Penunulis hanya mengutip dari penulis lain yang mengutip dari kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam syafei berkata :
“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali
jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.
Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :
“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan
dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.
Demikian keputusan hokum tentang qunut subuh dalam madzab syafii…
Ini bukan pendapat saya, HM.Rakib
Jamari, tapi pendapat sesorang yang penulis kutip dari…Posted on December 26,
2012 by admin
Ingat-ingat kaidah fiqh: “Asal Ibadah adalah Tauqif” Bukan
“haram”
dan “ibadah” yang dimaksud dalam kaidah ini hanyalah : “ibadah mahdhah sahaja”
Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya berhubungan dengan
Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam Qur’an dan Hadits.
Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan rukun yang
mendampinginya.
bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul
Fiqh.
Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an
dan hadits. Pengertian berhenti adalah mengikuti pada dalil yang sahih dari
Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi, ditambahi, mendahulukan ataupun
mengakhirkan. lebih lengkapnya:::
Sangat
sering kita membaca atau mendengar ucapan, “Mana dalilnya ?”, “Kalau memang itu
baik/benar mengapa Rasulallah dan para sahabat tidak pernah melakukannya ?”,
“Lau Kana Khairan Ma Sabaquna ilaihi ?”, “Apakah Rasulallah dan sahabatnya
pernah melakukannya ?” dan lain sebagainya. Hal ini paling sering diucapkan
oleh kelompok Salafy Wahabi dalam memvonis amaliah pengikut I’tiqad Ahlus
Sunnah Wal Jamaah, seperti Yasinan, Tahlilan, Maulid Nabi Muhammad SAW.,
peringatan hari besar Islam, bermazhab, sunahnya mengucap ushalli sebelum
takbiratul ihram dan amalan lainnya.
Qunut
subuh adalah “AT
TARK”
Pertanyaannya adalah apakah “At
Tark” yaitu “Rasulallah meninggalkan atau tidak melakukan sesuatu” itu
merupakan suatu hukum baru ? Bisakah “At Tark” itu dijadikan alat untuk
menghukumi suatu amaliah itu makruh atau bahkan haram ? Ataukah “At Tark” itu
dianggap Salafy Wahabi hanya sebagai “jembatan” untuk diarahkan ke bid’ah
dhalalah, yang semua tempatnya neraka ?
Mari kita bahas bersama bagaimana
sebenarnya kedudukan “At Tark” ini. “At Tark” yang kita pahami sebagai amaliah
yang tidak dilakukan atau ditinggalkan oleh Rasulullah” tidak secara langsung
menghukumi sesuatu itu makruh atau haram atau sering disebut kelompok Salafy
Wahabi “Bid’ah (Dhalalah)”.
Hal ini bisa kita buktikan dari
banyak sudut pandang, yaitu :
1. Dari
sudut Ushul Fiqh, larangan jelas ditunjukkan dengan tiga hal :
- Ada sighat nahi (berupa kalimat
larangan).
Contoh :
ولا
تقربوا
الزن
(Jangan kalian dekati zina)
- Ada Lafadz Tahrim (Lafadz
keharaman).
Contoh :
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
(Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai dst.)
- Ada Dzammul Fi’l
(Celaan/ancaman atas suatu perkara/amal)
Contoh :
من
غش
فليس
منا
(Barang siapa memalsu maka bukan golongan kami)
Dari ketiga dasar ushul fiqh
tersebut tidak ada “At Tark” di salah satunya.
2. Nash Qur’an
menyebutkan :
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا
نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُوا
“Apa
yang diberikan Rosul bagimu terimalah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah” QS. Al Hasyr : 7
Disini jelas nash Qur’an menggunakan
lafadz “Naha” (dilarang), bukan “Tark” (ditinggalkan/tidak
pernah dilakukan)
3. Dalil
dari Hadits menyebutkan :
مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ
فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا
أَمَرْتُكُمْ بِهِ
فَافْعَلُوا مِنْهُ
مَا
اسْتَطَعْتُمْ
“Apa
saja yang aku cegah atas kalian maka jauhilah (tinggalkanlah), dan apa-apa yang
aku perintahkan pada kalian
kerjakanlah semampu kalian” (HR. Bukhori Muslim)
Disini Rasulullah juga tidak
mengatakan “Tark” tapi “Nahi” (larangan yang jelas).
Jadi jelas
sudah bahwa “At Tark” bukan sumber hukum dan tidak bisa secara otomatis
menghukumi sesuatu itu makruh atau haram. Hal ini berbeda dengan qaidah yang
baru dibuat oleh Salafy Wahabi yang mengatakan “at-Tarku Yadullu ‘ala Tahrim”.
Jelas ini mengada-ada.
LAU KAANA KHAIRAN MA SABAQUUNA
ILAIHI
Berikutnya adalah sering kita baca
atau dengar kalimat
لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُونَا إِلَيْهِ
Lau Kaana Khairan Maa Sabaquunaa
Ilaihi
Yang diartikan secara asal-asalan
oleh Salafy Wahabi :
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik,
tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya”
Adakah kalimat itu dijadikan dasar
hukum ? ataukah ada sumber dari Ushul Fiqh ?
Dengan tegas harus kita jawab tidak
ada hal tersebut sebagai sumber hukum untuk menilai halal/haram ataupun bid’ah
suatu amaliah. Dan yang paling penting kita ketahui kalimat itu sebenarnya
adalah ayat Qur’an surat Al Ahqaf ayat 11. Dalam asbabun nuzul ayat
tersebut menyatakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat “orang kafir quraisy
“ yang mempertanyakan masuk Islamnya “Zanin”, budak wanita Sayyidina Umar ibn
Khattab Ra. Sebelum beliau memeluk Islam.
Pantaskah
hal itu digunakan sebagai dalil menghukumi suatu amal ??? Dengan tegas jawab
tidak bisa. Bahkan hal itu jelas diucapkan oleh orang yang tidak punya ilmu.
ASAL IBADAH ADALAH TAUQIF
Selanjutnya
yang santer juga diucapkan oleh Salafy Wahabi yaitu “Asal Ibadah adalah haram”.
Yang kami temui istilah yang tepat dan banyak disebut ulama adalah “Asal Ibadah
adalah Tauqif” bisa dilihat di Kitab Fathul Bari dan beberapa Kitab Ushul Fiqh.
Untuk jelasnya dalam Kitab Ushul
Fiqh :
الأصل
في
العبادات التوقيف
وفي
هذه
الليلة
أود
أن
أقف
عند
قضية
أساسية
في
العبادات جميعا
وهي
قاعدة
معروفة
عند
أهل
العلم،
أن
الأصل
في
العبادات التوقيف كما
أن
الأصل
في
المعاملات والعقود الإباحة، وهذه
قاعدة
نفيسة
ومهمة
جدا
ونافعة
للإنسان، فبالنسبة للعبادات لا
يجوز
للإنسان أن
يخترع
من
نفسه
عبادة
لم
يأذن
بها
الله
عز
وجل،
بل
لو
فعل
لكان
قد
شرع
في
الدين
ما
لم
يأذن
به
الله،
فلم
يكن
لأحد
أن
يتصرف
في
شأن
الصلاة
أو
الزكاة
أو
الصوم
أو
الحج
زيادة
أو
نقصا
أو
تقديما
أو
تأخيرا
أو
غير
ذلك،
ليس
لأحد
أن
يفعل
هذا،
بل
هذه
الأمور
إنما
تتلقى
عن
الشارع، ولا
يلزم
لها
تعليل،
بل
هي
كما
يقول
الأصوليون: غير
معقولة
المعنى، أو
تعبدية، بمعنى
أنه
ليس
في
عقولنا
نحن
ما
يبين
لماذا
كانت
الظهر
أربعا،
والعصر
أربعا،
والمغرب ثلاثا،
والفجر
ركعتين، ليس
عندنا
ما
يدل
على
ذلك
إلا
أننا
آمنا
بالله
جل
وعلا،
وصدقنا
رسوله
صلى
الله
عليه
وسلم،
فجاءنا
بهذا
فقبلناه، هذا
هو
طريق
معرفة
العقائد وطريق
معرفة
العبادات، فمبناها على
التوقيف والسمع
والنقل
لا
غير،
بخلاف
المعاملات والعقود ونحوها، فإن
الأصل
فيها
الإباحة والإذن
إلا
إذا
ورد
دليل
على
المنع
منها،
فلو
فرض
مثلا
أن
الناس
اخترعوا طريقة
جديدة
في
المعاملة في
البيع
والشراء عقدا
جديدا
لم
يكن
موجودا
في
عهد
النبوة، وهذا
العقد
ليس
فيه
منع،
ليس
فيه
ربا
ولا
غرر
ولا
جهالة
ولا
ظلم
ولا
شيء
يتعارض
مع
أصول
الشريعة، فحينئذ
نقول:
هذا
العقد
مباح؛
التوقيف في
صفة
العبادة
العبادة توقيفية في
كل
شيء،
توقيفية في
صفتها
-في
صفة
العبادة- فلا
يجوز
لأحد
أن
يزيد
أو
ينقص،
كأن
يسجد
قبل
أن
يركع
مثلا
أو
يجلس
قبل
أن
يسجد،
أو
يجلس
للتشهد
في
غير
محل
الجلوس، فهيئة
العبادة توقيفية منقولة
عن
الشارع
التوقيف في
زمن
العبادة
زمان
العبادة توقيفي
-أيضا-
فلا
يجوز
لأحد
أن
يخترع
زمانا
للعبادة لم
ترد،
مثل
أن
يقول
مثلا
التوقيف في
نوع
العبادة
كذلك
لابد
أن
تكون
العبادة مشروعة
في
نوعها،
وأعني
بنوعها
أن
يكون
جنس
العبادة مشروعا، فلا
يجوز
لأحد
أن
يتعبد
بأمر
لم
يشرع
أصلا،
مثل
من
يتعبدون بالوقوف في
الشمس،
أو
يحفر
لنفسه
في
الأرض
ويدفن
بعض
جسده
ويقول:
أريد
أن
أهذب
وأربي
وأروض
نفسي
مثلا،
فهذه
بدعة
التوقيف في
مكان
العبادة
كذلك
مكان
العبادة لابد
أن
يكون
مشروعا، فلا
يجوز
للإنسان أن
يتعبد
عبادة
في
غير
مكانها، فلو
وقف
الإنسان -مثلا-
يوم
عرفة
بالـمزدلفة فلا
يكون
حجا
أو
وقف
بـمنى،
أو
بات
ليلة
المزدلفة بـعرفة، أو
بات
ليالي
منى
بالـمزدلفة أو
بـعرفة، فإنه
لا
يكون
أدى
ما
يجب
عليه،
بل
يجب
أن
يلتزم
بالمكان الذي
حدده
الشارع
إلى
غير
ذلك
Jika kita baca penjelasan diatas,
maka rangkumannya adalah Asal Ibadah adalah Tauqif (berhenti) pada
dalil yang jelas (sahih) baik Qur’an dan hadits. Pengertian berhenti adalah
mengikuti pada dalil yang sahih dari Qur’an dan hadits tidak boleh dikurangi,
ditambahi, mendahulukan ataupun mengakhirkan. Dijelaskan selanjutnya
tauqif itu mengikuti :
1. Tauqif Sifat Ibadah (التوقيف
في صفة العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak boleh untuk
menambah dan megurangi. seperti sujud sebelum ruku’, atau duduk sebelum sujud,
atau duduk
tasyahud tidak
pada tempatnya”
2. Tauqif Waktu Ibadah (التوقيف
في زمن العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak boleh seseorang
itu membuat buat ibadah di waktu tertentu yang syari’ tidak memerintahkannya”
3. Tauqif Macamnya Ibadah (التوقيف
في نوع العبادة)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“tidak sah bagi orang yang
menyembah sesuatu yang tidak di syariatkan, seperti menyembah matahari atau
memendam jasadnya
sebagian sembari berkata ” saya ingin melatih badanku “ misalkan ini semua
bid’ah.”
4. Tauqif Tempat Ibadah (التوقيف
في مكان العباد)
dicontohkan dalam
penjelasannya :
“jika seseorang wukuf
di muzdalifah, maka ini bukan haji, atau wuquf dimina, atau bermalam (
muzdalifah ) di arafah, dan
sebaliknya, maka
ini semua bukanlah sesuatu yang masyru’. kita wajib melaksanakan
ibadah sesuai tempat yang sudah
disyari’atkan
oleh syari’
Jadi dari penjelasan diatas jelas
bahwa Ibadah yang dimaksud adalah Ibadah Mahdhah yaitu Ibadah yang hanya
berhubungan dengan Allah dan telah lengkap dan sempurna penjelasannya dalam
Qur’an dan Hadits. Seperti : Shalat, Puasa, Haji, Zakat, berikut syarat dan
rukun yang mendampinginya.
Maka jelas disini dalam I’tiqad
Ahlus Sunnah Wal Jamaah hal ini tidak boleh dikurangi, ditambahi,
mendahulukan ataupun mengakhirkan. Semua sudah dalam batasan yang jelas.
Sedangkan pada Ibadah Ghairu
Mahdhah yaitu Ibadah yang tidak berketatapan hukum mengikat tapi menjadikan
penghubung untuk mencari ridha Allah.
Maka secara umum dalam ushul fiqh
terdapat suatu ijma’ ulama yaitu Lil Wasa’il Hukmul Maqashid, artinya “Hukum
untuk perantara sama dengan hukum tujuannya”.
Untuk mudahnya contohnya adalah :
“Berzina itu haram, maka menyediakan
kamar/rumah untuk berzina itu juga haram”. Maka Berzina itu maqashid
(tujuannya) sedang menyediakan kamar/rumah untuk berzina itu wasail
(perantaranya). Jika kita cari hukum berzina jelas ada dalilnya, tapi wasailnya
tanpa dalil dia sudah berhukum haram.
“Bershalawat adalah perintah (sunnah
muakkad) maka mengadakan maulid nabi Muhammad SAW untuk mengenal kehidupan
Nabi, membangun kecintaan kepada beliau, termasuk bershalawat didalamnya adalah
Sunnah”. Bershalawat adalah maqashidnya sedang memperingati maulid adalah
wasailnya.
Dan masih banyak contoh yang bisa
kita ambil dalam Ibadah Ghairu Mahdhah seperti Yasinan, Tahlilan, Mengucap
ushalli dan lain sebagainya. Terpenting adalah hal tersebut dari sisi
maqashidnya tidak boleh bertentangan dengan Qur’an dan Hadits.
Demikianlah pemahaman dalam I’tiqad
Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang mengikut junjungan kita Rasulullah Muhammad
Shalallahu ‘alaihi Wa Alihi Wasallam.
Maka jelas
apa yang tidak dilakukan Rasulullah bukan “bid’ah dhalalah (tersesat)”. Dan hal itu sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barang
siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya
pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun
dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jelek
didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak
dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim Nomor 1017)