PERNYTAAN PERANG TERHADAP ULAMA JIL DAN ULAMA SALAFI
Dikutip oleh M.Rakib Muballig IKMI Riau Indonesia. 2014.
Maaf, pernyataan perang ini, maksudnya ialah
pernyataan berteman dengan pakar JIL dan pakar Salafi. Karena mereka adalah
saudara kita juga sesama Muslim. Adapun kata pernyataan perang ini, sekedar mengusik
kesadaran pembaca, bahwa ada sesuatu yang disebut perang pemikiran, yaitu Ghazwul fikri”
Ulama
Salafy, dekenal, segalanya bid’ah, ah memuakkan
Ualama JIL,
dikenal dengan, segalanya halal, serba bebas, menyakitkan
Salafy dan
JIL, adalah terlalu ekstrem atas dan ekstrem bawah.Memalukan.
Kini kami
mencari sesuatu yang indah dan membanggakan.
Ada Ulama Salafi
dan JIL yang tidak berakhlak.
“Akh, ana lebih senang bergaul
dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit ilmunya”. [SMS seorang
ikhwan]“Kok dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh, saya juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan seorang akhwat]
“Ana suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab tapi akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”. [Pengakuan seorang ikhwan]
Mungkin fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut yang sudah lama “ngaji”1 . Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun bahkan belasan tahun tetapi akhlaknya tidak berubah menjadi lebih baik bahkan semakin rusak. Sebagian dari kita sibuk menuntut ilmu tetapi tidak berusaha menerapkan ilmunya terutama akhlaknya. Sebaliknya mungkin kita jarang melihat orang seperti dikomentar ketiga yang merupakan cerminan keikhlasannya dalam beragama meskipun nampaknya ia kurang berilmu dan. semoga tulisan ini menjadi nasehat untuk kami pribadi dan yang lainnya.
Akhlak adalah salah satu tolak ukur iman dan tauhid
Hal ini yang perlu kita camkan sebagai penuntut ilmu agama, karena akhlak adalah cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu yang diperoleh. Lihat bagimana A’isyah radhiallahu ‘anha mengambarkan langsung akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A’isyah radhiallahu ‘anha berkata,
كَانَ
خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Al-Quran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no.
1342 dan Ahmad 6/54]
Penulisnya adalah Halili peneliti
Inpas dan INSISTS. Tulisan sebelumnya sudah dimuat di Jurnal Islamia Republika
hari Kamis 20/03/2014
Selasa, 25 Maret 2014 - 04:55 WIB
Imam al-Ghazali mengingatkan, bahwa
seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan ulama. Namun, seorang
Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang harus diminta nasihat
Menarik apa yang ditulis oleh eh: Kholili
Hasib HUJJATUL, bahwa Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab
Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan
oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh
kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan;
dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus
rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.”
(Ihya’ Ulumuddin II hal. 381).
Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang
menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para
ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan
memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak
boleh dipisah dari ulama.
Ulama tidak boleh ditinggalkan,
sebagaimana agama tidak boleh ditinggalkan oleh negara. Ulamapun harus
memberikan kontribusinya dengan nasihat dan peringatan terutama nasihat-nasihat
akidah dan adab kepada pemimpin.
Usaha-usaha perbaikan politik yang
di lakukan Imam al-Ghazali dengan menerapkan amar ma’ruf nahi munkar kepada
ulama sekaligus kepada penguasa. Tahapan usaha yang dilakukan adalah,
peringatan, kemudian nasehat.
Imam al-Ghazali sangat berkomitmen
terhadap faktor perbaikan dan pembaharuan. Baginya, seorang ulama atau ilmuwan
semestinya melakukan reformasi konstruktif untuk kebaikan politik di negara.
Mereka tidak boleh diam, karena ini merupakan bentuk dari amar ma’ruf nahi
munkar.
Imam al-Ghazali pun telah
menunjukkan dirinya sebagai ulama yang memiliki pemikiran cemerlang, yang
disegani dan diterima oleh para pejabat negara serta para ulama lain pada
zamannya.
Kepada pemimpin negara, ia memberi
nasihat bagaimana cara menjalankan sebuah sistem kenegaraan yang
mempertimbangkan adab untuk kemaslaha- tan bersama dengan pemimpin yang
mempunyai integritas tinggi ditopang dengan kekuatan syariah.
Pikiran-pikiran utama Imam
al-Ghazali tentang politik dituangkan dalam Kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati
al-Muluk.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar.
Buku ini adalah kumpulan nasihat yang ditujukan kepada Sultan Muhammad ibn Malik Syah dari dinasti Saljuk. Kandungan utama kumpulan surat-surat nasihat itu dapat dikelompokkan ke dalam dua poin besar.
