Thursday, September 5, 2013

KRITIK TERHADAP HUKUM PERLINDUNGAN ANAK YANG TIDAK MENDIDIK



KRITIK TERHADAP HUKUM PERLINDUNGAN ANAK MENURUT  HUKUM ISLAM 



DAN  UNDANG-UNDANG NO.23 TAHUN 2002
By Muhammad Rakib Riau

A. Konsep Kekerasan  Terhadap Anak
Hasil penelitian ini,  berupa perbandingan antara Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2002,  yang meliputi tindakan guru dan  orang tua yang memberi sanksi hukuman dalam mendidik anak-anak. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan tentang tindakan anak-anak yang melanggar hukum, berani menantang orang tua, yang tidak sesuai dengan yang seharusnya prilaku anak, baik di rumah maupun di sekolah. Dibahas juga sanksi hukuman yang dapat mengubah sikap dan perilaku anak didik.  Orang tua dan guru  mengetahui sisi-sisi yang perlu dipertimbangkan ketika hendak menjatuhkan sanksi kepada anak, karena setiap kondisi menuntut sikap yang berbeda.
              Menurut Hukum Islam, memukul anak yang tidak shalat atau melanggar aturan disiplin, bukan suatu kezaliman atau kekerasan. Apabila tidak memungkinkan, menggunakan kata-kata yang baik, dapat digunakan ucapan yang mengandung hardikan, juga ancaman sesuai dengan kesalahan dan  dosa yang dilakukan oleh anak. Apabila hal itu tidak dapat dilakukan dan tidak memberi manfaat serta efek jera,  saat itulah dibutuhkan pukulan (kekerasan yang mendidik),[1]  dengan mempertimbangkan unsur kekerasan:          
1. Unsur Kekerasan Pada   Hukuman Fisik
                Hukuman fisik, berupa paksaan berdiri di depan kelas, masih dipakai di seluruh pesantren dan madrasah sampai saat ini. Informasinya dapat ditemukan di dalam fiqih klasik. Dari literatur di perpustakaan, tapi tidak dianggap sebagai suatu kekerasan apapun pada lembaga pendidikan Islam yang berkembang:
       1.1. Berdiri di depan kelas
              Pada Masa Kejayaan Islam bentuk lembaga pendidikan Islam adalah  kuttâb, pendidikan rendah di istana, halâqah, masjid, majelis, rumah sakit dan rumah-rumah ulama’, dan perpustakaan. Pada pendidikan formal mulai ada hukuman berdiri di depan kelas. Sedangkan lembaga pendidikan Islam pada masa al-Makmun yaitu: kuttâb, pendidikan rendah di istana, halâqah, masjid, majlis, rumah sakit, observatorium, khan, ribâth, toko buku dan perpustakaan.[2]
     1.2. Membersihkan lingkungan
            Hukuman berupa membersihkan lingkungan, biasanya berupa menyapu, mencangkul dan menyiram bunga, sesuai dengan  tujuan pendidikan, metode, kehidupan guru dan murid serta hubungan guru dan murid. Menurut sejarah Pendidikan Islam pada masa  masa kejayaan Islam,jenis-jenis hukuman dibuat berdasarkan kesepakatan guru dan murid. Berat ringannya sanksi, didasarkan pada prinsip demokratis dan kesucian batin serta akhlâq al-karîmah.
              Dari data historis tersebut, menurut   analisis penulis  antara konsep Hukum Islam dan UU RI Nomor 23/2002, seakan-akan terjadi pertentangan secara tekstual. Sedangkan secara  kontekstual, tidak ada pertentangan, karena hukuman fisik terhadap anak-anak dalam Islam, tidak mengandung kekerasan, dan digunakan hanya sebagai alternatif terakhir, sekaligus sebagai antisipasi kerusakan (dar’al-mafâsid),[3] mencegah  kerusakan yang lebih besar. Tidak semua hukuman fisik mengadung kekerasan. Maksudnya memberikan hukuman fisik ringan kepada anak-anak, untuk mencegah kejahatan yang mungkin akan dilakukannya, akan tetapi jangan sampai menghasilkan manusia yang suka dengan tindak kekerasan di kemudian hari. Kalau itu terjadi, berarti pendidikan akan melakukan kesalahan besar. Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi disiplin, hukuman fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak orang tua dan pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan terhadap anak,[4] di sekolah. Adapun rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu 226 kasus terjadi di sekolah.[5]
           Tingginya angka kekerasan terhadap anak, menggambarkan suasana yang   tidak aman di rumah atau di sekolah dan merupakan kondisi yang  membahayakan. Hal ini dapat dianalisis dengan menggunakan beberapa kaidah fikih, antara lain: Pertama, bahaya itu harus dihilangkan  الضَـــرَرُ يُـــزَالُ . Kedua, bahaya yang lebih berat, dapat dihilangkan dengan memilih bahaya yang lebih ringan  اِذَا تَعَارَضَ مَفْسَـــدَتَانِ رُوْعِيَ اَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَــــابِ اَخَفِّهَا    “Jika dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama membahayakan, maka pilihlah bahaya yang lebih kecil risikonya. Ketiga, keterpaksaan dapat memperbolehkan untuk melakukan hal-hal yang dilarang (al-dlaruraatu tubiihul mahdzuraat).[6] Keempat, perubahan hukum Islam dapat dilakukan. Dengan adanya perubahan zaman, perubahan tempat, perubahan kondisi, perubahan niat dan kultur atau adat (taghayyur al-ahkam bitaghayyur al-azminah wal-amkinah wal-ahwal wan-niyaat wal-‘awaaid).[7]
2. Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak-Anak
              Ada argumentasi klasik di kalangan ulama bahwa pencegahan atau mendahulukan prevensi lebih baik. Dalam hal  hukuman terhadap anak, agar anak yang lain lebih aman, karena ada kehawatiran kalau pelanggaran kecil dibolehkan akan dijadikannya  sebagai peluang pelaku berbuat kesalahan yang lebih besar. Bila perkelahian kecil tidak dihukum, sama dengan memberikan kesempatan untuk melakukan tawuran bebas antar pelajar. Penekananya adalah bagaimana fikih menjawab realitas yang sudah terjadi berupa tingginya angka pelnggaran disiplin oleh anak, sehinggan tidak aman.
             Apakah hukuman fisik masih relevan menjawab dengan argumentasi preventif. Pandangan tersebut nampak tekstual karena  berorientasi pada teks tapi masih berkaitan  dengan  realitas  bahwa ada satu   kondisi yang mengancam orang tua dan guru diabaikan anak. Karena itu perlu alat untuk menjembataninya  supaya kenakalan  tidak k terjadi. Di sinilah letak kesenjangannya di lapangan. sebagian pakar pendidikan menganggap hukuman untuk anak-anak dan remaja masih diperlukan dan masih bisa diandalkan,[8] seperti yang tergambar dalam tabel berikut ini:

TABEL IV.1
 PRO KONTRA HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK
No
Pro
Kontra
Konvergensi /Gabungan.[9]
1
Sebahagian psikolog
Marjorie Gannoe
Sebagian  filosuf
Plato dan  Jean Jacke Rousseo
dan Jean Soto
Islam
Berdasarkan
Al-Quran dan
Hadits
2
Tokoh-tokoh
Pendidikan Militer
Nasrani
Tokoh-tokoh
Peneliti
Yahudi  Berdasarkan
Taurat

           Posisi Islam,[10] pada konsep kovergensi, menggabungkan antara pro, [11] dan kontra, tapi tidak sekedar  gabungan, bahkan bersikap moderat (wasathan) berkaitan dengan fitrah manusia. Alasan Aristoteles  yang pro dengan hukuman fisik, mengatakan, "Rasa takut akan hukuman itu lebih efektif untuk membina manusia, dibandingkan ajakan-ajakan untuk berbuat baik. Hal ini diakui oleh orang yang mengutamakan  nalarnya. Pembuat peraturan untuk mendisiplinkan anak, berkewajiban mengajak kepada  tingkah laku yang nyata,  dan memberikan hukuman kepada anak didik yang melanggar. Powelson mengatakan, "Tanpa rasa takut, rasa hormat atas wacana hukuman, pendidikan tidak akan berjalan efektif. Karena pendidikan adalah pembiasaan, dan pemaksaan  termasuk salah satu cara di dalamnya.”
            Para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa anak-anak statusnya belum bisa menjadi subjek hukum. Bukan mahkum alaihi, yang perbuatannya dikenai khitab Allah SWT, bukan mukallaf. Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Istilah mukallaf disebut juga dengan mahkum alaih (subjek hukum).[12] Orang mukallaf, mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah  maupun dengan larangan. Apabila mengerjakan perintah, ia mendapat imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, apabila  mengerjakan larangan Allah SWT., ia mendapat ganjaran pula.
             Anak-anak belum dikenai taklif (pembebanan hukum) karena belum  cakap untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama ushul fiqih, mengemukakan bahwa dasar pembebanan hukum adalah akal dan pemahaman. Seseorang  dapat dibebani hukum apabila dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian, orang yang tidak atau belum berakal, yaitu orang gila dan anak kecil tidak dikenakan taklif. Tidak dapat memahami  syara’. Begitu pula orang yang  tidur, mabuk, dan lupa. Orang yang mabuk, tidak sadar (hilang akal). Sabda Rasulullah SAW. : 
رفع القلم عن ثلاثعن النائم حتي يستيقظ و عن الصبي حتي يحتلم وعن المجنون حتي يفيق )رواه البخاري وأبوداوود والترمذي والنسائ وابن ماجة والدارقطني)

Artinya, Diangkatkan pembebanan hukum dari tiga (jenis orang), orang tidur sampai  bangun, anak kecil sampai  baligh, gila sampai sembuh.[13]
Dalam hadits lain dikatakan bahwa “Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.” [14]
Ada dua syarat sahnya memberi beban kepada mukallaf. Pertama mukallaf yang dapat memahami dalil taklif, yaitu mampu memahami nash yang dibebankan dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah secara langsung atau melalui perantaraan. Orang yang tidak mampu memahami dalil taklif tidak dapat tumpuan yang dibebankan kepadanya dan tujuannya tidak dapat mengarah kesana. Kemampuan memahami dalil itu hanya dapat nyata dengan akal sehingga dengan akal tersebut adanya nash yang dibebankan dapat diterima pemahamannya karena akal merupakan alat memahami dan menjangkau. Kedua, berakal. Ketika ada msalah yang tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh indera lahir, Syari’ telah menghubungkan beban taklif dengan hal nyata yang dapat dijangkau oleh indera, yang menjadi tempat bekerjanya akal, yaitu sifat kedewasaan. Dengan demikian orang yang  telah sampai pada keadaan dewasa dan tidak rusak kekuatan akalnya, berarti dia sudah sempurna untuk diberi beban.
               Kewajiban zakat, nafkah, jaminan (dhamman) terhadap anak, bukan berarti memberi beban kepadanya, tetapi kepada walinya agar melaksanakan kewajiban harta yang menjadi milik anak-anak dan orang gila itu, antara lain, membayar pajak tanah dan irigasi dari harta miliknya. Dalam kaitan itu, dalam Surat an-Nisâ’: 43:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ ...ّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan... [15]      
            Awaridl Muktasabah (halangan yang dibuat sendiri) adalah mabuk. Mabuk ialah hilangnya akal karena khamar atau yang menyerupainya hingga kacau perkataannya. Istilah “mabuk” tentu luas artinya, termasuk segala kekacauan fikiran,[16] bercabang kepada yang lain atau susah dibawa ke dalam shalat.[17] Mabuk menurut sebabnya terbagi atas dua macam :
                     Pertama yang sebabnya tidak diharamkan seperti mabuknya orang yang terpaksa minum khamar dan mabuk yang disebabkan  obat-obatan. Hukumnya sama dengan pingsan, tidak sah tindakannya, thalaqnya dan pembebasan budaknya. Kedua yang penyebabnya diharamkan dan ini tidak membatalkan taklif sehingga berlaku hukuman  bagi pemabuk dan ucapan-ucapannya seperti thalaq, pembebasan budak, jual beli, pengakuan, mengawinkan anak kecil, kawin, menghutangi dan minta dihutangi. Hal itu karena akalnya sempurna, hanya saja ia kehilangan pemahaman khitob oleh maksiat. Tetaplah taklifnya dalam hak dan kewajibannya.’Atthiyyah Al-Abrasyi, mengemukakan bahwa ada 2 hal yang harus diperhatikan dalam memberikan hukuman fisik terhadap anak, yaitu :
1.                   Sebelum berumur 10 tahun, anak-anak tidak boleh dipukul.
2.                   Pukulan tidak lebih dari tiga kali.
            Yang dimaksud dengan pukulan disini ialah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil bukan dengan tongkat besar dan tidak sampai menyakiti, tanpa menimbulkan cedera. Diberikan kesempatan besar kepada anak untuk tobat dari apa yang ia lakukan dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau merusak nama baiknya.
            Penulis membandingkan dan  mengaitkan dengan teori hukuman  yang sudah dikenal dunia Barat, berdasarkan sudut pandang  hukuman yang mendidik, timbullah beberapa teori tentang hukuman.[18]
            Menurut Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany bahwa “hukum alam  bukan saja mencakup segala makhluk,  tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan di sekelilingnya,[19] sependapat  dengan penganjur pendidikan alam, yaitu J.J. Rousseau, yang tidak menghendaki hukuman yang dibuat-buat. Biarkan alam sendiri yang menghukumnya. Yang dimaksud di sini ialah, bahwa hukuman itu hendaknya merupakan akibat yang sewajarnya dari suatu perbuatan, hukuman harus merupakan sesuatu yang natuur menurut hukum-hukum alam, akibat logis yang tidak dibuat-buat. Anak yang senang memanjat pohon, adalah wajar dan logis apabila suatu ketika ia jatuh. Jatuh ini adalah merupakan suatu hukuman menurut alam sebagai akibat dari perbuatannya. [20]
                                   Aliran nativisme dalam pendidikan, berpendapat bahwa hukuman fisik kepada anak, tidak berguna. Semua pembawaan anak adalah baik. Ia membiarkan anak berkembang sendiri dan menyerahkannya kepada alam. Kalau anak berbuat salah, biarlah alam yang menghukumnya, anak akan menderita sebagai akibatnya. Hukuman semacam ini dinamai hukum alam. Contoh dari hukuman alam adalah, anak bermain dengan air panas dan berakibat tersiram kakinya. Anak dibiarkan merasakan kakinya sakit, hukuman lain tidak ada . Dari hukuman alam , anak akan menerima pendidikan dan berusaha tidak menjalankan permainan  berbahaya lagi. Ia berusaha mengelak.
                  Anak diminta bertanggung jawab atau menanggung risiko dari perbuatannya. Misalnya anak yang mengotorkan atau merobekkan buku milik kawannya, maka harus menggantinya. Anak yang berkejar-kejaran di kelas, kemudian memecahkan jendela, maka ia harus mengganti kaca jendela itu dengan kaca yang baru. Teori ganti rugi,[21] di mana anak harus mengganti kerugian akibat perbuatannya yang salah, misalnya anak memecahkan kaca jendela tetangga, maka ia harus mengganti dengan uang tabungannya. Dalam kaitannya dengan hukuman terhadap anak, ada beberapa teori yang dikenal:

 1. Teori Menakut-Nakuti.
                 Hukuman yang diberikan untuk menakut-nakuti anak agar anak tidak melakukan pelanggaran atau perbuatan yang dilarang, dalam hal ini nilai didik itu telah ada, hanya saja perlu diperhatikan bahwa hal ini harus dijaga jangan sampai anak itu tidak berbuat kesalahan lagi hanya karena rasa takut saja,[22] melainkan tidak berbuat kesalahan lagi karena adanya kesadaran, sebab apabila tidak berbuat kesalahan itu karena hanya takut, takut kepada bapak atau ibu guru. Jika tidak ada bapak atau ibu guru, kemungkinan besar mereka mengulang kembali perbuatannya. Ia akan mengulangi perbuatannya secara sembunyi-sembunyi. Jika terjadi demikian, maka dapat dikatakan bahwa nilai didik dari hukuman tersebut sangat minim sekali.[23] Teori menakutnakuti ialah memberi hukuman supaya menimbulkan rasa takut pada anak, sehingga mencegah dirinya berbuat salah.
                Teori ini bertujuan menimbulkan rasa takut kepada orang lain. Biasanya hukuman dilaksanakan di muka umum. Pelanggaran kedua kalinya dihukum lebih berat, sebab perulangan pelanggaran berarti jeranya pelanggar. Begitulah hukuman makin lama makin berat, agar orang lain menjadi lebih takut. Fungsi hukuman dengan teori hukuman menakuti ini terhadap orang lain juga preventif.
2. Teori balas dendam
Macam-macam hukuman yang paling jelek, yang paling jahat dan paling tidak dipertanggungjawabkan dalam dunia pendidikan ialah hukuman yang didasarkan kepada rasa sentimen. Sentimen ini dapat ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan (frustasi) yang dialami oleh guru, baik mengenai hubungannya dengan orang-orang lain, maupun hubungannya dengan para siswa secara langsung. Misalnya, karena seorang guru merasa dikecewakan dalam hal cinta,  melempiaskan kekecewaannya itu kepada para siswanya. Bagi guru muda,  mungkin merasa bahwa siswa telah dianggap sebagai saingan atau penghalang dari maksud-maksudnya, berusaha mencari kesempatan   menghukumnya.[24]
3. Teori memperbaiki
                 Satu-satunya hukuman yang dapat diterima oleh dunia pendidikan ialah hukuman yang bersifat memperbaiki, hukuman yang bisa menyadarkan anak kepada keinsafan atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Dan dengan adanya keinsafan ini, anak akan berjanji di dalam hatinya sendiri tidak akan mengulangi kesalahannya. Hukuman yang demikian inilah yang dikehendaki oleh dunia pendidikan. Hukuman yang bersifat memperbaiki ini disebut juga hukuman yang bernilai didik atau hukuman pedagogis.[25] Teori inilah yang harus kita gunakan sebagai pendidik, maksudnya untuk memperbaiki perbuatan anak yang buruk/salah.[26]
                Teori ini bertujuan untuk memperbaiki. Adapun yang perlu diperbaiki ialah hubungan antara pemegang kekuaaan dan pelanggar dan sikap serta perbuatan pelanggar. Hubungan antara penguasa dengan umum yang tadinya telah menjadi rusak dengan terjadinya pelanggaran oleh orang yang bersikap dan berbuat salah itu perlu dibetulkan lagi. Rusaknya hubungan itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan penguasa terhadap pelanggar. Fungsi hukuman dengan teori membetulkan ini korektif dan edukatif.
       Di dalam dunia pendidikan, guru tidak menganut teori hukuman lain dari pada teori hukuman pembetulan. Hal ini sesuai dengan tugas pendidik, yaitu membimbing anak didik agar berbuat dan bersikap luhur. Tidak pada tempatnya pendidik menakut-nakuti dan membalas dendam anak didiknya. Anak didik yang takut pada pendidiknya menutup diri baginya dan tidak bersedia menerima petunjuk. Pendidik yang membalas dendam anak didiknya menganggap anak didiknya sebagai musuh, bukan sebagai anak asuhannya.[27]        
4. Teori melindungi
Teori melindungi, anak dihukum untuk melindungi lingkungan,[28] atau masyarakat terhadap perbuatan-perbuatan salah yang merusak/ merugikan lingkungan tersebut.[29] 

5. Teori menjerakan
Teori ini bertujuan agar pelanggar sesudah menjalankan hukumannya akan jera dan tidak akan menjalankan pelanggaran lagi.[30] Fungsi hukuman tersebut adalah preventif, yaitu mencegah terulangnya pelanggaran sesudah pelanggar dikenai hukuman. Sebagian pakar menerima hukuman sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Hukuman adalah instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Jadi, menurut mereka, kalau guru atau orangtua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, maka tidak perlu lagi memberikan hukuman. Hukuman itu boleh diberikan setelah nasihat-nasihat verbal atau apa saja tidak lagi dapat mengusik kesadarannya tentang hak dan kewajiban.
           Kata hak berasal dari bahasa Arab 'haqq'  yang memiliki beberapa makna. Di antaranya, hak bermakna 'ketetapan' atau 'kewajiban'.[31]Firman Allah dalam QS Al-Anfal(8) :8
لِيُحِقَّ الْحَقَّ وَيُبْطِلَ الْبَاطِلَ وَلَوْ كَرِهَ الْمُجْرِمُونَ
Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil (syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak menyukainya. [32]  
Di dalam hadits dinyatakan:

-      رواه ابن حبان عن أنس ابن مالك رشي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الغلام يعق عنه يوم السابع ويسمى ويحاط عنه الأذى فإذا بلغ ست سنين أدب وإذا بلغ تسع سنين عزل عن فراسه فإذا بلغ ثلاث عشرة سنة ضرب على الصلاة والصوم فإذا بلغ ست عشرة زوجه أبوه  ثم أخذ بيده وقال: قد أدبتك وعلمتك وأنكحتك أعوذ بالله من فتنتك في الدنيا وعذابك في الأخرة

                Seorang anak diakikahkan pada hari ketujuh dan diberi nama, dibersihkan dari penyakit, maka apabila dia sudah berumur enam tahun hendaklah dididik, apabila sudah berumur sembilan tahun hendaklah dipisahkan tempat tidurnya, apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa, dan apabila sudah berumur 16 tahun hendaklah dinikahkan, kemudian dia memegang tangannya seraya mengatakan: aku telah mendidik dan mengajarmu dan juga menikahkanmu, aku berlindung dari fitnah yang kau bawa di dunia dan siksaanmu di akhirat.[33]
          Di dalam hadits ini  dinyatakan: 
فإذا بلغ ثلاث عشرة سنة ضرب على الصلاة والصوم
Apabila sudah berumur “ tiga belas tahun, hendaklah dipukul apabila meninggalkan shalat dan puasa. Segala sesuatu selain dari  zikir  adalah  sia-sia, atau melalaikan,  kecuali empat hal: 1. Perjalan seorang dengan dua tujuan. 2. Memanah, 3. Mendidik kuda tunggangan, bersenda-gurau dengan keluarganya, dan  4. Mengajarinya anak berenang.[34]



[1]Indah SY, Cara Cerdik Mendidik Anak, Pukullah Anakmu dengan Cinta, (Surabaya: PT Jaya Pustaka, Cetakan I, Mei 2010), hlm. 57.
