WIDYAISWARA TERANCAM
PANGKATNYA DAN GODAAN
Sulitnya WI, naik
pangkat,
Kerjanya rumit,
aturannya ketat.
Harus menjelimat,
nomor-nomor surat
Diusulkan banyak, yang
diterima seperempat
By Muhammad Rakib.
LPMP Riau,2011
1.Awas penyakit AIDS
SEKADAR mengabarkan,
kalangan widyaiswara yang selalu
berpergian, banyak godaan. Yang paling ditakutkan pengidap virus HIV/AIDS
relatif tinggi di perhotelan, dibandingkan kalangan wanita pelacur lainnya.
Setidaknya di Surabaya ada 547 orang terjangkit hingga periode September 2010.
Enam belas orang diantaranya telah meninggal, demikian data Dinas Kesehatan
Surabaya, seperti dilansir Surya Online, 11 November 2010.
Angka-angka itu seperti angin lalu. Tak ada yang peduli dengan
deretan data-data karena para pria hidung belang, barangkali lebih asyik
berganti-ganti “lubang” pasangan atau memakai narkoba. Padahal, tahun 2009
jumlah ibu rumah tangga yang terjangkit hanya 63 orang.
Jumlah itu sama
dengan jumlah kalangan pelacur yang terjangkit pada tahun 2010. Deretan
data-data tersebut tak harus dicibir. Semuanya tak ada yang tak mungkin, bila
pelacuran yang konon terbesar di Asia Tenggara masih beroperasi di kota itu.
Para istri seperti dikibuli “aktivitas” suaminya ketika di luar rumah, yang
lebih kemecer pada dada-dada telanjang, yang dijejer di etalase-etalase kaca.
Memilih pun cukup memakai telunjuk, bayar sesuai tarif, dan sesudahnya segera
ngamar. Mereka tak paham, bahwa sesudahnya virus mematikan itu menjalar ke
“lubang” istrinya.
**
RABU MALAM, 18 MEI 2011. Jarum speedometer tak lebih dari 40
kilometer per jam, ketika mobil meluncur di Jalan Raya Kupang, Surabaya.
Jalanan cukup ramai – dengan lalu lalang kebanyakan laki-laki muda dan paruh
baya – di jalan yang lebarnya sekitar delapan meter itu. Jalan itu lebih
dikenal dengan kawasan Jarak oleh orang-orang Surabaya.
Sopir mengeluh karena kerepotan mencari tempat parkir. Mobil
akhirnya diparkir di sebuah pelataran mirip garasi. Dan, sepertinya bangunan
tersebut memang dibuat khusus untuk parkir. Tarifnya, Rp10.000 per dua jam.
Baru saja membuka pintu mobil, udara tak begitu segar dan
suasana cukup ribut dengan suara musik. Di belakang mobil – seberang jalan –
terlihat wanita-wanita di balik kaca, berderet di sofa sambil menyilangkan kaki
yang celananya sepaha. Beberapa diantaranya serius menikmati acara televisi,
yang lain cuma duduk bersandar, sedikit njempong ke samping, atau bermain
handphone.
Bersama tiga kawan, saya mencoba memasuki area yang terkenal
dengan tempat prostitusi, konon terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan
lokalisasi di Patpong, Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Gang Dolly,
begitulah orang Surabaya dan kebanyakan lainnya menjuluki daerah itu.
Dalam situs wikipedia dijelaskan, gang ini sudah ada sejak zaman
Belanda dan dikelola oleh seorang perempuan keturunan Belanda yang dikenal
dengan nama Tante Dolly van der mart. Keturunan dari Tante Dolly tersebut
sampai sekarang masih ada di Surabaya meskipun sudah tidak mengelola bisnis
prostitusi tersebut.
Gang itu tak begitu panjang, sekira 200 meter. Wanita berjajar
di depan pintu atau duduk di sofa di balik kaca. Dandanannya molek, seksi, atau
bahkan memakai semacam lingerie – tak ada dari mereka yang bercelana panjang.
Semua di atas paha, tak lebih dari 30 centimeter dari perut;
bajunya berpotong lengan sehingga tampak keteknya, dan sedikit sembulan
dadanya. Pengunjung bisa melihat kemulusan tubuh bagian mana saja, kecuali
“jualan” mereka.
Mereka duduk di sofa yang telah ditata; pengunjung bisa melihat
untuk tawar menawar. Mereka bergolek-golek di sofa; bermain ponsel, merokok,
memegang michropone berkaraoke, atau bersolek. Tak ada yang risih bagi mereka
dipajang seperti itu. Ada yang tersenyum ketika ada yang melongok ke dalam.
Anda sudah seperti melihat barang-barang di etalase mal!
Ada pula yang cuek, mungkin karena bosan, saban hari-hari
itu-itu saja yang dilihatnya. Bisa jadi laki-laki itu juga yang datang, siapa
kira?.
Belum lama jalan dari tempat parkir, seorang laki-laki muda
merangkul. Ia seorang makelar, ternyata. Ia menawarkan perempuan di rumah
bordil tempat kerjanya.
“Rp80 ribu ae. Murah, ayo toh!,” bujuknya sambil memegang tangan
saya. Saya hanya menggeleng terus melanjutkan langkah kaki.
Seumur-umur baru kali ini, saya memasuki lingkungan prostitusi.
Rasa yang gemetar dengan bayangan aneh-aneh berkelindan di kepala. Tak
membayangkan menikmati jalan-jalan di area perlendiran.
Asap rokok di mana-mana. Riuh rendah para makelar menawarkan
“dagangan”-nya. Saya amati mereka: ada yang tua, bahkan ada yang masih
muda-muda sekitar umur belasan sampai dua puluhan. Mereka bertengger di depan
rumah-rumah bordil yang berjejer di sepanjang gang itu.
**
SEORANG LAKI-LAKI berperawakan Tionghoa duduk lunglai di kursi
pendek di depan pintu, ketika saya keluar dari rumah “Bara Bintang”. Kaosnya
tersibak ke atas, sehingga perut buncitnya terlihat. Ia tampak lelah. Ia baru
saja keluar dari dalam rumah, kemudian duduk kembali menunggu tamu yang datang
bersinggah, untuk melihat “anak-anak”-nya dipajang.
Saya mampir sebentar di rumah laki-laki itu. Rumahnya
remang-remang. Ia agak menjorok ke dalam dari jalanan gang. Di dalam sudah
terlihat lampu putih di etalase. Ada yang baru masuk ke etalase, mungkin baru
selesai melayani. Saya melongok. Beberapa wanita dipajang, tapi saya tak
tertarik. “Jelek-jelek. Ayo keluar!” ujar saya.
Di sepanjang gang tersebut terdiri atas puluhan rumah. Ada yang
menamainya dengan mirip artis Hollywood seperti “Madonna Jaya”atau nama-nama
yang mengasosiasikan kawasan penjualan “kelamin”. Diantaranya , Rilex 2, Lancar
Jaya, Bara Bintang, Wisma Jaya Indah, New Barbara, Wisma Sembilan belas, Wisma
Arum Manis, Putri Lestari, Wisma Ayu Asih, Wisma Rama, Pijat Wisma Kalimantan,
dan Wisma Santai.
“Nih malah Dollywood, tapi kok tutup ya? kata teman saya
“Bangkrut kali” tukas lainnya.
Saya tertawa.
Di semua rumah itu, terpasang “mantra” tolak bala bagi anggota
TNI – “Anggota TNI dilarang masuk” tertempel di atas pintu. Toh, “mantra” itu
juga hanya klise semata, data Dinkes Surabaya pada 2010 menunjukkan, virus
HIV/AIDS juga menjalar di kalangan TNI/POLRI, mahasiswa, wiraswasta dan
paramedis. Ada 13 anggota TNI/POLRI, tiga orang PNS, dan sembilan orang
mahasiswa dinyatakan terjangkit virus mematikan itu.
Hal yang ironis adalah paramedis, bukan? Padahal di areal itu
juga buka klinik –“dr Adik Kurniawan” yang berada tempat di depan rumah bordil
“Bara Bintang” – yang digunakan sebagai tempat konsultasi kesehatan.
Nama “Barbara” jumlahnya ada beberapa, saya hitung hampir ada 10
rumah bordil. Dan sepertinya itu dimiliki satu orang, tapi ini baru dugaan
saya. Namun, belakangan saya cari tahu, dugaan itu sedikit terjawab, meski ini
belum tentu benar adanya.
Adalah Like Meiliani Sutedja, mahasiswa Fakultas Bisnis dan
Ekonomi Universitas Surabaya, yang membuka dugaan saya itu menjadi agak sedikit
terang. Ia menyimpulkan bahwa struktur pasar dan strategi harga di Dolly adalah
oligopoli atau bentuk persaingan pasar yang didominasi beberapa produsen atau
penjual dalam satu area. Simpulan itu merupakan hasil penelitian skripsinya
kawasan Dolly dari segi ekonomi.
Seperti dikutip Koran Surya (10/4/2010), Meiliani
mengklasifikasi pebisnis besar di kompleks yang memiliki 54 wisma itu menjadi
dua. Pertama, induk semang atau mucikari yang mengelola satu wisma dan
menampung rata-rata 44 pelacur. Kedua, pebisnis besar yang punya enam wisma
sekaligus dengan total pelacur mencapai 70 perempuan.
Di ujung, rumah bordil “New Barbara” tergolong paling ramai dan
tarifnya tinggi. Dentuman musik-musik khas bar – house music, dan kerlip-kerlip
lampu meningkahi para laki-laki di dalam. Ditemani botol-botol bir dan hisapan
rokok, mereka bebas memilih tempat duduk, untuk kemudian bisa memilih atau
sekedar cuci mata. Saya sendiri hanya di depan pintu, sudah risih mau masuk
rumah itu. Di depan pintu, seorang bapak paruh baya menemani kami. Bercerita
dan sekali lagi, menawarkan harga.
“Berapa di sini pak” tanya saya
“Di sini Rp160 ribu sampai Rp200 ribu,” jawabnya.
“Enggak Rp80 ribu?”
“Wah kalau Rp80 ribuan, di depan tuh”. Ia menyorongkan mukanya ke arah rumah
bordil “Wisma sembilan belas” di depannya.
Kebanyakan dari rumah-rumah itu menawarkan seharga Rp80-85 ribu
untuk sekali main, bahkan ada yang dua kali main. “Mereka semuanya mintanya
pakai kondom, tapi ada juga yang enggak. “Nembak” di dalam juga bisa,” kata
sopir kami. Istilah ‘nembak” di sini, adalah melepaskan cairan sperma ke dalam
lubang vagina alias orgasme.
Saya lihat semuanya kompak pakai warna hitam-hitam pakaiannya,
meski beberapa juga ada yang pakai warna lain. Secara tampilan oke dan sedikit
muda. Bahkan, ada yang saya kira masih belasan tahun, karena mukanya masih
seperti anak umur SMP.
“Kayaknya masih muda itu” kata saya
“Iya yang pojok itu kan” ujar kawan saya.
Saya sebetulnya mau tanya berapa harga wanita yang masih
perawan. Pertanyaan ini saya urungkan. Pura-puranya tanya, nanti saya malah
benar-benar ditawari. Serba repot, kan? Maklum baru pertama ke sini harus
pintar-pintar menjaga lidah. Taku salah ngomong. Mau memotret saja, saya tidak
bisa. Salah satu teman berhasil memotret dengan ponselnya, itu pun mencuri-curi
momen, hasilnya pun tak bagus.
“Murah ini, Rp80 ribu ae,” seorang laki-laki umur belasan di
depan “New Barbara” menawari saya.
“Anak rewel sampeyan gak usah bayar. Sing cilik kae servise penak. Ra penak
sampeyan metu ae, cuma Rp85 ribu,” katanya.
Saya tak menanggapi. Saya geleng kepala dan kemudian pergi.
Di gang ini roda ekonomi boleh dibilang cukup besar. Selain
praktik prostitusi, transaksi lain yang dilakukan orang adalah berdagang.Mereka
berjualan di kaki lima seperti menjual rokok, kondom, snack, atau minuman.
Sementara lainnya, berkeliling mendorong gerobak bakso, sate,
penjual rujak/buah, nasi goreng, dan sebagainya. Gang itu sudah seperti
“berkah” bagi orang lain.
Malam semakin larut.
**
SOEKARWO takut mati. Bukan, bukan, karena ia takut kehilangan
kursi sebagai orang nomor satu di Jawa Timur. Tetapi ia takut beban yang ia
bawa kelak ke akhirat sebagai Gubernur Jawa Timur. Soekarwo tahu betul, resiko
masih berdirinya prostitusi Gang Dolly.
“Saya tidak mau, tak bertindak dengan membiarkan lokalisasi
Dolly. Ini lebih sebagai bentuk tanggungjawab saya sebagai pemimpin. Dan saya
tak mau hal itu menjadi beban di akhirat nanti,” ujar Soekarwo seperti dikutip
Koran Republika, (21/10/2010).
Ia cemas dengan pertanyaan malaikat kelak: mengapa semasa
menjabat Gubernur membiarkan begitu saja adanya praktik prostitusi yang
jelas-jelas bertentangan dengan agama? Ia sedang berembug dengan Kepala Polda
Jatim Irjen Badrodin Haiti dan Pangdam V Brawijaya Mayjen Gatot Numantiyo,
bagaimana cara menutup prostitusi itu.