Pertama, Imam al-Ghazali
memprioritas kan pada kekuatan akidah tauhid. Kedua, berisi naihat-nasihat
moral, keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.
Dalam awal naskah nasihatnya, Imam
al-Ghazali memulai dengan kaidah-kaidah Iman. Dalam bab ini, disamping
menginginkan sultan tetap loyal pada keimanan yang benar, al-Ghazali
mengingatkan sultan bahwa penguasa tertinggi di dunia ini adalah al-Khalik
(Allah Subhanahu Wata’ala). Dalam hal ini, tampaknya juga secara implisit
al-Ghazali memberi peringatan bahwa kekuasaan sultan hanyalah titipan Allah
Subhanahu Wata’ala.
Allah memberi amanah kepada Sultan
untuk menstabilkan negeri sesuai dengan syariat-Nya. Dalam sub-sub bab
Kitabnya, al-Ghazali menulis tentang Ke-Esaan-Nya;tiada satu pun yang
menyamai-Nya. Al-Ghazali mengingatkan tentang akhirat dan tugas Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassalam.
Peduli politik
Meskipun menulis banyak hal pada
masalah tashawuf dan berkonsentrasi di pesantrennya sendiri yang jauh dari Ibu
Kota Baghdad, Imam al-Ghazali tetap sangat peduli dengan jalannya kekuasaan. Ia
selalu menasehati para penguasa, agar selalu menegakkan kalimah Tauhid. Nasihat
Tauhid ini dimaksudkan untuk melindungi pejabat-pejabat negara agar tidak
terpengaruh dengan pemikiran Syi’ah Batiniyah yang berkembang pada zaman itu.
Kelompok Batiniyah ini terkenal sebagai kelompok sesat sempalan yang radikal.
Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itu
sangat berpengaruh terhadap kestabilan politik Sultan Seljuk, terutama untuk
meredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Penguasa Nizam al-Muluk akhirnya menyatakan
bahwa Batiniyah adalah kelompok sesat. Menurut Sultan, tujuan utama gerakan
mereka sebenarnya adalah untuk menyingkirkan Muslim Sunni (baca Abu Hamid
al-Ghazali, Fada’ih al-Batiniyah, hal 11).
Selanjutnya di pembahasan berikutnya
dalam kitab tersebut, Imam al-Ghazali memulai dengan penjelasan tentang adab
dan etika seorang pemimpin.Yang per tama-tama harus dipahami, menurut Imam
al-Ghazali adalah mengetahui hakikat kepemimpinan (al-wilayah) dan
bahaya-bahayanya ? Jika tidak amanah.
Al-Wilayah (kekuasaan) adalah kenikmatan yang diberikan oleh Allah
Subhanahu Wata’ala jika digunakan untuk kemaslahatan umat manusia. Maka,
apabila seseorang diberi kenikmatan tersebut dalam hidupnya, akan tetapi tidak
mengetahui ha kikat nikmat tersebut dan justru sebalikanya ia berbuat dzalim
dengan kekuasaannya serta mengikuti hawa nafsunya. Pemimpin yang demikian, kata
Imam al-Ghazali, telah menempatkan posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu
Wata’ala.
Jika seseorang telah menempatkan
posisinya sebagai musuh Allah Subhanahu Wata’ala sebagaiman tersebut di atas,
maka inilah titik bahaya seorang pemimpin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
Wassalam pernah mengingatkan, bahwa seorang pemimpin harus memper hatikan tiga
perkara. Pertama, apabila rakyat meminta/membutuhkan belas kasih, maka sang
khalifah wajib berbagi kasih kepada mereka. Kedua, apabila menghukumi mereka
maka berbuatlah adil. Ketiga, laksanakan apa yang telah kamu katakan (tidak
menyalahi janji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al- Muluk, hal. 4).
Peran Ulama
Karena itu, Imam al-Ghazali
mengingatkan, bahwa seorang Sultan atau Khalifah tidak boleh meninggalkan
ulama. Namun, seorang Sultan juga harus cermat, tidak sembarang ulama yang
harus diminta nasihat. Ulama Su‘ (ulama jahat) justru menjerumuskan
negara pada kerusakan. Cirinya, mereka selalu memuji-muji raja secara tidak
wajar, tujuan dakwahnya selalu mengarah pada duniawi. Sebaliknya seorang ulama
sejati (yang disebut al-Ghazali sebagai “ulama al-akhirah“), sama sekali tidak
mengharapkan balasan uang dari tangan seorang raja. Ia memberi nasihat ikhlas
karena meinginginkan perbaikan dalam diri raja, negara dan masyarakat.
Dari usaha-usaha nasihatnya kepada
khalifah terlihat bahwa memang, negara yang ideal adalah negara yang
orang-orangnya memiliki basis Islam yang kuat, sehingga negara diurus dengan
parameter syari’ah. Usaha al-Ghazali menuai hasil yang bagus, kadaan negara
stabil, syari’ah diamalkan, dan pemikiran-pemikiran menyimpang tidak dihirau
oleh warga negara, dan banyak kerajaan-kerajaan kecil yang bergabung, mendukung
Nizam Muluk.
Setelah seorang pemimpin memiliki
worldview Islam yang kokoh, mengetahui hakikat kekuasaan, maka hal yang juga
penting adalah, menghindari sifat takabbur. Karena, menurut al-Ghazali,
biasanya setiap pejabat pasti dicoba dengan rasa takabbur. Takabbur seorang
pemimping adalah penyakit hati yang sangat berbahaya, karena akan mendorong
pada perbuatan saling ber- musuhan yang tentu menarik pada pertumpahan darah (Al-Tibr
al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 8).
Seorang raja haruslah rela
berdekatan dengan rakyat kecil, melepas baju kesombongan. Begitu pentingnya
memenuhi kebutuhan rakyat kecil, al- Ghazali bahkan berfatwa bahwa men- datangi
rakyat untuk memberi sesuap kebutuhannya adalah lebih baik dari- pada
menyibukkan diri beribadah sunnah. Mereka, rakyat kecil, adalah lemah, maka
harus deperlakukan dengan lembut dan penuh kasih. Ia juga mengingatkan Sultan
agar jangan sekali-kali menerima suap dari rakyatnya dengan meninggalkan
syariat.
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpin harus memiliki syarat, diantaranya: mampu berbuat adil di antara masyarakat (tidak nepotis), melindungi rakyat dari kerusakan dan kriminalitas, dan tidak dzalim (tirani).
Selain itu, seorang pemimpin harus
memiliki integritas, penguasaan dalam bidang ilmu negara dan agama, agar dalam
dalam menentu kan kebijakan ia bisa berijtihad dengan benar, sehat panca
inderanya (mata, pendengaran, lisan tidak terganggu yang dapat menghalangi ia
menjalankan tugas), keempat, anggota badannya normal tidak cacat yang dapat
mengganggu tugas, pemberani memiliki keahlian sia sat perang, dan kemampuan
intelektual untuk meng atur kemaslahatan rakyat.
Ada dua hal penting yang ditekankan
oleh Imam al-Ghazali dalam nasihat-nasihatnya, yaitu penguatan akidah dan adab.
Dua hal ini tampak- nya bagi al-Ghazali merupakan faktor utama menjadi hamba
Allah Swt yang sejati. Dengan istilah lain basicfaith yang ingin dikokohkan
kepada para pejabat negara adalah merupakan pan- dangan dasar tentang iman.
Karena asas bagi setiap perilaku
manusia, termasuk aktifitas-aktifitas ilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitas
manusia akhirnya dapat dilacak pada pandangan hidupnya, dan dengan begitu
aktifitasnya itu dapat direduksi kedalam pandangan hidup. Maka seorang khalifah
yang memiliki pandangan hidup Islam yang kokoh, maka semua kebijakannya tak
terlepas dari pola fikir Islam.
Sedangkan adab menjadi penting ka
rena manusia yang beradab (Insan adabi) adalah orang yang menyadari sepenuhnya
tanggung jawab dirinya kepada Tuhan Yang Maha Benar, yang mema hami dan
menunaikan keadilah terhadap dirinya sendiri dan orang lain dalam
masyarakatnya; yang terus ber upaya meningkatkan setiap aspek da lam dirinya
menuju kesempurnaan manusia.
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tan ta ngan perang pemikiran dan degradasi moral.
Pemikiran tersebut lahir dikarenakan tantangan besar yang dihadapai imam al-Ghazali pada masa itu. Tan ta ngan perang pemikiran dan degradasi moral.
Maka perbaikannya pun dengan
menawarkan konsep adab dan menjawab tantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.*
Kesimpulannya, Imam al-Ghazali — dalam teori kenegaraannya–mengutamakan perpaduan moral dengan kekuasaan. Negara dan pemerintahan di pimpin oleh manusia biasa, akan tetapi harus memiliki moral yang baik. Demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara universal, kebahagian dunia dan ak hirat. Maka ia memandang, agama dan negara tidak bisa dipisahkan; agama adalah pondasi,sedangkan pemerintahan adalah penjaga.*
No comments:
Post a Comment