   [2]Suwito dan Fauzan, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, Cetakan II, 2008), hlm. 28.
              [3] Asmawi, Benturan antara mashlahat dan mafsadat, dalam artian kalau ingin mengerjakan kemaslahatan tersebut, mesti melakukan mafsadatnya. Jika hal ini yang terjadi, secara umum dapat diurai kan sebagai berikut: 1. Apabila mafsadatnya lebih besar dibanding maslahatnya, maka meng-hindari mafsadat itu dikedepankan daripada meraih kemaslahatan tersebut. 2. Apabila maslahatnya jauh lebih besar dibandingkan dengan mafsadat yang akan timbul, maka meraih maslahat itu lebih diutamakan daripada menghindari mafsadatnya. karena itu, jihad berperang melawan orang kafir disyari’at kan, karena meskipun ada mafsadatnya yaitu hilangnya harta, jiwa dan lainnya, namun maslahat me negakkan kalimat Alloh di muka bumi jauh lebih utama dan lebih besar. 3. Apabila maslahat dan mafsadat seimbang, maka secara umum saat itu menolak mafsadat lebih didahulukan daripada meraih kemaslahatan yang ada. Berdasarkan kaidah umum: (Menghilangkan mafsadat itu lebih dida-hulukan daripada mengambil sebuah maslahat).Untuk mengetahui perincian permasalahan ini lihat kembali kaidah (Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan).Lihat Asmawi, Perbandingan Usul Fqih, (Jakarta , Penerbit Amzah : 2011), hlm. 57.
               [4] Seto Mulyadi,  Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi menyatakan selama Januari-April 2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak.
                   [5]Seto Mulyadi, Kekerasan Fisik Terhadap Anak, Diskusi di Jakarta,majalah Forum Keadilan,  Rabu (3/5 2011).

                   [6]Totok Jumanto dan Samsul Munir Amin, op.cit., hlm. 169
             [7]Syamsuddin Abi Abdillah Muhammad bin Abi Bakr (terkenal dengan panggilan Ibnu Qayyim Al-Juuziyyah), 1980, ‘Alaam al-Muwaqqi’iin ’an Rabbi al-‘Alamiin, (Cairo: Mathabi’ al-Islam, jilid 3,tt.),  hlm. 3.
              [8]Khoja Nashiruddin Thusi mengatakan, "Ajari ia (anak-anak) dengan keras agar tidak melakukan perbuatan buruk. Jangan sampai dari kecil sudah terbiasa melakukan perbuatan jelek.Mereka itu suka berdusta, memiliki sifat hasud, suka mencuri, suka mengadu domba, dan jugabandel, suka mencampuri urusan orang lain. Setelah memberikan pendidikan yang sangat keras maka didiklah agar mereka memiliki sikap sopan-santun. Jadi didiklah anak-anak sejak kecil dengan disiplin. Jangan lupa pula untuk memuji sikap-sikap yang baik darinya, waspadailah agar anak-anak tidak memiliki kebiasaan buruk karena seperti peribahasa Al-Insânu hârisun 'ala ma' muni'a (manusia itu penasaran dengan larangan). Manusia itu suka terhadap hal-hal yang menyenangkan dan tidak tahan dengan penderitaan. Seorang pendidik harus bisa membuat anak didiknya sadar dengan perbuatannya sehingga tidak berani lagi mengulangi perbuatan buruknya."Lihat juga Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Asawi, Ensiklopedi Anak, Tanya-jawab A Sampai Z, (terj) Jakarta : Darus  Sunnah, 2008), hlm 721
                 [9].Gabungan ini, maksudnya antara setuju dengan tidak setuju, yaitu memukul secara fisik setuju, dalam batas tertentu, tapi jika sudah berlebihan, tidak setuju lagi. (Agree in this egreemen, setuju dalam tidak setuju.)
