ANAK PENGGUGAT ORANG TUANYA
ANAK DAN MURID
PENGGUGAT
ANAK-ANAK BISA
MENJADI
PENGGUGAT
Anak-anak bisa
menjadi penolong atau penggugat orang tuanya. Seorang bapak yang
tertatih-tatih berjalan di atas shirathal
mustaqim, dan akhirnya kemudian tergelincir, namun terselamatkan berkat doa
tulus anaknya.
Fiqih Pendidikan Anak Pra Baligh dan Baligh
Kajian kali ini
merupakan kajian yang temanya juga
berkaitan dengan anak, yakni fikih pendidikan anak pra baligh dan baligh dalam
Islam.
Kajian dimulai
dengan penuturan bahwa anak bisa menjadi
penolong atau
penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan, ada seorang bapak yang
tertatih-tatih berjalan di atas shirathal mustaqim, dan akhirnya kemudian
tergelincir, namun terselamatkan berkat doa tulus anaknya. Memangnya anaknya
doa apa? Ternyata bukan doa yang macam2 loh, tampaknya hampir semua anak muslim
hafal doa ini. Yup, doa orang tua. Rabbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa
kamaa rabbayaanii shaghiiraah.
Sebaliknya, anak juga dapat menjadi
penggugat orang tuanya. Beliau menceritakan kisah di jaman Rasulullaah ketika
ada seorang anak yang hendak dihukum karena mencuri, namun anak tersebut
menginginkan keadilan dengan meminta ibunya yang dihukum, karena ibunyalah yang
mengajarkan ia untuk mencuri. Naudzubillaah. Dari latar belakang itulah beliau
mengajak untuk mengajarkan anak dengan sebaik2nya. Ibaratnya, maukah kita orang
tua nanti di surga dituntut anak kita hanya karena anak kita tidak beristinja
dengan baik dan benar, karena kesalahan/kekurangan ajaran kita? *menurut beliau
istinja yang tidak bersih berakibat sesuatu yang cukup fatal, tapi saya lupa
apa yah, kalo ga salah tidak diterima shalatnya, cmiiw .. *
Lalu siapakah anak itu? Ada perbedaan
pemahaman mengenai anak dalam kaidah Islam dengan anak dalam kaidah kehidupan
sehari-hari khususnya di Indonesia. Dalam Islam, anak adalah fase pemula dalam
rentang kehidupan manusia. Tepatnya ada dua fase menurut Islam dipandang dari
sisi hukum, fase pra baligh (belum dewasa), dan fase baligh (dewasa).
Pada fase baligh seseorang sudah bertanggungjawab secara langsung terhadap
seluruh ucapan, sikap, tindakan yang dia lakukan, baik kepada Allah maupun
aparat hukum di dunia. Maka sudah sepantasnya orang tua memperlakukan anak yang
telah memasuki fase baligh sebagai seorang dewasa.
Beliau kemudian menceritakan
pengalaman seorang teman perempuannya ketika mencapai masa baligh, kira2 di
awal SMP. Saat itu sang Ibu dari temannya meminta sang anak untuk berwudhu dan
memakai mukena. Setelah berwudhu dan memakai mukena, sang anak pun diajak sang
ibu untuk duduk berhadapan, kemudian keduanya saling berjabat tangan layaknya
ijab. Sang ibu pun kemudian berkata yang kurang lebih intinya adalah sebagai
berikut, “Nak, kini sudah tiba saatnya bagimu untuk bertanggung jawab atas
dirimu sendiri.
Selama ini jka engkau melakukan
kesalahan, Ibu lah yang menanggung dosa2mu. Namun kini kau sudah baligh, sudah
dewasa. Dan Ibu tidak bisa lagi membantumu mempertanggungjawabkan semua ucapan
dan perbuatanmu. Kini malaikat Rakib dan Atid di kanan kirimu siap untuk
mencatat semua amal perbuatanmu. Maka berhati2lah dalam melakukan sesuatu,
karena sungguh seluruhnya akan dicatat oleh kedua malaikat tersebut.”
Subhanallaah.
Saat ini banyak anak perempuan yang
memasuki masa baligh dalam usia muda. Dan umumnya orang tuanya menganggapnya
masih seperti anak kecil. Padahal hal tersebut adalah salah menurut ustadzah.
Bandingkan dengan Usamah bin Zaid. Pemuda hebat yang pada usia belianya, 13tahun,
sudah dipercayakan oleh Rasulullaah memimpin pasukan perang Islam. Tidak
tanggung-tanggung, kala itu musuhnya adalah sekutu bangsa2 besar, yakni
Quraisy, Persia dan Romawi. Subhanallaah.
Ada yang tahu mengapa diperintahkan
untuk mengajarkan shalat kepada anak ketika umur 10tahun, kemudian
dipersilahkan untuk memukul anak umur 10tahun yang tidak shalat? Ternyata
memang usia tersebut pada jaman sekarang ini, sudah masuk usia baligh
(khususnya untuk perempuan). Bahkan sudah ada yang menjadi baligh di usia 8,
9tahun. Oleh karena itu memang sudah saatnya untuk bersikap tegas kepada
mereka, menyikapi mereka yang sudah harus dianggap orang tua sebagai orang
dewasa.
Sedikit membahas tentang `memukul
anak.`. Memukul walau diperintahkan, tapi bukan berarti jadi landasan orang tua
memukul anak. Karena Rasulullaah sendiri tidak pernah memukul anaknya. Nabi
Ayyub sendiri yang bernazar untuk memukul istrinya 1000kali jika sembuh dari
sakit, pada akhirnya memohon wahyu dulu dari Allah untuk memukul sitrinya, ga
langsung asal pukul saja. Dan pada akhirnya Allah memerintahkan Nabi Ayyub
untuk mengumpulkan 1000 batang padi kering, mengikatnya kemudian memukulkannya
sekali kepada istrinya, yang melambangkan nazar 1000 kali pukulannya. Jadi
tidak segampang dan seringan itu untuk memukul, walau diperintahkan. Karena
Islam penuh kasih sayang, bukan?
Sang ustadzah pun kemudian menjabarkan
pendidikan dan pengasuhan anak dalam tiga bagian per 6tahun. Untuk 6tahun
pertama, utamakanlah kasih sayang dan disiplin. Limpahkan kasih sayang,
pelihara disiplin untuk segala hal. Contoh, disiplin dalam makan, buang air,
tidur dan sebagainya. Pada 6tahun ke dua, kenalkanlah Allah dalam hidupnya.
Jelaskanlah hukum-hukum Islam, seperti halal dan haram, aurat, wudhu, shalat,
mencuri, mahram, juga surga dan neraka.
Ajarkan dan biasakanlah ia dengan
Al-Quran. Ajarkan juga mengenai hak-hak orang tua. Kenalkanlah dengan tokoh2
teladan dalam Islam. Ajarkan norma2 dalam masyarakat, dan tak lupa kembangkan
rasa percaya diri dan tanggung jawab. Pada 6tahun terakhir, perlakukanlah anak
sebagai seorang yang telah dewasa. Yang tak kalah penting, kenalkanlah ia
dengan teman yang baik. Sebetulnya poinnya tidak sesedikit ini, tapi yang
sempat tercatat hanya yang telah saya tuliskan di atas. Maaf yaa..
Nah , ternyata tindakan kita yang
mereka perhatikan, lebih mudah untuk dipahami dan tertanam dalam diri anak,
dibandingkan ucapan kita. Oleh karena itu hati-hati lah para orang tua dalam
bertindak dan bertingkah laku.
Terakhir, beliau
menutup dengan sebuah kalimat yang cukup dalam. Tutur beliau, “Yang penting itu
bukanlah seberapa cerdas anak kita, namun lihatlah betapa cerdasnya anak kita”.
Subhanallaah.
HINDARI
SANKSI FISIK & MENTAL PADA ANAK
Pertengkaran diantara anak-anak
bersaudara adalah hal biasa. Anak-anak siapapun dia: adik, kakak atau anak
tunggal semua suka melanggar aturan. Ketika di tegur, ludah belum kering sudah
di ulang lagi. Endingnya, keluarlah jerit tangis yang memekakkan telinga.
Perilaku anak di bawah sepuluh tahun memang labil. Terkadang patuh, terkadang
tanpa rasa bersalah melanggar aturan yang telah di tetapkan. Secara psikologis,
si kecil masih mengalami proses pengembangan moral. Ini memungkinkan mereka
dapat membedakan mana yang benar dan salah, serta melakukan keduanya sekaligus.
Begitulah anak-anak. Mereka lebih menyukai yang enak dan menyenangkan, tanpa
memikirkan benar atau salahnya. Fitrahnya manusia cenderung pada kebaikan.
Begitu pun anak-anak. Umumnya, anak merasa takut setelah melakukan kesalahan.
Ini menjadi sisi yang berguna untuk menuntun perilaku baiknya. Karena tak
jarang si kecil justru menutupi kekeliruannya dengan berbohong. Jadi, jangan
keliru menyikapinya. Tanggapi pengakuan ini dengan sabar, karena ia telah
berusaha untuk jujur.
Ajaklah berdiskusi mengapa
tindakannya itu dianggap sebagai suatu kekeliruan. Tapi jangan hanya bisa
menyalahkan. Berikan juga pujian karena telah berlaku jujur. Sebaliknya,
berilah anak sanksi jika ia melanggar aturan. Biasanya anak lebih konsekwen
jika sanksi yang akan diberikan di diskusikan dulu. Atau, biarkan anak memilih
sendiri sanksi untuk kesalahannya. Dalam menerapkan sanksi, orangtua harus
konsisten. Jika sekali saja lolos dari sanksi maka wibawa aturan akan luntur.
Dalam menerapkan sanksi, hindarilah
jenis sanksi yang mengarah pada kekerasan, baik secara lahiriah maupun secara
mental. Kekerasan lahiriah misalnya berupa pemukulan, tendangan ataua
pengurungan. Sedangkan kekerasan mental berupa pemberian julukan buruk,
misalnya si nenek sihir, si egois, si goblok! Jangan juga menyebut kelainan
fisik si anak seperti si peyang, si cebol, atau si tukang ngompol. Hukuman
seperti ini akan berdampak amat dalam pada si kecil. Hukuman fisik akan
berujung pada trauma yang berpotensi mengganggu kejiwaannya. Adapun hukuman
psikis akan mengganggu perkembangan mentalnya.
Disiplin pada anak sejak dini memang di
perlukan, selama hal tersebut dilakukan secara wajar, sesuai aturan agama dan
mempertimbangkan usia maupun perkembangan anak. Yang juga perlu diperhatikan
adalah memprioritaskan hal-hal apa dari sekian banyak hal yang akan di buat
aturannya. Jangan sampai kita berharap terlalu banyak (tidak realistis) pada
anak-anak kita untuk disiplin dalam segala hal yang jelas sangat sulit untuk
mereka lakukan. Bukankah sebagai pribadi yang dewasa kita juga perlu waktu
untuk dapat berdisiplin? kita juga belum tentu sanggup dan dapat menerima
dengan lapang dada ketika pasangan kita menerapkan disiplin yang kaku pada kita
dalam banyak hal tanpa kompromi, apalagi menggunakan kekerasan? Bagaimana
dengan anak-anak kita, buah hati kita, apakah sanggup dan lapang dada
mendapatkan perlakuan yang keras dari kita? Tentu saja mereka hanya korban,
yang belum punya daya untuk menolak atau membalas. Mungkin ada anak yang
sepertinya tampak kuat, acuh bahkan menjadi kebal dengan bentakan dan pukulan
orang tuanya, tetapi hatinya tidak sekuat fisiknya. Ada konflik psikologis yang
bisa terjadi pada diri anak-anak kita yang mungkin bisa terbawa sampai mereka
dewasa.
Saya yakin kita sebagai orang tua tidak
berharap demikian. Sebagai contoh, anak perlu latihan disiplin dalam hal menyikat
gigi, tidak jajan sembarangan, bangun pagi, berpakaian, makan, mandi,
bergiliran dengan teman, menonton tivi, bermain, membeli mainan, tidak
mengganggu adik dan lainnya. Ternyata jika di perhitungkan, ada banyak hal yang
kita harapkan pada anak. Tapi semoga kita tetap menjadi orang tua yang
bijaksana dan menetapkan standart yang realistis bagi anak-anak kita. Berilah
mereka waktu dan kesempatan untuk mencapai standart tersebut. Sebagai orang
dewasa pun tentunya kita berharap mendapatkan kesempatan dari orang lain untuk
mencapai suatu standart bukan ? Anak perlu rentang waktu, kesempatan, dorongan
dan lingkungan yang kondusif untuk memiliki kebiasaan yang baik dalam banyak
hal. Anak tidak akan merasa nyaman jika terlalu banyak di atur, dilarang,
dimaki dan hal-hal negatif lainnya.
Anak-anak juga merasa tertekan jika pada usia
mereka yang sangat muda, mereka dituntut untuk berbuat baik, tapi cara yang di
lakukan orang tua tidak baik. Disadari atau tidak, dalam hal ini orang tua
tidak menjadi contoh yang baik bagi anak, terutama dalam mengontrol emosi.
Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi model bagi anak-anak. Rasulullah Saw
adalah teladan kita. Beliau merupakan pribadi berdisiplin tinggi, tetapi beliau
tetap bersikap lembut pada anak-anak dan sangat menghargai proses bukan?kita
harus lebih fokus pada pengembangan disiplin anak dengan menghargai proses
mereka menuju kebaikan dan disiplin, bukan dengan menuntut hasil pembentukan
disiplin anak secara tepat dan dengan kekerasan. Tiap anak bersifat unik. Namun
demikian, prinsip dasar disiplin relatif sama.
Disiplin akan efektif jika orang tua menjadi
model yang ditiru sikap dan perilakunya. Jadi bukan hanya menyuruh, tapi tidak
menjadi teladan yang baik. Disiplin pada anak perlu diikuti dengan pemberian
pujian terhadap perilaku anak yang baik secara spesifik, bervariasi dan
berkesinambungan. ( Sumber: Majalah Sabili )
Sementara Imam
Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah
fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya,
menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut
Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila masalah
ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan
kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وما اختلفتم فيه من
شيء فحكمه إلى الله
“Tentang sesuatu
apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” (
QS. As Syura, 10 ).
Dan Allah Ta'ala
juga berfirman :
فإن تنازعتم في شيء
فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Jika kamu
belainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al
Qur’an ) dan Rasul ( As Sunnah ), jika kamu benar benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik
akibatnya.” ( QS. An Nisa’, 59 ).
Oleh karena
masing masing pihak yang berselisih pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan
hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah
yang benar, sementara tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang
pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib
kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kalau kita
kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita
dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar
dari islam.
PERTAMA : DALIL
DARI AL QUR’AN :
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah :
فإن تابوا وأقاموا
الصلاة وآتوا الزكاة فإخوانكم في الدين
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu ) adalah
saudara saudaramu seagama.” ( QS. At Taubah, 11 ).
Dan dalam surat
Maryam, Allah berfirman :
فخلف من بعدهم خلف
أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون
الجنة ولا يظلمون شيئا
“Lalu datanglah
sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ).
Relevansi ayat
kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman tentang
orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya : ”
kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika
menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi
ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan
orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :
· Hendaklah
mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah
mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah
mereka menunaikan zakat.
Allah Ta’ala
berfirman,
َخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ
خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah
sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui al ghoyya, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah
sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang tempatnya sangat
dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Pada ayat
selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ
وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang
yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Jika mereka
bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan
zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula,
jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun
bukan saudara seagama dengan kita.
Persaudaraan
seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar
secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena
kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Cobalah anda
perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena
membunuh :
فمن عفي له من أخيه
شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
“Maka barang
siapa yang diberi maaf oleh saudaranya, hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar ( diyat )
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik ( pula ).” ( QS. Al Baqarah, 178
).
Dalam ayat ini,
Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja
sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja
termasuk dosa besar yang sangat berat hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa
ta’aala berfirman :
ومن يقتل مؤمنا متعمدا
فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا أليما
“Dan barang siapa
yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka
jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.” ( QS. An Nisa’, 93 ).
Kemudian cobalah
anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari
kaum mu’minin yang berperang :
وإن طائفتان من المؤمنين
اقتتلوا فأصلحوا بينهما, فإن بغت إحداهما على الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى
أمر الله، فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين، إنما المؤمنون
إخوة فأصلحوا بين أخويكم .
“Dan jika ada dua
golongan dari orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya,
jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu
kembali ( kepada perintah Allah ), maka damaikanlah antara keduannya dengan
adil dan berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat
adil, sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu…” ( QS. Al Hujurat, 9 ).
Di sini Allah
subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua
pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran,
sebagaimana disebutkan dalam hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori
dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
سباب المسلم فسوق
وقتاله كفر
“Menghina seorang
Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran
ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar
dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat
suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka
masih saudara seiman.
Dengan demikian
jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar
dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang
sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam ) maka
persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak
dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada
pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat
pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah
tersebut ?
Jawabnya adalah
: orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat sebagian
ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad
Rahimahullah.
Akan tetapi
pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir,
namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits
Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu
Hurairah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam ketika
menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan
dibagian akhir hadits :
" ثم يرى سبيله
إما إلى الجنة وإما إلى النار ".
“ … Kemudian ia
akan melihat jalannya, menuju ke sorga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan
secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar
zakat”.
Ini adalah dalil
yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir,
sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan baginya menuju sorga.
Dengan demikian
manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (
yang tersirat ) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih
didahulukan dari pada mafhum.
KEDUA : DALIL
DARI AS SUNNAH :
1- Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam bersabda :
" إن بين الرجل
وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ".
“Sesungguhnya (
batas pemisah ) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim, dalam kitab al iman ).
2- Diriwayatkan
dari Buraidah bin Al Hushaib rodhiallohu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" العهد الذي
بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ".
“Perjanjian
antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka
benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan
Imam Ahmad ).
Yang dimaksud
dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam,
karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam menjadikan shalat sebagai
batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir, dan hal ini bisa
diketahui secara jelas bahwa aturan kafir tidak sama dengan aturan Islam,
karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia
termasuk golongan orang kafir.
3- Diriwayatkan
dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wassalam bersabda :
" ستكون أمـراء
، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا
نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ".
“Akan ada para
pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran
yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang
menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, (
tidak akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka ?,
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama mereka
mengerjakan shalat.”
4- Diriwayatkan
pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata :
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" خيار أئمتكم
الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم، وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم،
وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا
فيكم الصلاة ".
“Pemimpinmu yang
terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukaimu, serta mereka
mendoakanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling
jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu
melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah,
bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama
mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits
yang terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin
dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan tidak boleh
memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan kakafiran
yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan
hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit rodhiallohu ‘anhu :
دعانا رسول الله صلى
الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا
ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ، وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا
كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان.
“Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau,
diantara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk
senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam
kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan
janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan
) ini, sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan
yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini,
maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi Shalallahu
‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka dengan
pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan bukti
dihadapan Allah nanti.
Tidak ada satu
nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun ada
hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha
Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya,
namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan ikatan yang terdapat
dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu
ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan
bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu
difahami menurut dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat, sebab dalil dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari
pada dalil yang umum.
Jika ada
pertanyaan : apakah nash nash yang menunjukkan kekafiran orang yang
meninggalkan shalat itu tidak boleh diberlakukan pada orang yang
meninggalkannya karena mengingkari hukum kewajibannya ?
Jawab : tidak
boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama :
menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai
dasar hukum.
Allah telah
menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar
mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar
mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak
berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muh
KONSEKWENSI
HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG
LAINNYA
Ada beberapa
kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi
karena riddah ( keluar dari Islam ) :
KONSEKWENSI
HUKUM YANG BERSIFAT DUNIAWI :
1- Kehilangan
haknya sebagai wali.
Oleh karena itu,
dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara yang memerlukan
persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia tidak boleh dijadikan
wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan tidak boleh menikahkan salah
seorang putrinya atau putri orang lain yang dibawah kewaliannya.
Para ulama fiqh
kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil
maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila
mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi
wali untuk seorang wanita muslimah.”
Ibnu Abbas
rodhiallohu ‘anhu berkata : “ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai
dengan seorang wali yang bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan
luhur adalah agama Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah
kekafiran, kemurtaddan dari Islam.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
ومن يرغب عن ملة إبراهيم
إلا من سفه نفسه
“Dan tidak ada
yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya
sendiri …” ( QS. Ibrahim, 130 ).
2- Kehilangan
haknya untuk mewaris harta kerabatnya.
Sebab orang
kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang Islam tidak
boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan
dari Usamah bin Zaid rodhiallohu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda :
لا يرث المسلم الكافر
ولا الكافر المسلم.
“Tidak boleh
seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang
muslim.” ( HR. Bukhori dan Muslim ).
3- Dilarang
baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
يا أيها الذين آمنوا
إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا
“Hai orang orang
yang beriman, sesungguhnya orang orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” ( QS. At Taubah, 28 ).
4- Diharamkan
makan hewan sembelihannya.
Seperti onta,
sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya adalah
sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa penyembelihnya
harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan Nasrani ), adapun orang
murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka tidak halal.
Al Khazin dalam
kitab tafsirnya mengatakan : “Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang
orang majusi dan orang orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para
penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad
mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain
demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”
5- Tidak boleh
dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan firman
Allah subhaanahu wa ta’aala :
ولا تصـل على أحد
منهم مات أبدا ولا تقـم على قبـره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون
“Dan janganlah
kamu sekali kali menshalatkan ( jenazah ) seorang yang mati diantara mereka,
dan janganlah kamu berdiri ( mendoakan ) di kuburannya, sesungguhnya mereka
telah kafir kepada Allah dan RasulNya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (
QS. At Taubah, 84).
Dan firmanNya :
ما كان للنبي والذين
آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم
. وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا عن موعدة وعدها إياه ، فلما تبين له أنه عدو لله
تبرأ منه إن إبراهيم لأواه حليم
“Tidak sepatutnya
bagi Nabi dan orang orang yang beriman memintakan ampun ( kepada Allah ) bagi
orang orang musyrik, walaupun mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas
bagi mereka bahwa orang orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan
permintaan ampun dari Ibrahim ( kepada Allah ) untuk bapaknya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu,
tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka
berlepas diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun.”
Doa seseorang
untuk memintakan ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir,
apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu
bentuk penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang
orang yang beriman.
Bagaimana
mungkin orang yang beriman kepada Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang
yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah
musuh Allah ? sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
من كان عدوا لله وملائكته
ورسله وجبريل وميكال فإن الله عدو للكافرين .
“Barang siapa
yang menjadi musuh Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul rasul-Nya, Jibril dan
Mikail, maka sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang orang kafir.” ( QS. At
Taubah, 98 ).
Dalam ayat ini,
Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua orang orang kafir.
Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir,
karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
وإذ قال إبراهيم لأبيه
وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين .
“Dan ingatlah
ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena
sesungguhnya Dia akan memberi hidayah kepadaku.” ( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ).
Dan firmanNya :
قد كانت لكم أسوة
حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقوهم إنا برءاؤ منكم ومما تعبدون من دون الله
كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العـداوة والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده
“Sesungguhnya
telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang
bersama dengan dia, ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “sesungguhnya
kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami
ingkari ( kekafiran ) mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” ( QS. Al
Mumtahanah, 4 ).
Untuk mencapai
demikian adalah dengan mutaba’ah ( meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wassalam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
وأذان من الله ورسوله
إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين ورسوله
“Dan ( inilah )
suatu permakluman dari Allah dan RasulNya kepada umat manusia pada hari haji
akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang
musyrik .” (QS. At Taubah, 3 ).
6- Dilarang
menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia
kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash
dan ijma’.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
يا أيها الذين آمنوا
إذا جاءكم المؤمنـات مهاجـرات فامتحنوهن الله أعلم بإيمانهـن فإن علمتموهـن مؤمنات
فلا ترجـعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا هم يحلون لهن
“Hai orang orang
yang beriman, apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah
kepadamu, maka hendaklah kamu uji ( keimanan ) mereka, Allah lebih mengetahui
tentang mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka ( benar benar )
beriman, maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka )
orang orang kafir, mereka tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang
orang kafir itu tidak halal bagi mereka …”( QS. Al Mumtahanah, 10 ).
Dikatakan dalam
kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab,
tidak ada perbedaan pendapat diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan
sembelihan sembelihan mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang
murtad ( keluar dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia
tidak diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui
sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” (
seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka
diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk
agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk dinikahi, pent ).
Dan disebutkan
dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah
perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama
tidak ada ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan
pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”
Sebagaimana
diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita
yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad.
Dikatakan pula
dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila salah soerang dari suami
istri murtad sebelum sang istri digauli, maka batallah pernikahan mereka
seketika itu, dan masing masing pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain,
namun, jika murtad setelah digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama
: segera dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.”
Dan disebutkan
dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum
sang istri digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama,
berdasarkan banyak dalil, adapun bila terjadi setelah digauli, maka batallah
pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan
menurut pendapat Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut
Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian
disebutkan pula pada halaman 640 : “apabila suami istri itu sama sama murtad,
maka hukumnya adalah seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad,
jika terjadi sebelum digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika
terjadi sesudahnya, apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa
iddah . Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.
Selanjutnya
disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal
berdasarkan istihsan ( catatan: kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu
pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus ), karena dengan
demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama
sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh penulis
al Mughni dari segala segi dan aspeknya.
Apabila telah
jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki atau perempuan
yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah,
dan orang yangmeninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa
seseorang apabila tidak shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka
pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah
ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.
Hal ini berbeda
dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti
seorang laki laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk
Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi
jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu :
apabila sang suami masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut
tetap menjadi istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum
masuk Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan
demikian nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang istri masuk
Islam.
Pada zaman Nabi
Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam
bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali
jika terdapat sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut,
seperti apabila suami istri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan
kekeluargaan yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka
kalau keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua,
karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.
Masalah ini
tidak seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan
shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu
tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah
diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena murtad, untuk
itu, jika ada seorang laki laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka
pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki laki
itu masuk Islam dan ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan
akad nikah yang baru.
7- Hukum anak
orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak
istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan
shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan bagaimanapun tetap
dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah sah.
Sedang menurut
pendapat yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat itu kafir, dan
pendapat ini yang benar sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, pada fasal
pertama, maka kita tinjau terlebih dahulu :
· Jika sang suami
tidak mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian
itu, maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan
suami istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut
keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat (
yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam
nasab.
· Namun jika sang
suami itu mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu
tidak dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat
bahwa hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang
tidak dihalalkan baginya.
KONSEKWENSI
HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI.
1- Dicaci dan
dihardik oleh para malaikat.
Bahkan para
malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.
Allah subhaanahu
wa ta’aala berfirman :
ولو ترى إذ يتوفى
الذين كفروا الملائكة يضربون وجوههم وأدبارهم وذوقوا عذاب الحريق ذلك بما قدمت أيديكم
وأن الله ليس بظلام للعبيد
“Kalau kamu melihat
ketika para malaikat mencabut nyawa orang orang yang kafir, seraya memukul muka
dan belakang mereka ( dan berkata ) : “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang
membakar”, ( tentulah kamu akan merasa ngeri ). Demikian itu disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali tidak menganiaya
hambaNya.” ( QS. Al Anfal, 50 –51 ).
2- Pada hari
kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia
termasuk dalam golongan mereka.
Firman Allah
subhaanahu wa ta’aala :
احشروا الذين ظلموا
وأزواجهم وما كانوا يعبدون من دون الله فاهـدوهم إلى صراط الجحيم
“( Kepada para
malaikat diperintahkan ) : “Kumpulkanlah orang orang yang dzalim beserta orang
orang yang sejenis mereka dan apa apa yang menjadi sesembahan mereka, selain
Allah, lalu tunjukkanlah kepada mereka jalan ke neraka.” ( QS. Ash Shaffat, 22
–23 ).
Kata “ أزواج ”
bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam. Yakni : “Kumpulkanlah
orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis mereka, seperti orang orang
kafir dan yang dzalim lainnya.”
3- Kekal untuk
selama lamanya di alam neraka.
Berdasarkan
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
إن الله لعن الكافـرين وأعد لهم سعيرا خالدين
فيها أبدا لا يجدون وليا ولا نصيرا يوم تقلب وجوههم في النار يقولون يا ليتنا أطعنا
الله وأطعنا الرسولا.
“Sesungguhnya
Allah melaknati orang orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala
nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama lamanya, mereka tidak
memperoleh seorang pelindungpun dan tidak ( pula ) seorang penolong. Pada hari
ketika muka mereka dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah
baiknya, andaikata kami taat kepada Allah, dan taat ( pula ) kepada Rasul.” (
QS. Al Ahzab, 64 – 66 ).
Berbagai Kasus
Orang yang Meninggalkan Shalat
1. Kasus ini adalah
meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya sebagaimana mungkin
perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat
boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa]. Jika hal ini dilakukan
dalam rangka mengingkari hukum wajibnya shalat, orang semacam ini dihukumi
kafir tanpa ada perselisihan di antara para ulama.
2. Kasus kali
ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap gampang dan tidak pernah
melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka
orang semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
3. Kasus ini
yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan shalat
yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih dihukumi muslim secara
zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin
Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah lembut terhadap orang semacam ini
hingga dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya
dilihat dari keadaan akhir hidupnya].
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada seorang
hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian besar manusia
bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu menjaga shalat lima
waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat dan
terkadang meninggalkannya. Orang-orang semacam ini ada pada diri mereka iman
dan nifak sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada
masalah warisan dan semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang
munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan
kadang tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
4. Kasus ini
adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini
adalah sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan
disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor penghalang
untuk mendapatkan hukuman.
5. Kasus ini
adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu
rutin dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka
orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat
tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh
Nashiruddin Al Albani, 189-190)
PENUTUP
Hanya sampai di
sini apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini,
yang telah melanda banyak orang.
Pintu taubat
masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se
Islam, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan iklas
semata mata kepada-Nya, menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi, serta memperbanyak amal ketaatan.
Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman :
إلا من تاب وعمل عملا صالحا فأولئك
يبدل الله سيئاتهم حسنات وكان الله غفورا رحيما ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله
متابا
“Kecuali orang
orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan
mereka diganti dengan kebajikan, dan Allah adalah maha pengampun lagi maha
penyayang, dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka
sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar benarnya.” (
QS. Al Furqon, 70 – 71 ).
Semoga Allah
melimpahkan taufikNya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita
semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang orang yang dikaruniai keni’matan oleh
Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang
orang yang dimurkai atau orang orang yang tersesat.
No comments:
Post a Comment