Thursday, September 5, 2013

Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki maqashid atau hikmah


HIKMATUT AL-TASYRI’ DAN MAKNA MEMUKUL ANAK
YANG TIDAK SHALAT



Oleh Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag., Drs.








            Setiap yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya pasti memiliki  maqashid,[1] atau hikmah dan tujuan. Dalam hal perintah dan larangan Allah, secara umum manusia terbagi menjadi dua golongan, yaitu (1) orang yang cukup menerima nasihat dengan dalil kitab dan sunnah dan (2) orang yang membangkang. Golongan yang kedua inilah yang perlu diterapkan hukuman padanya. Maqashid itu di antaranya bermakna manfaat, misalnya manfaat besi adalah untuk memerangi orang-orang kafir dan untuk menegakkan qishash. Ini adalah manfaat yang sangat nampak, sebab manusia akan takut pada pedang sehingga mereka pasrah pada agama Allah. Maqashid atau manfaat memukul anak karena meninggalkan sholat, bertujuan untuk antara lain:
1.                   Memberi pelajaran kepada anak bahwa hak Allah adalah sangat lebih besar, sehingga segala sesuatu akan menjadi hina di hadapan-Nya. Tubuh yag seharusnya dipelihara dan tidak boleh (haram) disakiti menjadi halal dan harus merasakan sakit lantaran meremehkan hak Penciptanya.
2.                   Menampakkan kepada anak bahwa orang tua memiliki kekuasaan dalam melazimkan hukum-hukum Allah kepada mereka, sehingga tidak ada pilihan baginya kecuali pasrah dan menyerah kepada Rabbnya.
3.                   Memberi pelajaran kepada anak bahwa manusia setinggi apapun kedudukannya, status sosialnya dan nasab keturunannya, tidak memiliki kebebasan mutlak dalam mengikuti kehendaknya yang bertentangan dengan kehendak Allah.
4. Memukul yang Sesuai dengan Syari’ah
              Ada perbedaan antara memukul biasa, dengan memukul  yang diatur oleh  syari’at.[2] Memukul menurut kebiasaan sebagian orang tua atau pendidik yang mudah emosi dan suka memukul. Suka memukul adalah akhlaq tercela. Perhatikan nasehat Rasulullah SAW., kepada Fatimah binti Qais, ketika mengabarkan kepada beliau bahwa dirinya dilamar oleh dua orang sahabat, salah satunya adalah Abu Jahm. Karenanya Rasulullah bersabda,”Adapun Abu Jahm, ia suka memukul wanita (maksudnya akhlaqnya tidak baik).” Dan ketahuilah bahwa maksud dari memukul agar anak takut, sehingga tunduk kepada perintah Allah bukan agar  anak takut kepada bapaknya semata, sehingga makin berwibawa. Maksudnya agar anak mengamalkan perintah Allah dengan ikhlas karena-Nya. Tidak ada manfaatnya apabila  anak nampak taat, di hadapan orang tuanya saja.
5. Memukul Yang Melampaui Batas
             Orang-orang yang  memukul anak hendaknya takut kepada Allah. Jangan sampai  termasuk golongan orang-orang yang tidak masuk surga bahkan tidak mencium baunya. Di antaranya  sekelompok manusia yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia.[3] Ada ulama fiqih yang menyatakan bahwa yang dimaksud orang yang boleh memukul, bisa saja guru, para polisi, satpam, mandor-mandor pada jaman sekarang ini.[4] Mereka berkeliling dengan tongkat lalu memukuli dan menendang siapa saja, hanya karena mengatur dan mengamankan. Lalu bagaimana caranya  mereka dapat  mengamankan dan mengatur tanpa berbuat aniaya? Jawabnya, dengan anjuran taqwa kepada Allah, nasihat dan pengarahan dengan lisan, dengan cara yang baik atau dengan tangan tanpa menyakiti karena kezhaliman adalah kegelapan di akhirat! Aturan yang paling populer selama ini adalah anak-anak harus berhati-hati dengan ‘kekeramatan’ orang tua. Tapi patut diingat, secara religi ada lima,[5] kejahatan orang tua yang wajib dihindarkan. Pertama, apabila suka memaki. Kedua menghina anak sendiri. Ketiga melebihkan anak dari yang lain. Keempat mendoakan keburukan anak. Kelima tidak memberi pendidikan anak. Merupakan kemuliaan bangsa, jika orang tua dan guru, mampu menjadikan generasi muda, cerdas lahir batin, bermoral mulia dan berbhakti kepada orang tua, sesama, bangsa dan semesta.

              Hukuman itu untuk menyadarkan bukan untuk melakukan pembalasan. Hukuman itu agar anak menyadari kekeliruan mereka dan agar tidak mengulangi perbuatan jeleknya, bukan untuk melakukan balas dendam. Hukuman dalam pendidikan jangan dikelirukan dengan balas dendam. Jean Soto menulis, "Semua penderitaan manusia, ketidakadilan, dan sebagainya berakar dari hukuman dan kekerasan-kekerasan yang diterima oleh anak dari orangtua mereka. Karena itu hukuman-hukuman itu harus dihapus sama sekali agar penderitaan umat manusia ini bisa sirna."
           Tetapi argumentasi beliau ini bisa dijawab dengan; pertama-tama , itu hanyalah klaim dan belum tentu bisa dibuktikan secara ilmiah. Yang kedua , seandainya diterima pernyataan seperti itu bahwa penderitaan manusia itu berakar dari hukuman-hukuman keras yang diterima dari orangtuanya, tentulah akarnya adalah terlalu kerasnya hukuman tersebut dan bukan hukuman biasa. Hukuman ekstrim itulah yang menjadi sumber penderitaan.
              Russel menambahkan, "Hukuman fisik ringan, yang tidak  berbahaya, tapi tetap  tidak ada gunanya dalam pendidikan. Hukuman seperti itu baru efektif kalau bisa menyadarkan anak. Sementara hukuman fisik seperti itu biasanya tidak bisa membuat jera. Hukuman fisik itu membuat anak merasa terpaksa memperbaiki diri dan bukan atas niatnya sendiri." Tujuannya anak-anak akan menyadari kekeliruannya melalui hukuman itu dan lebih mengerti bahwa perbuatannya tidak disenangi orang lain. Jika ingin diterima oleh orang lain, ia akan berusaha menyesuaikan keinginannya dengan keinginan orang lain, supaya bisa mendapatkan bantuan atau memperoleh apa yang diinginkannya dari orang lain. Dengan demikian, menurut penulis, hukuman fisik yang ringan pun masih ada gunanya jika diberikan dengan kadar dan waktu yang tepat.[6]Argumen lain yang disodorkan kelompok penentang adalah  pendidikan yang dijalankan dengan menanamkan rasa takut kepada si anak, akan membuat si anak seperti robot yang harus mengikuti suatu perintah. Proses pendidikan seperti itu sangat membahayakan perkembangan jiwa si anak, karena akan melahirkan anak-anak yang “bermental budak” yang harus tunduk terhadap segala perintah.
               Penulis membantah pendapat tersebut,  dengan alasan, memang anak-anak tidak boleh dididik dengan sistem perbudakan, tapi tidak semua hukuman fisik, akan melahirkan kondisi demikian. Kalau hukuman itu dijalankan dengan benar dan dengan memperhatikan seluruh syarat-syaratnya,  tidak akan lahir anak-anak seperti itu. Seorang anak yang terus-menerus melakukan perbuatan yang buruk padahal sudah sering kali diperingatkan,  agar tidak melakukan perbuatan tersebut  harus dihentikan dengan hukuman. Kalau kebiasaan buruknya tidak segera dihentikan,  anak akan semakin berani melawan. Tentunya hukuman  harus ringan dan tepat sasaran.
             Alasan lain menurut kelompok  penantang, bahwa hukuman fisik sama sekali tidak mendidik, sebab hukuman itu tidak menghilangkan motivasi buruknya. Memang  akan mengurungkan niatnya, karena perasaan takut, tapi di dalam batinnya keinginan itu tetap ada. Ketika rasa takut itu, hilang, si anak akan kembali mengulangi perbuatan buruknya. Pukulan itu mungkin dihadapi oleh si anak dengan pura-pura berjanji akan menghentikan kebiasaan buruknya. Karena itu patut diingat statmen mereka bahwa hukuman juga akan melahirkan anak-anak yang asosial, penakut serta pasif.
