Friday, May 23, 2014

ETOS KERJA DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN




ETOS KERJA DALAM KURIKULUM PENDIDIKAN


 
Haji M.Rakib beserta keluarga di Pekanbaru Indonesia

Dulu …kata orang Cina rajin, Melayu Malas

Istilah Melayu, sebenarnya mewakili Indonesia secara keseluruhan… Bagaimana mengobati penyakit” Malas”, bangsa ini? Jawabannya ialah kurikulum harus diberi muatan etos kerja…Apabila bangsa Indonsia sudah punya etos kerja..berarti hampir 90 persen pesoalan bangsa ini, terselesaikan.
Karena itu penulis selalu mengulang ulang pantun yang penulis (M.Rakib) rekayasa sendiri..sebagai berikut:

KALAU TUAN MENCARI KUTU
JANGAN DISURUH, ORANG BUTA
KALAU INGIN, PENDIDIKAN BERMUTU
TANAMKAN PRINSIP, ETOS KERJA.


Semakin tinggi etos kerja yang mereka hayati, dan amalkan, semakin tinggi pula gairah kerjanya. Sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki etos kerja, apalagi tidak menghayatinya, tentulah semangat dan minat kerjanya tidak mampu menandingi kaum yang memiliki etos kerja yang tinggi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:237), Etos Kerja adalah "Pandangan hidup yang khas suatu golongan sosial yang didasarkan kepada sifat, nilai adat-istiadat yang memberi watak dalam masyarakat". Secara etimologi dan maknawi, kata "etos" berasal dari bahasa Yunani "ethos" yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Kata etos kemudian disatukan dengan kata "kerja" sehingga terbentuklah kata baru "etos kerja". Dalam makna baru “etos kerja”, setidaknya memiliki tiga pemahaman/makna: Pertama, etos kerja berlandaskan dan berkaitan langsung dengan kejiwaan seseorang, sehingga seorang Melayu yang Muslim harus mampu mengamalkan kebiasaan yang baik sesuai dengan makna Islam yang damai, menyelamatkan dan mensejahterakan. Hal itu harus dibuktikan dengan kerja nyata yang bermanfaat bagi orang ramai. Mengekspersikan suatu karya haruslah berlandaskan semangat kerja untuk senantiasa merujuk pada perbaikan dan terus berusaha menghindari hal-hal yang buruk. Kedua, etos kerja memberikan pandangan hidup yang mendarah daging dan bersebati dengan pelakunya. Orang yang mempunyai etos kerja yang tinggi harus dapat mengaktualisasikan dirinya dengan melakukan pekerjaan yang terbaik, yang bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga etos kerja dapat menjadi identitas diri pelakunya.Ketiga, etos kerja juga memperlihatkan sikap dan harapan seseorang. Dengan sikap itulah pelakunya dapat meraih harapan yang dicita-citakannya.

Dalam pengamalannya di masyarakat, etos kerja selalu disandingkan dengan kata "etika kerja". Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 237), Etika Kerja adalah: 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); 2) Kumpulan yang asas yang berhubungan dengan akhlak; dan 3) Nilai yang mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etika kerja hendaknya menjadi pedoman dan pandu arah bagi seorang anggota masyarakat dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan orang Melayu, etos dan etika kerja mereka telah diwariskan oleh orang tua-tua secara turun-temurun. Setidaknya, masyarakat Melayu dahulu kala memiliki etos kerja (yang lazim disebut "semangat kerja") yang tinggi, yang mampu mengangkat harkat dan martabat kaumnya untuk "duduk sama rendah dan tegak sama tinggi" dengan masyarakat dan bangsa lainnya. Sedangkan etika kerja (yang lazim disebut "pedoman kerja") Melayu, diakui banyak ahli sangat ideal karena didasarkan kepada etika kerja universal, terutama di dunia Islam. Orang tua-tua mengatakan, "berat tulang, ringan lah perut". Maksudnya, orang yang malas bekerja hidupnya akan melarat. Sebaliknya, "ringan tulang, beratlah perut" yang berarti siapa yang bekerja keras, hidupnya akan tenang dan berkecukupan. Orang tua-tua juga mengingatkan, bahwa dalam mencari peluang kerja, jangan memilih-milih. Maksudnya jangan mencari kerja yang senang, tak mau bekerja berat. Itu bukanlah sikap orang Melayu yang ingin maju. Kerja yang perlu dipilih adalah kerja itu jangan "menyalah", maksudnya jangan menyimpang dari ajaran agama dan adat-istiadat. Sesuai dengan pepatah-petitih kita, "kalau kerja sudah menyalah, dunia akhirat aib terdedah".
Keutamaan kerja, tercermin pula dalam memilih menantu atau jodoh. Orang yang belum bekerja, lazimnya dianggap belum mampu "menghidupkan anak bininya". Orang ini sepanjang dapat dielakkan, tidak akan dipilih menjadi menantu atau jodoh anaknya. Beberapa contoh di atas memberi petunjuk betapa orang Melayu sudah menanamkan nilai etos kerja dalam kehidupan masyarakatnya. Konsep etika kerja sangat penting dalam masyarakat Melayu sekarang. Orang Melayu dianjurkan oleh pemerintah untuk melihat dan meniru etika bangsa lain yang telah maju seperti Eropa, Jepang, Korea dan Cina, tentu dengan catatan tidak bertentangan dengan agama dan falsafah hidupnya.

Para ahli antropologi dan sosiologi yang telah melakukan kajian terhadap cara kerja orang Melayu sampai pada kesimpulan bahwa orang Melayu pemalas dalam bekerja, baik kerja tani, buruh, pegawai dan dunia perdagangan. Paling tidak itulah kesimpulan yang telah diambil oleh Cortesao (1940), Raffles (1935), Wheeler (1928) (dalam Abdul Halim Othman, dkk, 1993: 126). Sedang G. D. Ness dalam bukunya Bureaucracy and Rural Development in Malaysia (1967) orang Melayu dibandingkan dengan orang Cina kurang berorientasi kepada hasil dan kesuksesan hidup.
Kajian Swift (1965) pula melakukan pengamatan bahwa orang Melayu suka memiliki tanah supaya dapat hidup selesa dan sejahtera, tanpa bekerja keras. Hasil kajian Djamour (1959) hampir senada dengan Swift yang berkesimpulan bahwa orang Melayu ingin hidup senang, kenyang, dan tenang tanpa mau kerja keras. Apalagi bagi orang Melayu di Malaysia dulu, mereka bumiputera yang tidak mau bekerja di perusahaan timah dan bauksit serta kebun karet. Tidak seperti kaum pendatang: Cina, Jawa, dan India. Walaupun orang Melayu sadar mereka tidak dapat mengalahkan Cina dalam bisnis, tapi mereka tidak tertarik untuk mengikuti cara kerja mereka, yang sangat berlainan dan asing bagi orang Melayu (Wilson, 1967).

Hanya orang yang bersungguh-sungguh saja yang akan hidup bahagia. Jika sudah berjaya jangan pula bersikap sombong dan tamak. Orang yang sukses, jika bergaul dengan orang kecil/kampung tidak akan menghilangkan martabatnya. Masyarakat Melayu selalu diingatkan untuk tidak sombong dan tamak, seperti pepatah berikut ini, “jangan diikut sifat lalang, semakin tua semakin tegak. Sebab hal itu sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

4. Kesimpulan :
Gambaran tentang etos dan etika kerja Melayu, sebagian besar masih terdapat dalam masyarakat Melayu, baik yang tinggal di kota maupun di kampung-kampung. Nilai luhur budaya Melayu ini tentulah akan memberi manfaat bila disimak, dicerna, dan dihayati dengan baik dan benar. Mudah-mudahan, dengan informasi ini, orang akan mau mengingat bahwa orang Melayu memiliki etos kerjanya.
Secara teoritis dan filosofis, orang Melayu memiliki etos dan etika kerja yang hampir sempurna. Kalaupun sekarang ada anggapan bahwa orang Melayu serba ketinggalan, perajuk dan sebagainya, tentulah bukan karena tidak adanya etos kerja dalam budaya mereka, tetapi karena mereka yang tidak memahami atau tidak peduli terhadap nilai-nilai luhur budayanya itu. Apalagi dalam era pembangunan dan era globalisasi sekarang ini berbagai perubahan dan pergeseran nilai-nilai budaya terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Melayu. Bila mereka tidak mau menggali dan merujuk kepada nilai-nilai luhur budayanya, tidak mustahil mereka semakin jauh tercabut dari akar budaya, tentulah tidak dapat diharapkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan dimaksud, dan mereka akan tetap hidup dalam ketertinggalan dan keterbelakangan.
Dan kepada pihak-pihak yang terkait, diharapkan untuk terus menggali, mengolah, membina dan mengembangkan kebudayaan Melayu, agar keberadaannya tidak hanya sekedar menjadi "buah bibir", tetapi benar-benar mampu mewarnai hidup dan kehidupan masyarakatnya, memberi manfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
5. Daftar bacaan
Chaniago, Nur Arifin dan Bagas Pratama. 2005. 5700 Peribahasa Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia.


1.: Baru dapat gading bertuah, terbuang tanduk kerbau mati
2. Arti Ungkapan :
Arti sebenarnya :
Tuah dapat berarti 1) untung; bahagia; 2) sakti
Gading bertuah dapat berarti gading yang membawa untung atau gading yang mengandung kesaktian.
Gading ialah benda yang bernilai, mahal harganya, sedangkan rotan dibandingkan dengan gading sangat kurang nilainya.
Arti kiasan:
Pribahasa diatas dikiaskan kepada seseorang yang menyia-nyiakan atau tidak lagi mempedulikan sahabat lamanya karena ia sudah mendapat sahabat baru yang lebih baik karena lebih kaya misalnya. Atau, seseorang yang mengabaikan barang yang sudah dipakainya karena memperoleh barang baru yang lebih bagus daripada barang yang lama itu. sudah lumrah dalam hidup manusia, bila ia memperoleh sesuatu yang baru yang lebih baik daripada yang lama, maka yang lama itu akan disisihkannya, tidak dipedulikannya lagi.
3. Uraian materi :
Dalam uraian ini dapat di misalkan perubahan paradigma, yaitu paradima lama menjadi paradigma baru. Di dalam Kamus Bahasa Indonesia, Paradigma berarti kerangka berfikir. Jadi "Membuang Paradigma Lama" dapat kita artikan sebagai membuang kerangka berfikir yang sudah usang (ketinggalan jaman).
Membuang Paradigma Lama berarti membuang cara berfikir atau cara pandang yang sudah kadaluarsa, ketinggalan jaman dan sudah tidak lagi sesuai dengan jamannya. Zaman modern sekarang ini kita sudah harus berfikir dengan cara-cara yang rasional (= menurut pikiran dan pertimbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok dengan akal budi, nalar) dan objektif (= mengenai keadaan sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi). Artinya dari dalam diri kitanya sendiri dulu yang harus mau dan bersedia untuk berubah, berubah didalam cara berpikir, cara memandang serta cara menilai sesuatu untuk lebih disesuaikan dengan cara yang lebih logis dan masuk akal.

Sementara cara berfikir sangat terkait erat dengan yang namanya kreativitas (= kemampuan untuk mencipta ; daya cipta ; berkreasi). Mendengar kata kreativitas, sering kali timbul di dalam pikiran kita bahwa kreativitas itu adalah milik dari Para Seniman, Para Pelukis dan Para Pengarang Buku saja. Dibenak kita, mereka itulah yang dikategorikan sebagai orang-orang kreatif, yang memiliki kemampuan untuk menciptakan dan punya banyak sekali imajinasi. Umat manusia pada dasarnya terlahir sudah dengan membawa, serta sudah memiliki kemampuan untuk berkreativitas dan berinovasi (= mengenai hal-hal yang baru). Kemampuan tersebut merupakan bagian dari akal budi dan itu merupakan salah satu dari sekian banyak sifat dasar manusia. Sebagai contoh, lihat saja anak-anak kecil jika sedang membuat coretan-coretan di atas kertas atau di dinding, dia bisa menggambarkan sesuatu atau membuat suatu bentuk permainan. Bahkan terkadang bisa timbul ide-ide atau kreasi yang tidak kita duga sebelumnya. Sekarang kita bahas mengenai ciri-ciri apa saja yang katanya dimiliki oleh orang-orang kreatif. Dikatakan bahwa orang kreatif cenderung memiliki kebiasaan-kebiasaan yang positif dan memiliki kemampuan untuk membuang pikiran-pikiran yang menghalangi timbulnya kreativitas. Faktor pendukung timbulnya pikiran positif itu adalah: ;

1. Ia memiliki sikap keterbukaan, terbuka terhadap segala macam ide serta segala macam gagasan yang berasal dari berbagai sumber. Baik itu dari hasil pemikiran dirinya sendiri, maupun yang berasal dari luar dirinya. Misalnya dari pengalaman orang lain, dari buku-buku dan lainnya. Yang bagi dia itu justru merupakan suatu tantangan, suatu misteri yang mengusik rasa ingin tahunya. Sikap keterbukaan inilah yang pada akhirnya mendorong timbulnya berbagai perubahan.

2. Ia memiliki sikap berani mencoba, berani bereksperimen dengan sesuatu hal yang baru atau bahkan sesuatu yang tidak masuk akal.
3. Ia adalah orang yang menyukai tantangan, dia menantang dirinya sendiri dan/atau orang lain untuk melakukan sesuatu yang mungkin oleh sebagian orang dianggap masih tabu untuk diungkap.
4. Ia cenderung bersikap mandiri, independent atau tidak bergantung kepada orang lain dan dapat berdiri sendiri dalam melakukan aktivitasnya.
5. Dia menciptakan sesuatu kreasi dengan menggunakan imajinasinya atau imajinatif untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, yang lebih bernilai, yang lebih unik dan lebih bercita rasa tinggi.
6. Dia tidak suka hal-hal yang sifatnya monoton (= selalu sama dengan yang dulu, itu-itu saja). Dia bosan dengan hal-hal yang sederhana, suka akan hal-hal yang baru dan tidak ingin dibatasi.
7. Dia memiliki dinamika (= semangat, gerakkan yang timbul dari dalam diri) yang tinggi, dikenal sebagai orang yang tidak kenal lelah dan sering lupa waktu. Segala tantangan dihadapinya dengan antusias (= bersemangat) dan optimisme (= sikap positif) yang tinggi.
4. Kesimpulan :
Sebagai umat manusia yang hidup dijaman serba modern, dimana bisa saja setiap saat terjadi perubahan dengan sangat drastisnya, belum lagi ditambah dengan semakin kerasnya persaingan diberbagai bidang kehidupan umat manusia. Sehingga menjadi alangkah naïfnya (= celaka, simple minded, tidak masuk akal) diri kita, jika kita masih saja mau dibelenggu atau dikekang oleh kerangka berfikir yang kurang rasional dan kurang objektif itu.
5. Daftar bacaan :
Badudu, J.S. 2008. Kamus Peribahasa memahami arti dan kiasan peribahasa, pepatah, dan ungkapan. Jakarta: Kompas.

         Dalam  perjuangan selalu ADAi hambatan dan kesulitan. adalah sebuah kesalahan pula bila kita menjadikan kaum kolonial sebagai penyebab kemunduran itu. Karena, bagaimana pun, maju atau mundurnya suatu kaum tidak terletak pada orang lain yang berada di luar kaum itu, melainkan amat tergantung kepada pribadi-pribadi yang ada dalam kaum itu sendiri. Pada prinsipnya, kemunduran rumpun Melayu bukan sekedar kesalahan kaum kolonial, melainkan kesalahan orang Melayu sendiri yang kurang pandai berstrategi dalam perjuangan hidup.
Suasana kolonialis yang sangat sarat dengan perang dan konflik telah menyedot hampir semua energi rumpun Melayu ke dalam suasana perang, sehingga lupa menyisihkan sebagian tenaga untuk tetap berkiprah di bidang ketamadunan (Sains dan teknologi). Akibatnya, ketika era kolonialisme berlalu, kita kesulitan bangkit, karena jiwa dan raga telah begitu terkontaminasi oleh suasana perang yang banyak bersinggungan dengan nuansa emosi dan kebencian antar kelompok, dan tidak terlatih lagi menggunakan akal dan daya intelektual untuk memajukan tamadun seperti yang dulu pernah dilakukan.
Implikasi dari apa yang disebut di atas adalah kurang terlatihnya lagi orang-orang Melayu menggunakan daya nalarnya dalam menyikapi perubahan dan perkembangan zaman. Pengalaman traumatik di masa kolonial yang banyak memancing emosi, terus saja membekas dan menurun kepada generasi sekarang. Akhirnya, rumpun Melayu lebih banyak dipengaruhi oleh emosi ketimbang akal sehatnya. Padahal untuk bertindak dalam mencapai kemajuan tidak bisa disandarkan kepada emosi belaka. Dalam pada itu, bangsa Barat yang maju dipersepsi dari kacamata materi, sehingga umumnya rumpun Melayu terjebak kepada dunia materialisme. Orientasi hidup berubah menjadi materialistis, konsumeris, dan malas menggunakan akal untuk berfikir kritis. Gemar memutar kenangan masa lalu, tenggelam dalam nostalgia indah, gamang melangkah ke masa depan, sehingga takut bereksperimen. Hidup lebih mendahulukan kepentingan sesaat, ingin menikmati dalam waktu dekat. Ini semua membawa akibat rusaknya akal dan budi sebagai modal utama ketamadunan rumpun Melayu di masa depan.
Sebagai bagian dari orang dan kawasan dunia Melayu, Riau ada di antara kawasan daerah Melayu yang ikut mengalami ketertinggalan di hampir semua bidang kehidupan seperti disebut di atas. Hampir 45 persen penduduk negeri ini hidup di bawah garis kemiskinan, dan sekitar 63 persen hanya berpendidikan setingkat Sekolah Dasar (SD) ke bawah. Mereka benar-benar tertinggal di bidang pendidikan, sehingga bodoh dan miskin.
Memahami kondisi seperti disebut di atas, pemerintah dan masyarakat Riau perlu segera mengambil kebijakan konkret dan terprogram secara matang untuk menyiapkan sebuah Generasi Melayu Baru yang maju secara ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi taat dengan nilai-nilai tunjuk ajar Melayu dalam kehidupan sehari-harinya. Untuk itu, kami berpendapat perlu segera dibangun sebuah Perkampungan Melayu Baru khusus untuk mendidik anak-anak muda menjadi pewaris dan pelanjut nilai budaya Melayu yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi maju. Mereka dipersiapkan sebagai generasi baru yang hidup mengikuti adat resam Melayu, tetapi juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi secara bersamaan.
4. Kesimpulan :
Dengan kekayan alam yang melimpah ruah, seharusnya orang-orang Melayu di Riau tidak boleh bodoh dan tidak boleh miskin. Mereka seharusnya bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik dengan menggunakan dana dari sumber daya alam yang amat kaya itu. Mereka seharusnya bisa hidup sejahtera secara ekonomi, juga dengan mendayagunakan sumber-sumber tersebut.
Kecuali itu, di kalangan orang Melayu juga telah terjadi degradasi kepercayaan yang luar biasa hebat terhadap nilai-nilai Melayu yang telah diajarkan oleh nenek moyang sejak berabad-abad yang silam. Sepertinya, orang Melayu kehilangan kepercayaan diri untuk tetap berpegang kepada nilai budaya mereka sendiri dan mengadopsi budaya luar (baca, Barat) tanpa saringan, karena menganggap budaya yang disebut terakhir ini lebih baik dari budaya mereka sendiri. Mereka lupa, atau tidak mengerti bahwa dalam sejarah ternyata budaya Melayu mampu mengangkat derajat orang di kawasan ini menjadi salah satu bangsa terhormat dalam percaturan peradaban dunia .
5. Daftar bacaan :
Bachtiar, Arief. 2004. 2700 Peribahasa Indonesia. Jakarta: Buana Raya.
Chaniago, Nur Arifin. 2005. 5700 Peribahasa Indonesia. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Hamidy, UU. 2004. Jagad Melayu dalam Lintasan Budaya di Riau. Pekanbaru: Bilik Kreatif Press

http://www.riaupos.com/v2/content/view/1042/30/

http://cuklon.blog.friendster.com/2008/04/melayu-dan-identitas-islam-sebuah-pandangan-dalam-upaya-mempertahankan-identitas-islam-di-bumi-melayu-riau/

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook