Friday, July 4, 2014

Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum



TELEOLOGI HUKUM
M.RAKIB PEKANBARU RIAU INDONESIA
 Wawan Budi's photo.Wawan Budi's photo.
Rakib Jamari's photo.

·  Teleologi hukum yaitu ilmu tentang tujuan hukum yang menyangkut cita hukum itu sendiri (Merefleksi makna dan tujuan hukum)
·  Epistemologi yaitu ilmu tentang pengetahuan hukum (Merefleksi sejauhmana pengetahuan tentang hakikat hukum dan masalah-masalah fundamental dalam filsafat hukum mungkin dijalankan akal budi manusia) 

·  Logika hukum yaitu ilmu tentang berpikir benar atau kebenaran berpikir (Merefleksi atran-aturan berpikir yuridik dan argumentasi yuridik, bangunan logical serta struktur sistem hukum)
·  Ajaran hukum umum.

          Istilah Teleologi berasal dari akar kata Yunani τέλος, telos, yang berarti akhir, tujuan, maksud, dan λόγος, logos, perkataan. Teleologi adalah ajaran yang menerangkan segala sesuatu dan segala kejadian menuju pada tujuan tertentu. Istilah teleologi dikemukakan oleh Christian Wolff, seorang filsuf Jerman abad ke-18. Teleologi merupakan sebuah studi tentang gejala-gejala yang memperlihatkan keteraturan, rancangan, tujuan, akhir, maksud, kecenderungan, sasaran, arah, dan bagaimana hal-hal ini dicapai dalam suatu proses perkembangan. Dalam arti umum, teleologi merupakan sebuah studi filosofis mengenai bukti perencanaan, fungsi, atau tujuan di alam maupun dalam sejarah. Dalam bidang lain, teleologi merupakan ajaran filosofis-religius tentang eksistensi tujuan dan "kebijaksanaan" objektif di luar manusia.
Maqashid Al-Syari'ah.
Ilmu ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggambarkan langkah metodologis untuk melakukan istinbath hukum dari dalil yang terperinci. Ijtihad sebagai bagian dan pembahasan ilmu ushul fiqh, dimana pencarian maslahat diwujudkan dalam bentuh metode ijtihad, maka dapat dikatakan bahwa setiap metode penetapan hukum yang dipakai para ulama ushul fiqh bermuara pada maqashid al-syari'ah. Antara ijtihad dengan maqashid al-syari'ah tidak dapat dipisahkan. Oleh karena ijtihad pada intinya adalah upaya penggalian hukum syara' dan penggalian hukum syara' itu akan berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami maqashid al-syari'ah, maka sesungguhnya pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
Istilah lain dari  TELEOLOGI ialah“Hikmah ialah mencari kesempurnaan diri manusia dengan menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktek menurut kadar kemampuan manusia.”
            Rumusan tersebut mengisyaratkan bahwa hikmah sebagai paradigma keilmuan mempunyai tiga unsur utama, yakni: 1). masalah, 2). fakta dan data, dan 3). analisis ilmuwan sesuai dengan teori. Hikmah dipahami pula sebagai “paham yang mendalam tentang agama”. Hikmah dalam berdakwah sebagaimana yang dikehendaki Allah dalam surat an-Nahl (16): 125, berarti keterangan (burhan) yang kuat yang dapat menimbulkan keyakinan. Sedangkan definisi yang diberikan al-Manar yaitu ilmu yang shahih yang akan menimbulkan kehendak untuk berbuat yang bermanfaat, karena padanya terdapat pandangan dan paham yang dalam tentang hukum-hukum dan rahasia-rahasia persoalan.
            Sedangkan para fuqaha menggunakan kata hikmah sebagai julukan bagi ‘asrar al-ahkam’ (rahasia-rahasia hukum). Karenanya, kebanyakan kita sekarang apabila disebutkan falsafah hukum Islam langsung terbayang hikmah shalat, hikmah puasa, dan sebagainya (tidak terbayang sedikit pun bahwa usulul-ahkam dan qawa’id al-ahkam adalah falsafah yang murni Islam yang dihasilkan oleh daya pikir para filosof hukum/ mujtahid). Para fuqaha mendefinisikan hikmah dengan:

“illat-illat (hikmah-hikmah) yang ditetapkan akal yang berpadanan/ yang sesuai dengan hukum”[1][1]
            Adapun kata ‘Tasyri’ adalah lafal yang diambil dari kata “Syari’ah”, yang di antara maknanya adalah hukum-hukum dan tata aturan yang Allah syari’atkan buat hamba-Nya untuk diikuti dengan penuh keimanan, baik yang berkaitan dengan perbuatan, aqidah, maupun dengan akhlaq. Sehingga “tasyri’” berarti menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidahnya, baik undang-undang itu datang dari agama (tasyri’ samawi) maupun dari perbuatan dan pikiran manusia (tasyri’ wadh’i).
            Dengan demikian “Hikmah at-Tasyri’” adalah hikmah diciptakan, dibuat, dan ditetapkannya hukum Islam.
Para ulama kita telah banyak membicarakan masalah politik dan kenegaraan dalam kitab-kitab mereka. Baik terintegrasi dengan pembahasan lainnya, seperti kitab-kitab fiqih besar yang membahas imarah dan imamah, atau kitab tersendiri seperti Ahkamus Sulthaniyah oleh Imam al Mawardy, Ahkamus Sulthaniyah juga oleh Imam Abu Ya’la al Farra’, Siyasah Syar’iyyah fi Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah dan Al Hisbah oleh Imam Ibnu Taimiyah, Thuruq al Hukmiyah oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyah, Min Fiqhid Daulah oleh Syaikh Yusuf al Qaradhawy, dan lain-lain. Artinya, para imam kita sangat perhatian terhadap masalah politik dan kenegaraan.
Seorang khalifatur rasyid, Utsman bin ‘Affan radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Kebatilan yang tidak bisa dihilangkan oleh kitabullah, akan Allah hilangkan melalui pedang penguasa.”
Alim Rabbani al ‘Allamah Ibnul Qayyim menukil ucapan Imam Abu Wafa bin ‘Aqil al Hambali bahwa siyasah merupakan tindakan atau perbuatan yang dengannya seseorang lebih dekat kepada kebaikan dan lebih jauh dari kerusakan, selama politik itu tidak bertentangan dengan syara’.
Imam Ibnul Qayyim dalam Thuruq al Hukmiyah juga berkata, “Sesungguhnya politik yang adil tidak bertentangan dengan syara’, bahkan sesuai dengan ajarannya dan merupakan bagian darinya.”
Hujjatul Islam, Imam al Ghazaly dalam Al Ihya’ berkata, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar, agama sebagai fondasi dan kekuasaan sebagai penjaga. Sesuatu tanpa fondasi akan runtuh dan sesuatu tanpa penjaga akan lenyap.”







No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook