KOPERASI MALAPETAKANYA BANYAK
(Drs.Haji
Muhammad Rakib Jamari,S.H.,M.Ag)
Kebanyakan
koperasi di Indonesia disalahgunakan oleh pengurusnya. Terjadi pada banyak SMP dan SMA Pekanbaru Riau, terjadi di ratusan perusahaan besar di Riau.
Karena itu
para pengurus koperasi yang beriman, hendaklah membaca kewajiban ini:
Malapetaka
koperasi selama ini, karena kurangnya pengawasan dari luar koperasi dan dari
dalam diri pengurus koperasi sendiri, sehingga terjadilah "pagar makan tanaman" Ingat kaedah aturan berikut ini:
1.Tidak
Boleh Berbuat Sesuatu yang Membahayakan (merugikan anggota koperasi)
لاَ
ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan
Asal Aturan Ini
Lafadz kaedah ini terambil dari sabda
Rosululloh yang diriwayatkan oleh IbnuMajah2/784, Baihaqi 10/133, Ahmad 1/313, Daruquthni 4/228, Hakim 2/57
dan beliau mengatakan shohih menurut syarat Imam Bukhori Muslim dan
disepakati oleh Imam Dzahabi, Malik 2/745, Abu
Dawud dalam Marosil hal : 44 dan lainnya dengan sanad hasan dari jalan
beberapa sahabat Rosululloh diantaranya adalah Ubadah bin Shomith,Ibnu
Abbas, Abu Sa’id al Khudri, Abu Huroiroh, Jabir
bin Abdillah, Aisyah,Tsa’labah bin Abi Malik al Qurodli dan Abu
Lubabah Rodliyallohu anhum ajma’in. (Lihat Takhrij hadits ini secara
lengkap dalam Jami’ Ulum wal Hikam oleh Imam Ibnu
Rojab hadits no : 32)
Dalam sebagian kitab yang membahas kaedah fiqhiyyah,
kaedah ini diungkapkan dengan lafadl :
لاَ
ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ
“Sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan.”
Namun ungkapan kaedah ini dengan lafadl diatas lebih
baik, karena beberapa sebab yang sudah saya katakan pada kaedah pertama, yang
intinya adalah :
1.
Bahwa lafadl
“لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَا رَ“
adalah nash
Rosululloh, dan bagaimanapun juga nash dari Rosululloh lebih diutamakan
daripada lainnya.
2.
Kaedah diatas mempunyai cakupan yang
lebih luas, yaitu menghilangkan kemadlorotan yang berhubungan dengan diri sendiri
maupun orang lain, baik dia yang memulai maupun saat membalas kejahatan orang
lain.
3.
Kekuatan dalil kaedah fiqhiyah yang
terambil langsung dari nash Rosululloh jauh diatas kekuatan sebuah kaedah
fiqhiyyah yang bukan diambil langsung dari sabda beliau. (Lihat Al
Wajiz fi Idlohi qowaid Fiqhil Kulliyah oleh DR. Muhamad Shidqi
al Ghozzi hal : 251)
4.
Makna kaedah
Para ulama berbeda pandangan saat
menerangkan sabda Rosululloh yang menjadi sebuah kaedah fiqhiyyah diatas. Namun
apapun perbedaan itu, semuanya tetap menuju pada sebuah tujuan yang sama yaitu
bahwasannya sesuatu yang membahayakan itu harus dihilangkan secara hukum
syar’i. (Lihat Bada’i Shona’i oleh Imam Al Kasani 5/136)
Cukuplah disini saya paparkan sebagian perkataan para
ulama tentang hadits ini, yang insya Alloh bisa mewakili yang lainnya :
Imam Ibnu Abdil Bar berkata :
“Adapun sabda Rosululloh :
ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah dua
lafadl tapi mengandung arti yang sama, Rosululloh mengungkapkan keduanya itu
hanya untuk semakin menguatkan pembicaraan”.
Ibnu Habib berkata :
“Lafadl “ضَرَرَ” menurut para pakar bahasa arab
adalah nama dari sesuatu yang membahayakan, sedangkan “ضِرَارَ ” adalah
perbuatan yang membahayakan itu sendiri.” Beliau juga mengatakan bahwa makna
ضَرَرَ adalah janganlah berbuat sesuatu yang dia tidak melakukannya untuk
dirinya sendiri, sedangkan arti ضِرَارَ adalah janganlah seseorang itu
membahayakan orang lain.”
