berat dan terlalu ringan.
d) Tujuan Allah Swt menurunkan
syari’at untuk semua hambanya (qasdu al-syari’ fi dukhuli al-mukallaf tahta
ahkam al-syariah)
Dalam point pembahasan ini, imam
Syatibi menjelaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT ini berlaku
untuk semua hambanya, tidak ada pengecualian selain dengan sesuatu yang sudah
digariskan oleh syariat.
Kemudian ia memaparkan lebih lanjut
bahwa tujuan peletakan syariah adalah untuk membebaskan seorang hamba dari
belenggu hawa nafsunya, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela sebagai
hamba Allah SWT, sebagaimana halnya ia tidak bisa melepaskan diri dari predikat
hambanya.
Dalam bahasanya imam Syatibi
mengatakan: “al maqshad al syar’iy min wad’i al syariah ihraju al mukallaf
‘an da’iyati hawahu, hatta yakuna ‘abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu ‘abdan
lillahi idltiraran”. Oleh karena itu ia kemudian menyimpulkan setiap amal
yang didasari dorongan nafsu secara mutlak tanpa melihat perintahnya atau
larangan maka ia mutlak tidak sah, karena amal yang seperti itu pasti dilandasi
kepentingan-kepentingan terselubung yang tidak ada kaitannya dengan syariat.
Kemudian ia juga mencoba membahas
tentang sebuah amal yang mengandung dua unsur di dalamnya; tunduk pada perintah
Allah SWT dan nafsu, maka amal tersebut dihukumi sesuai dengan unsur yang
paling dominan antara keduanya. Namun ia tidak lupa untuk buru-buru mengingatkan
bahayanya mentolelir nafsu dalam diri manusia meskipun dalam
aktifitas-aktifitas yang positif, karena ia bisa menjalar tanpa disadari
sehingga pada akhirnya menguasai dirinya.
Sementara itu pada maqashid yang
kedua, yaitu maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf),
imam Syatibi berbicara mengenai peran sentral motif dan niat yang menjadi dasar
dari sebuah amal. Niatlah yang menjadikan amal seorang hamba sah dan diterima
atau tidak, niatlah yang bisa menjadikan amal sebagai ibadah atau sekedar amal
biasa, menjadikan ia wajib atau sunnah dan seterusnya.
Ia lalu menyontohkan sebuah amal
jika didasari motif yang berbeda konsekwensinya pun akan berbeda. Misalnya
sujud, ia bisa membuat orang menjadi mukmin yang bertakwa atau bahkan kafir, kembali
pada niatnya. Oleh karena itu imam Syatibi kemudian membuat beberapa kesimpulan
menyangkut hal ini;
- Niat dan motif yang digerakkan oleh seorang hamba tidak boleh melenceng dari garis syariat.
- Siapapun yang dalam menjalankan perintah Allah SWT punya maksud lain tidak seperti yang dimaksudkan oleh syariat, maka amalnya batal.
Di sini kemudian muncul sebuah
persolan, bagaimana bagi seorang hamba yang tidak mengetahui tujuan syariah
dalam setiap syariatnya? Imam Syatibi kemudian memberi tiga solusi untuk
mengatasi persoalan ini;
- Dalam melakukan amal yang diperintahkan, seorang hamba harus berupaya sebisa mungkin menyesuaikan maksudnya dengan tujuan syariat, jika ia telah yakin maksudnya selaras dengan tujuan syariat, ia tetap tidak boleh menyingkirkan unsur ta’abbud (beribadah) kepada Allah SWT, sehingga ia tidak lepas dari arah menuju Allah SWT.
- Ia hanya bermaksud patuh terhadap perintah Allah SWT, dan menjalankan syariat persis seperti yang diajarkan.25
7. Peranan Maqashid Syari’ah
dalam Pengembangan hukum
Pengetahuan tentang Maqashid
Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal sangat
penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi al-Qur’an dan
Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting
lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh
Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.26
Metode istinbat, seperti qiyas,
istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam
yang didasarkan atas Maqashid Syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan
bilamana dapat ditemukan Maqashid Syari’ah-nya yang merupakan alasan logis
(‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya
minuman khamar (QS.al-Maidah: 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa
Maqashid Syari’ah dari diharamkannya minuman khamar ialah sifat memabukkannya
yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘iilat)
dari keharaman khamar adalah sifat memabukkannya, sedangkan khamar itu sendiri
hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan
metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram.
Dengan demikian, ‘iilat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka
terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa
dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan
tempat mengqiyaskannya yang dikenal dengan al-mawis ‘alaih (tempat
meng-qiyas-kan).
Jika tidak ada ayat atau hadis
secara khusus yang akan dijadikan al-maqis ‘alaih, tetapi termasuk dalam tujuan
syariat secara umum seperti untuk memelihara sekurangnya salah satu dari
kebutuhan-kebutuhan di atas tadi, dalam hal ini dilakukan metode maslahah
mursalah. Dalam kajian Ushul Fiqh, apa yang dianggap maslahah bila sejalan atau
tidak dengan petunjuk-petunjuk umum syariat, dapat diakui sebagai landasan
hukum yang dikenal maslahah mursalah.
Jika yang akan diketahui hukumnya
itu telah ditetapkan hukumnya dalam nash atau melalui qiyas, kemudian karena
dalam satu kondisi bila ketentuan itu diterapkan akan berbenturan dengan
ketentuan atau kepentingan lain yang lebih umum dan lebih layak menurut syara’
untuk dipertahankan, maka ketentuan itu dapat ditinggalkan, khusus dalam
kondisi tersebut. Ijtihad seperti ini dikenal dengan istihsan. Metode
penetapan hukum melalui maqashid syari’ah dalam praktik-praktik istinbat
tersebut, yaitu praktik qiyas, istihsan, dan istislah (malsahah mursalah), dan
lainnya seperti istishab, sad al-zari’ah. dan ‘urf (adat kebiasaan), di samping
disebut sebagai metode penetapan hukum melalui maqashid syari’ah, juga oleh
sebagian besar ulama ushul fiqh disebut sebagai dalil-dalil pendukung. Di bawah
ini akan dijelaskan tentang metode-metode yang berdasarkan atas maqasyid
syari’ah.
A. Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan
meminta berbuat kebaikan, yakni menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya
kebaikan. Menurut al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa juz I : 137, “istihsan
adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya”.27
Fuqaha Hanafiyah membagi istihsan menjadi dua macam yaitu :
- Pentarjihan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata).
Seorang pewakaf apabila mewakafkan
sebidang tanah pertanian, maka masuk pula secara otomatis hak perairan
(irigasi), hak air minum, hak lewat ke dalam wakaf tanpa harus menyebutkannya
berdasarkan istihsan.
- Pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
Apabila penjual dan pembeli
bersengketa mengenai jumlah harga sebelum serah terima yang dijual, kemudian
penjual mengaku bahwa harganya adalah seratus juneh, dan pembeli mengaku
harganya sembilan puluh juneh, maka mereka berdua bersumpah berdasarkan
istihsan.28
B. Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu
kemaslahatan yang tidak mempunyai dalil, tetapi tidak ada juga pembatalnya.
Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada
‘illat yang keluar dari syara’ yang menentukan kejelasan hukum kejadian
tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni
suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemadharatan atau untuk
menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan maslahah mursalah.
Tujuan utama maslahah mursalah adalah kemaslahatan, yakni memelihara dari
kemadharatan dan menjaga kemanfaatannya.29
8. Hak hamba dan Hak Allah
Allah menciptakan manusia sebagai
hamba yang wajib taat kepadanya. Untuk itu, manusia harus beribadah yang
menunjukkan kepatuhannya kepada Allah. Ibadah dapat dibedakan dalam dua bentuk;
pertama, ibadah mahdhah yang fungsi utamanya mendekatkan hamba kepada Allah.
Kedua adalah aktivitas muamalah yang berlaku menurut tradisi (‘adah), yang
merupakan sendi kemaslahatan hidup manusia. Tanpa ini, kehidupan manusia akan
rusak binasa. Jika tipe ibadah yang kedua tadi bersifat duniawi dan dapat
dipahami oleh nalar manusia (al-ma’qul al-ma’na), tipe ibadah yang pertama
bersifat ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan.30
Hak Allah bertemu dengan hak hamba.
Hak Allah menuntut kepatuhan manusia dalam melakukan perintah syariat,
sedangkan hak hamba adalah kesejahteraan dalam upaya mewujudkan kemaslahatan
dunia dan akhirat. Hak Allah dan hak hamba selalu ada pada setiap hukum
syariat, baik ibadah atau muamalah. Dalam ibadah di samping ada hak Allah yang
dominan karena dimaksudkan sebagai penyembahan kepada-Nya, terdapat pula hak
hamba untuk memperoleh pahala dan terhindar dari siksaan neraka. Demikian pula,
muamalah yang tampaknya menjadi hak hamba tidak pernah lepas dari hak Allah,
yaitu kepatuhan manusia pada hukum-hukum-Nya.31 Asy-Syatibi
berkeyakinan bahwa demi kemaslahatan dunia syariat dibangun berlandaskan dua
prinsip,
- kewajiban manusia bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, dan
- hak untuk merasakan kelezatan dari segala nikmat tersebut.32
Baginya, bersyukur atas nikmat Allah
berarti memanfaatkan semua yang Allah anugerahkan sesuai keridhaan-Nya selalu
sumber nikmat. Rasa syukur atas nikmat Allah adalah hak Allah atas manusia,
sedangkan hak manusia atas rasa syukur ini adalah kehidupan sejahtera di dunia,
pahala di akhirat dan kebebasan dari siksaan api neraka.33
________________________________________________________________
1 Ahsan Lihasanah, “al-Fiqh
al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi'”, Dar al-Salam: Mesir, 2008, hal. 11
2 ibid.
3 Mahmud Yunus, “Kamus Arab-Indonesia”, PT. Mahmud Yunus Wadzuryah: Jakarta, 1990, hal. 243
4 Ibn Manzur, “Lisan al-‘Arab”, Juz V, Dar al-Ma’arif: Mesir, hal. 3643
5 Yusuf Al-Qardhawi, “Fikih Maqashid Syari’ah”, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007, hal. 12
6 Hasbi Umar, “Nalar Fiqih Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007, hal. 36
7 ibid.
8 ibid.
9 Yusuf al-Qardhawi, op.cit.
10 Al-Syatibi, “Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah”, Juz I, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, 2003, hal. 3
11 Wahbah al-Zuhaili, “Ushul Fiqh Islami”, Juz II, Dar al Fikri: Damaskus, 1986, hal. 225
12 Yusuf al-Qardhawi, op,cit, hal. 17
13 ibid, hal 18
14 ibid.
15 ibid, hal 19
16 Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, PT Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, hal. 1108
17 Hasbi Umar, Op,cit, hal. 120
18 Yusuf al-Qadharawi, “Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern”, Makabah Wabah: Kairo, 1999, hal.79
19 Ahmad Djazuli, “Fiqh Siyasah”, Prenada Media: Bandung, 2003, hal. 397
20 Yusuf al-Qardhawi. Op,cit, hal. 79
21 ibid, hal 80
22 Wael b.Hallaq, “Sejarah Teori Hukum Islam” Grafindo: Jakarta, 2000, hal. 267
23 ibid, hal. 268
24 ibid, hal. 260
25 disarikan dari makalah Muhammad Amiruddin, MA/An-Nahdlah Sudan
26 M. Zein Satria Effendi, “Ushul fiqh” Gramedia: Jakarta, 2004, hal. 237.
27 Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqih”, Pustaka Setia: Bandung, 2007, hal. 111
28 Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, Dina Utama: Semarang, 1994, hal. 110
29 Juhaya S, op.cit, hal. 117
30 Al-syatibi, juz I , op.cit, hal. 69
31 ibid, hal 317-318 dan 323
32 Asy-syatibi, juz II, Op.cit, hal 321. Dalam hal ini asy-syatibi mengutip Q.S an-Nahl : 114
33 ibid, hal 321-323
2 ibid.
3 Mahmud Yunus, “Kamus Arab-Indonesia”, PT. Mahmud Yunus Wadzuryah: Jakarta, 1990, hal. 243
4 Ibn Manzur, “Lisan al-‘Arab”, Juz V, Dar al-Ma’arif: Mesir, hal. 3643
5 Yusuf Al-Qardhawi, “Fikih Maqashid Syari’ah”, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007, hal. 12
6 Hasbi Umar, “Nalar Fiqih Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007, hal. 36
7 ibid.
8 ibid.
9 Yusuf al-Qardhawi, op.cit.
10 Al-Syatibi, “Al-Muawafaqat Fi Ushul al-Syari’ah”, Juz I, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, 2003, hal. 3
11 Wahbah al-Zuhaili, “Ushul Fiqh Islami”, Juz II, Dar al Fikri: Damaskus, 1986, hal. 225
12 Yusuf al-Qardhawi, op,cit, hal. 17
13 ibid, hal 18
14 ibid.
15 ibid, hal 19
16 Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, PT Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta, hal. 1108
17 Hasbi Umar, Op,cit, hal. 120
18 Yusuf al-Qadharawi, “Fiqih Praktis Bagi Kehidupan Modern”, Makabah Wabah: Kairo, 1999, hal.79
19 Ahmad Djazuli, “Fiqh Siyasah”, Prenada Media: Bandung, 2003, hal. 397
20 Yusuf al-Qardhawi. Op,cit, hal. 79
21 ibid, hal 80
22 Wael b.Hallaq, “Sejarah Teori Hukum Islam” Grafindo: Jakarta, 2000, hal. 267
23 ibid, hal. 268
24 ibid, hal. 260
25 disarikan dari makalah Muhammad Amiruddin, MA/An-Nahdlah Sudan
26 M. Zein Satria Effendi, “Ushul fiqh” Gramedia: Jakarta, 2004, hal. 237.
27 Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul Fiqih”, Pustaka Setia: Bandung, 2007, hal. 111
28 Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, Dina Utama: Semarang, 1994, hal. 110
29 Juhaya S, op.cit, hal. 117
30 Al-syatibi, juz I , op.cit, hal. 69
31 ibid, hal 317-318 dan 323
32 Asy-syatibi, juz II, Op.cit, hal 321. Dalam hal ini asy-syatibi mengutip Q.S an-Nahl : 114
33 ibid, hal 321-323
________________________________________________________________
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, “Ilmu Ushul
Fiqh”, Dina Utama: Semarang, 1994
Ahmad Djazuli, “Fiqh Siyasah”,
Prenada Media: Bandung
Ahsan Lihasanah, “al-Fiqh
al-Maqashid ‘Inda al-Imami al-Syatibi'”, Dar al-Salam: Mesir
Al-Syatibi, “Al-Muawafaqat Fi
Ushul al-Syari’ah”, Juz I dan Juz II, Dar al-Kutub al-Ilmiyah: Beirut, 2003
Ensiklopedi Hukum Islam, Cet.III, PT Ichtiar Baru Van Hoeve: Jakarta
Hasbi Umar, “Nalar Fiqih
Kontemporer”, Gaung Persada Press: Jakarta, 2007
Ibn Manzur, “Lisan al-‘Arab”,
Dar al-Ma’arif: Mesir
Juhaya S. Praja, “Ilmu Ushul
Fiqih”, Pustaka Setia: Bandung, 2007
M. Zein Satria Effendi, “Ushul
fiqh”, Gramedia: Jakarta, 2004
Mahmud Yunus, “Kamus
Arab-Indonesia”, PT. Mahmud Yunus Wadzuryah: Jakarta
Muhammad Amiruddin, MA/An-Nahdlah
Sudan
Wael b.Hallaq, “Sejarah Teori
Hukum Islam”, Grafindo: Jakarta
Wahbah al-Zuhaili, “Ushul Fiqh
Islami”, Juz II, Dar al Fikri: Damaskus, 1986
Yusuf Al-Qardhawi, “Fikih
Maqashid Syari’ah”, Pustaka al-Kautsar: Jakarta, 2007
Yusuf al-Qadharawi, “Fiqih
Praktis Bagi Kehidupan Modern”, Makabah Wabah: Kairo, 1999
Share
this:
Related
Pendekatan Memahami FiqihIn "Artikel"
Sejarah Hadist Pada Masa Awal IslamIn
"Artikel"
This entry was posted in Artikel and tagged daruriyyat, hajiyyat,
Hak hamba dan Hak Allah, Hak hamba kepada Tuhannya, Hak Tuhan kepada hambanya, iilat,
istihsan, kategori Hukum Maqashid Syari’ah, Maqashid Syariah, Maqashid Syariah dan Detail-Detail Nash, Maqashid Syari’ah dalam Pengembangan hukum, maslahah Mursalah, muamalah,
norma Hukum Maqashid Syari’ah, qasdu al mukallaf, syari,
tahsiniyyat, tujuan Allah menurunkan syariat, Unsur Maqashid Syari’ah.
Leave
a Reply
Cari
Tulisan
Search for:
Follow
me on Twitter
Update
- Embargo dan Boikot Zionis
- Maqashid asy-Syariah
- Gagasan Pembentukan Fiqh Indonesia
- Status Anak Luar Nikah
- Hukum, Alat Pengubah Masyarakat
Best
Post
- contoh pembuatan use case diagram
- Maqashid asy-Syariah
- Ittihad Dan Wahdatul Wujud, Hubungan Tuhan dan Hamba
- Status Anak Luar Nikah
- Tafsir al-Maudhu'i
Arsip
- Mengapa Pembully Jokowi Ditangkap, Ini Kata Pengamat
- Lihatlah: Video Brutalnya Polisi AS terhadap Kulit Hitam
- 29-11-1863: Sejarah Terbentuknya Palang Merah Internasional
- Amerika Serikat Kecam Keras Israel, Lho kok?
- Rakyat Irak Senang ‘Blackwater’ Diadili
- Politisi PDI-P: Presiden Akan Maafkan, Tapi Jangan 'Lebay'
- Pemuda 23 Tahun Ditangkap Setelah Hina Presiden
- Silakan Follow, Ini Akun Twitter 21 Menteri Kabinet Jokowi
- Kapal Tenggelam, Tiga Nelayan Tewas
- Koordinator Demo Arun Jadi Tersangka
My
Site
No comments:
Post a Comment