Wednesday, April 29, 2020

ASSALAMU ALAIKUM, ARTINYA BUKAN SELAMAT ATAS KAMU, TAPI KESELAMATAN BAGIMU


SALAH MENGARTIKAN KATA 'ALA"
TIDAK SELAMANYA BERATI DI ATAS.
Catatan Kecil Dr.Drs.HM.Rakib Jamari, S.H.,M.Ag. , Ph.D
1. ALA IKUM SHIYAM ( ATAS MU PUASA)
2. ALA 'ARSYI ISTAWA ( ATAS ARAS )
YANG COCOK ARTI 'ALA" DI SINI ADALAH "KEPADA" ATAU TERHADAP.
1.       Kalau " di atas kamu"" berpuasa berati secara harfiyan di bawahmu tidak wajib puasa, di tengah kamu, tak wajib puasa. Maka yang benar artinya "Diwajibkan kepadamu puasa". okey?

2.       Assalamu alikum, artinya bukan “selamat atas kamu”. Kalau ditrjrmahlkan selamat atas kamu, berarti yang selamat cuma rambutmu atau loteng di atas kepalamu. Jadi terjemahan yang benarnya ialah kesejahteraan bagimu, maka kata-kata “’ala”, di sini artinya “bagi”, keselamatan/kesejahteraan bagimu. “ala” bukan artinya atas.

3.        'Ala arsyi, yang cocok artinya “terhadap” Arasy, “Allah berkuasa, melindungi Arasy.” Istawla. alal arasy. Allah memberikan perlindungan terhadap ‘arasy”. Ada beberapa alsan lain, agar betul-betul jelas, sebagai berikut:

Pertama:
Istiwa’ ala, adalah majaz, bukan hakekat, karena haqiqat dan zat Allah tidak ada yang tahu, La tafakkaru fi zatillah.. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab, sastra atau balaghoh, yang dengan  keindahannyalah wahyu diturunkan. Yang kita manusia ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak menjelaskannya secara hakikat. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad, Al-Ghazali), tapi bayangan arah dalalahnya dapat difahami dengan ayat yang bukan mutasyabihat, yaitu walam yakun lahu kufuwan ahad.
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ dengan (ta’wil/tahrif) pengertiannya, agar tidak menyerupakan (tasybih/tamtsil) sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.. Kalau tidak mau takwil misalnya Allah melihat, manusia juga melihat, harus ditambah dengan kata-kata MAHA, misalnya Allah Mahamelihat, do you understand?.
Ketiga:
Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى) dengan istawla (اِسْتَوْلَى) yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil yang diwajibkan, agar tidak menjadi musyrik.. Penafsiran ini dikenal di kalangan generasi awal umat Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang yang melawan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah semuanya bukan hanya sifat 20. Tuhan di atas langit, artinya menciptakan, berkuasa terhadap langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah, mahatinggi kedudukannya, termasuk itu arti istiwa’.
Keempat:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal, berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.Artinya yang menguasai, mengatur , mengendalikan arasy.
Kelima:
Berkuasa terhadap Arasy, Istiwa’ Allah di arary, buang kata ""atas"" ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk istiwa’ terhadapnya, dan Allah Maha mengendalikan, istawla. ya dan tidak membutuhkan apapun. Sebelum arasy ada Allah sudah ada, sebelum ada arasy Allah tidak berubah kedudukannya, setelah ada arsy juga tidak berubah. Wallahu a’lam.
Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah
Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata: “……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“. Kebutuhan para hamba kepadaNya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati, juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya, Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya, dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain…Allah tetap seperti sekarang sebelum adanya arasy.Tapi orang Yahudi memang…memaksakan agar diyakini Tuhan di atas aray, berjanggut, berbaju merah, duduk di singganasa, yang dipikul 19 Mallaikat. Lihat Bibel Taurat kitab Kejadian Pasal i ayat 26. Allah bertangan seperti manusia, tingginya bisa diukur, 30 hasta. Nauzubillahi min zalik.” Yahudi-Yahudi.




No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook