Wednesday, November 20, 2013

HUKUM YANG TUMBUH INDAH IBARAT BUNGA DI TAMAN


HUKUM YANG TUMBUH INDAH
IBARAT BUNGA DI TAMAN

Haji M.Rakib,S.H.,M.Ag
 Rupanya, banyak ahli hukum Islam yang tidak memahami dengan baik hukum Barat, sebaliknya banyak pula ahli hukum Barat yang tidak memahami hukum Islam secara proporsional. Keadaan ini dapat menghambat komunikasi antara keduanya.

Akibatnya tercipta dua hukum yang seolah-olah berbeda sama sekali, yaitu  hukum Islam dan hukum umum. Padahal seharusnya tidaklah demikian. Hukum Barat maupun hukum Islam sama-sama hukum. Lebih-lebih lagi hukum Islam juga diakui sebagai salah satu sistem hukum di dunia disamping Roman Law dan Anglo Saxon.[1]

Sedangkan syarat kedua, bahwa agama yang ajaran hukumnya akan dijadikan hukum[2]nasional seyogianya dianut oleh mayoritas masyarakat, secara formal telah dipenuhi oleh Islam. Syarat demikian ini selain penting secara politis sebagai daya perekat, juga secara sosiologis, agama dapat dipandang sebagai hukum yang hidup (living law). [3]
              Konsepsi mengenai hukum yang hidup (living law) kali pertama dikemukakan oleh mazhab Sociological Jurisprudence,[4] yang dimotori oleh Roscoe Pound dan Eigen Ehrlich. Menurut mazhab ini,[5] secara umum, hukum dapat dilihat baik sebagai law in books maupun sebagai law in action. Law in books (hukum tertulis) merupakan suatu fenomena normatif otonom yang berupa kumpulan norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan dalam masyarakat, dan law in actionatau living law diartikan sebagai suatu gejala sosiologis yang berupa interaksi antara norma-norma otonom tersebut dengan faktor-faktor sosial dalam masyarakat..

           Walaupun  ada beberapa kasus ketika anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam  usia enam bulan. Center for Tourism Research & Development Universitas Gadjah  Mada, mengekspos penelitiam tentang child abusen yang terjadi dari tahun 1992–2002 di 7 kota besar yaitu, Medan, Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang. Masih menurut Zainuddin Ali, bahwa ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian seksual abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga  4. Kasus child neglect: persentase teringgi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%).Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1. Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya motel, hotel dll (37.6%). 2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%), tempat kerja (5.8%), dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat kerja (2.1%), dan tempat lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect: rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%), tempat kerja (1.9%), dan tempat lainnya (43.5%).[1] Data tersebut menunjukkan bahwa tiada tempat yang "aman" bagi anak. Mereka memiliki hak untuk dikasihi dan dicintai.
   3) Mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul -judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin belum kita ketahui sebelumnya; 4) Mengenal peneliti -peneliti yang karyanya penting dalam permasalahan yang dihadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri karya-karya tulisnya yang lain yang mungkin terkait; 5) Memperlihatkan kedudukan penelitian yang (akan) kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori tempat penelitian ini berada;  6) Mengungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang mungkin belum kita kenal sebelumya; 7) Membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang kita lakukan berbeda dengan penelitian -penelitian sebelumnya)

Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

 مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ  (وصححه الألباني في "الإرواء"، رقم 247)

"Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247)

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata dalam kitab Al-Mughni (1/357)

"Perintah dan pengajaran ini berlaku bagi anak-anak agar mereka terbiasa melakukan shalat dan tidak meninggalkannya ketika sudah baligh." 

As-Subki berkata, "Wali bagi anak diwajibkan memerintahkan anaknya untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun dan memukulnya (apabila masih belum melaksanakan shalat) saat mereka berusia sepuluh tahun.Kami tidak mengingkari wajibnya perintah terhadap perkara yang tidak wajib, atau memukul terhadap perkara yang tidak wajib. Jika kita boleh memukul binatang untuk mendidik mereka, apalagi terhadap anak? Hal itu semata-mata untuk kebaikannya dan agar dia terbiasa sebelum masuk usia balig." 

