SALAH MENGARTIKAN
KATA 'ALA"
TIDAK SELAMANYA BERATI DI ATAS.
TIDAK SELAMANYA BERATI DI ATAS.
Catatan Kecil Dr.Drs.HM.Rakib Jamari,
S.H.,M.Ag. , Ph.D
1. ALA IKUM SHIYAM ( ATAS MU PUASA)
2. ALA 'ARSYI ISTAWA ( ATAS ARAS )
2. ALA 'ARSYI ISTAWA ( ATAS ARAS )
YANG COCOK ARTI 'ALA" DI SINI
ADALAH "KEPADA" ATAU TERHADAP.
1. Kalau " di atas
kamu"" berpuasa berati secara harfiyan di bawahmu tidak wajib puasa,
di tengah kamu, tak wajib puasa. Maka yang benar artinya "Diwajibkan
kepadamu puasa". okey?
2. Assalamu alikum, artinya
bukan “selamat atas kamu”. Kalau ditrjrmahlkan selamat atas kamu, berarti yang
selamat cuma rambutmu atau loteng di atas kepalamu. Jadi terjemahan yang
benarnya ialah kesejahteraan bagimu, maka kata-kata “’ala”, di sini artinya “bagi”,
keselamatan/kesejahteraan bagimu. “ala” bukan artinya atas.
3. 'Ala
arsyi, yang cocok artinya “terhadap” Arasy, “Allah berkuasa, melindungi Arasy.”
Istawla. alal arasy. Allah memberikan perlindungan terhadap ‘arasy”. Ada
beberapa alsan lain, agar betul-betul jelas, sebagai berikut:
Pertama:
Istiwa’ ala, adalah majaz, bukan hakekat, karena haqiqat dan zat Allah tidak ada yang tahu, La tafakkaru fi zatillah.. Kita bisa
memahaminya dengan bahasa Arab, sastra atau balaghoh, yang dengan keindahannyalah wahyu diturunkan. Yang kita
manusia ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya secara hakikat.
Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin
Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ
مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya
tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad
fil I’tiqad, Al-Ghazali), tapi bayangan arah dalalahnya dapat difahami dengan ayat yang bukan mutasyabihat,
yaitu walam yakun lahu kufuwan ahad.
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat
istiwa’ dengan (ta’wil/tahrif) pengertiannya, agar tidak menyerupakan
(tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’
makhluk.. Kalau tidak mau takwil misalnya Allah melihat, manusia juga melihat,
harus ditambah dengan kata-kata MAHA, misalnya Allah Mahamelihat, do you understand?.
Ketiga:
Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan
istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil
yang diwajibkan, agar tidak menjadi musyrik.. Penafsiran ini dikenal di
kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab.
Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan
oleh orang-orang yang melawan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat
keberadaan Allah semuanya bukan hanya sifat 20. Tuhan di atas langit, artinya
menciptakan, berkuasa terhadap langit dengan penafsiran ini. Kita tidak
menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, mahatinggi kedudukannya, termasuk itu
arti istiwa’.
Keempat:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى)
dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia
disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti
istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.Artinya yang menguasai,
mengatur , mengendalikan arasy.
Kelima:
Berkuasa terhadap Arasy, Istiwa’ Allah di arary, buang kata
""atas"" ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya,
tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain.
Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ terhadapnya, dan Allah
Maha mengendalikan, istawla. ya dan tidak membutuhkan apapun. Sebelum arasy ada
Allah sudah ada, sebelum ada arasy Allah tidak berubah kedudukannya, setelah
ada arsy juga tidak berubah. Wallahu a’lam.
Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah
Semoga Allah
merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin
(pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu
tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan
dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah
menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam
lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadaNya melebihi semua
kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena
tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali
dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan
Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang
lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain…Allah tetap
seperti sekarang sebelum adanya arasy.Tapi orang Yahudi memang…memaksakan agar
diyakini Tuhan di atas aray, berjanggut, berbaju merah, duduk di singganasa,
yang dipikul 19 Mallaikat. Lihat Bibel Taurat kitab Kejadian Pasal i ayat 26.
Allah bertangan seperti manusia, tingginya bisa diukur, 30 hasta. Nauzubillahi
min zalik.” Yahudi-Yahudi.
No comments:
Post a Comment