              Pernyataan  bahwa hukuman itu tidak menghentikan apa yang bergetar di dalam batin. Untuk menghentikan kenakalan-kenakalan, menurut penulis, harus dipelajari apa sebetulnya yang menjadi latar belakang kenakalannya dan dicari solusinya sehingga anak-anak, tidak mengulangi perbuatan buruknya.[7] Tetapi jika si anak tetap saja mengulangi perilaku jeleknya, tidak ada cara lain selain memberinya hukuman. Rasa takut akan hukuman itu dapat menghentikan keinginan atau minimal mengurangi minatnya untuk berbuat buruk. Kalau hukuman itu diberikan secara proporsional, tidak akan berdampak negatif. Memang anak harus tumbuh dalam keceriaan dan kebebasan tapi pada saat yang sama anak-anak juga harus diajari bahwa di dunia ini orang  tidak bisa hidup dengan kebebasan mutlak, lebih-lebih lagi kalau kebebasan itu dapat merugikan orang lain.
6. Pukulan Terhadap  Anak Sebagai Instrumen
            Hukuman pukulan kepada anak, bagi pengsuhnya adalah Instrumen sekunder . Sebagian pakar menerima hukuman fisik, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan, tapi tidak secara mutlak. Instrumen sekunder dan diberikan dalam kondisi serta syarat tertentu. Menurut penulis, kalau guru atau orang tua masih bisa menangani anak didiknya dengan nasihat-nasihat atau dengan penjelasan rasional, tidak perlu  memberikan hukuman. Hukuman  boleh diberikan setelah nasihat-nasihat tidak lagi dapat mengusik kesadarannya. [8]
            Dalam kaitan ini, Russel menulis, "Saya sendiri secara pribadi ingin mengatakan bahwa hukuman fisik dalam proses pendidikan sangat tidak berarti, bahkan mungkin hanya masuk sebagai alternatif kedua."  John Locke menulis, "Benar bahwa hukuman fisik kadang-kadang diperlukan, tetapi harus disadari bahwa tujuan sebuah hukuman adalah mendidik moral. Yang harus dilakukan adalah membuat anak  merasa malu berbuat nakal dan bukan karena  takut akan sanksi hukuman. Hukuman yang terlalu keras melatih anak-anak menjadi patuh secara lahiriahnya saja."[9]
             A.L Gary Gore  menulis, "Ada kalanya orang dewasa harus memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Misalnya jika anak-anak usia sekolah atau sudah agak dewasa mengganggu ayah dan ibu atau adik mereka. Sebelumnya sudah diperingatkan tapi tetap  meneruskan kenakalannya, anak-anak itu harus diberi hukuman.." Sebaliknya orangtua selayaknya menggunakan hukuman dengan  strategi yang tepat. Kalau  dilaksanakan ketika  dalam puncak kemarahan dan tanpa pertimbangan terhadap kondisi dan psikologis anak, bisa-bisa merusak hubungan orangtua dan anak. Anak akan kehilangan kepercayaan dan juga bisa dendam. Hukuman yang tidak tepat, akibatnya anak tidak mematuhi keinginan orang  tua, karena melukai hatinya. Timbul dalam diri  anak keinginan  membalas rasa sakit hatinya. Sebelum menjatuhkan hukuman terhadap anak dipertimbangkan secara baik dan  manfaat dan mudaratnya. Hukuman apa dan dalam kondisi bagaimana hukuman itu patut diberikan dan tidak patut diberikan terhadap anak.
              Hukuman memang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam membina anak, malahan dalam situasi tertentu mutlak diperlukan. Tetapi pada saat yang lain, sama sekali tidak perlu secara mutlak dengan hukuman fisik. Beberapa psikolog tidak keberatan dengan hukuman-hukuman fisik tapi bukan yang berat. Menurut psikolog "Perlu diingat bahwa jangan sekali-kali memberikan hukuman yang akan merendahkan harga diri anak, seperti hukuman badan, ancaman dengan siksaan atau apa saja demi menghancurkan keinginan buruknya. Hindarilah hukuman-hukuman seperti memukul, atau menyekap anak di ruangan yang gelap dan sempit."[10]
                Secara yuridis, Undang-Undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan, wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan,[11] terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana. Ajaran Islam menerima hukuman sebagai bagian dari sistem pendidikan. Ada beberapa kategori hukuman dalam Islam: Hukuman non-fisik seperti ancaman, peringatan atas orang-orang yang berdosa dengan siksaan di hari akhirat, denda, dan diat. Ayat al-Quran mengilustrasikan dalam berbagai kesempatan tentang kabar gembira untuk orang-orang yang beriman dan ancaman akhirat untuk orang-orang yang berdosa. Nabi-nabi diperkenalkan sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan.  Hukuman jenis kedua yaitu hukuman fisik yang bersyarat,[12] misalnya hukuman pengasingan, qishash, pukulan, hukuman  aturannya telah ditetapkan oleh syari’at.
              Kekerasan  yang disengaja terhadap anak,  walinya bisa meminta hukuman qishas terhadap hakim. Tindak kekerasan  yang tidak disengaja, dikenakan denda (diat) melalui walinya. Perilaku homo seksualitas (liwâth) yang disengaja dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman mati. Peminum khamar dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman cambuk seratus kali, mencuri dalam kondisi tertentu akan mendapatkan hukuman potong tangan. Siapa saja yang dengan sengaja mengakibatkan anggota badan orang lain terpotong akan diqisas oleh hakim syar'i, yaitu dipotong anggota badan yang sama, tapi kalau secara tidak sengaja maka ia harus membayar denda dalam jumlah tertentu. Hukuman jenis ketiga yaitu ta'zîr. Ta'zîr adalah hukuman fisik yang ketentuannya diatur oleh seorang hakim tetapi lebih ringan dari had.  Dalam kasus pelanggaran yang hukumannya tidak ditentukan oleh syari’at, hakim tidak bisa memberikan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran itu hanya demi kemaslahatan umum, tapi bisa memberikan hukuman yang kurang dari had. Contohnya kalau seorang laki-laki mencium anak atau perempuan yang bukan istrinya dengan penuh nafsu, sang hakim syar'i dapat menjatuhkan hukuman ta'zîr .
               Laki-laki dan perempuan (bukan muhrim) yang tidur seranjang, secara umum  bisa dijatuhi hukuman ta'zîr dari sang hakim. “Islam memberi tempat bagi hukuman fisik”,[13] dan non-fisik sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan demi memelihara keadilan dan ketenteraman masyarakat. Islam melegalkan hukuman itu bukan sebagai bentuk balas dendam kepada orang-orang yang berdosa, namun untuk menjaga stabilitas sosial dan hak-hak manusia. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannnya oleh Al-quran dan hadits, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari’ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah. Abd al- Qadir Awdah membagi jarimah ta’zir menjadi tiga, yaitu :

1)  Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta (syirkah), pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda.
2)   Jarimah ta’zir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama.
3)   Jarimah ta’zir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya.[14]
  Dalam menetapkan jarimah ta’zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta’zir harus sesuai dengan prinsip syar’i.[15]Hukuman ta’zir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman tersebut, yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya..



          [1]Teori maqashid al-Syari’ah yang disistematisasi dan dikembangkan oleh al-Syathibi. Bahkan Musthafa Said al-Khin dalam bukunya al-Kafi al-Wafi fi Ushul al-Fiqh al-Islamy  membuat kategorisasi baru dalam aliran Ilmu Ushul Fiqh. Bila sebelumnya hanya dikenal dua aliran saja, yaitu Mutakallimin dan fuqahaatau Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, maka al-Khin membaginya menjadi lima bagian:MutakalliminHanafiyyahal-Jam’iTakhrij al-Furu’ ‘alal Ushul dan  Sya-thibiyyah (al-Khin, 2000: 8). Dengan demikian, pembagian tersebut telah menempatkan pemikiran Imam al-Syathibi dalam al-Muwafaqat menjadi salah satu bagiatn corak aliran yang terpisah dari aliran ushul fiqih lainnya. Hal ini karena dalam coraknya, al-Syathibi mencoba menggabungkan teori-teori (nadhariyyat) ushul fiqh dengan konsep maqashid al-syari’ah sehingga produk hukum yang dihasilkan lebih hidup dan lebih kontekstual. Menurut Darusmanwiati, Ada dua nilai penting apabila model al-Syathibi ini dikembangkan para ulama sekarang dalam menggali hukum: Pertama, dapat men-jembatani antara “aliran kanan” dan “aliran kiri”. “Aliran kanan” yang dimaksud adalah mereka yang tetap teguh berpegang pada konsep-konsep ilmu ushul fiqh sedangkan “aliran kiri” adalah mereka yang terakhir ini vokal dengan idenyatajdid ushul al-fiqh dalam pengertian perlu adanya dekonstruksi ushul fiqih demi menghasilkan produk fiqih yang lebih kapabel …. Kedua, model al-Syathibi ini akan lebih menghasilkan produk hukum yang dalam istilah Ibnu al-Qayyim, al fiqh al-hayy, fiqih yang hidup. Karena itu, fiqih yang terlalu teksbook yang penulis istilahkan dengan Fiqh Ushuly akan berubah menjadi Fiqh Maqashidy Darusmanwiati, Islamlib: 309.
             [2]Suruhlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat pada usia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya pada usia sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.”[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ahmad (II/ 180, 187), Abu Dawud (no. 495), Al-Hakim (I/197), Al-Baihaqi (III/84), Ibnu Abi Syaibah (no. 3482), Ad-Daruquthni (I/230), Al-Khathib (II/278), dan Al-‘Uqaili (II/167), dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma. Lihat juga Shahihul Jami’ (no. 5868)] Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi berkaitan dengan pukulan kepada anak ini, yaitu:
a. Anak mengerti atas alasan apa dia dipukul. b. Orang yang memukulnya adalah walinya, misalkan ayahnya. c. Tidak boleh memukul anak secara berlebihan. d. Kesalahan yang dilakukan oleh sang anak memang patut untuk mendapatkan hukuman. e. Pukulan dimaksudkan untuk mendidik anak, bukan untuk melampiaskan kemarahan.[Lihat Al-Qaulul Mufid (II/473-474) dan Bekal Menanti Si Buah Hati tt, hlm. 55-56.
               [3]HR. Muslim : 2128
               [4]Lihat  Jurnal al Mawaddah Edisi 4 tahun ke-3, November 2009
                [5] Editor Tribun Pontianak, Pelajaran bagi orangtua di tengah kehidupan global yang "lebih" mendewakan materi daripada nilai-nilai religi dan budaya.  Vita, sapaan akrab Ruvita Sari, nekat kabur ke Sorong, Papua Barat bukan tanpa sebab. Kenekatan model iklan berusia 13 tahun ini, berlatar tekanan psikis hebat dari ibunya, Ny Lily.Setelah ditemukan polisi di rumah orangtua angkatnya, Bunda Maya di Sorong, Kamis (26/1/2012) sore, Vita mengaku sering dipukul ibunya kalau menolak syuting.Tidak sampai di situ, sang ibunda "terlalu" mengatur selera dan kehidupan anak. Mulai urusan busana hingga rileks (jalan-jalan), Vita perlu menangis. Vita pun mengalami memar akibat pukulan sang ibu, manakala model iklan cokelat pasta itu pulang pukul 21.00 WIB. Sang Ibu tak mengelak, mengakui pernah juga menarik rambut Vita dan menjepret kaki putrinya menggunakan karet. Benarkah cara orangtua pada buah hatinya ini? Prinsipnya, tak seorang orangtua pun di muka bumi, ingin menzalimi anak kandungnya.Harimau yang paling buas sekalipun, tak pernah memakan anak-anaknya, meski kelaparan. Kaum sufi psikologi maupun agama, justru meyakini cinta orangtua kepada anak, lebih besar dibanding cinta anak kepada orangtuanya. Editor Tribun Pontianak.Co.id - Peristiwa kaburnya model cilik, Ruvita Sari Siahaan, 9 Januari 2012.
             [6]Apabila manusia telah meninggal, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akan kebaikan baginya.[Hadits  shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Ahmad (II/372), Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (no. 38), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251), Tirmidzi (no. 1376), dan Al-Baihaqi (VI/278) dari Abu Hurairah.
            [7] Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ketetapan Ta’zir, Pihak pondok menetapkan aturan dengan cara menta'zir yang salah satunya dengan menarik uang(denda) bagi santri yang melanggar aturan yang telah ditetapkan pihak pondok. Contoh pada pesantren di Jawa, karena, mereka  para kiyai tahu hukum menta'zir dengan uang, sehingga  timbul pertanyaan: 1. bagaimanakah hukum menta'zir dengan meng-gunakan uang(mendenda).....2. jika tidak boleh,apakah ada cara lain yang membolehkannya, mungkin dengan hilah(merekayasa daya hukum)? 3. hukum helah yang diperbolehkan seperti apa kriteria yang diperbolehkan menurut syar'i? Ternyata di dalam madzhab Syafi'i menghukum dengan denda uang itu tidak boleh, tapi menurut pendapat Imam Malik boleh menghukum dengan denda uang.....Batas pukulan mendidik yaitu dari pantat ke bawah,kalau pun organ atas yaitu hanya kuping dengan cara dijewer. Ibnu Qayyim Al Jauziyah  mengatakan, ”Kaum muslimin bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim,.
              [8] Mahjuddin, Masa’il al-Fiqhi , Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, Anak yang menjadi dambaan setiap keluarga adalah rizki sekaligus ujian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya bahwa anak adalah salah satu kesenangan dan perhiasan dunia, Artinya: Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.Qs. Al-Kahfi: 46 Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga merupakan amanah yang sangat besar bagi kedua orang tuanya. Oleh karenanya, para orang tua dituntut untuk senantiasa memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani sang buah hati. Namun, belakangan sering ditemui peristiwa-peristiwa memilukan yang menimpa anak-anak akibat perbuatan orang tuanya. Lihat Mahjuddin, Masa’il al-Fiqhi , Kasus-Kasus Aktual Dalam Hukum Islam, (Kalam Mulia Jakarta: 2012), hlm. 71.
               [9]Hukuman dalam kasus  melatih anak-anak memiliki kepekaan terhadap lingkungan, memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan mengendalikan diri. Kemudian penyakit belajar adalah lupa dan kejenuhan.Lihat Muhibbin Syah. Psikologi Belajar, (Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006) , hlm. 167-168.
               [10]Menurut data Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak, pada 2011 telah terjadi 1.851 pengaduan ABH yang diajukan ke pengadilan. Hampir 89,8 persen kasus ABH berakhir pada pe¬mi¬danaan atau diputus pidana. Data lain yang dirilis Kementerian Hukum dan HAM 2010 menunjukkan bahwa di 16 Lapas di Indonesia ditemukan 6.505 ABH yang diajukan ke pengadilan dan 4.622 ABH di antaranya mendekam dipenjara. Jumlah ini mungkin jauh lebih besar karena angka ini hanya bersumber dari laporan 29 Balai Pemasyarakatan (Bapas), sementara di Indonesia terdapat 62 Bapas, Rakyat Merdeka, 19 Januari 2012.
              [11]Pemerintah RI, Pembentukan Peraturan  Perundang-undangan Tahun 2005, (Jakarta, Sinar Grafika: 2004), hlm 27.  Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru.
              [12]Pemerintah RI, Undang-Undang Guru Dan Dosen, Edisi 2012,(Jakarta, Fokussindo Mandiri, 2012), hlm 79. Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana.Lihat Bunadi Hidayat, Pemidanaan Aanak Di Bawah Umur,(Bandung, PT.Alumni : 2010), hlm. 115.
                 [13]Bunadi Hidayat, Op.Cit, hlm. 183. Secara tidak sadar orangtua menghukum anaknya dengan emosi dan cara yang kasar, seperti langsung memukulnya. Tindakan seperti ini kurang dibenarkan, karena bagaimana pun didikan orangtua turut menciptakan kondisi anak pada masa mendatang.Rasulullah SAW mengajarkan tanggapan bagaimana seharusnya orangtua menghukum anak, yakni orangtua menunjukan kesalahan dengan pengarahan secara langsung, menunjukan kesalahan dengan isyarat, hardikan dan pukulan. Hukumsn pukulan adalah jalan terakhir untuk menghukum anak agar jera, namun pukulan tersebut harus didasari rasa kasih sayang.
              [14]Akram Kasab, Memadukan nash dan akal Metode Yusuf Al-Qaradhawi, (Jakarta : Pustaka Al-Kausar, 2010), hlm  572. Menurut sebagian madzhab Hanafi boleh menta'zir dengan pakai uang tapi bila sudah taubat, harus dikembalikan uangnya.fiqh ala al madzhab al-arba'ah 5/ 401.Yang tidak memperbolehkan silahkan dicek di kitab tanwir al quluub,hasyiyah al jamal ala al manhaj dan gyoyah talkhis a-lmurod hamisyi bughyah. “Dan tidak boleh menta’zir (menghukum) dengan mencukur jenggot atau dengan mengambil harta”.(Tanwiir al-Quluub , 2001), hlm. 392.
             [15]Ta’zir tidak boleh dengan mengambil harta”. Hasyiyah al-Jamal V/164 “Dan haram menta’zir dengan mencukur janggut, memotong anggauta dan melukainya, Ta’zir diharamkan juga dengan mengambil atau merusak harta benda karena tidak terdapati ketetapan syara’ yang demikian dari prilaku yang dapat diikuti dan karena tujuan diperlakukan menta’zir demi mengajari tatakrama yang tidak ada ketentuan dengan merusak harta benda berbeda menurut Imam Taqiyuddin yang memperkenankan ta’zir dengan mengambil atau merusak harta benda”. Mathaalib Uli al-Nuhaa, Jilid VI, hlm. 224.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook