PENAKLUK WANITA CANTIK
TEORI STRUKTURALISME
Hebatnya, orang sekuler, tidak percaya dengan ilmu pelet. Agama samawi juga melarang pemakaian ilmu pelet, namun dalam pelajaran sastra lama, masih banyak ditemukan puisi dan pantun-pantun yang berisi mantra-mantra,bagian dari ilmu pelet dulunya.
Kini orang sekuler malah banyak yang mencari ilmu pelet, karena logikanya sering meleset, sehingga melarikan diri kepada hal-hal yang sama sekali tidak rasional.
Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum
Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha. Ia mendapat pengaruh langsung dari
Saussure yang mengubah studi lingusitik dari pendekatan diakronik menjadi
sinkronik. Studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya,
melainkan hubungan antarunsurnya. Masalah unsur dan hubungan antarunsur
merupakan hal yang penting dalan pendekatan ini. Unsur bahasa misalnya, unsur
fonologi, unsur morfologi dan sintaksis, maka dalam studi linguistik pun dikenal
adanya studi fonetik, fonemik, morfologi dan sintaksis. (Nurgiyantoro, 2010:36)
Sebuah karya sastra, menurut kaum
strukturalisme adalah sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif
oleh barbagai unsur pembangunnya. Di
satu pihak, Abrams (dikutip Nurgiayntoro, 2010:36) karya sastra dapat diartikan
sebagai susunan, penegasan , dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi
komponennya serta bersama membentuk kebulatan yang indah. Sementara di pihak
lain struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur
(intrinsik) yang bersifat timbal balik, saling menentukan, saling mempengaruhi,
yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh.
Analisis struktural karya sastra dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji dan medeskripsikan fungsi dan
hubungan antarunsur intrinsiknya. Mula-mula diidentifkasi dan dideskripsikan,
misalnya, bagaimana keadaan peristiwa-peristiwa, plot, tokoh, latar, dll.
Setelah itu, kaitkan unsur satu dengan unsur yang lain sehingga membentuk suatu
kepaduan dalam karya sastra. Dengan demikian, pada prinsipnya kajian
strukturalisme bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan
keterkaitan antarunsur intrinsik yang menunjang sebuah karya sastra sehingga
membentuk kepaduan yang menyeluruh.
II. Pembahasan
2.1. Transliterasi Naskah Melayu “Lancang Kuning” ke dalam Aksara Bahasa
Indonesia
Lancang Kuning
Lancang adalah sebuah perahu dengan ukurang yang berbeda-beda, karena
ada yang kecil dan ada pula yang besar, yang jelas lancang adalah alat
perhubungan air pada masa lalu. Dalam masyarakat Riau lebih dikenal dengan
Lancang Kuning yang merupakan suatu lambang kebesaran daerah Riau. Karena itu
Lancang Kuning ditetapkan menjadi lambang dan nyanyi (nyanyian—pent.) daerah
Riau.
Adapun cerita Lancang Kuning adalah
berasal dari sebuah kerajaan yang terdapat di Bukit Batu, wilayah Kabupaten
Bengkalis. Kerajaan ini diperintah oleh raja yang bernama Datuk Laksmana
Perkasa Alam serta dibantu oleh dua orang panglima yaitu Panglima Umar dan
Panglima Hasan. Panglima Umar adalah seorang panglima yang dipercaya oleh Datuk
Laksmana Perkasa untuk menyelesaikan sesuatu jika terjadi persoalan dalam
kerajaan. Umpamanya jika terjadi perampokan di perairan, setiap tugas dapat
diselesaikannya dengan baik.
Pada suatu hari Panglima Umar menghadap Datuk Laksmana untuk
menyampaikan hasrat hati untuk mempersunting Zubaidah, seorang gadis negeri
itu. Permohonan Umar disambut dengan baik oleh Datuk Laksmana. Dengan
persetujuan Datuk Laksmana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan
diadakan pesta dan keramaian besar-besaran.
Rupanya kepercayaan yang diberikan dan perkawinan Umar dengan Zubaidah
menimbulkan rasa tidak senang bagi Panglima Hasan, timbul dendam. Hal ini
timbul dikernakan (karena—pent.) rupanya Panglima Hasan juga simpati dan
mencintai Zubaidah itu. Rupanya apa yang diinginkan itu telah didahului
Panglima Umar.
Untuk melepaskan rasa sakit hati Panglima Hasan mencarai akal bagaimana
agar Zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya Panglima Hasan
menyuruh Domo menyampaikan kepada datuk bahwa dia bermimpi agar Datuk Laksmana
membuat Lancang Kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun. Apa yang
disampaikan Pawang Domo diterima oleh Datuk Laksmana, sehingga Lancang Kuning
dikerjakan siang malam. Setelah Lancang Kuning hampir selesai tersebar berita
bahwa Batin Sanggoro telah melarang para pelaut untuk mencari ikan di Tanjung
Jati.
Dengan adanya berita ini Datuk Laksmana memerintahkan agar Panglima Umar
berangkat dan menemui Batin Sanggoro, sungguh berat hati Panglima Umar untuk
berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi ia akan
melahirkan, tapi karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan,
demi kerajaan yang tercinta.
Setelah berlayar beberapa hari sampailah Panglima Umar kepada Batin
Sanggoro dan diceritakan semua berita yang tersebar di Bukit Batu. Mendengar
cerita itu Batin Sanggoro terkejut, karena selama ini dia tidak pernah melarang
nelayan Bukit Batu menangkap ikan di Tanjung Jati. Mendengar cerita Batin
Sanggoro Panglima Umar termenung dan berpikir, apakah gerangan yang terjadi di
balik peristiwa ini? Melihat keadaan ini lalu Batin Sanggoro menganjurkan agar
cerita ini diselidiki dari mana asal mulanya, dan diselidiki sewaktu perjalan
pulang.
Rupanya apa yang disampaikan Batin Sanggoro dituruti Panglima Umar,
sewaktu perjalanan pulang Panglima Umar berkeliling karena mencari siapa yang
membuat berita itu, sehingga tidak dirasakan bahwa (pent.—tulisan tidak jelas)
perjalanan sudah satu bulan.
Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu Lancang Kuning
akan diluncurkan ke laut. Di balai-balai telah banyak awak (pent.—tulisan tidak
jelas) kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan peluncuran Lancang Kuning
tersebut. Bermacam-macam hiburan daerah dipertunjukkan. Semua (pent.—tulisan
tidak jelas) penduduk negeri berkembira kecuali Zubaidah, kerna suaminya
Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan sampai saat ini belum juga kembali
(pent.—tulisan tidak jelas) dan kerna itu tidak pergi menghadiri acara
peluncuran Lancang Kuning ke laut pada malam itu.
Setelah semua keperluan peluncuran Lancang Kuning disiapkan Pawang
(pent.—tulisan tidak jelas) Domo memberikan petunjuk kepada Datuk Laksmana.
Acara peluncuran diawali dengan tepung tawar pada dinding Lancang Kuning
kemudian dilanjutkan Panglima Hasan dan pemuka masyarakat lainnya. Selesai tepung
tawar dilanjtkan dengan pengasapan dan barulah semua yang hadir diperintahkan
supaya (pent.—tulisan tidak jelas) berdiri di samping Lancang Kuning dan semua
bunyi-bunyian dibunyikan. Dan semua yang telah memegang Lancang Kuning
mendorong, tetapi alangkah anehnya, Lancang Kuning tersebut tidak bergerak
sedikitpun. Hal ini dikerjakan berulang-ulang bahkan tenaga sudah ditambah,
namun Lancang Kuning tidak juga bergerak. Hadirin yan hadir bmerasa heran dan
bertanya-tanya, muka Pawang Domo merah padam.
Pawang Domo segera bersembah kepada Datuk
Laksmana dan berkata: ampun tuanku yang mulia! Rupanya Lancang Kuning tidak
bisa diluncurkan jika.... Jika apa Wak Domo? Kata Datuk Laksmana, katakanlah!
Jika Lancang Kuning ingin juga diluncurkan harus ada korban. Korban berapa ekor
kerbau yang diperlukan Wak Domo? Tuanku yang mulia, bukan kerbau. Wak Domo
menghampiri Datuk Laksmana dan membisikkan bahwa korban yang diperlukan adalah
perempuan hamil sulung—Datuk Laksmana tertunduk dan termenung serta berkata kepada
Pawang Domo—bahwa tidak mungkin itu dilakukan,
maka Datuk Laksmana memerintahkan agar peluncuran Lancang Kuning
diundurkan saja.
Setelah sebagian orang pulang, Panglima Hasan pergi ke rumah Zubaidah
dan didapatinya Zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah terkejut dengan (pent.—tulisan tidak jelas) kedatangan
Panglima Hasan sambil berkata. Mengapa lagi kau ke sini Panglima Hasan? Berkata
Panglima Hasan: Zubaidah apa lagi yang kau tunggu Zubaidah? Suamimu tidak akan
kembali lagi, karena itu biar aku yang mejadi ayah anakmu itu! Apa katamu
panglima pengkhianat? Biar saya
mati (pent.—tulisan tidak jelas) dari
pada bersuamikan kamu! Apa? Jawab Panglima Hasan. Jika kamu masih menolak
permintaanku, kamu akan saya jadikan gilingan Lancang Kuning yang akan
diluncurkan ke laut.
Kerna Zubaidah tetap menolak permintaan Pangliama Hasan, maka Zubaidah
ditarik dan matanya ditutup dengan dibantu oleh pengawalnya, setelah sampai di
(pent.—kata “di” dengan lambang huruf
tertutup garis hitam bekas fotocopy) Lancang Kuning yang akan
diluncurkan, Panglima Hasan mendorongkan tubuh Zubaidah ke bawah Lancang Kuning
dan ketika itu juga Panglima Hasan memerintahkan supaya (pent.—tulisan tidak jelas) Lancang Kuning
didorong ke laut. Hanya didorong oleh beberapa orang saja (pent.—tulisan tidak
jelas) Lancang Kuning itu meluncur dengan mulus.
Setelah Lancang Kuning sampai di laut tampaklah darah dan daging
Zubaidah berserakan di tanah dan ketika itu turunlah hujan serta (pent.—tulisan
tidak jelas) petir dan angin kencang serta bertepatan waktu itu Panglima Umar
merapat ke pelabuhan Bukit Batu.
Setelah perahu ditambatkan di pelabuhan Panglima Umar langsung ke rumah
untuk melihat istrinya dan anaknya yang telah ditinggalkan selama sebulan, tapi
setelah sampai di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya Zubaidah tetapi tidak
ada jawaban. Hati pnglima sudah mulai gelisah, maka ia berangkat ke pelabuhan,
di tengah jalan ia berpapasan dengan Panglima Hasan, langsung Panglima Umar
bertanya kepadanya, dimana gerangan istriku. Panglima Hasan menceritakan,
istrinya Zubaidah telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana.
Mendengar cerita Panglima Hasan tersebut Panglima Umar langsung pergi ke
tempat peluncuran Lancang Kuning, didapatinya darah berserakan alangkah sedih
hati Panglima Umar melihat tubuh istrinya itu, disapunya darah yang ada yang di
tanah itu serta diusapkan ke muka serta berkata bahwa dia akan membalas atas
kematian istrinya itu kepada datuk laksmana, tetapi baru saja ia berjalan
dilihatnya Datuk Laksmana berjalan kearahnya.
Setelah mereka bertemu Panglima Umar langsung menyerang Datuk Laksmana
dengan pedang yang panjang ke perut Datuk Laksmana, tanpa ada pembicaraan
sedikit pun, akhirnya Datuk Laksmana mati di tangan Panglima Umar, ketika itu
juga datanglah Pawang Domo serta menceritakan segala kejadian yang sebenarnya,
bahwa yang menjadikan Zubaidah untuk gilingan Lancang Kuning adalah Panglima
Hasan, tanpa mengulur waktu Panglima Umar pergi mencari Panglima Hasan.
Dari kejauhan Panglima Umar melihat Panglima
Hasan sudah bersiap-siap untuk melarikan diri menuju Lancang Kuning tapi belum
sempat melepaskan talinya Panglima Umar telah sampai, dengan pedang terhunus
sambil berkata: nah. . . malam ini. . . engkau atau aku akan mati. Dengan
disaksikan penduduk mereka berkelahi di atas Lancang Kuning. Dan akhirnya
Panglima Hasan dapat ditikam Panglima Umar dan matinya jatuh ke laut.
Waktu itu lah Panglima Umar melihat ke pantai
dan berkata kepada orang yang ada di pantai bahwa ia telah membunuh Datuk
Laksmana karena perbuatan Panglima Hasan dan Panglima Hasan pun sudah mati di
tangannya, kerna itu ia akan pergi dengan Lancang Kuning untuk selama-lamanya,
dan ketika sampai di Tanjung Jati datanglah ombak besar dan angin topan sehingga
Lancang Kuning tersebut karam dan ia bersama Lancang Kuning terkubur dalam laut
Tanjung Jati serta kejayaan kerajaan negeri bukit batu berangsur-angsur mundur
dan akhirnya tinggal setumpuk rumah saja lagi.
2.2. Analisis Naskah Melayu “Lancang Kuning” berdasarkan Teori
Strukturalisme
2.2.1. Analisis Plot pada Teks Melayu “Lancang
Kuning”
Plot atau alur cerita merupakan salah satu
unsur yang penting dalam sebuah karya sastra fiksi, bahkan tak sedikit orang
yang menganggap plot unsur terpenting sebagai pembangun karya fiksi. Tinjauan
struktural pun sering ditekankan pada pembahasan plot. Stanton (dikutip
Nurgiyantoro, 2010:113) mengemukakan bahwa plot adalah cerita yang berisi
urutan kejadian , namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab
akibat, peristiwa yang satu menyebabkan terjadinya peristiwa lain. Plot ini
dimanifestasikan lewat perbuatan, tingkah laku dan sikap-sikap tokoh utama
cerita.
Peristiwa demi peristiwa yang ditampilkan yang hanya
mendasarkan pada urutan waktu belum dapat dikatakan plot. Agar menjadi sebuah
plot, peristiwa-peristiwa tersebut harus disiasati secara kreatif, sehingga
menghasilkan sesuatu yang menarik dan indah. Abrams (dikutip Nurgiyantoro,
2010:113) yang menyetujui adanya perbedaan cerita dengan plot mengemukakan
bahwa plot sebuah karya fiksi merupakan struktur peristiwa-peristiwa, yaitu
sebgaimana terlihat dalam pengurutan dan penyajian berbagai peristiwa tersebit
untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu.
Dalam teks “Lancang Kuning” ini plot yang
sangat menonjol adalah ketika Panglima Hasan menjadikan Zubaidah gilingan
Lancang Kuning dan dia mengatakan kepada Panglima Umar bahwa Datuk Laksmana
yang melakukannya menyebabkan Datuk Laksmana terbunuh di tangan Panglima Umar
tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu. Kemudian berita itu diluruskan oleh
Pawang Domo sehingga diketahuilah bahwa pelaku sebenarnya adalah Panglima
Hasan. Hal ini kembali menyebabkan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh
Panglima Umar terhadap Panglima Hasan di atas Lancang Kuning.
Untuk lebih jelas mengenai plot yang terdapat
pada teks yang berjudul “Lancang Kuning” ini, dapat kita runut peristiwa,
konflik dan klimaks sebagai berikut.
1. Peristiwa
Sejauh ini kita sering mendengar kata peristiwa
maupuun kejadian disebut-sebut oleh banyak orang dalam pembicaraan tentang
karya fiksi, namun belum diketahui secara jelas apa sebenarnya peristiwa itu.
Dalam berbagai literatur berbahasa Inggris sering dikemukakan penggunaan
istilah action (aksi, tindakan) atau event (peristiwa, kejadian) secara
bersamaan atau bergantian, walau sebenarnya kedua istilah itu menyaran pada dua
hal yang berbeda. Action merupakan sebuah aktivitas yang dilakukan oleh tokoh
manusia, misalnya memukul dan memarahi. Di pihak lain, event lebih luas
cakupannya menyaran pada sesuatu yang dilakukan dan atau dialami oleh manusia
yang terjadi diluar aktivitas manusia, misalnya peristiwa alam seperti banjir
dan tanah longsor. Dalam penulisan ini, kedua hal itu disederhanakan menjadi:
peristiwa atau kejadian. Peristiwa dapat diartikan sebagai peralihan dari suatu
keadaan ke keadaan yang lain (Luxemburg dikutip Nurgiyantoro, 2010:117)
Peristiwa yang terjadi dalam teks “Lancang
Kuning” ada enam, dimulai dari niat Panglima Umar yang hendak mempersunting
Zubaidah, seorang putri raja di daerah Bukit Batu, wilayah Kabupaten Bengkalis,
pada masa lampau. Suntingan Panglima Umar terhadap Zubaidah diterima dan
dilangsungkan pesta pernikahan secara besar-besaran. Peristiwa kemudian beralih
kepada perasaan Panglima Hasan yang terluka dan sakit hati karena niatnya telah
didahulukan oleh Panglima Umar. Dari rasa sakit hatinya itu, muncul niat jahat
Panglima Hasan dengan menyiarkan kabar bahwa Batin Sanggoro telah melarang para
pelaut untuk mencari ikan di Tanjung Jati. Kemudian peristiwa beralih pada
Batin Sanggoro yang tidak mengakui kebenaran berita itu setelah ditanyakan oleh
Panglima Umar. Sanggoro meminta Panglima Umar mencari kebenaran berita itu,
dari mana asal muasalnya. Perjalanan Panglima Umar mencari kebenaran berita itu
berlangsung selama sebulan. Selama itu pula ia meninggalkan Zubaidah yang
sedang hamil tua.
Di samping peristiwa itu juga terdapat
peristiwa lain yang dialami oleh Datuk Laksmana dan masyarakat Bukit Batu.
Ketika Datuk Laksmana mendapat berita dari Pawang Domo untuk membuat perahu
yang digunakan untuk mengusir para lanun dari perairan Bukit Batu, maka perahu
yang diberi nama Lancang Kuning itu dikerjakan siang dan malam. Tetapi ketika
Lancang Kuning sudah selesai dikerjakan dan hendak diluncurkan ke laut melalui
berbagai ritual, Lancang Kuning tetap tidak mau meluncur ke laut karena
membutuhkan korban dari seorang wanita yang sedang hamil sulung. Peristiwa
beranjak pada perbuatan Panglima Hasan yang keinginannya untuk menjadi suami
Zubaidah ditolak oleh Zubaidah kemudian menjadikan Zubaidah sebagai korban
untuk meluncurkan lancang Kuning ke laut. Sesaat setelah kejadian itu, Panglima
Umar kemmbali ke Bukit Batu dan mendapat kabar dari Panglima Hasan bahwa
istrinya telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk Laksmana. Kemudian
peristiwa beranjak pada peristiwa pembunuhan Datuk Laksmana dan Panglima Hasan
oleh Panglima Umar. Sementara peristiwa akhir dari kisah kerajaan Bukit Batu
ini ditandai dengan kepergian Pangkima Umar berlayar dengan Lancang Kuning dan
tenggelam di perairan Tanjung Jati serta mengakibatkan mundurnya kerajaan Bukit
Batu.
2. Konflik
Konflik juga termasuk salah satu unsur yang
penting dalam sebuah plot. Peristiwa yang terjadi berupa peristiwa yang
fungsional, utama, atau kernel yang sangat esensial dalam pengembangan sebuah
plot. Konflik menyaran pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan
yang terjadi dan dialami oleh tokoh-tokoh dalam cerita, yang jika tokoh-tokoh
itu dapat memilih, ia memilih peristiwa itu tidak akan menimpa dirinya
(Meredith & Fitzgerald dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Konflik adalah
sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua kekuatan yang
seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan (Wellek & Warren
dikutip Nurgiyantoro, 2010:122). Dengan demikian, konflik menyaran pada
konotasi yang negatif, sesuatu yang tak menyenangkan. Peristiwa dan konflik
biasanya berkaitan erat, dapat saling menyebabkan terjadinya satu dengan yang
lain, bahkan konflik pun hakikatnya merupakan sebuah peristiwa. Adanya
peristiwa tentu dapat menimbulkan konflik. Konflik demi konflik yang disusul
peristiwa demi peristiwa pada akhirnya dapat menyebabkan konflik semakin
meningkat dan mencapai klimaks.
Konflik-konflik yang terjadi dalam teks Melayu
“Lancang Kuning” mulai muncul ketika Zubaidah dijadikan gilingan perahu Lancang
Kuning oleh Panglima Hasan. Hal ini terjadi akibat penolakan Zubaidah terhadap
Panglima Hasan yang ingin menjadi suami Zubaidah dengan alasan bahwa Panglima
Umar takkan pernah kembali lagi. Zubaidah menolak keras permintaan Panglima
Hasan dan menyebabkan ia diseret ke pantai untuk dijadikan gilingan Lancang
Kuning. Zubaidah yang dijadikan gilingan Lancang Kuning meninggal dengan
mengenaskan. Daging dan darahnya berserakan di pasir pantai. Seketika turun
hujan dan serentak dengan kepulangan Panglima Umar yang sudah merapat di
pelabuhan Bukit Batu. Panglima Umar yang tidak menemukan istrinya di rumah
menemui Panglima Hasan secara tak sengaja. Pada saat itu Panglima Hasan
mengatakan bahwa istrinya telah dijadikan gilingan Lancang Kuning oleh Datuk
Laksmana. Perkataan Panglima Hasan mengundang amarah Panglima Umar yang
menyebabkan kematian Datuk Laksmana.
Dapat kita lihat dari penjelasan di atas bahwa
konflik muncul secara berurut. Konflik pembunuhan Datuk Laksmana oleh Panglima
Umar terjadi karena peristiwa yang dipicu oleh Panglima Hasan yang menjadikan
Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning dan memfitnah Datuk Laksmana.
Dari konflik ini dapat kita ketahui karakter tokoh Panglima Hasan yang tidak
bertanggung jawab atas perbuatan yang telah ia lakukan. Panglima Hasan rela
mengorbankan nyawa Datuk Laksmana untuk menutupi kesalahan dirinya dan
pura-pura tidak tahu atas kejadian itu. Selain itu dapat juga kita lihat
karakter tokoh Zubaidah yang rala mati demi mempertahankan kehormatan dirinya
dan rumah tangganya yang sudah ia bangun bersama Panglima Umar. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat keterkaitan antara unsur-unsur intrinsik yang
membangun sebuah karya fiksi. Unsur-unsur itu tidak dapat berdiri sendiri
karena melalui salah satu unsur kita dapat mengetahui unsur pendukung lainnya.
3. Klimaks
Konflik dan klimaks merupakan unsur yang paling
penting dalam struktur pembangun plot. Konflik demi konflik yang terjadi jika
telah mencapai titik puncak dapat menyebabkan terjadinya klimaks (puncak
konflik). Dengan demikian terdapat keterkaitan yang erta antara konflik dan
klimaks. Klimaks hanya akan terjadi jika terdapat konflik yang mendukungnya.
Namun tidak semua konflik dapat mencapai klimaks. Klimak, menurut Stanton
(dalam Nurgiyantoro, 2010:127) adalah saat konflik telah mencapai tingkat
intensitas tertinggi, dan saat itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari
kejadiannya. Klimaks merupakan kejadian puncak yang menarik dan menegangkan dan
biasanya tidak ada lagi kejadian lain yang sama dengan klimaks. Kalau pun ada,
itu hanyalah kejadian/konflik ringan yang masih bisa diatasi sebagai peregangan
untuk menuju penyelesaian atau akhir dari sebuah cerita.
Klimaks dalam teks Melayu “Lancang Kuning”
terjadi ketika konflik-konflik yang diawali oleh Panglima Hasan ini sudah
semakin meruncing. Jika meninjau kembali pembahasan penulis mengenai
konflik-konflik yang terjadi dalam teks “Lancang Kuning”, dapat kita lihat
bahwa terbunuhnya Datuk Laksmana merupakan konflik penegangan tetapi belum
mencapai klimaks. Klimaks terjadi ketika Pawang Domo yang melihat Datuk
Laksmana sudah terbunuh mengatakan
kepada Panglima Umar mengenai hal yang sebenarnya, yaitu Panglima Hasan lah
yang menjadikan Zubaidah sebagai gilingan perahu Lancang Kuning. Semakin
beranglah Panglima Umar. Ia mencari Penglima Hasan dan menemukannya ketika
Panglima Hasan hendak melarikan diri bersama Lancang Kuning. Tetapi usahanya
sempat ditunda oleh Panglima Umar. Dengan sigap Panglima Umar naik ke Lancang
Kuning dan bertarung dengan Panglima Hasan. Akhirnya pada pertarungan itu
Panglima Hasan terbunuh dan mayatnya jatuh ke laut.
Melalui konflik dan klimaks dapat kita lihat
bahwa Panglima Umar merupakan seseorang yang tidak sabar dan terlalu cepat
menyimpulkan suatu permasalahan. Ia membunuh Datuk Laksmana tanpa bertanya
terlebih dahulu mengenai kebenaran meninggalnya Zubaidah. Ia lebih memilih tak
lagi bicara dan langsung membunuh Datuk Laksmana sehingga Datuk Laksmana yang
tidak bersalah ikut menjadi korban amarahnya.
Dari penjelasan peristiwa, konflik dan klimaks
dapat kita simpulkan bahwa plot yang terdapat dalam teks Melayu “Lancang
Kuning” menggunakan plot lurus, yaitu plot yang peristiwa-peristiwa dan
konflik-konfliknya terjadi secara kronologis dan dapat dengan mudah dirunut.
Melalui plot juga dapat kita tentukan karakter tokoh Panglima Umar, Panglima
Hasan dan Zubaidah.
2.2.2. Analisis Tokoh pada Teks Melayu “Lancang
Kuning”
Tokoh merupakan pelaku cerita. Istilah “tokoh”
menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Tokoh cerita, menurut Abrams (dalam
Nurgiyantoro, 2010:165) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya
naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan
kecendrungan tertentu seperti yang dideskripsikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Dari kutipan tersebut dapat diketahui bahwa antara
seorang tokoh dengan kualitas pribadinya erat berkaitan dengan penerimaan
pembaca.
Tokoh yang terdapat dalam teks “Lancang Kuning”
dibedakan berdasarkan penting tidaknya tokoh ada Zubaidah dan Panglima Hasan
sebagai tokoh utama serta Panglima Umar, Datuk Laksmana dan pawang Domo sebagai
tokoh tambahan. Dari penting tidaknya tokoh, tentu saja dapat dilihat melalui
peran masing-masing tokoh dalam mendukung sebuah cerita. Seperti Panglima
Hasan, perannya dominan karena sejak awal Panglima Hasan selalu memulai untuk
menimbulkan sebuah peristiwa dan memunculkan konflik. Sementara Zubaidah adalah
tokoh yang dijadikan korban dan merupakan salah satu penyebab munculnya konflik
yang terjadi antara Panglima Hasan dan Panglima Umar. Dengan demikian, Panglima
Hasan dan Zubaidah dapat disebut sebagai tokoh utama. Tanpa Panglima Hasan
memunculkan peristiwa dan konflik maka cerita ini tidak akan menemukan klimaks.
Begitupun Zubaidah, tanpa peran Zubaidah yang dijadikan korban untuk gilingan
perahu Lancang Kuning Panglima Umar tidak akan marah dan membunuh Datuk
Laksmana dan Panglima Hasan.
Sementara itu, tokoh tambahan dalam cerita ini
adalah Panglima Umar, Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Peran mereka tidak
terlalu besar dalam cerita ini tapi cukup fungsional karena tanpa mereka tokoh
Panglima Hasan hanya akan melakukan hal yang sia-sia. Jika Panglima Umar tidak
ada, perbuatan Panglima Hasan tidak ada yang menentang dan Panglima Hasan tidak
mendapatkan aksi balasan dari tokoh yang bertentangan dengannya. Hal yang sama
juga berlaku pada Datuk Laksmana dan Pawang Domo. Masing-masing mereka hanya
dominan muncul pada proses peluncuran Lancang Kuning ke laut. Kemudian muncul
kembali pada bagian akhir cerita ketika Datuk Laksmana muncul dan langsung
dibunuh oleh Panglima Umar, sedangkan Pawang Domo muncul setelah kejadian
terbunuhnya Datuk Laksmana.
Berdasarkan fungsi penampilan tokoh, tokoh
dalam teks “Lancang Kuning” dapat dibagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh antagonis dalam teks ini adalah Panglima Hasan. Sangat jelas
terlihat melalui percakapan tokoh dengan Zubaidah. Selain itu karakter tokoh
dapat dilihat melalui tingkah laku tokoh yang memfitnah Datuk Laksmana sehingga
menjadi korban pembunuhan yang dilakukan oleh Panglima Umar. Sikap tidak bertanggung
jawab menjadi salah satu indikator bahwa tokoh Panglima Hasan bukanlah seorang
yang baik. Sementara itu, tokoh Panglima Umar, Datuk Laksmana, Pawang Domo, dan
Zubaidah merupakan tokoh protagonis dalam cerita ini. Tidak tampak perbuatan
masing-masing tokoh untuk berbuat jahat. Tokoh Panglima Umar dinilai baik oleh
penulis karena Panglima Umar bersedia melakukan perintah Datuk Laksmana untuk
mencari kebenaran berita tentang larangan melaut di Tanjung Jati kepada Batin
Sanggoro. Datuk Laksmana dinilai baik karena ia tidak ingin mengorbankan
siapapun demi kelancaran peluncuran Lancang Kuning ke laut. Pawang Domo
menunjukkan sikap baiknya dengan memberitahu hal yang sebenarnya terjadi kepada
Zubaidah. Sedangkan Zubaidah dinilai
sebagai tokoh protagonis karena ia berani mempertahankan kehormatan dirinya dan
rumah tangganya dengan Panglima Umar yang juga diajarkan oleh agama islam.
Tokoh-tokoh ini dapat diketahui penggolongannya
melalui dialog tokoh ataupun tingkah laku tokoh terhadap tokoh lain. karakter
tokoh juga dapat dilihat melalui peristiwa-peristiwa yang menimbulkan
konflik-konflik yang terjadi dalam cerita. Ini membuktikan bahwa unsur tokoh
dan plot memiliki keterkaitan yang erat dan tidak dapat dipisahkan. Dengan kata
lain, seitap unsur instrinsik yang mambangun sebuah cerita tidak dapat berdiri
sendiri.
2.2.3. Analisis Latar pada Teks Melayu “Lancang
Kuning”
Berbicara tentang sebuah karya sastra khususnya
fiksi, akan berkaitan dengan latar yang mendukung tempat terjadinya peristiwa
atau konflik dalam cerita. Sebuah karya fiksi tidak akan lengkap unsurnya tanpa
ada latar yang menggambarkan tempat terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita.
Layaknya cerita yang terjadi dalam keidupan nyata, karya fiksi juga memerlukan
latar sebagai ruang bagi tokoh untuk berbuat atau melakukan sesuatu. Latar atau
setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dikutip Nurgiyantoro, 2010:216).
Sementara itu, Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:216) mengelompokkan latar,
bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah
yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika
membaca cerita fiksi.
Latar fisik pada teks Melayu “Lancang Kuning”
adalah Bukit Batu, daerah Kabupaten Bengkalis dan Tanjung Jati. Naskah ini
tidak jauh berbeda dengan cerita lisan masyarakat Riau yang menyebutkan bahwa
Lancang Kuning memang terjadi di daerah Bukit Batu dan Lancang Kuning karam di
perairan Tanjung Jati. Hal ini memperkuat teks yang terdapat dalam naskah
Melayu yang berjudul “Lancang Kuning” bahwa terdapat kerajaan di Bukit Batu
pada masa lalu. Tetapi pada dasarnya cerita ini hanyalah fiktif pengarang yang
tidak diketahui penulisnya. Penekanan unsur latar di Bukit Batu dapat dilihat
pada peristiwa peluncuran Lancang Kuning ke laut serta sebagian besar kehidupan
yang diceritakan dalam teks. Kemudian latar yang menunjukkan daerah Tanjung
Jati terdapat pada peristiwa ketika Panglima Umar mendatangi Batin Sanggoro
untuk menanyakan perihal kebenaran
larangan untuk berlayar dan melaut di perairan Tanjung Jati.
Latar di Bukit Batu lebih dominan dijelaskan
ketika Lancang Kuning hendak diluncurkan, yaitu di pantai Bukit Batu. Latar
dipilih sebuah pantai karena peristiwa yang sedang terjadi adalah masyarakkat
Bukit Batu hendak meluncurkan Lancang Kuning ke laut. Lancang Kuning merupakan
nama sebuah perahu, sehingga latar yang dipilih adalah latar tempat di pantai.
Latar waktu tidak digambarkan dengan jelas
dalam teks ini sehingga tidak dapat dijelaskan secara detil mengenai
penggambaran latar waktu yang terdapat dalam cerita ini. Hanya saja latar waktu
disebutkan ketika peluncuran Lancang Kuning ke laut dilakukan pada malam hari
ketika tepat pada malam ke limabelas bulan purnama. Sementara untuk tahun
terjadinya peristiwa itu tidak disebutkan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan
untuk menentukan latar terjadinya sebuah peristiwa, kita tetap harus
memperhatikan peristiwa apa yang sedang terjadi dan berhubungan dengan latar
itu, baik latar waktu maupun latar tempat.
2.2.4. Ananlisi Sudut Pandang pada Teks Melayu
“Lancang Kuning”
Membaca dua buah karya fiksi yang berbeda akan
memungkinkan kita menghadapi dua person ayng berbeda pula. Persona itu dari
satu sisi dapat dipandang sebagai tokoh cerita. Di sisi tertentu, dapat juga
dipandang sebagai si pencerita. Sudut pandang menyaran pada sebuah cerita
dilukiskan. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010:248) mengatakan bahwa sudut pandang
merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana
untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk
cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Sudut pandang yang digunakan pengarang dalam
teks Melayu “Lancang Kuning” ini berupa sudut pandang persona ketiga serba
tahu, gaya “dia”. Persona ketiga ini adalah orang berada di luar cerita tapi
serba mengetahui kejadian yang terjadi di setiap bagian cerita. Hal ini dapat
dikatahui dengan mudah karena pengarang menggambarkan tokoh dengan menyebutkan
nama tokoh. Dapat kita lihat pada kutipan cerita di bawah ini.
Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama.
Malam itu Lancang Kuning akan diluncurkan ke laut. Di balai-balai telah banyak
awak (pent.—tulisan tidak jelas) kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan
peluncuran Lancang Kuning tersebut. Bermacam-macam hiburan daerah
dipertunjukkan. Semua (pent.—tulisan tidak jelas) penduduk negeri berkembira
kecuali Zubaidah, karena suaminya Panglima Umar sudah satu bulan pergi dan
sampai saat ini belum juga kembali (pent.—tulisan tidak jelas) dan karena itu
tidak pergi menghadiri acara peluncuran Lancang Kuning ke laut pada malam itu.
Dari kutipan di atas dapat dilihat secara jelas
pengarang mengetahui kejadian yang bersifat fisik atau pun keadaan batin yang
sedang dirasakan/dialami oleh tokoh. Seperti yang terdapat dalam cerita,
pengarang mampu menggambarkan kegembiraan masyarakat Bukit Batu karena
diadakannya acara peluncuran Lancang Kuning. Semua orang bergembira kecuali
Zubaidah karena ia sedang menanti kepulangan suaminya yang sudah sebulan
meninggalkannya. Rasa sedih itu juga yang menyebabkan ia tidak ingin menghadiri
acara yang sedang digelar tersebut.
Dapat disimpulkan, untuk menentukan sudut pandang
kita masih membutuhkan unsur lain, misalnya plot. Plot perlu diperhatikan dalam
menentukan sudut pandang yaitu menunjuk pada peristiwa apa yang sedang terjadi.
Atau dapat juga kita perhatikan melalui penceritaan nyata yang dilakukan oleh
pengarang untuk melukiskan cerita yang ditulisnya, misalnya melalui tokoh.
Sudut pandang juga dapat dicermati melalui peran-peran tokoh yang terdapat
dalam cerita sehingga cerita tersebut menampakkan sebuah kepaduan.
2.2.5. Ananlisis Tema pada Teks Melayu “Lancang
Kuning”
Berbicara karya sastra fiksi tidak lengkap jika
tidak berbicara tentang tema. Stanton dan Kenny (dikutip Nurgiyantoro, 2010:66:
mengatakan bahwa tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Tema ini
menjadi landas tumpu bagi pengarang untuk membuat sebuah cerita. Tanpa tema,
cerita tidak akan dapat dilukiskan dengan baik karena tidak terdapat kejelasan
konsep bagi pengarang untuk melukiskan cerita. Dari sebuah tema, pengarang
dapat menentukan plot, tokoh cerita yang mendukung, latar yang mendukung
terjadinya sebuah peristiwa atau konflik, maupun amanat yang ingin disampaikan.
Tema yang terdapat dalam teks “Lancang Kuning”
berkisar pada sebuah kisah cinta dua panglima kerajaan Bukit Batu terhadap
Zubaidah, seorang putri raja Kerajaan Bukit Batu, yang berujung dengan petaka
dan kemunduran Kerajaan Bukit Batu. Cerita digambarkan berawal dari suntingan
Panglima Umar kepada Zubaidah yang menyebabkan Panglima Hasan merasa sakit hati
karena telah didahului oleh Panglima Umar. Rasa sakit hatinya itu ia lancarkan
dengan melakukan rencana licik untuk memiliki Zubaidah. Tetapi hampir memasuki
bagian klimaks, konflik terjadi ketika Panglima Hasan membunuh Zubaidah dengan
menjadikannya korban untuk gilingan Lancang Kuning meluncur ke laut. Konflik
ini memicu amarah Panglima Umar yang membabi buta sehingga menyebabkan Datuk
Laksmana ikut terbunuh walaupun ia tak bersalah.
Penyimpulan sebuah tema dalam karya fiksi dapat
dilihat dari setiap konflik yang terjadi. Dapat juga dari sebab-sebab yang
mendukung terjadinya konflik tersebut. Semua dapa dirunut sehingga menghasilkan
satu ide. Ide yang satu dan padu itulah yang kemudian disimpulkan sebagai tema
dalam sebuah karya sastra. Selain peristiwa dan konflik yang mendukung tema,
tokoh dan latar juga mendukung tema. Misalnya pada teks yang berjudul “Lancang
Kuning” ini juga menggambarkan latar tempat di pantai. Wajar saja tempat
dipilih pantai, karena lancang adalah sebutan perahu dalam masyarakat daerah
Riau.
2.2.6. Analisis Amanat/Pesan Moral pada Teks
Melayu “Lancang Kuning”
Amanat/pesan moral menurut Kenny (dikutip
Nurgiyantoro, 2010:321) dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan
ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan
ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Amanat biasanya
disampaikan melalui sikap tokoh-tokoh yang mendukung jalan cerita.
Pada teks Melayu “Lacang Kuning” ini pengarang
ingin menyampaikan amanat dari masing-masing tokoh cerita. Misalnya Panglima
Umar, melalui sikapnya yang terlalu cepat mengambil keputusan dan tidak sabar
mengakibatkan Datuk Laksmana ikut terbunuh sementara Datuk Laksmana bukanlah
orang yang harus disalahkan atas kematian Zubaidah, pengarang ingin
menyampaikan bahwa pembaca jangan terlalu cepat mengambil sebuah keputusan. Apalagi
pengambilan keputusan itu dilakukan dalam keadaan marah. Keputusan yang diambil
tidak akan baik. Seharusnya sebelum melakukan sesuatu kita berpikir dengan
cermat segala dampak yang mungkin timbul jika kita melakukannya. Atau jika
sedang dalam permasalahan, ada baiknya permasalahan itu dibicarakan dengan
baik-baik sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang bisa berakibat buruk.
Pesan moral lainnya yang ingin disampaikan oleh
pengarang terdapat dalam sikap tokoh Panglima Hasan. Melalui Panglima Hasan pengarang
ingin menyampaikan bahwa sikap tidak bertanggung jawab dapat mengakibatkkan
sesuatu yang lebih buruk dari pada perkiraan kita. Apalagi Panglima Hasan itu
seorang panglima yang sudah semestinya memiliki rasa tanggung jawab terhadap
perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam menghadapi kehidupan, kita tidak dapat
melarikan diri dari kenyataan. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap bertanggung
jawab untuk menghadapi kehidupan ini. Entah itu yang sifatnya besar atau pun
kecil terhadap kehidupan yang sedang kita jalani ini.
Amanat yang paling berhubungan dengan tema
adalah janganlah kita menanamkan rasa cinta yang berlebihan kepada seseorang.
Apabila cinta itu tak kesampaian akan mengakibatkan rasa sakit hati yang dalam.
Apalagi Rasulullah telah mengajarkan kita untuk tidak terlalu sayang atau benci
terhadap seseorang karena bisa jadi suatu saat perasaan kita menjadi terbalik
dari perasaan sebelumnya.
III. Penutup
3.1. Kesimpulan
Melalui semua analisis yang dilakukan penulis
terhadap teks Melayu yang berjudul “Lancang Kuning” dapat disimpulkan bahwa
teks ini memiliki unsur-unsur intrinsik yang tidak dapat berdiri sendiri.
Terdapat hubungan yang erat antara satu unsur dengan unsur yang lain.
unsur-unsur itu memiliki keterkaitan sehingga membentuk sebuah cerita yang padu
dan menarik. Dapat kita perhatikan dari unsur plot. Ternyata plot memiliki
keterkaitan secara langsung dengan unsur tokoh, latar maupun sudut pandang
pengarang. Melalui plot, kita dapat menentukan karakter tokoh yang terdapat
dalam cerita. Melalui plot juga kita dapat menentukan unsur latar yang
digunakan pengarang sebagai tempat kejadian sebuah peristiwa atau konflik.
Melalui plot juga dapat kita tentukan sudut pandang apa yang digunakan
pengarang untuk melukiskan cerita yang dibuat.
Selain plot, tema juga berhubungan secara
langsung dengan latar dan amanat. Latar tempat yang mendukung terjadinya
peristiwa tidak dapat dikatakan tidak bahwa latar juga mendukung tema yang
terdapat dalam sebuah cerita. Jika latar mendukung terjadinya sebuah peristiwa yang
memunculkan konflik dan konflik mendukung tema yang dibuat, secara otomatis
latar juga berarti berhubungan dengan tema sebuah karya fiksi. Intinya, setiap
unsur instrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra khususnya fiksi, tidak
dapat berdiri sendiri. Setiap unsur itu saling menunjang dan mendukung unsur
lain sehingga menghasilkan cerita yang padu dan menarik untuk dibaca.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian
Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Univerisity Press.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode dan
Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra.
Bandung: Angkasa.
Diposkan oleh Eka Novirna di 11.00
Sudah menjadi rahasia umum kalau di setiap daerah atau setiap suku di Indonesia
ini mempunyai kebiasaan dan adat yang berbeda-beda ,begitu juga dalam hal
memikat lawan jenis,atau istilah modernnya pelet,nah pada waktu saya sedang
memancing ikan di muara sungai di Daerah Pantai Cermin (kebetulan saya hobi
memancing) saya sempat berbincang-bincang atau ngobrol dengan nelayan setempat
yang kebetulan sedang mencuci jaring di dekat saya memancing .Dari hasil
ngobrol ngalur ngidul akhirnya sya mengetahui bahwa untuk daerah pesisir Ilmu
Pelet ini sangat di kenal dan terkenal sangat ampuh,kebetulan juga bahwa pak
nelayan yang ngobrol dengan saya ini salah satu yang mewarisi ilmu leluhur ini
(walaupun saya nggak di kasi amalannya).
Tapi si bapak mau memberi sedikit ciri-ciri dan media yang di gunakan untuk mengambil ilmu ini
nah orang yang memiliki ilmu ini baik itu pria dan wanita selalu memakai sesuatu yang berwarna kuning di tubuhnya,baik itu baju ,celana,topi atau apa aja yang penting berwarna kuning.
Sesuai dengan namanya untuk mengamalkan ilmu ini kita harus membuat kapal kecil yang semuanya berwarna kuning,atau istilahnya kapal lancang kuning kalau di daerah sini,Nah untuk sahabat yang ingin berburu ilmu langka ini bisa saja mulai dari daerah pesisir pantai yang banyak orang melayu ini,siapa tau nasib anda lagi mujur bisa bertemu dengan orang yang memiliki ilmu ini,apalagi bisa belajar dari orang itu.
Sebagai catatan ni kalau mau belajar carila orang yang sudah tua,karna menurut si bapak Ilmu Pelet Lancang kuning ini bisa diturunkan kalau dia udah punya cucu,jadi kalau belum punya cucu belum bisa mengijazahkan ilmu pelet langka ini.Wasallam
No comments:
Post a Comment