Inilah yang dinukil oleh Ibnu
Habib.
Al Khusyani berkata :
“ضَرَرَ adalah sesuatu yang membayakan yang engkau
bisa memetik manfaatnya tapi bisa membahayakan orang lain, sedangkan adl dliror
adalah perbuatan yang engkau sama sekali tidak bisa memetik manfaatnya namun
bisa membahayakan orang lain”.
Sedangkan para ulama’ lainnya juga berkata :
“Lafadl :
لا ضرر و لا ضرار
mirip dengan lafadl : القتل yang artinya membunuh dan
lafadl القتال yang berarti memerangi, maksudnya adalah bahwasanya makna
adl dloror adalah berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia
tidak berbuat yang membahayakan dirinya, sedangkan makna adl dliror adalah
berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain yang mana dia berbuat jahat
kepadanya kalau hal itu tidak diilakukan untuk membela sebuah kebenaran.”
(Lihat At Tamhid 20/158)
Syaikh Ahmad Az Zarqo berkata :
“Para ulama’ berselisih tentang perbedaan antara kedua
lafadl ini menjadi banyak pendapat, namun telah disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar
al Haitsami dalam syarah Arba’in Nawawi bahwa yang paling bagus adalah bahwa
makna لا ضرر adalah larangan berbuat yang membahayakan orang lain secara
muthlak, sedangkan makna لا ضرار adalah jangan berbuat sesuatu yang
membahayakan orang lain meskipun untuk membalas perbuatan jahatnya.”
( Lihat Syarah Qowa’id Fiqhiyyah hal : 140)
Hadits ini menunjukkan bahwa semua
bentuk perbuatan yang membahayakan harus dihilangkan dan tidak boleh di
kerjakan, karena Rosululloh mengungkapkannya dengan bentuk penafian, yang
mencakup semua bentuk perbuatan yang membahayakan. (LihatAl Wajiz hal
: 252)
Al Munawi berkata :
“Hadits ini mencakup semua bentuk perbuatan yang
membahayakan, karena kalimat dengan bentuk nakiroh kalau jatuh setelah lafadl
penafian menunjukkan keumuman.”
(Lihat Faidlul Qodir 6/431)
Semua keterangan ini adalah tertuju pada larangan
untuk berbuat sesuatu yang membahayakan orang lain kalau tanpa ada sebab yang
membenarkan perbuatan tersebut, namun kalau ada sebab yang membenarkannya
secara syar’i, maka itu diperbolehkan. Misalnya memotong tangan seorang yang
mencuri, merajam orang yang berzina muhson dan lainnya, karena meskipun semua
ini ada sisi kemadlorotannya, namun hal itu diperbolehkan karena dilakukan
dengan cara yang benar, dan madlorot yang ditimbulkannya tidak sebanding dengan
manfaat yang dihasilkannya.
Dan kalau dicermati, bahwa perbuatan yang membahayakan
orang lain tanpa ada sebab yang membolehkannya secara syar’i itu ada dua
kemungkinan, yaitu :
1.
Perbuatan yang memang dilakukan dengan
tujuan membahayakan orang lain dan sama sekali tidak bermanfaat bagi pelakunya
kecuali hanya untuk membahayakan orang lain saja. Maka perbuatan ini
jelas-jelas terlarang. Banyak sekali dalil yang menunjukkan akan hal ini.
2.
Perbuatan yang membahayakan orang lain
namun ada manfaatnya bagi pelaku, seperti kalau seseorang berbuat sesuatu dalam
miliknya sendiri namun mengakibatkan bahaya bagi orang lain, maka hukumnya ada
dua kemungkinan :
·
Yang pertama : kalau hal itu dilakukan
dengan cara yang tidak wajar, maka dia harus mengganti kerugian yang
diderita oleh orang lain tersebut, seperti kalau dia membakar sampah miliknya
ditanahnya sendiri pada saat terik matahari yang sangat menyengat dan angin
sedang berhembus kencang, lalu tidak dia jaga menjalarnya api dan selanjutnya
api tersebut membakar benda milik tetangganya maka dia wajib mengantinya.
·
Yang kedua : Kalau hal itu dilakukan
dengan cara yang wajar, maka para ulama’ berselisih pendapat akan boleh dan
tidaknya. Namun yang rajih bahwa hal tersebut juga dilarang. seperti seseorang
yang memelihara ayam ditengah-tengah perkampungan yang baunya sangat mengganggu
masyarakat sekitar, membuat bangunan yang tinggi sehingga bisa melihat aurot
tetangganya, mengunakan bahan peledak untuk mengambil batu di gunung kalau hal
itu bisa merobohkan atau meretakkan bangunan rumah yang ada disekitarnya dan
beberapa contoh yang semisalnya (Lihat Al Mughni oleh Imam
Ibnu Qudamah 7/52, Jami’ lum wal hikam dengan sedikit
perubahan dan tambahan)
Kedudukan aturan ini
Kaedah ini mempunyai kedudukan yang
sangat agung dalam syariat agama islam, bahkan bukan berlebihan kalau saya
katakan bahwasanya kaedah ini mencakup separoh agama islam, karena syariat
islam dibangun atas dua hal yaitu mendatangkan kemaslahatan dan menghilangkan
kemadlorotan, dan kaedah ini mencakup semua bentuk kemadlorotan harus
dihilangkan (Lihat Syarah Kaukab Munir oleh Ibnu
Najjar Al Hanbali 4/443)
Kaedah ini juga merupakan salah satu
rukun syariat islam yang agung, yang mana kandunganya dikuatkan oleh banyak
sekali dalil dari al Qur’an adan As sunnah. Kaedah ini merupakan pondasi untuk
mencegah perbuatan yang membahayakan, juga pondasi untuk mengganti kerugian
perbuatan yang membahayakan tersebut baik secara perdata maupun pidana, kaedah
ini merupakan dasar bagi para fuqoha’ dalam menentukan berbagai permasalahan
yang berhubungan dengan banyak kejadian. (Lihat Al Madkhol Al Fiqh al
‘Am oleh Az Zarqo 2/977)
Dalil-dalil Kaedah
Banyak sekali dalil yang menguatkan kandungan dari
kaedah ini, selain hadits diatas yang merupakan pokok kaedah ini, yang intinya
adalah tentang menghilangkan sesuatu yang membahayakan diri dan orang lain
dengan cara apapun, diantaranya adalah :
1.
Firman Alloh tentang larangan wasiat
yang membahayakan :
“Setelah ditunaikan wasiat yang dibuat
olehnya atau setelah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madhorot
kepada ahli waris.”
(QS.
An An Nisa’ : 12)
2.
Firman Alloh tetang larangan ruju’ kepada
istri untuk tujuan membahayakannya :
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu
mereka mendekati masa iddahnya, maka rujuklah kepada mereka dengan cara yang
bagus atau ceraikanlah dengan cara yang baik pula, janganlah kamu rujuk pada
mereka untuk memberi kemudhorotan, karena dengan demikian kamu telah berbuat
yang menganiaya mereka. Barang siapa yang berbuat demikian maka berarti dia
telah berbuat dholim kepada dirinya sendiri.”
(QS.
Al Baqoroh : 231)
3.
Firman Alloh tentang masalah menyusui
anak :
“Janganlah si ibu mendapatkan kemudhorotan
disebabkan oleh anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya.”
(QS.
Al Baqoroh : 233)
4.
Firman Alloh Ta’ala :
“Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu
bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka.”
(QS.
Ath Tholaq : 6)
5.
Firman Alloh dalam hadits Qudsi :
“Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan
kedholiman atas diriKu, maka janganlah kalian saling mendholimi.”
(HR.
Muslim 4/1994)
dan masih banyak lagi dalil lainya.
Penerapan kaedah
Kayaknya tidak mungkin untuk menyebutkan semua
penerapan kaedah ini, namun kita isyaratkan pada sebagiannya saja, adapun yang
lainnya silahkan untuk di qiaskan sendiri dengan yang sudah ada.
Diantara penerapan kaedah ini, ada yang terambil dari
atsar para sahabat ataupun yang ditegaskan oleh para ulama’. Diantaranya adalah
:
1.
Barang siapa yang barangnya dirusak oleh
orang lain, maka dia tidak boleh merusak barang milik orang lain tersebut,
karena itu akan memperluas kemadhorotan tanpa ada faedah yang berarti, namun
cukup dengan meminta ganti rugi.
2.
Seandainya ada seseorang yang menyewa
tanah orang lain untuk ditanami padi atau tanaman lainnya, lalu habis masa sewa
padahal padi masih belum waktunya panen, maka tanah itu masih berada dalam
genggaman yang menyewa sampai masa panen dengan membayar sewa tanah tambahan
sesuai adat yang berlaku di masyarakat, itu demi menghilangkan kemadhorotan
kalau tanaman harus di panen sebelum waktunya.
3.
Haram merokok, karena itu akan membahayakan
diri pelaku dan orang yang ada disekitarnya.
4.
Boleh bagi pemerintah untuk melarang
para pedagang dari mengimport barang dari luar negeri kalau hal itu akan
membahayakan perkonomian dalam negeri, begitu pula sebaliknya boleh bagi
pemerintah untuk melarang eksport barang keluar negri kalau barang tersebut
sangat terbatas dan tidak mencukupi kebutuhan penduduk negeri tersebut.
5.
Dilarang menimbun makanan atau benda
lain yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat karena itu akan membahayakan
mereka.
6.
Kalau ada seseorang yang pesan kepada
tukang kayu untuk dibuatkan lemari, maka dia wajib untuk menerimanya kalau si
tukang telah membuatkan sesuai dengan kriteria yang disepakati, karena kalau
tidak maka akan memadhorotkan tukang kayu tersebut.
Cabang-cabang kaedah لاَ ضَرَرَ
وَلَا ضِرَا رَ
Tidak boleh berbuat sesuatu yang
membahayakan
Ada beberapa kaedah yang merupakan cabang dari kaedah
besar ini. Diantaranya adalah :
Kaedah pertama :
الضَرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ
(Sesuatu yang membahayakan harus diantisipasi
semampunya)
Makna kaedah
Bahwa secara hukum syar’i, sesuatu yang membahayakan
itu harus diantisipasi semampunya jangan sampai terjadi, kalau hal itu bisa
dilakukan dengan tanpa menimbulkan bahaya lainnya, maka itulah yang
sebenarnya harus dilakukan. Namun jika tidak memungkinkan, maka dilakukan
semampunya meskipun menimbulkan bahaya yang lebih kecil.
Kaedah ini memberikan sebuah faedah untuk
menggunakan segala cara yang memungkinkan demi sebuah tindakan preventif atau
antisipasi jangan sampai ada sebuah bahaya yang akan datang, sebagaimana
ungkapan yang masyhur “menjaga itu lebih baik daripada mengobati”. Dan
untuk melakukan hal ini maka dengan batas kemampuan yang ada.
Dalil kaedah :
Diantara yang mendasari kaedah ini adalah firman Alloh
:
“Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda
yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan
musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak
mengetahuinya.”
(QS. An Anfal : 60)
Sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa Alloh
memerintahkan kaum muslimin untuk mempersiapkan kekuatan diri untuk mencegah
bahaya yang akan datang dari musuh. Hal itu untuk menakut nakuti mereka,
sehingga mereka tidak akan menyerang kaum muslimin, dan seandainya mereka
menyerang, maka kaum muslimin sudah punya persiapan diri.
Contoh penerapan kaedah :
·
Disyariatkan jihad untuk menolak bahaya
yang datang dari musuh islam
·
Adanya syariat hukuman bagi para pelaku
tindakan kriminal untuk menjaga jangan sampai orang dengan mudah berbuat
kejahatan, karena kalau seseorang mengetahui bahwa kalau dia berbuat jahat akan
mendapatkan hukuman yang setimpal maka itu kan menyurutkan niatnya.
·
Boleh untuk menolak transaksi dari
seorang yang safih (orang tidak mengerti mengatur keuangan dengan baik) juga
dari seorang yang muflis (orang bangkrut dan mempunyai banyak hutang) untuk
menahan bahaya yang akan muncul pada hartanya safih maupun orang yang
menghutangi muflis tersebut.
Kaedah kedua :
الضَرَرُ يُزَالُ
(Sesuatu yang membahayakan itu harus
dihilangkan)
Makna kaedah :
Makna kaedah ini hampir mirip dengan kaedah pokok,
yaitu setiap yang membahayakan itu harus atau boleh dihilangkan.
Contoh penerapan kaedah :
·
Apabila ada seseorang yang mengalirkan
air bekas mandi maupun cuci dari rumahnya ke jalan sehingga mengotori dan
membuat banjirnya jalanan dan mengganggu orang yang lewat dijalan tersebut,
maka pemilik rumah tersebut harus membuntunya atau mengalirkan ke arah lainnya.
·
Jika ada seseorang yang membuat bangunan
sampai ke arah jalan umum sehingga mengganggu orang atau kendaraan yang lewat,
maka harus di robohkan bangunan yang mengganggu tersebut
·
Jika ada pohon milik seseorang yang
tinggi dan besar sehingga dahannya mengganggu tetangga, maka harus dipoting
dahan tersebut.
Kaedah ketiga :
الضَرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ
(Sesuatu yang membahayakan itu tidak
boleh dihilangkan dengan sesuatu yang membahayakan juga.)
Makna kaedah :
Bahwa kewajiban untuk menghilangkan sesuatu yang
membahayakan itu harus jangan sampai menimbulkan kemadhorotan lain yang
semisalnya, jadi syarat menghilangkan kemadhorotan adalah dengan sesuatu yang
tanpa adanya kemadhorotan yang lain atau dengan kemadhorotan yang lebih kecil.
Jadi sebenarnya kaedah ini adalah pengkhususan dari
kaedah yang sebelumnya.
Contoh penerapan kaedah :
·
Kalau ada seseorang yang dipaksa
membunuh orang lain, jika tidak membunuh maka dia akan dibunuh, maka tidak
boleh dia membunuh, karena madhorot yang akan ditimbulkannya sepadan dengan
madhorot yang sekarang ada.
·
Kalau ada seseorang yang merusak benda
milik orang lain, maka tidak boleh bagi yang dirusak untuk membalas merusak
merusak benda orang yang merusak tadi. Tapi dia berhak untuk meminta ganti
rugi.
Kaedah keempat :
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
(Apabila berbenturan antara dua hal yang
membahayakan, maka harus dihilangkan madhorot yang paling besar meskipun harus
mengerjakan madhorot yang lebih kecil)
Makna kaedah :
Kalau sebuah perkara itu dilakukan ataupun tidak
dilakukan akan menimbulkan kemadhorotan, maka harus ditimbang antara madhorot
yang besar dengan yang kecil, dan boleh mengerjakan madhorot yang kecil demi menghilangkan
madhorot yang besar.
Dalil kaedah :
Kaedah ini didasari oleh banyak dalil, diantaranya :
Dalil al Qur’an
Kisah Nabi Musa dengan Khidr. Alloh berfirman :
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya
menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi
perahu itu yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu
telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku
telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan
aku” Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan
janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”. Maka
berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih,
bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu
yang mungkar”. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” Musa berkata: “Jika aku
bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu
memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan udzur
padaku”. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk
suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu tetapi penduduk
negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri
itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa
berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”. Khidhr
berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku akan memberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut,
dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang
raja yang merampas tiap-tiap bahtera. Dan adapun anak itu maka kedua orang
tuanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong
kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki,
supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik
kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu
bapaknya).
(QS. Al Kahfi : 71-81)
Sisi pengambilan dalil dari kisah ini, bahwa tatkala
benturan antara dua mafsadah, yaitu merusak perahu dengan mafsadah akan
dirampas oleh raja yang dholim, maka nab Khidhr memilih merusak, karena
mafsadahnya lebih kecil. Begitu juga dengan perbuatan beliau membunuh anak
kecil yang dengan wahyu dari Alloh beliau mengetahui bahwa dia akan memaksa
orang tuanya menjadi kafir, maka beliau membunuhnya karena pembunuhan anak
kecil itu lebih kecil mafsadahnya dibandingkan kekufuran, karena orang tua
mereka masih mungkin mendapatkan anak lainnya.
Dalil as Sunnah :
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا « أَلَمْ تَرَىْ أَنَّ قَوْمَكِ لَمَّا بَنَوُا الْكَعْبَةَ اقْتَصَرُوا عَنْ قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ » . فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ تَرُدُّهَا عَلَى قَوَاعِدِ إِبْرَاهِيمَ . قَالَ « لَوْلاَ حِدْثَانُ قَوْمِكِ بِالْكُفْرِ لَفَعَلْتُ
Dari Aisyah bahwasannya Rosululloh berkata kepadanya :
“Tidakkah engkau mengetahui bahwa kaummu (Quraisy) tatkala membangun ka’bah
kurang dari pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim ? maka saya berkata : “Ya
Rosululloh, kenapa tidak engkau kembalikan kepada pondasinya Nabi Ibrohim ?
maka Rosululloh menjawab : “Seandainya bukan karena kaummu masih baru keluar
dari kekufuran niscaya akan aku lakukan.”
(HR. Bukhori Muslim)
Sisi pengambilan dalil dari hadits ini sangat jelas,
yaitu tatkala benturan antara salahnya bangunan ka’bah yang tidak sesuai dengan
pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrohim dengan mafsadah fitnah yang akan muncul
seandainya Rosululloh membongkar ka’bah padahal orang-orang Quraisy masih baru
masuk islam, maka beliau memilih mafsadah membiarkan ka’bah apa adanya karena
mafsadahnya lebih kecil.
Dan masih banyak hadits-hadist yang menunjukkan atas
hal ini.
Contoh penerapan kaedah :
·
Seandainya orang yang sholat seandainya
dia berdiri akan terbuka aurotnya, sedangkan kalau sambil duduk tidak terbuka,
maka dia sholat sambil duduk, karena mafsadah terbuka aurot lebih besar
dibandingkan mafsadah sholat sambil duduk.
·
Apabila seorang wanita meninggal dunia
dalam keadaan di perutnya ada janin yang masih hidup dan kalau dikeluarkan
dengan bedah akan bisa menyelamatkan jiwanya, maka boleh membedah perut mayit
demi keselamatan bayinya.
Kaedah kelima :
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
(Menghilangkan kemadhorotan itu lebih
didahulukan daripada mengambil sebuah kemashlahatan)
Makna kaedah :
Maksudnya adalah kalau berbenturan antara
menghilangkan sebuah kemadhorotan dengan sesuatu yang membawa kemaslahatan maka
di dahulukan menghilangkan kemadlorotan, kecuali kalau madhorot itu lebih kecil
dibandingkan dengan mashlahat yang akan ditimbulkan.
Dalil kaedah :
Firman Alloh :
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.
(QS. Al An’am : 108)
sisi pengambilan dalil dari ayat ini bahwa memaki
sesembahan orang kafir ada sebuah manfaat yaitu merendahkan agama dan
sesembahan mereka, namun tatkala maslahat itu berdampak mereka akan mencela dan
memaki Alloh, maka Alloh melarang mencela sesembahan mereka.
Timbangan maslahat dan mafsadah
Meskipun demikian, kaedah ini tidaklah berlaku secara
mutlak, namun perlu untuk diperinci dengan melihat besar kecilnya maslahat dan
mafsadah, yaitu :
1.
Jika mafsadahnya lebih besar dibanding
maslahatnya, maka menghindari mafsadah itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan
tersebut.
2.
Jika maslahatnya jauh lebih besar
dibandingkan dengan mafsadah yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih
diutamakan daripada menghindari mafsadahnya.Oleh karena itu jihad berperang
melawan orang kafir disyariatkan, karena meskipun ada mafsadahnya yaitu
hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat menegakkan kalimat Alloh
dimuka bumi jauh lebih utama dan lebih besar.
3.
Apabila maslahat dan mafsadah seimbang,
maka secara umum saat itu menolak mafsadah lebih didahulukan daripada meraih
kemaslahatan yang ada
Contoh penerapan
kaedah :
·
Dilarang jual beli khomer, babi dan
lainnya meskipun ada maslahat dari sisi ekonomi
·
Jika bercampur antara daging yang halal
dan yang haram dan tidak dapat dipisahkan antara keduanya, maka semuanya tidak
boleh dimakan, karena menolak mafsadah makan daging haram lebih dikedepankan
daripada maslahat daging yang halal.
·
Larangan membuat jendela rumah kalau
dengannya bisa melihta aurot tetangganya, meskipun itu ada maslahat
baginya.
Assalamualaikum, wr.wb.
ReplyDeleteSaya mau bertanya Pak,
Apakah KopSyah yang ada di kota Pekanbaru merupakan BMT (BAITUL MAAL WAT TAMWIL) ?
Mohon penjelasannya Pak, terima kasih.