            [10]Apabila salah seorang di antara kalian memukul, hendaknya menghindari wajah.”HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612.
              [11]Tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati” Kitab Taurat, Amsal 23:13. Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.Tidak semua penggunaan hukuman atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, “Siapa tidak menggunakan tonngkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya”  Taurat Amsal 13:24. Lihat Al-Kitab,Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia, (Ciluar, Bogor :1982), hlm. 717.
                [12] Ninuk Widyantoro, Argumentasi klasik tersebut terpatahkan dengan ditemukannya fakta bahwa dari jumlah rata-rata 2 juta kasus aborsi pertahun, 76.6% dilakukan oleh perempuan berstatus menikah.[12] Penelitian terakhir oleh Yayasan Kesehatan Perempuan (2003),87% klien aborsi berstatus menikah. Ninuk Widyantoro. 2003. Pengakhiran Kehamilan Tak Diinginkan yang Aman Berbasis Konseling, Jakarta: Yayasan Kesehatan Perempuan. Lihat juga Khalid bin Ali Al-Musyaiqih, op.cit. , hlm. 189
                    [13] HR. Abu Daud 4403, Turmudzi 1423, dan dishahihkan al-Albani . Lihat juga Chaerul Umam, Ushul Fiqh 1, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hlm. 336.
                 [14]HR. Ibnu Majah dan At-Thabrani. Lihat juga HR. Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ad-Daruquthni dari ‘Aisyah dan ‘Ali bin Abi Thalib.
                   [15]Hasbi Ashshiddieqy (Editor) Op.Cit, hlm 125.
                 [16]Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, Asbab al-nuzulnya : Ketika telah turun ayat 43 surat Al-Nisa’ dan hukum khamar ialah haram, tetapi tidak secara mutlak. Para shahabat saat itu masih ada sebahagian dari mereka yang masih meminum khamar dan mabuk-mabukkan yang mengakibatkan prilaku mereka sangat jauh dari aturan. Oleh karena itulah pada tahapan selanjutnya Allah menurunkan ayat 90 surat Al Maidah yang berisi pengharaman khamar secara mutlak. Dalam ayat ini Allah mengharamkan khamar melalui beberapa sebutan, yakni : Rijsu (رجس ) yang berarti al najasah ( النجاسة ) najis dan najis merupakan sesuatu yang dilarang oleh Allah (diharamkan). Kedua, Allah mengkategorikan meminum khamar ke dalam perbuatan yang selalu dilakukan oleh Syaitan. Dengan turunnya ayat ini  semua para ulama sepakat bahwa hukum dari khamar itu ialah haram. Penerapan metode tadrij dalam  hukum Islam. Ibnu Katsir, Lubab al-Tafsir min Ibni Katsir, Penerjemah M.Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Pustaka Imam al-Syafi’i, Cetakan I, Jilid 2, Juli 2009), hlm. 87
 [17]Ibid.
                [18]Muhamad ’Atthiyyah Al-Abrasyi, (terj) At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah, (Jakarta, Bulan Bintang, 1986),  hlm. 203.
                [19]Ibid.
                [20]Ibid
             [21]Membiasakan anak dengan pakaian yang syar’i. Anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari model-model pakaian Barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan menunjukkan aurat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang meniru suatu kaum, maka dia termasuk kaum itu. (HR. Abu Daud).
             [22]Umar Muhammad Al-Taumy Al-syaibany bahwa “ alam natural bukan saja mencakup segala mahluk yang akan tetapi juga merangkum sistem, peraturan atau undang-undang alam yang semua bagian alam tunduk kepada dasar-dasarnya dan sesuatu itu terjadi atau berlaku mengikuti ketentuan persyaratan disekelilingnya. Umar Muhammad Al-Taumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung, (Jakarta, Bulan Bintang, 1979), hlm. 58.
                 [23]Ibid
              [24] Lihat Nabil Kazhim Muhammad, Mendidik Anak Tanpa Kekerasan, terjemahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 321
                     [25]Amin Danien Indrakusuma, op.cit., hlm. 151.
                     [26]Suwarno, op.cit.,  hlm. 115.
                     [27]Agus Seojono,op.cit, hlm. 165.
