AL-INSÂNU HÂRISUN
'ALA MA' MUNI'A
(Manusia penasaran dengan larangan)
AL-INSÂNU HÂRISUN
'ALA MA' MUNI'A
(Manusia penasaran dengan larangan)
Ini memang kisah terlarang yang membuat
penasaran. Kami berlima kemudian terlibat obrolan seru sambil diselingi minum
minuman keras Jack Daniel yang sudah dicampur dengan buah vita. Aku juga
mengeluarkan 3 linting ganja yang kami hisap bersama bergantian. Tidak berapa
lama kami mulai mabuk. Wulan dan Tomy permisi ke loteng atas karena akan
menonton TV di lantai dua. Aku, Ida dan Santi melanjutkan perbincangan.
Saat asik menikmati minuman keras
samar-samar kami mendengar suara dari kamar atas. Kami bertiga saling
berpandangan. Ida tersenyum geli dan kemudian mengajak aku dan Santi untuk
mengintip ke atas. Santi menolak untuk ikut ke atas, akhirnya aku dan Ida
dengan berjingkat-jingkat menaiki tangga ke atas untuk melihat apa yang sedang
Wulan dan Tomy lakukan.
Di ruang tengah atas ternyata keadaan
sepi. TV masih menyala tetapi Wulan dan Tomy tidak tampak di sana. Aku dan Ida
kemudian mendekati satu-satunya kamar yang ada di lantai atas. Semakin dekat
semakin terdengar suara-suara yang “mencurigakan”. Dengan perlahan Ida
menyingkap tirai hordeng kamar atas ada sensasi yang luar biasa.
Begitulah
kisah nyata, terlarang, membuat penasaran:
AL-INSÂNU HÂRISUN 'ALA MA' MUNI'A
(Manusia penasaran dengan larangan)
Forbiden
frut is sweetist (Buah yang terlarang adalah yang paling manis) Pepatah
Inggris.
Karena
itulah disiplin pada anak sejak dini, sangat di perlukan, selama hal tersebut
dilakukan secara wajar, sesuai aturan agama dan mempertimbangkan usia maupun
perkembangan anak. Yang juga perlu diperhatikan adalah memprioritaskan hal-hal
apa dari sekian banyak hal yang akan di buat aturannya. Jangan sampai kita
berharap terlalu banyak (tidak realistis) pada anak-anak kita untuk disiplin
dalam segala hal yang jelas sangat sulit untuk mereka lakukan. Bukankah sebagai
pribadi yang dewasa kita juga perlu waktu untuk dapat berdisiplin? kita juga
belum tentu sanggup dan dapat menerima dengan lapang dada ketika pasangan kita
menerapkan disiplin yang kaku pada kita dalam banyak hal tanpa kompromi,
apalagi menggunakan kekerasan?
Bagaimana dengan anak-anak kita, buah
hati kita, apakah sanggup dan lapang dada mendapatkan perlakuan yang keras dari
kita? Tentu saja mereka hanya korban, yang belum punya daya untuk menolak atau
membalas. Mungkin ada anak yang sepertinya tampak kuat, acuh bahkan menjadi
kebal dengan bentakan dan pukulan orang tuanya, tetapi hatinya tidak sekuat
fisiknya. Ada konflik psikologis yang bisa terjadi pada diri anak-anak kita
yang mungkin bisa terbawa sampai mereka dewasa.
Saya yakin kita sebagai orang tua tidak
berharap demikian. Sebagai contoh, anak perlu latihan disiplin dalam hal menyikat
gigi, tidak jajan sembarangan, bangun pagi, berpakaian, makan, mandi,
bergiliran dengan teman, menonton tivi, bermain, membeli mainan, tidak
mengganggu adik dan lainnya. Ternyata jika di perhitungkan, ada banyak hal yang
kita harapkan pada anak. Tapi semoga kita tetap menjadi orang tua yang
bijaksana dan menetapkan standart yang realistis bagi anak-anak kita. Berilah
mereka waktu dan kesempatan untuk mencapai standart tersebut. Sebagai orang
dewasa pun tentunya kita berharap mendapatkan kesempatan dari orang lain untuk
mencapai suatu standart bukan ? Anak perlu rentang waktu, kesempatan, dorongan
dan lingkungan yang kondusif untuk memiliki kebiasaan yang baik dalam banyak
hal. Anak tidak akan merasa nyaman jika terlalu banyak di atur, dilarang,
dimaki dan hal-hal negatif lainnya.
Anak-anak juga merasa tertekan jika pada usia
mereka yang sangat muda, mereka dituntut untuk berbuat baik, tapi cara yang di
lakukan orang tua tidak baik. Disadari atau tidak, dalam hal ini orang tua
tidak menjadi contoh yang baik bagi anak, terutama dalam mengontrol emosi.
Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi model bagi anak-anak. Rasulullah Saw
adalah teladan kita. Beliau merupakan pribadi berdisiplin tinggi, tetapi beliau
tetap bersikap lembut pada anak-anak dan sangat menghargai proses bukan?kita
harus lebih fokus pada pengembangan disiplin anak dengan menghargai proses
mereka menuju kebaikan dan disiplin, bukan dengan menuntut hasil pembentukan
disiplin anak secara tepat dan dengan kekerasan. Tiap anak bersifat unik. Namun
demikian, prinsip dasar disiplin relatif sama.
Disiplin akan efektif jika orang tua menjadi
model yang ditiru sikap dan perilakunya. Jadi bukan hanya menyuruh, tapi tidak
menjadi teladan yang baik. Disiplin pada anak perlu diikuti dengan pemberian
pujian terhadap perilaku anak yang baik secara spesifik, bervariasi dan
berkesinambungan. ( Sumber: Majalah Sabili )
Sementara Imam
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah
fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya,
menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut
Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila masalah
ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan
kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وما اختلفتم فيه من
شيء فحكمه إلى الله
“Tentang sesuatu
apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” (
QS. As Syura, 10 ).
Dan Allah Ta'ala
juga berfirman :
فإن تنازعتم في شيء
فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Jika kamu
belainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al
Qur’an ) dan Rasul ( As Sunnah ), jika kamu benar benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik
akibatnya.” ( QS. An Nisa’, 59 ).
Oleh karena
masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan
hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah
yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang
pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib
kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kalau kita
kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita
dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar
dari islam.
PERTAMA : DALIL
DARI AL QUR’AN :
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah :
فإن تابوا وأقاموا
الصلاة وآتوا الزكاة فإخوانكم في الدين
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu ) adalah
saudara saudaramu seagama.” ( QS. At Taubah, 11 ).
Dan dalam surat
Maryam, Allah berfirman :
فخلف من بعدهم خلف
أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون
الجنة ولا يظلمون شيئا
“Lalu datanglah
sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ).
Relevansi ayat
kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang
orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya : ”
kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika
menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi
ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan
orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :
· Hendaklah
mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah
mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah
mereka menunaikan zakat.
Allah Ta’ala
berfirman,
َخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat
dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Pada ayat
selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ
وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Jika mereka
bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan
zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula,
jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun
bukan saudara seagama dengan kita.
Persaudaraan
seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar
secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena
kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda
perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena
membunuh :
فمن عفي له من أخيه
شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
“Maka barang
siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar ( diyat )
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ).” ( QS. Al Baqarah, 178
).
Dalam ayat ini,
Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja
sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja
termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa
ta’aala berfirman :
ومن يقتل مؤمنا متعمدا
فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا أليما
“Dan barang
siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka
jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” ( QS. An Nisa’, 93 ).
Kemudian cobalah
anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari
kaum mu’minin yang berperang :
وإن طائفتان من المؤمنين
اقتتلوا فأصلحوا بينهما, فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى
أمر الله، فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين، إنما المؤمنون
إخوة فأصلحوا بين أخويكم .
“Dan jika ada
dua golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara
keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga
golongan itu kembali ( kepada perintah Allah ), maka damaikanlah antara
keduannya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang
orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara,
karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…” ( QS. Al Hujurat, 9 ).
Di sini Allah
subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua
pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran,
sebagaimana disebutkan dalam hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
سباب المسلم فسوق
وقتاله كفر
“Menghina
seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran
ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar
dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat
suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka
masih saudara seiman.
Dengan demikian
jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar
dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang
sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam ) maka
persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak
dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada
pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat
pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah
tersebut ?
Jawabnya adalah
: orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian
ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad
Rahimahullah.
Akan tetapi
pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir,
namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu
Hurairah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika
menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan
dibagian akhir hadits :
" ثم يرى سبيله
إما إلى الجنة وإما إلى النار ".
“ … Kemudian ia
akan melihat jalannya, menuju ke sorga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan
secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar
zakat”.
Ini adalah dalil
yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir,
sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan baginya menuju sorga.
Dengan demikian
manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (
yang tersirat ) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih
didahulukan dari pada mafhum.
KEDUA : DALIL
DARI AS SUNNAH :
1- Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda :
" إن بين الرجل
وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ".
“Sesungguhnya (
batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).
2- Diriwayatkan
dari Buraidah bin Al Hushaib rodhiallohu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" العهد الذي
بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ".
“Perjanjian
antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka
benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan
Imam Ahmad ).
Yang dimaksud
dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam,
karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan shalat sebagai
batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa
diketahui secara jelas bahwa aturan kafir tidak sama dengan aturan Islam,
karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia
termasuk golongan orang kafir.
3- Diriwayatkan
dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda :
" ستكون أمـراء
، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا
نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ".
“Akan ada para
pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran
yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang
menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (
tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka
mengerjakan shalat.”
4- Diriwayatkan
pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata :
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" خيار أئمتكم
الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم،
وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا
فيكم الصلاة ".
“Pemimpinmu yang
terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka
mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling
jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu
melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah,
bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama
mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits
yang terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin
dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh
memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran
yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu :
دعانا رسول الله صلى
الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا
ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ، وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا
كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان.
“Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau,
diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk
senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam
kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan
janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan
) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan
yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini,
maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan
pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti
dihadapan Allah nanti.
Tidak ada satu
nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada
hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha
Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya,
namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan ikatan yang terdapat
dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu
ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan
bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu
difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari
pada dalil yang umum.
Jika ada
pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang
meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang
meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?
Jawab : tidak
boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama :
menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai
dasar hukum.
Allah telah
menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar
mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar
mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak
berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muh
KONSEKWENSI
HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG
LAINNYA
Ada beberapa
kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi
karena riddah ( keluar dari Islam ) :
KONSEKWENSI
HUKUM YANG BERSIFAT DUNIAWI :
1- Kehilangan
haknya sebagai wali.
Oleh karena itu,
dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan
persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan
wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah
seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.
Para ulama fiqh
kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil
maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila
mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi
wali untuk seorang wanita muslimah.”
Ibnu Abbas
rodhiallohu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai
dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan
luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah
kekafiran, kemurtaddan dari Islam.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
ومن يرغب عن ملة إبراهيم
إلا من سفه نفسه
“Dan tidak ada
yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya
sendiri …” ( QS. Ibrahim, 130 ).
2- Kehilangan
haknya untuk mewaris harta kerabatnya.
Sebab orang
kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak
boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid rodhiallohu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda :
لا يرث المسلم الكافر
ولا الكافر المسلم.
“Tidak boleh
seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang
muslim.” ( HR. Bukhori dan Muslim ).
3- Dilarang
baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
يا أيها الذين آمنوا
إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا
“Hai orang orang
yang beriman, sesungguhnya orang orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” ( QS. At Taubah, 28 ).
4- Diharamkan
makan hewan sembelihannya.
Seperti onta,
sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah
sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya
harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang
murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.
Al Khazin dalam
kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang
orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para
penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad
mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain
demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”
5- Tidak boleh
dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan firman
Allah subhaanahu wa ta’aala :
ولا تصـل على أحد
منهم مات أبدا ولا تقـم على قبـره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون
“Dan janganlah
kamu sekali kali menshalatkan ( jenazah ) seorang yang mati diantara mereka,
dan janganlah kamu berdiri ( mendoakan ) di kuburannya, sesungguhnya mereka
telah kafir kepada Allah dan RasulNya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (
QS. At Taubah, 84).
Dan firmanNya :
ما كان للنبي والذين
آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم
. وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه ، فلما تبين له أنه عدو لله
تبرأ منه إن إبراهيم لأواه حليم
“Tidak
sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun ( kepada
Allah ) bagi orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya,
sesudah jelas bagi mereka bahwa orang orang musyrik itu adalah penghuni neraka
jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim ( kepada Allah ) untuk bapaknya, tidak
lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu,
tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka
berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun.”
No comments:
Post a Comment