Ia tak mau gegabah, sebab itu bisa memicu konflik. Data terakhir
dari Kecamatan Sawahan, kata Soekarwo, jumlah pelacur di kawasan Dolly mencapai
1.050 orang.
“Kita dorong penutupan segera dilakukan. Jika masalahnya
ekonomi, kita carikan solusinya agar para PSK memiliki penghasilan secara
halal,” katanya.
Ia terinspirasi dengan bekas Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, ketika menutup
lokalisasi Kramat Tunggak, Jakarta Utara dengan mendirikan Islamic Center.
“Itu menjadi inspirasi bagi saya untuk menerapkannya di
Surabaya. Sebagai kota yang mayoritas muslim, penutupan lokalisasi merupakan
kewajiban,” katanya.
Berbagai macam cara ditempuh untuk menutup Dolly. Perda Surabaya
Nomor 7/1999 menyebutkan, dilarang menggunakan bangunan sebagai tempat untuk
melakukan kegiatan asusila. Namun belum ada satu pun trik yang ampuh untuk
menutup Dolly. Terakhir, Pemerintah Kota Surabaya menerapkan aturan batas waktu
jam kunjung. Awalnya di gang tersebut beroperasi selama 24 jam, kini cukup
sampai 15 jam. Bahkan, pemkot sedang menyiapkan pemasangan kamera pengintai
(CCTV).
“Para pekerja seks di sini punya kiat sendiri agar tetap bisa
hidup. Kalau tidak melayani di sini, mereka bisa di-booking out (di panggil
keluar)” ujar seorang mucikari atau germo Dolly seperti dikutip Koran Surya,
(3/6/2011).
“Mereka kalau di BO, biasa melayani pelanggan di hotel-hotel.
Tapi memang tidak semua pelanggan bisa BO PSK di sini. Hanya pelanggan yang
loyal saja yang dilayani,” kata lekaki yang sudah 20 tahun menjadi mucikari
itu.
Katanya, kendati Dolly ditutup praktik prostitusi tetap akan
ada, bahkan akan sulit terpantau. “Dengan tidak terlokalisirnya PSK, penularan
penyakit kelamin bisa dengan mudah menyebar. Aturan wajib kondom dan suntik
kesehatan setiap seminggu sekali, itu kan gunanya agar PSK dan pelanggannya
tidak tertular penyakit.”
“Lha, kalau prostitusi itu kemudian sampai keluar lokalisasi,
siapa yang bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan mereka?” katanya.
**
MOBIL meluncur menjauhi Jarak, melewati Jalan Girilaya, mobil
kemudian memutar dan kemudian masuk ke Jalan Pandegiling – kawasan ini terkenal
dengan beberapa jualan daging babi. Akhirnya, sopir sampai mengantarkan kami di
Hotel Santika. Kami tertawa cekikian, sambil menyebut salah satu nama.
“New Barbara, ha.ha.ha,” canda kawan saya.
“Wisma Asih, Wisma Kalimantan, Wisma Santai,” kata saya.
“Loh malah hafal”
“Saya catat soalnya. Ha.ha.ha”
Lelah jalan-jalan, langsung terobati dengan kasur empuk.
Sesampai di kamar, saya langsung mengetik beberapa hal yang sempat terekam di
kepala.
Bagaimana mungkin pelacuran itu ditutup. Ia sudah melekat betul
dengan masyarakat sekitar. Menutup Dolly, seperti kata Kepala Dinas Sosial Kota
Surabaya Eko Hariyanto, harus bertahap dan lintas sektoral. Kini, Dinsos Kota
Surabaya sudah melatih sebanyak 75 pelacur yang diberi pelatihan ketrampilan
tata boga sejak Mei 2011 lalu.
“Mereka juga diberi penguatan mental dan spiritual,” katanya.
Setelah bekal keterampilannya cukup, kata Eko, mereka akan dipulangkan ke
daerahnya. Memang Sutiyoso berhasil menutup Kramat Tunggak, tapi Soekarwo harus
berpikir lain. Ide itu belum tentu sesuai. Beda tempat, beda solusinya.
Dolly, oh Dolly!
Saya pun teringat istri di Jakarta, barangkali ia belum tertidur, selagi saya
mengenal malam bergerak di gang Dolly. Saya teringat ketika melewati “Pijat
Wisma Kalimantan”, seorang perempuan menggoda saya, sembari melambaikan tangan.
Ia seperti menyuruh saya singgah dulu. Duh, Gusti Allah!
Surabaya-Jakarta