(Fatawa As-Subki, 1/379).


Dari Abu Burdah Al-Anshar, dia mendenar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Seseorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud (hukuman tetap) dari Allah Ta'ala." (HR. Bukhari, no. 6456, Muslim, no. 3222) 

Ibnu Qayim rahimahullah berkata, 

"Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, 'Tidak boleh memukul lebih dari sepuluh kali kecuali dalam masalah hudud' maksudnya dalam hal jinayat (pidana kriminal seperti mencuri, dll) yang merupakan hak Allah. 



Mengintip Dosa Istri

26 Dosa Istri Kepada Suami:
1. berlebihan dan menuntut kesempurnaan
2. kurang memperhatikan orang tua suami
3. kurang mempercantikkan diri di hadapan suami
4. banyak berkeluh kesah dan kurang bersyukur
5. mengungkit ungkit kebaikan kepada suami
6. menyebarkan masalah rumahtangga kepada orang lain
7. kurang memperhatikan posisi dan status sosial suami
8. kurang membantu suami dalam kebajikan dan ketakwaan
9. membebani suami dengan banyak tuntutan
10. membuat suami risau dengan banyak menjalin hubungan
11. bersikap nusyuz terhadap suami
12. menolak ajakan suami berhubungan badan
13. lalai dalam melayani suami
14. memasukkan orang yang tidak diizinkan suami de dalam rumahnya
15. keluar dari rumah tanpa izin suami
16. menaati suami dalam kemaksiatan kepada Allah swt
17. cemburu berlebihan terhadap suami
18. buruknya perilaku isteri bila suamiberpoligami

19. lalai dalam mendidik anak-anak
20. kurang perhatian terhadap keadaan dan perasaan suami
21. menyebarluaskan rahsia tempat tidur
22. isteri mendeskripsikan seorang perempuan kepada suami
23. menggugat kepimpinan suami
24. isteri yang ikhtilah dan tabarruj di hadapan kaum laki-laki
25. kurang setia terhadap suami
26. kurangnya ketakwaan kepada Allah setelah berpisah dari suami
Mengintip Dosa Suami
32 Dosa suami kepada Istri
1. Lalai Berbakti kepada orang tua setelah menikah
2. Kurang serius dalam mengharmonisasikan antara istri dan orang tua
3. Ragu dan buruk sangka kepada istri
4. Kurang memiliki sikap cemburu terhadap istri
5. Meremehkan kedudukan istri
6. Melepaskan kendali kepemimpinan dan  menyerahkannya kepada istri
7. Memakan Harta istri secara batil
8. Kurang semangat dalam mengajari istri ajaran-ajaran agamanya
9. Bersikap pelit terhadap istri
10. Datang secara tiba-tiba setelah lama pergi
11. Banyak mencela dan mengkritik istri
12. Kurang berterima kasih dan memotivasi istri
13. Banyak bersengketa dengan istri
14. Lama memutus hubungan dan meninggalkan istri tanpa sebab yang jelas
15. Sering berada di luar rumah dan jarang bercengkrama dengan keluarga
16. Interaksi yang buruk dengan istri
17. Tidak menganggap penting berdandan untuk istri
18. Kurang perhatian terhadap Doa yang dituntun ketika menggauli istri
19. Kurang memperhatikan Etika, Hikmah dan Hukum hubungan badan
20. Menyebarkan rahasia ranjang
21. Tidak mengetahui kondisi biologis perempuan
22. Menggauli istri ketika haid
23. Menggauli istri pada duburnya
24. Memukul istri tanpa alasan
25, Kesalahan tujuan poligami
26. Tidak bersikap Adil antara beberapa istri
27. Terburu-buru dalam urusan Talak
28. Tidak mau mentalak, padahal sudah tdk mungkin ada perbaikan dan kecocokan
29. Mencela istri setelah berpisah dengannya
30. Menelantarkan anak-anak setelah mentalak istri
31. Kurang setia terhadap istri
32. Kurang puas dan selalu melirik perempuan lain

 Hati-hati buat para suami!

Ta'zir
PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Setelah selesai membahas seputar hudud (hukuman hadd), yaitu hukuman yang tlah ditentukan bentuk dan ukuranya oleh syara’ maka selanjutnya kami kan membahas  seputar tema sanksi hukum bergagai tindak kejahatan yang sysra’ tidak menentukan hukuman haddnya, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ta’zir.
Disini secara ringkas kami akan membicarakan tentang definisi ta’zir, syarat syarat wajibnya, ukuran dan sufatnya, mekanisme pembuktian tindak kejahatanya, dan denda atas kematian orang akibat dihukum ta’zir.

PEMBAHASAN
1.      Definisi ta’zir[1]
            Ta’zir secara bahasa, artinya adalah Al-man’u (mencegah, melarang, menghalangi). Diantara bentuk penggunaanya adalah ta’zir yang berarti An-nusrhrah (membantu, menolong), karena pihak yang menolong mencegah dan menghalani pihak musuh dari menyakiti orang yang ditolongnya. Kemudian kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukan arti memberi pelajaran dan sanksi selain hukuman hadd.
            Sedangkan kata ta’zir secara syara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah swt. Seperti makan pada siang hari bulan ramadhan tanpa ada uzur,[2] meninggalkan shalat menurutt jumhur ulama, riba, membuang najis, kotoran dan lain sebagainya dijalanan, maupun kejahatan hak adami sperti bercumbu dengan perempuan yang bukan istrinya namun tidak sampai jima’, mencuri dengan jumlah curian yang belum mencapai batas nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsure Al-hirzu (harta yang dicuri tidak berada pada tempat penyimpanan yang semestiantinya), menghianati amanat (korupsi), suap, pencemaran dan tuduhan selain zina berupa berbagai bentuk hujatan, pemukulan, dan berbagai bentuk tindakan menyakiti orang lain.
2.      Pensariatan ta’zir
            Dalil pensariatan ta’zir adalah hadits Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaki dari Bahz bin Hakim yang mengishkan penuturan ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menetapkan hukuman penjara pada kasus tuduhan. Hadits ini dinyatakan sahih oleh hakim. Pelaksanaan hukuman penjara ini bersifat sementara sampai fakta sebenarnya terungkap.
            Bukhari, Muslim, Abu Dawud meriwayatkan dari Hani’ bin Niar ra bahwa dirrinya mendengar Rasulullah bersabda;
لا تجلد و ا فوق عشرة أسو اط , الا في حد من حد ود  الله
            “jangan mendera lebih dari sepuluh cambukan, kecuali dalam kasus hudud yang ditetepkan Allah.”[3]
            Ulama hanafiah melandaskan pensariatan pemenjaraan pada ayat, “Aw Yunfau Minal Ardh” (atau dibuang dari negri tempat kediamanya).” (Al-Maidah : 33). Mereka mengatakan bahwayang dimaksud dengan An-Nafyu (pembuangan) dalam ayat ini adalah memenjarakanya.[4]

3.      Hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh (mati) sebagai suatu bentuk kebijakan
            Ulama malikiyah dan hanafiah memperbolehkan hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh seperti terhadap pelaku kejahatan yang berulangkali melakukan kejahatan atau terbiasa melakukan kejahatan (residifis), atau liwath (seks sesama jenis atau sodomi), atau pembunuhan dengn benda tumpul menurut ulama hanafiah. Hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh itu dikenal dengan istilah Al-Qotlu Siasatan, yakni hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman mati apabila hakim melihat adanya kemaslahatan didalamnya dan kejahatan yang dilakukan adalah sejenis dengan kejahatan yang diancam dengan hukuman bunuh.
            Berdasarkan hal ini, kebanyakan ulama hanafiah menfatwakan untuk membunuh orang kafir dimmi yang gemar menghujat Nabi saw meskipun setelah tertangkap, ia masuk islam.
Mereka juga mengatakan imam bisa mengambil kebijakan dengan menjatuhkan hukuman bunuh terhadap seorang pencuri yang berulangkali melakukan kejahatan pencurian dan orang yang berulangkali melakukan kejahatan pencekikan, karena ia berarti orang yang berbuat kerusakan dimuka bumi. Begitujuga halnya dengan setiap orang yang ancaman kejahatan dan kejelekanya tidak bisa dicegah kecuali dengan dubunuh, maka  ia boleh dihukum bunuh sebagai suatu kebijakan.
4.      Hukuman ta’zir dengan (pengambilan dan penyitaan) harta
Berdasarkan pendapat yang rajah menurut para imam tidak boleh menghukum ta’zir dalam bentuk pengambilan (penyitaan, perampasan harta). Karena hal itu, memberikan peluang pada orang-orang dzalim untuk mengambil dan merampas harta orang-orang lalu menggunakannya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Ibnu taymiyyah dan murid-muridnya, ibnul qoyyim menetapkan bahwa hukuman ta’zir dalam bentuk sanksi materil hanya diberlakukan dalam beberapa kasus tertentu saja. Dalam madzab imam malik berdasarkan pendapat yang mashur darinya, madzab imam ahmad dan salah satu dari dua qaul imam syafi’I, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah rasul saw. Seperti perintah beliau untuk melipat gandakan atas pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya dan pencurian Al-Katsar yang tidak sampai diancam dengan hukuman potong tangan, mengambil separuh harta milik orang yang tidak mau membayar zakat.
5.      Syarat wajib hukuman ta’zir
            syarat supaya hukuman ta’zir  bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman hadd. Adapun anak kecil yang sudah mumayis, maka ia dita’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman akantetapi sebagai mendidik dan memberi  pelajaran.
6.      Cara pelaksanaan ta’zir
            Ta’zir bisa dilaksanalan dengan ucapan, seperti peringatan, teguran, dan nasihat. Bisajuga dilakukan dengan tindakan sesuia keadaan seperti pukulan, kurungan penjara, diikat, pengasingan, pencopotan jabatan dan pemutusan hubungan kerja.
Ta,zir tidak boleh dalam bentuk mencukur jenggot, menghancurkan rumah, merusak kebun, tanaman, buah-buahan, dan pohon. Juga tidakboleh dengan memotong hidung atau telinga, merusak bibir atau jari, karena cara tersebut tidakpernah di ajarkan oleh seorang guru dari sahabat Nabi saw.
7.      Kadar ukuran hukuman ta’zir
            Hukuman ta’zir disesuaikan dengan ukuran kejahatan yang di lakukan dan kadar tingkatan pelakunya sesuai dengan hasil ijtihad hakim, adakalanya dalam bentuk teguran dan bentakan, dipenjara, ditampar, atau sampai dihukum bunuh seperti dalam kasus kejahatan sodomi menurut ulama’ malikiyah, atau dengan dicopot dan diberhentika dari jabatanya, menyuruhnya berdiri dan pergi dari majlis, mendiskreditkan dan menghinakanya seperti dengan ucapan, “Hai dzalim hai orang yang melampaui batas. “Tidak apa-apa menghukum ta’zir dengan mencoreng-coreng wajahnya, diarak ramai-ramai disertai dengan menyebut-nyebut  kesalahan dan kejahatanya serta memukulinya.
            Haram hukumnya menghukum ta’zir dengan mencukur jenggotnya, memotong anggota tubuhnya, melukai tubuhnya, dan merampas hartanya dan merusaknya menurut ulama’ hanabilah. Hukuman ta’zir dalam bentuk dera batas minimalnya adalah tiga kali cambukan, namun bisa saja lebih sedikit dari tiga sesuai dengan indifidu pelaku. Tidak ada batas tersendah untuk hukuman ta’zir.
Adapun tentang masalah batas maksimal hukuman ta’zir, para ulama berbeda pendapat: imam abu hanifah, ulama, safi’iyah, dan ulama hanabilah mengatakan, hukuman ta’zir tidak boleh sampai melebihi hukuman hadd terendah, akan tetapi paling tidak harus dikurangi satu dera. Sementara ulama malikiyah mengatakan, imam boleh menghukum ta’zir dengan jumlah deraan berapapun juga sesuai dengan kebijakan dan hasil ijtihadnya meskipun melebihi hukuman hadd tertinggi sekalipun.
8.      Sifat-sifat hukuman ta’zir
            Hukuman ta’zir memiliki sejumlah sifat. Diantaranya, hukuman ta’zir menurut ulama malikiayah dan ulama hanabilah adalah hak Allah swt yang wajib dipenuhi apabila imam melihat untuk menjatuhkanya. Oleh karenaitu, secara garis besar, hakim tidak boleh menggugurkan hukuman  ta’zir, karena itu adalah hukuman untuk member efek jera yang diberlakukan  untuk memenuhi hak Allah swt. Menurut ulama safi’iyah hukuman ta’zir sifatnya tidak wajib. Oleh karena itu, hakimbisa saja tidak melaksanakanya selama kasusnya tidak menyangkut hak adami. Hal ini berdasarkan hadits,



اقيلوا ذ وي الهيئا ت عثرا تهم إ لا الحد ود

Maafkanlah kesilapan-kesilapan Orang-orang yang memiliki perilaku baik, kecuali kesalahan-kesalahan yang mengharuskan hukuman hadd. (HR Abu dawud, ahmad dan nasa’i)

          Adapun ulama hanafiyah mengatakanbahwa hukiman ta’zir apabila kasusnya menyangkut hak adami, wajib dan harus dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan.karena hakim samasekali tidak memiliki kewenangan untuk menggugurkan hak adami. Adapun jika kasusnya menyangkut hak Allah swt, masalahnya dipasrahkan kepada kebijakan dan pandangan imam. Apabila imam melihat adanya kemaslahatan untuk menegakkan hukuman ta’zar terhadap pelaku, maka ia melaksanakanya. Apabila ia tidak melihat adanya kemaslahatan untuk menegakan hukuman ta’zir kepada pelaku atau ia mengetahui bahwa pelaku sudah jera dan kapok tanpa harus dihukum ta’zir, maka ia boleh tidak melaksanakanya.
         Sifat hukuman ta’zir yang kedua adalah pukulan cambuk dalm hukuman ta’zir adalah yang paling keras, karena secara kuantitatif hukuman ta’zir memungkinkan untuk diperingan dengan dikurangi jumlah cambukanya, maka secara kualitatif tidakboleh diperingan sifat pukulanya, supaya maksud dan  tujuan dari hukuman yang di inginkan tetap bisa tercapai, yaitu memberi efek jera.
9.      Mekanisme penetapan dan pembuktian kasus kejahatan dengan ancaman hukuman ta’zir
            Menurut ulama hanafiah, Mekanisme penetapan dan pembuktian kasus kejahatan dengan ancaman hukuman ta’zir sama seperti mekanisme pembuktian dan penetapan hak-hak hamba lainya yaitu pengakuan, bayyinah (saksi), An-nukul (tidakmau bersumpah), dan berdasarkan sepengetahuan hakim akan kebenaran kasus yang terjadi.

10.  Hukuman ta’zir adalah kewenangan imam
Imam adalah pelaksana ta’zir karena imamlah yang memiliki wewnang penuh atas seluruh kaum muslim. As-sanani menyatakan dalam kitab subulussalam, “pelaksanaan ta’zir tidak boleh dilaksanakan oleh selain pemimpin (pemerintah), kecuali tiga pihak :
Pertama, Ayah. Seorang ayah berhak melakukan ta’dib terhadap anaknya yang masih kecil dan menghukum ta’zir sianak dalam rangka untuk mendidik, memperbaiki akhlaknya, juga ketika untuk memerintahkan shalat dengan memukul sianak supaya mau shalat jika memeng iti dibutuhkan. Dalam hal uini, setatus ibu sama seperti ayah selam masa-masa pengasuhan dan perawatan. Seorang ayah tidak boleh menghukum ta’zir anaknya yang sudah baligh, meskipun ia adalah orang yang safih (perilaku dan pikiranya kurang dewasa)
Kedua, pemilik budak. Seorang majikan pemilik budak boleh menghukum ta’zir budaknya, baik dalam kasus pelanggaran yang dilakukan sibudak terhadap hak simajikan sendiri atau terhadap Allah swt.
Ketiga, suami. Suami boleh menghukum ta’zir istrinya karena nusuz (pembangkangan) atau untuk memerintahkan seorang istri supaya menunaikan hak Allah swt. Ketika siistri tidak menunaikanya, seperti shalat, puasa ramadhan, dalam bentuk hikuman ta’zir yang menurut penilaian sisuamai sesuai untuk usaha memperbaiki perilaku siistri.
11.  Hak mendidik dan mendisiplinkan (ta’dib)
            Adpun apabila seorang ayah memukul anaknya atau suami memukul istrinya atau guru memukul muridnya dengan tujuan untuk mendidik dan memperbaiki akhlaknya lalu langkah ta’dib yang sah itu berakibat fatal, maka menurut Abu Hanifah dan imam Syafi’I pelaku pemukulan (selain ayah) harus tetap bertanggung jawab.
            Sementara Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan tidak ada pertanggung jawaban apapun atas pelaku pemukulan dalam kasus-kasus tersebut karena ta’dib adalah langkah yang legal dan sah dengan tujuan untuk membuat jera dan kapok.

PENUTUP
1.      Kesimpulan
Ta’zir secara bahasa, artinya adalah Al-man’u (mencegah, melarang, menghalangi). Diantara bentuk penggunaanya adalah ta’zir yang berarti An-nusrhrah (membantu, menolong), karena pihak yang menolong mencegah dan menghalani pihak musuh dari menyakiti orang yang ditolongnya. Kemudian kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukan arti memberi pelajaran dan sanksi selain hukuman hadd.
            Sedangkan kata ta’zir secara syara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah swt.
syarat supaya hukuman ta’zir  bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman hadd. Adapun anak kecil yang sudah mumayis, maka ia dita’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman akantetapi sebagai mendidik dan memberi  pelajaran.
2.      Daftar pustaka

Ø  Az-zuhzili wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu, darul fikri, Jakarta, 2011.
Ø  Muhammad Al-allamah, Fiqih empat mazhab, hasyimi, bandung, 2010.
Ø  Sabiq sayid, fiqih sunnah, Al-itishom, Jakarta,2010.



                 [1]Ibid.
                 [2]Thontowi, Pesan Perdamaian, 133.
                   [3]A. Syafi’i Ma’arif (ketua PP Muhammadiyah) dan Hasyim Muzadi (ketua PBNU) jauh-jauh hari sebelum sidang tahunan MPR 2002 menegaskan, NU dan Muhammadiyah tidak mendukung pemberlakuan syari’at Islam di Indonesia dalam arti formalisasi yang akan mengarah kepada pembentukan negara Islam. lihat Zuly Qodir, Pemberlakuan Syari’at Islam: Belajar dari Propinsi Nangroe Aceh Darussalam, Kompas, 24-4, 2002.
             [4] Inti pemikiran madzhab ini adalah bahwa “hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai yang hidup di dalam masyarakat. Lebih jauh baca W. Friedmann, Legal Theory, 4th Edition (London: Stevens and Sons Limited, 1960), 194-204.
                 [5]Madzhab ini (sociological jurisprudence) hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal dengan “sosiologi hukum”. Perbedaan di antara ke duanya adalah kalau sociological jurisprudenceitu merupakan suatu madzhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh timbal balik antara hukum dan masyarakat dan sebaliknya sedang sosiologi hukum adalah cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat itu dapat mempengaruhi hukum. Dengan kata lain, kalau sociological jurisprudencecara pendekatannya dari hukum ke masyarakat, sedang sosiologi hukum sebaliknya dari masyarakat ke hukum. Lihat Roscoe Pound, “Kata Pengantar”, dalam Georges Gurvith, Sosiologi Hukum, terj. Sumantri Mertodipuro (Jakarta: Bhratara, 1988), x-xi.

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook