HUKUM YANG TUMBUH INDAH
IBARAT BUNGA DI TAMAN
Haji M.Rakib,S.H.,M.Ag
Rupanya, banyak
ahli hukum Islam yang tidak memahami dengan baik hukum Barat, sebaliknya banyak
pula ahli hukum Barat yang tidak memahami hukum Islam secara proporsional. Keadaan
ini dapat menghambat komunikasi antara keduanya.
Akibatnya
tercipta dua hukum yang
seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu
hukum Islam dan hukum umum. Padahal seharusnya tidaklah demikian. Hukum
Barat maupun hukum Islam sama-sama hukum. Lebih-lebih lagi hukum Islam juga diakui sebagai salah satu
sistem hukum di dunia disamping Roman
Law dan Anglo Saxon.[1]
Sedangkan syarat kedua, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum[2]nasional
seyogianya dianut oleh
mayoritas masyarakat, secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Syarat demikian
ini selain penting secara politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis,
agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law).
[3]
Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living
law) kali pertama dikemukakan oleh mazhab Sociological
Jurisprudence,[4] yang dimotori oleh Roscoe Pound dan
Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini,[5] secara umum, hukum dapat dilihat baik
sebagai law
in books maupun
sebagai law
in action. Law
in books (hukum
tertulis) merupakan suatu fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan
norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in actionatau living law diartikan sebagai suatu gejala
sosiologis yang berupa interaksi antara norma-norma otonom tersebut dengan
faktor-faktor sosial dalam masyarakat..
Walaupun ada beberapa kasus ketika anak perempuan
menderita kekerasan seksual dalam usia
enam bulan. Center for Tourism
Research & Development Universitas Gadjah
Mada, mengekspos penelitiam tentang child
abusen yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar
yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang. Masih menurut Zainuddin Ali, bahwa ditemukan bahwa
ada 3969 kasus, dengan rincian seksual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%,
emotional abuse 6.3%, dan child neglect
8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse: persentase
tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus
physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia
13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12
tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak
dalam Keluarga 4. Kasus child neglect: persentase teringgi usia
0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%).Berdasarkan tempat
terjadinya kekerasan : 1. Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%),
tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel,
hotel dll (37.6%). 2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%),
tempat umum (22.0%), tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus
emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat
kerja (2.1%), dan tempat lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect: rumah
(18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat
lainnya (43.5%).[1]
Data tersebut menunjukkan bahwa tiada tempat yang "aman" bagi anak. Mereka memiliki hak untuk dikasihi dan dicintai.
3) Mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul -judul pustaka yang
berkaitan) yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya; 4) Mengenal peneliti
-peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang dihadapi (yang mungkin
dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri karya-karya tulisnya yang
lain yang mungkin terkait; 5) Memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan)
kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori
tempat penelitian ini berada; 6)
Mengungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal
sebelumya; 7) Membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita
lakukan berbeda dengan penelitian -penelitian sebelumnya)
Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin
Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda,
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ،
وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ (وصححه الألباني في
"الإرواء"، رقم 247)
"Perintahkan
anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan
pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur
mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)
"Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka
terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah
baligh."
As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya
untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila
masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak
mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul
terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk
mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya
dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig."
(Fatawa As-Subki, 1/379).
Dari Abu Burdah Al-Anshar, dia mendenar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222)
Ibnu Qayim rahimahullah berkata,
"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul
lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal
jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah.
Mengintip Dosa
Istri
26 Dosa Istri
Kepada Suami:
1. berlebihan
dan menuntut kesempurnaan
2. kurang
memperhatikan orang tua suami
3. kurang
mempercantikkan diri di hadapan suami
4. banyak
berkeluh kesah dan kurang bersyukur
5. mengungkit
ungkit kebaikan kepada suami
6. menyebarkan
masalah rumahtangga kepada orang lain
7. kurang
memperhatikan posisi dan status sosial suami
8. kurang
membantu suami dalam kebajikan dan ketakwaan
9. membebani
suami dengan banyak tuntutan
10. membuat
suami risau dengan banyak menjalin hubungan
11. bersikap
nusyuz terhadap suami
12. menolak
ajakan suami berhubungan badan
13. lalai dalam
melayani suami
14. memasukkan
orang yang tidak diizinkan suami de dalam rumahnya
15. keluar dari
rumah tanpa izin suami
16. menaati
suami dalam kemaksiatan kepada Allah swt
17. cemburu
berlebihan terhadap suami
18. buruknya
perilaku isteri bila suamiberpoligami
19. lalai dalam
mendidik anak-anak
20. kurang
perhatian terhadap keadaan dan perasaan suami
21.
menyebarluaskan rahsia tempat tidur
22. isteri
mendeskripsikan seorang perempuan kepada suami
23. menggugat
kepimpinan suami
24. isteri yang
ikhtilah dan tabarruj di hadapan kaum laki-laki
25. kurang setia
terhadap suami
26. kurangnya
ketakwaan kepada Allah setelah berpisah dari suami
Mengintip Dosa
Suami
32 Dosa suami
kepada Istri
1.
Lalai Berbakti kepada orang tua setelah menikah
2.
Kurang serius dalam mengharmonisasikan antara istri dan orang tua
3.
Ragu dan buruk sangka kepada istri
4.
Kurang memiliki sikap cemburu terhadap istri
5.
Meremehkan kedudukan istri
6.
Melepaskan kendali kepemimpinan dan
menyerahkannya kepada istri
7.
Memakan Harta istri secara batil
8.
Kurang semangat dalam mengajari istri ajaran-ajaran agamanya
9.
Bersikap pelit terhadap istri
10.
Datang secara tiba-tiba setelah lama pergi
11.
Banyak mencela dan mengkritik istri
12.
Kurang berterima kasih dan memotivasi istri
13.
Banyak bersengketa dengan istri
14.
Lama memutus hubungan dan meninggalkan istri tanpa sebab yang jelas
15.
Sering berada di luar rumah dan jarang bercengkrama dengan keluarga
16.
Interaksi yang buruk dengan istri
17.
Tidak menganggap penting berdandan untuk istri
18.
Kurang perhatian terhadap Doa yang dituntun ketika menggauli istri
19.
Kurang memperhatikan Etika, Hikmah dan Hukum hubungan badan
20.
Menyebarkan rahasia ranjang
21.
Tidak mengetahui kondisi biologis perempuan
22.
Menggauli istri ketika haid
23.
Menggauli istri pada duburnya
24.
Memukul istri tanpa alasan
25,
Kesalahan tujuan poligami
26.
Tidak bersikap Adil antara beberapa istri
27.
Terburu-buru dalam urusan Talak
28.
Tidak mau mentalak, padahal sudah tdk mungkin ada perbaikan dan kecocokan
29.
Mencela istri setelah berpisah dengannya
30.
Menelantarkan anak-anak setelah mentalak istri
31.
Kurang setia terhadap istri
32.
Kurang puas dan selalu melirik perempuan lain
Hati-hati buat para suami!
Ta'zir
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Setelah
selesai membahas seputar hudud (hukuman hadd), yaitu hukuman yang tlah
ditentukan bentuk dan ukuranya oleh syara’ maka selanjutnya kami kan
membahas seputar tema sanksi hukum
bergagai tindak kejahatan yang sysra’ tidak menentukan hukuman haddnya, yaitu
yang lebih dikenal dengan istilah ta’zir.
Disini
secara ringkas kami akan membicarakan tentang definisi ta’zir, syarat syarat
wajibnya, ukuran dan sufatnya, mekanisme pembuktian tindak kejahatanya, dan
denda atas kematian orang akibat dihukum ta’zir.
PEMBAHASAN
1. Definisi ta’zir[1]
Ta’zir secara bahasa, artinya
adalah Al-man’u (mencegah, melarang, menghalangi). Diantara bentuk penggunaanya
adalah ta’zir yang berarti An-nusrhrah (membantu, menolong), karena pihak yang
menolong mencegah dan menghalani pihak musuh dari menyakiti orang yang
ditolongnya. Kemudian kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukan arti
memberi pelajaran dan sanksi selain hukuman hadd.
Sedangkan kata ta’zir secara
syara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk
kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak
pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah swt. Seperti makan pada
siang hari bulan ramadhan tanpa ada uzur,[2] meninggalkan shalat menurutt
jumhur ulama, riba, membuang najis, kotoran dan lain sebagainya dijalanan,
maupun kejahatan hak adami sperti bercumbu dengan perempuan yang bukan istrinya
namun tidak sampai jima’, mencuri dengan jumlah curian yang belum mencapai
batas nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsure Al-hirzu (harta yang
dicuri tidak berada pada tempat penyimpanan yang semestiantinya), menghianati
amanat (korupsi), suap, pencemaran dan tuduhan selain zina berupa berbagai
bentuk hujatan, pemukulan, dan berbagai bentuk tindakan menyakiti orang lain.
2. Pensariatan ta’zir
Dalil pensariatan ta’zir adalah
hadits Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaki dari Bahz bin Hakim yang
mengishkan penuturan ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menetapkan hukuman
penjara pada kasus tuduhan. Hadits ini dinyatakan sahih oleh hakim. Pelaksanaan
hukuman penjara ini bersifat sementara sampai fakta sebenarnya terungkap.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud
meriwayatkan dari Hani’ bin Niar ra bahwa dirrinya mendengar Rasulullah
bersabda;
لا
تجلد و ا فوق عشرة أسو اط , الا في حد من حد ود
الله
“jangan mendera lebih dari sepuluh
cambukan, kecuali dalam kasus hudud yang ditetepkan Allah.”[3]
Ulama hanafiah melandaskan
pensariatan pemenjaraan pada ayat, “Aw Yunfau Minal Ardh” (atau dibuang dari
negri tempat kediamanya).” (Al-Maidah : 33). Mereka mengatakan bahwayang
dimaksud dengan An-Nafyu (pembuangan) dalam ayat ini adalah memenjarakanya.[4]
3. Hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh
(mati) sebagai suatu bentuk kebijakan
Ulama malikiyah dan hanafiah memperbolehkan
hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh seperti terhadap pelaku kejahatan
yang berulangkali melakukan kejahatan atau terbiasa melakukan kejahatan
(residifis), atau liwath (seks sesama jenis atau sodomi), atau pembunuhan dengn
benda tumpul menurut ulama hanafiah. Hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh
itu dikenal dengan istilah Al-Qotlu Siasatan, yakni hukuman ta’zir dalam bentuk
hukuman mati apabila hakim melihat adanya kemaslahatan didalamnya dan kejahatan
yang dilakukan adalah sejenis dengan kejahatan yang diancam dengan hukuman
bunuh.
Berdasarkan hal ini, kebanyakan
ulama hanafiah menfatwakan untuk membunuh orang kafir dimmi yang gemar
menghujat Nabi saw meskipun setelah tertangkap, ia masuk islam.
Mereka
juga mengatakan imam bisa mengambil kebijakan dengan menjatuhkan hukuman bunuh
terhadap seorang pencuri yang berulangkali melakukan kejahatan pencurian dan
orang yang berulangkali melakukan kejahatan pencekikan, karena ia berarti orang
yang berbuat kerusakan dimuka bumi. Begitujuga halnya dengan setiap orang yang
ancaman kejahatan dan kejelekanya tidak bisa dicegah kecuali dengan dubunuh,
maka ia boleh dihukum bunuh sebagai
suatu kebijakan.
4. Hukuman ta’zir dengan (pengambilan dan
penyitaan) harta
Berdasarkan
pendapat yang rajah menurut para imam tidak boleh menghukum ta’zir dalam bentuk
pengambilan (penyitaan, perampasan harta). Karena hal itu, memberikan peluang
pada orang-orang dzalim untuk mengambil dan merampas harta orang-orang lalu
menggunakannya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Ibnu
taymiyyah dan murid-muridnya, ibnul qoyyim menetapkan bahwa hukuman ta’zir
dalam bentuk sanksi materil hanya diberlakukan dalam beberapa kasus tertentu
saja. Dalam madzab imam malik berdasarkan pendapat yang mashur darinya, madzab
imam ahmad dan salah satu dari dua qaul imam syafi’I, sebagaimana yang
ditunjukkan oleh sunnah rasul saw. Seperti perintah beliau untuk melipat
gandakan atas pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya dan pencurian
Al-Katsar yang tidak sampai diancam dengan hukuman potong tangan, mengambil
separuh harta milik orang yang tidak mau membayar zakat.
5. Syarat wajib hukuman ta’zir
syarat supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal
saja yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman hadd.
Adapun anak kecil yang sudah mumayis, maka ia dita’zir, namun bukan sebagai
bentuk hukuman akantetapi sebagai mendidik dan memberi pelajaran.
6. Cara pelaksanaan ta’zir
Ta’zir bisa dilaksanalan dengan
ucapan, seperti peringatan, teguran, dan nasihat. Bisajuga dilakukan dengan
tindakan sesuia keadaan seperti pukulan, kurungan penjara, diikat, pengasingan,
pencopotan jabatan dan pemutusan hubungan kerja.
Ta,zir
tidak boleh dalam bentuk mencukur jenggot, menghancurkan rumah, merusak kebun,
tanaman, buah-buahan, dan pohon. Juga tidakboleh dengan memotong hidung atau
telinga, merusak bibir atau jari, karena cara tersebut tidakpernah di ajarkan
oleh seorang guru dari sahabat Nabi saw.
7. Kadar ukuran hukuman ta’zir
Hukuman ta’zir disesuaikan dengan
ukuran kejahatan yang di lakukan dan kadar tingkatan pelakunya sesuai dengan
hasil ijtihad hakim, adakalanya dalam bentuk teguran dan bentakan, dipenjara,
ditampar, atau sampai dihukum bunuh seperti dalam kasus kejahatan sodomi
menurut ulama’ malikiyah, atau dengan dicopot dan diberhentika dari jabatanya,
menyuruhnya berdiri dan pergi dari majlis, mendiskreditkan dan menghinakanya
seperti dengan ucapan, “Hai dzalim hai orang yang melampaui batas. “Tidak
apa-apa menghukum ta’zir dengan mencoreng-coreng wajahnya, diarak ramai-ramai
disertai dengan menyebut-nyebut
kesalahan dan kejahatanya serta memukulinya.
Haram hukumnya menghukum ta’zir
dengan mencukur jenggotnya, memotong anggota tubuhnya, melukai tubuhnya, dan
merampas hartanya dan merusaknya menurut ulama’ hanabilah. Hukuman ta’zir dalam
bentuk dera batas minimalnya adalah tiga kali cambukan, namun bisa saja lebih
sedikit dari tiga sesuai dengan indifidu pelaku. Tidak ada batas tersendah
untuk hukuman ta’zir.
Adapun
tentang masalah batas maksimal hukuman ta’zir, para ulama berbeda pendapat:
imam abu hanifah, ulama, safi’iyah, dan ulama hanabilah mengatakan, hukuman
ta’zir tidak boleh sampai melebihi hukuman hadd terendah, akan tetapi paling
tidak harus dikurangi satu dera. Sementara ulama malikiyah mengatakan, imam
boleh menghukum ta’zir dengan jumlah deraan berapapun juga sesuai dengan
kebijakan dan hasil ijtihadnya meskipun melebihi hukuman hadd tertinggi
sekalipun.
8. Sifat-sifat hukuman ta’zir
Hukuman ta’zir memiliki sejumlah
sifat. Diantaranya, hukuman ta’zir menurut ulama malikiayah dan ulama hanabilah
adalah hak Allah swt yang wajib dipenuhi apabila imam melihat untuk
menjatuhkanya. Oleh karenaitu, secara garis besar, hakim tidak boleh
menggugurkan hukuman ta’zir, karena itu
adalah hukuman untuk member efek jera yang diberlakukan untuk memenuhi hak Allah swt. Menurut ulama
safi’iyah hukuman ta’zir sifatnya tidak wajib. Oleh karena itu, hakimbisa saja
tidak melaksanakanya selama kasusnya tidak menyangkut hak adami. Hal ini
berdasarkan hadits,
اقيلوا
ذ وي الهيئا ت عثرا تهم إ لا الحد ود
“Maafkanlah kesilapan-kesilapan
Orang-orang yang memiliki perilaku baik, kecuali kesalahan-kesalahan yang
mengharuskan hukuman hadd. (HR Abu dawud, ahmad dan nasa’i)
Adapun ulama hanafiyah
mengatakanbahwa hukiman ta’zir apabila kasusnya menyangkut hak adami, wajib dan
harus dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan.karena hakim samasekali tidak
memiliki kewenangan untuk menggugurkan hak adami. Adapun jika kasusnya
menyangkut hak Allah swt, masalahnya dipasrahkan kepada kebijakan dan pandangan
imam. Apabila imam melihat adanya kemaslahatan untuk menegakkan hukuman ta’zar
terhadap pelaku, maka ia melaksanakanya. Apabila ia tidak melihat adanya
kemaslahatan untuk menegakan hukuman ta’zir kepada pelaku atau ia mengetahui
bahwa pelaku sudah jera dan kapok tanpa harus dihukum ta’zir, maka ia boleh
tidak melaksanakanya.
Sifat hukuman ta’zir yang kedua adalah
pukulan cambuk dalm hukuman ta’zir adalah yang paling keras, karena secara
kuantitatif hukuman ta’zir memungkinkan untuk diperingan dengan dikurangi
jumlah cambukanya, maka secara kualitatif tidakboleh diperingan sifat
pukulanya, supaya maksud dan tujuan dari
hukuman yang di inginkan tetap bisa tercapai, yaitu memberi efek jera.
9. Mekanisme penetapan dan pembuktian kasus
kejahatan dengan ancaman hukuman ta’zir
Menurut ulama hanafiah, Mekanisme
penetapan dan pembuktian kasus kejahatan dengan ancaman hukuman ta’zir sama
seperti mekanisme pembuktian dan penetapan hak-hak hamba lainya yaitu
pengakuan, bayyinah (saksi), An-nukul (tidakmau bersumpah), dan berdasarkan
sepengetahuan hakim akan kebenaran kasus yang terjadi.
10. Hukuman ta’zir adalah kewenangan imam
Imam
adalah pelaksana ta’zir karena imamlah yang memiliki wewnang penuh atas seluruh
kaum muslim. As-sanani menyatakan dalam kitab subulussalam, “pelaksanaan ta’zir
tidak boleh dilaksanakan oleh selain pemimpin (pemerintah), kecuali tiga pihak
:
Pertama,
Ayah. Seorang ayah berhak melakukan ta’dib terhadap anaknya yang masih kecil
dan menghukum ta’zir sianak dalam rangka untuk mendidik, memperbaiki akhlaknya,
juga ketika untuk memerintahkan shalat dengan memukul sianak supaya mau shalat
jika memeng iti dibutuhkan. Dalam hal uini, setatus ibu sama seperti ayah selam
masa-masa pengasuhan dan perawatan. Seorang ayah tidak boleh menghukum ta’zir
anaknya yang sudah baligh, meskipun ia adalah orang yang safih (perilaku dan
pikiranya kurang dewasa)
Kedua,
pemilik budak. Seorang majikan pemilik budak boleh menghukum ta’zir budaknya,
baik dalam kasus pelanggaran yang dilakukan sibudak terhadap hak simajikan
sendiri atau terhadap Allah swt.
Ketiga,
suami. Suami boleh menghukum ta’zir istrinya karena nusuz (pembangkangan) atau
untuk memerintahkan seorang istri supaya menunaikan hak Allah swt. Ketika
siistri tidak menunaikanya, seperti shalat, puasa ramadhan, dalam bentuk
hikuman ta’zir yang menurut penilaian sisuamai sesuai untuk usaha memperbaiki
perilaku siistri.
11. Hak mendidik dan mendisiplinkan (ta’dib)
Adpun apabila seorang ayah memukul
anaknya atau suami memukul istrinya atau guru memukul muridnya dengan tujuan
untuk mendidik dan memperbaiki akhlaknya lalu langkah ta’dib yang sah itu
berakibat fatal, maka menurut Abu Hanifah dan imam Syafi’I pelaku pemukulan
(selain ayah) harus tetap bertanggung jawab.
Sementara Imam Malik dan Imam Ahmad
mengatakan tidak ada pertanggung jawaban apapun atas pelaku pemukulan dalam
kasus-kasus tersebut karena ta’dib adalah langkah yang legal dan sah dengan
tujuan untuk membuat jera dan kapok.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Ta’zir
secara bahasa, artinya adalah Al-man’u (mencegah, melarang, menghalangi).
Diantara bentuk penggunaanya adalah ta’zir yang berarti An-nusrhrah (membantu,
menolong), karena pihak yang menolong mencegah dan menghalani pihak musuh dari
menyakiti orang yang ditolongnya. Kemudian kata ta’zir lebih populer digunakan
untuk menunjukan arti memberi pelajaran dan sanksi selain hukuman hadd.
Sedangkan kata ta’zir secara syara’,
ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau
kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak pula kafarat, baik
itu kejahatan terhadap hak Allah swt.
syarat
supaya hukuman ta’zir bisa dijatuhkan
adalah hanya syarat berakal saja yang melakukan suatu kejahatan yang tidak
memiliki ancaman hukuman hadd. Adapun anak kecil yang sudah mumayis, maka ia
dita’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman akantetapi sebagai mendidik dan
memberi pelajaran.
2. Daftar pustaka
Ø Az-zuhzili wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu,
darul fikri, Jakarta, 2011.
Ø Muhammad Al-allamah, Fiqih empat mazhab,
hasyimi, bandung, 2010.
Ø Sabiq sayid, fiqih sunnah, Al-itishom,
Jakarta,2010.
[3]A. Syafi’i Ma’arif (ketua PP Muhammadiyah) dan Hasyim
Muzadi (ketua PBNU) jauh-jauh hari sebelum sidang tahunan MPR 2002 menegaskan,
NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia
dalam arti formalisasi yang akan mengarah kepada pembentukan negara Islam.
lihat Zuly Qodir, Pemberlakuan Syari’at Islam: Belajar dari Propinsi Nangroe Aceh
Darussalam, Kompas, 24-4, 2002.
[4] Inti pemikiran madzhab ini adalah bahwa “hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”.
Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai
yang hidup di dalam masyarakat. Lebih jauh baca W. Friedmann, Legal
Theory, 4th Edition (London: Stevens and Sons
Limited, 1960), 194-204.
[5]Madzhab ini (sociological
jurisprudence) hendaknya dibedakan
dengan apa yang kita kenal dengan “sosiologi hukum”. Perbedaan di antara ke
duanya adalah kalau sociological jurisprudenceitu merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang mempelajari
pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang
sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat
kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat
mempengaruhi hukum. Dengan kata lain, kalau sociological jurisprudencecara pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum
sebaliknya dari masyarakat ke hukum. Lihat Roscoe Pound, “Kata Pengantar”,
dalam Georges Gurvith, Sosiologi Hukum,
terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Bhratara, 1988), x-xi.
No comments:
Post a Comment