                 [28] Andri Priyatna, Hukuman sebagai salah satu teknik pengelolaan kelas sebenarnya masih terus menjadi bahan perdebatan. Akan tetapi, apa pun alasannya, hukuman sebenarnya tetap diperlukan dalam keadaan sangat terpaksa, katakanlah semacam pintu darurat yang suatu saat mungkin diperlukan. Hukuman merupakan alat pendidikan represif, disebut juga alat pendidikan korektif, yaitu bertujuan untuk menyadarkan anak kembali kepada hal-hal yang benar dan/atau yang tertib. Alat pendidikan represif diadakan bila terjadi suatu perbuatan yang diangap bertentangan dengan peraturan-peraturan atau suatu perbuatan yang dianggap melanggar peraturan. Penguatan negatif dan penghapusan sebenarnya bernilai hukuman juga. Menyajikan stimulus tidak menyenangkan dalam pemakaian teknik penguatan negatif maupun tidak memberikan penguatan yang diharapkan siswa dalam teknik penghapusan, pada dasarnya adalah hukuman walaupun tidak langsung. Kalau penguatan negatif dan penghapusan dapat dikatakan hukuman tidak langsung, maka yang dimaksud dengan hukuan di sini adalah hukuman langsung, dalam arti dapat dengan segera menghentikan tingkah laku siswa yang menyimpang. Lihat Andri Priyatna, Let’s End Bullying,Memahami, Mencegah Dan Mengatasi Kekerasan Bullying,(PT.Alex Media Komputindo, 2010), hlm. 117.
                    [29]Suwarno, op.cit., hlm. 115.
                [30]Hukuman pun sering diterima siswa manakala mereka  melanggar tata tertib yang telah disepakati. Hukuman itu dimaksudkan  sebagai upaya mendisiplinkan siswa terhadap peraturan yang berlaku. Sebab, dengan sadar pendidik memegang prinsip bahwa disiplin itu merupakan kunci sukses hari depan. Apakah bentuk-bentuk hukuman bisa dikembangkan untuk mendisiplinkan siswa? Pertanyaan seperti inilah menjadi dilema  bagi kaum pendidik  dalam mengemban  kewajiban dan tanggung jawabnya. Apabila sanksi hukuman sama sekali tidak diadakan  niscaya   perilaku siswa akan lebih  semrawut.  Orang dapat menduga-duga, ada penerapan hukuman saja siswa yang melanggar masih banyak, apalagi jika sanksi hukuman ditiadakan. Tambah ruwet. Jika hukuman itu diadakan menuntut konsekuensi bagi para pendidik itu sendiri. Maksudnya, pendidik harus benar-benar bisa sebagai suri tauladan bagi anak didiknya. Penerapan aturan hukuman bagi para siswa yang melanggar tetapi tidak diikuti kedisiplinan pendidik, bagaikan halilintar di waktu siang bolong, banyak yang menyepelekan. UU menyebutkanPendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan. Lihat Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
                 [31] Muhammad Al-Ghazali,  Kerusakan anak-anak  kebanyakan bersumber dari orang tua yang membiarkan mereka dan tidak mengajarkan kewajiban-kewajiban dan sunnah din ini kepada mereka. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah agama tersebut saat masih kecil, sehingga saat sudah besar mereka sulit meraih manfaat dari pelajaran agama dan tidak bisa memberikan manfaat bagi orang tua mereka.” Tuhfatul Maudud, I: 229.Lihat Muhammad Al-Ghazali, op.cit., hlm. 463.
                [32]Ashshiddieqie(Editor),Op.Cit., hlm 216
                 [33]H.R.Ibnu Hiban. Bandingkan pula hadits yang  secara rinci tentang fase-fase perkembangan anak sekaligus cara atau metode yang harus diterapkan sesuai dengan perkembangan anak. Rasulullah SAW bersabda artinya : “Berkata Anas bersabda Nabi Muhammad SAW, anak itu pada hari ketujuh dari lahirnya disembelihkan aqiqah, diberi nama dan dicukur rambutnya. Kemudian setelah umur 6 tahun dididik kesusilaan, setelah umur 9 tahun dipisahkan tempat tidurnya, bila telah berumur 13 tahun dipukul karena meninggalkan sholat dan puasa, serta umur 16 tahun hendaklah orang tua mengawinkannya, kemudian orang tua berjabatan tangan dan berikrar, saya telah mendidik, mengajar dan mengawinkan kamu, ya Allah lindungilah aku dari fitrahmu di dunia dan siksaanmu di akhirat”.
               [34]H.R.Thabrani.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook