Wednesday, July 30, 2014

WIDYAISWARA TERANCAM



WIDYAISWARA TERANCAM PANGKATNYA DAN GODAAN


Sulitnya WI, naik pangkat,
Kerjanya rumit, aturannya ketat.
Harus menjelimat, nomor-nomor surat
Diusulkan banyak, yang diterima seperempat

By Muhammad Rakib. LPMP Riau,2011
1.Awas penyakit  AIDS
SEKADAR mengabarkan, kalangan  widyaiswara yang selalu berpergian, banyak godaan. Yang paling ditakutkan pengidap virus HIV/AIDS relatif tinggi di perhotelan, dibandingkan kalangan wanita pelacur lainnya. Setidaknya di Surabaya ada 547 orang terjangkit hingga periode September 2010. Enam belas orang diantaranya telah meninggal, demikian data Dinas Kesehatan Surabaya, seperti dilansir Surya Online, 11 November 2010.
Angka-angka itu seperti angin lalu. Tak ada yang peduli dengan deretan data-data karena para pria hidung belang, barangkali lebih asyik berganti-ganti “lubang” pasangan atau memakai narkoba. Padahal, tahun 2009 jumlah ibu rumah tangga yang terjangkit hanya 63 orang.
Jumlah itu sama dengan jumlah kalangan pelacur yang terjangkit pada tahun 2010. Deretan data-data tersebut tak harus dicibir. Semuanya tak ada yang tak mungkin, bila pelacuran yang konon terbesar di Asia Tenggara masih beroperasi di kota itu. Para istri seperti dikibuli “aktivitas” suaminya ketika di luar rumah, yang lebih kemecer pada dada-dada telanjang, yang dijejer di etalase-etalase kaca. Memilih pun cukup memakai telunjuk, bayar sesuai tarif, dan sesudahnya segera ngamar. Mereka tak paham, bahwa sesudahnya virus mematikan itu menjalar ke “lubang” istrinya.
**
RABU MALAM, 18 MEI 2011. Jarum speedometer tak lebih dari 40 kilometer per jam, ketika mobil meluncur di Jalan Raya Kupang, Surabaya. Jalanan cukup ramai – dengan lalu lalang kebanyakan laki-laki muda dan paruh baya – di jalan yang lebarnya sekitar delapan meter itu. Jalan itu lebih dikenal dengan kawasan Jarak oleh orang-orang Surabaya.
Sopir mengeluh karena kerepotan mencari tempat parkir. Mobil akhirnya diparkir di sebuah pelataran mirip garasi. Dan, sepertinya bangunan tersebut memang dibuat khusus untuk parkir. Tarifnya, Rp10.000 per dua jam.
Baru saja membuka pintu mobil, udara tak begitu segar dan suasana cukup ribut dengan suara musik. Di belakang mobil – seberang jalan – terlihat wanita-wanita di balik kaca, berderet di sofa sambil menyilangkan kaki yang celananya sepaha. Beberapa diantaranya serius menikmati acara televisi, yang lain cuma duduk bersandar, sedikit njempong ke samping, atau bermain handphone.
Bersama tiga kawan, saya mencoba memasuki area yang terkenal dengan tempat prostitusi, konon terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan lokalisasi di Patpong, Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Gang Dolly, begitulah orang Surabaya dan kebanyakan lainnya menjuluki daerah itu.
Dalam situs wikipedia dijelaskan, gang ini sudah ada sejak zaman Belanda dan dikelola oleh seorang perempuan keturunan Belanda yang dikenal dengan nama Tante Dolly van der mart. Keturunan dari Tante Dolly tersebut sampai sekarang masih ada di Surabaya meskipun sudah tidak mengelola bisnis prostitusi tersebut.
Gang itu tak begitu panjang, sekira 200 meter. Wanita berjajar di depan pintu atau duduk di sofa di balik kaca. Dandanannya molek, seksi, atau bahkan memakai semacam lingerie – tak ada dari mereka yang bercelana panjang.
Semua di atas paha, tak lebih dari 30 centimeter dari perut; bajunya berpotong lengan sehingga tampak keteknya, dan sedikit sembulan dadanya. Pengunjung bisa melihat kemulusan tubuh bagian mana saja, kecuali “jualan” mereka.
Mereka duduk di sofa yang telah ditata; pengunjung bisa melihat untuk tawar menawar. Mereka bergolek-golek di sofa; bermain ponsel, merokok, memegang michropone berkaraoke, atau bersolek. Tak ada yang risih bagi mereka dipajang seperti itu. Ada yang tersenyum ketika ada yang melongok ke dalam. Anda sudah seperti melihat barang-barang di etalase mal!
Ada pula yang cuek, mungkin karena bosan, saban hari-hari itu-itu saja yang dilihatnya. Bisa jadi laki-laki itu juga yang datang, siapa kira?.
Belum lama jalan dari tempat parkir, seorang laki-laki muda merangkul. Ia seorang makelar, ternyata. Ia menawarkan perempuan di rumah bordil tempat kerjanya.
“Rp80 ribu ae. Murah, ayo toh!,” bujuknya sambil memegang tangan saya. Saya hanya menggeleng terus melanjutkan langkah kaki.
Seumur-umur baru kali ini, saya memasuki lingkungan prostitusi. Rasa yang gemetar dengan bayangan aneh-aneh berkelindan di kepala. Tak membayangkan menikmati jalan-jalan di area perlendiran.
Asap rokok di mana-mana. Riuh rendah para makelar menawarkan “dagangan”-nya. Saya amati mereka: ada yang tua, bahkan ada yang masih muda-muda sekitar umur belasan sampai dua puluhan. Mereka bertengger di depan rumah-rumah bordil yang berjejer di sepanjang gang itu.
**
SEORANG LAKI-LAKI berperawakan Tionghoa duduk lunglai di kursi pendek di depan pintu, ketika saya keluar dari rumah “Bara Bintang”. Kaosnya tersibak ke atas, sehingga perut buncitnya terlihat. Ia tampak lelah. Ia baru saja keluar dari dalam rumah, kemudian duduk kembali menunggu tamu yang datang bersinggah, untuk melihat “anak-anak”-nya dipajang.
Saya mampir sebentar di rumah laki-laki itu. Rumahnya remang-remang. Ia agak menjorok ke dalam dari jalanan gang. Di dalam sudah terlihat lampu putih di etalase. Ada yang baru masuk ke etalase, mungkin baru selesai melayani. Saya melongok. Beberapa wanita dipajang, tapi saya tak tertarik. “Jelek-jelek. Ayo keluar!” ujar saya.
Di sepanjang gang tersebut terdiri atas puluhan rumah. Ada yang menamainya dengan mirip artis Hollywood seperti “Madonna Jaya”atau nama-nama yang mengasosiasikan kawasan penjualan “kelamin”. Diantaranya , Rilex 2, Lancar Jaya, Bara Bintang, Wisma Jaya Indah, New Barbara, Wisma Sembilan belas, Wisma Arum Manis, Putri Lestari, Wisma Ayu Asih, Wisma Rama, Pijat Wisma Kalimantan, dan Wisma Santai.
“Nih malah Dollywood, tapi kok tutup ya? kata teman saya
“Bangkrut kali” tukas lainnya.
Saya tertawa.
Di semua rumah itu, terpasang “mantra” tolak bala bagi anggota TNI – “Anggota TNI dilarang masuk” tertempel di atas pintu. Toh, “mantra” itu juga hanya klise semata, data Dinkes Surabaya pada 2010 menunjukkan, virus HIV/AIDS juga menjalar di kalangan TNI/POLRI, mahasiswa, wiraswasta dan paramedis. Ada 13 anggota TNI/POLRI, tiga orang PNS, dan sembilan orang mahasiswa dinyatakan terjangkit virus mematikan itu.
Hal yang ironis adalah paramedis, bukan? Padahal di areal itu juga buka klinik –“dr Adik Kurniawan” yang berada tempat di depan rumah bordil “Bara Bintang” – yang digunakan sebagai tempat konsultasi kesehatan.
Nama “Barbara” jumlahnya ada beberapa, saya hitung hampir ada 10 rumah bordil. Dan sepertinya itu dimiliki satu orang, tapi ini baru dugaan saya. Namun, belakangan saya cari tahu, dugaan itu sedikit terjawab, meski ini belum tentu benar adanya.
Adalah Like Meiliani Sutedja, mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Surabaya, yang membuka dugaan saya itu menjadi agak sedikit terang. Ia menyimpulkan bahwa struktur pasar dan strategi harga di Dolly adalah oligopoli atau bentuk persaingan pasar yang didominasi beberapa produsen atau penjual dalam satu area. Simpulan itu merupakan hasil penelitian skripsinya kawasan Dolly dari segi ekonomi.
Seperti dikutip Koran Surya (10/4/2010), Meiliani mengklasifikasi pebisnis besar di kompleks yang memiliki 54 wisma itu menjadi dua. Pertama, induk semang atau mucikari yang mengelola satu wisma dan menampung rata-rata 44 pelacur. Kedua, pebisnis besar yang punya enam wisma sekaligus dengan total pelacur mencapai 70 perempuan.
Di ujung, rumah bordil “New Barbara” tergolong paling ramai dan tarifnya tinggi. Dentuman musik-musik khas bar – house music, dan kerlip-kerlip lampu meningkahi para laki-laki di dalam. Ditemani botol-botol bir dan hisapan rokok, mereka bebas memilih tempat duduk, untuk kemudian bisa memilih atau sekedar cuci mata. Saya sendiri hanya di depan pintu, sudah risih mau masuk rumah itu. Di depan pintu, seorang bapak paruh baya menemani kami. Bercerita dan sekali lagi, menawarkan harga.
“Berapa di sini pak” tanya saya
“Di sini Rp160 ribu sampai Rp200 ribu,” jawabnya.
“Enggak Rp80 ribu?”
“Wah kalau Rp80 ribuan, di depan tuh”. Ia menyorongkan mukanya ke arah rumah bordil “Wisma sembilan belas” di depannya.
Kebanyakan dari rumah-rumah itu menawarkan seharga Rp80-85 ribu untuk sekali main, bahkan ada yang dua kali main. “Mereka semuanya mintanya pakai kondom, tapi ada juga yang enggak. “Nembak” di dalam juga bisa,” kata sopir kami. Istilah ‘nembak” di sini, adalah melepaskan cairan sperma ke dalam lubang vagina alias orgasme.
Saya lihat semuanya kompak pakai warna hitam-hitam pakaiannya, meski beberapa juga ada yang pakai warna lain. Secara tampilan oke dan sedikit muda. Bahkan, ada yang saya kira masih belasan tahun, karena mukanya masih seperti anak umur SMP.
“Kayaknya masih muda itu” kata saya
“Iya yang pojok itu kan” ujar kawan saya.
Saya sebetulnya mau tanya berapa harga wanita yang masih perawan. Pertanyaan ini saya urungkan. Pura-puranya tanya, nanti saya malah benar-benar ditawari. Serba repot, kan? Maklum baru pertama ke sini harus pintar-pintar menjaga lidah. Taku salah ngomong. Mau memotret saja, saya tidak bisa. Salah satu teman berhasil memotret dengan ponselnya, itu pun mencuri-curi momen, hasilnya pun tak bagus.
“Murah ini, Rp80 ribu ae,” seorang laki-laki umur belasan di depan “New Barbara” menawari saya.
“Anak rewel sampeyan gak usah bayar. Sing cilik kae servise penak. Ra penak sampeyan metu ae, cuma Rp85 ribu,” katanya.
Saya tak menanggapi. Saya geleng kepala dan kemudian pergi.
Di gang ini roda ekonomi boleh dibilang cukup besar. Selain praktik prostitusi, transaksi lain yang dilakukan orang adalah berdagang.Mereka berjualan di kaki lima seperti menjual rokok, kondom, snack, atau minuman.
Sementara lainnya, berkeliling mendorong gerobak bakso, sate, penjual rujak/buah, nasi goreng, dan sebagainya. Gang itu sudah seperti “berkah” bagi orang lain.
Malam semakin larut.
**
SOEKARWO takut mati. Bukan, bukan, karena ia takut kehilangan kursi sebagai orang nomor satu di Jawa Timur. Tetapi ia takut beban yang ia bawa kelak ke akhirat sebagai Gubernur Jawa Timur. Soekarwo tahu betul, resiko masih berdirinya prostitusi Gang Dolly.
“Saya tidak mau, tak bertindak dengan membiarkan lokalisasi Dolly. Ini lebih sebagai bentuk tanggungjawab saya sebagai pemimpin. Dan saya tak mau hal itu menjadi beban di akhirat nanti,” ujar Soekarwo seperti dikutip Koran Republika, (21/10/2010).
Ia cemas dengan pertanyaan malaikat kelak: mengapa semasa menjabat Gubernur membiarkan begitu saja adanya praktik prostitusi yang jelas-jelas bertentangan dengan agama? Ia sedang berembug dengan Kepala Polda Jatim Irjen Badrodin Haiti dan Pangdam V Brawijaya Mayjen Gatot Numantiyo, bagaimana cara menutup prostitusi itu.
Ia tak mau gegabah, sebab itu bisa memicu konflik. Data terakhir dari Kecamatan Sawahan, kata Soekarwo, jumlah pelacur di kawasan Dolly mencapai 1.050 orang.
“Kita dorong penutupan segera dilakukan. Jika masalahnya ekonomi, kita carikan solusinya agar para PSK memiliki penghasilan secara halal,” katanya.
Ia terinspirasi dengan bekas Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, ketika menutup lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara dengan mendirikan Islamic Center.
“Itu menjadi inspirasi bagi saya untuk menerapkannya di Surabaya. Sebagai kota yang mayoritas muslim, penutupan lokalisasi merupakan kewajiban,” katanya.
Berbagai macam cara ditempuh untuk menutup Dolly. Perda Surabaya Nomor 7/1999 menyebutkan, dilarang menggunakan bangunan sebagai tempat untuk melakukan kegiatan asusila. Namun belum ada satu pun trik yang ampuh untuk menutup Dolly. Terakhir, Pemerintah Kota Surabaya menerapkan aturan batas waktu jam kunjung. Awalnya di gang tersebut beroperasi selama 24 jam, kini cukup sampai 15 jam. Bahkan, pemkot sedang menyiapkan pemasangan kamera pengintai (CCTV).
“Para pekerja seks di sini punya kiat sendiri agar tetap bisa hidup. Kalau tidak melayani di sini, mereka bisa di-booking out (di panggil keluar)” ujar seorang mucikari atau germo Dolly seperti dikutip Koran Surya, (3/6/2011).
“Mereka kalau di BO, biasa melayani pelanggan di hotel-hotel. Tapi memang tidak semua pelanggan bisa BO PSK di sini. Hanya pelanggan yang loyal saja yang dilayani,” kata lekaki yang sudah 20 tahun menjadi mucikari itu.
Katanya, kendati Dolly ditutup praktik prostitusi tetap akan ada, bahkan akan sulit terpantau. “Dengan tidak terlokalisirnya PSK, penularan penyakit kelamin bisa dengan mudah menyebar. Aturan wajib kondom dan suntik kesehatan setiap seminggu sekali, itu kan gunanya agar PSK dan pelanggannya tidak tertular penyakit.”
“Lha, kalau prostitusi itu kemudian sampai keluar lokalisasi, siapa yang bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka?” katanya.
**
MOBIL meluncur menjauhi Jarak, melewati Jalan Girilaya, mobil kemudian memutar dan kemudian masuk ke Jalan Pandegiling – kawasan ini terkenal dengan beberapa jualan daging babi. Akhirnya, sopir sampai mengantarkan kami di Hotel Santika. Kami tertawa cekikian, sambil menyebut salah satu nama.
“New Barbara, ha.ha.ha,” canda kawan saya.
“Wisma Asih, Wisma Kalimantan, Wisma Santai,” kata saya.
“Loh malah hafal”
“Saya catat soalnya. Ha.ha.ha”
Lelah jalan-jalan, langsung terobati dengan kasur empuk. Sesampai di kamar, saya langsung mengetik beberapa hal yang sempat terekam di kepala.
Bagaimana mungkin pelacuran itu ditutup. Ia sudah melekat betul dengan masyarakat sekitar. Menutup Dolly, seperti kata Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Eko Hariyanto, harus bertahap dan lintas sektoral. Kini, Dinsos Kota Surabaya sudah melatih sebanyak 75 pelacur yang diberi pelatihan ketrampilan tata boga sejak Mei 2011 lalu.
“Mereka juga diberi penguatan mental dan spiritual,” katanya. Setelah bekal keterampilannya cukup, kata Eko, mereka akan dipulangkan ke daerahnya. Memang Sutiyoso berhasil menutup Kramat Tunggak, tapi Soekarwo harus berpikir lain. Ide itu belum tentu sesuai. Beda tempat, beda solusinya.
Dolly, oh Dolly!

Saya pun teringat istri di Jakarta, barangkali ia belum tertidur, selagi saya mengenal malam bergerak di gang Dolly. Saya teringat ketika melewati “Pijat Wisma Kalimantan”, seorang perempuan menggoda saya, sembari melambaikan tangan. Ia seperti menyuruh saya singgah dulu. Duh, Gusti Allah!
Surabaya-Jakarta

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook