Saturday, September 27, 2014

KONSEP PENGHUKUMAN TERHADAP ANAK-ANAK MENURUT FIQIH APAKAH SEJALAN DENGAN KONSEP ANTI KEKERASAN




               PERTANYAAN LEBIH TAJAM, BAGAIMANA KONSEP PENGHUKUMAN  TERHADAP ANAK-ANAK MENURUT FIQIH APAKAH SEJALAN DENGAN KONSEP ANTI KEKERASAN FISIK DI DALAM HUKUM PERLINDUNGAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG 23/2002?

 
      Jawaban:
 Menurut Hukum Pidana Islam  atau Fiqh Jinayah  memukul anak sebagai  penghukuman  dibolehkan, ketika umurnya sudah mencapai 10 tahun. Namanya hukuman ta’zir.. yang merupakan bagian dari syari’at islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah saw. Oleh karenanya pada zaman Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.
       Walaupun dalam kenyataannya, masih banyak umat islam yang belum tahu dan paham tentang apa dan bagaimana hukum pidana islam itu, serta bagaimana ketentuan-ketentuan hukum tersebut seharusnya disikapi dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Maka pada kesempatan ini pemakalah akan mencoba menjelaskan tentang hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir, berikut dengan pengertian, dasar hukum serta jarimah-jarimah yang meliputinya.(makalah Fiqih: "TA'ZIR" Eka Bonanza).

Ada tiga bagian jarimah yang digolongkan menurut berat ringannya hukuman, yaitu Hudud, Qishas-Diyat dan Ta’zir. Hudud dapat dikategorikan sebagai sebuah hukuman yang telah ditetapkan oleh nash. Qishas-Diyat adalah hukuman yang apabila dimaafkan maka qishas dapat diganti dengan diyat. Dan Ta’zir, adalah jarimah yang belum ada ketentuan nasnya dalam Al-Qur’an.  Belum ditentukan seberapa kadar hukuman yang akan diterima oleh si tersangka/si pelaku kejahatan. Jarimah ta’zir lebih di tekankan pada hukuman yang diberikan oleh pemerintah/kekuasaan mutlak berada di tangan pemerintah tapi masih dalam koridor agama yang tidak boleh bertentangan dengan hukum Allah swt.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir?
2.      Apa dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir?
3.      Apa saja hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan jarimah ta’zir.
2.      Untuk mengetahui dan memahami apasaja dasar hukum disyari’atkan jarimah ta’zir.
3.      Untuk mengetahui dan memahami hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum ta’zir.

A.    PENGERTIAN TA’ZIR
Menurut bahasa, lafaz ta’zir berasal dari kata “azzara” yang berarti menolak dan mencegah, juga berarti mendidik, mengagungkan dan menghormati, membantunya, menguatkan, dan menolong.[1] Dari pengertian tersebut yang paling relevan adalah pengertian pertama yaitu mencegah dan menolak, dan pengertian kedua yaitu mendidik. Karena ia dapat mencegah pelaku agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Ta’zir diartikan mendidik, karena ta’zir dimaksudkan untuk mendidik dan memperbaiki pelaku agar ia menyadari perbuatan jarimahnya kemudian meninggalkan dan menghentikannya. Pengertian ini sesuai dengan apa yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah [2] dan Wa dan Wahbah Zuhaili [3].
Menurut istilah, ta’zir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut :
والّتعزير تأ د ب على ذنوب لم تشرع فيها الحدود
“Ta’zir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’.[4]
Dari definisi yang dikemukakan diatas, jelaslah bahwa ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Dikalangan Fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan jarimah ta’zir. Jadi, istilah ta’zir bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Ta’zir sering juga dapat dipahami bahwa jarimah ta’zir terdiri atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kaffarat. Hukumannya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa atau hakim. Hukuman dalam jarimah ta'zir tidak ditentukan ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari'ah mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku jarimah.

B.     HUKUM DISYARI’ATKAN JARIMAH TA’ZIR
1.      Ta`zir adalah hukuman yang bersifat mendidik atas perbuatan dosa yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada keputusan Hakim. Dasar hukum ta`zir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu pada prinsip keadilan. Pelaksanaannya pun bisa berbeda, tergantung pada tiap keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.
2.      Dalam menetapkan jarimah ta'zir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan (bahaya). Di samping itu, penegakkan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i.
3.      Bentuk sanksi ta`zir bisa beragam, sesuai keputusan Hakim. Namun secara garis besar dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu hukuman mati bisa dikenakan pada pelaku hukuman berat yang berulang-ulang. Hukuman cambuk, hukuman penjara, hukuman pengasingan, menyita harta pelaku, mengubah bentuk barang, hukuman denda, peringatan keras, hukuman nasihat, hukuman celaan, ancaman, pengucilan, pemecatan, dan publikasi.
4.      Lihat QS. Al-Maidah: 12, al-A’raf: 157.
  QS. Al-Maidah: 12 
Artinya: “Dan Sesungguhnya Allah telah mengambil Perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya aku beserta kamu, Sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Sesungguhnya aku akan menutupi dosa-dosamu. dan Sesungguhnya kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka Barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, Sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Maidah: 12)
Ø  QS. Al-A’raf: 157
 
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.”( QS. Al-A’raf: 157)

Disamping itu dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
1.      Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau oleh keluarga sendiri.
2.      Jarimah ta’zir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi takaran dan timbangan.
3.      Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’ jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah, pelanggaran terhadap lingkungan hidup dan lalu lintas.[5]

C.    HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN HUKUM TA’ZIR
1.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
عن ابي بردة الانصاري انه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول :  لا يجلد احد فوق عشرة اسواط الا فى حد من حدود الله. (رواه مسلم )
Artinya: Dari Abu Burdah Al Anshari r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan sebagainya.” (Riwayat Muslim)[6]
Substansi:
a.      Untuk selain dosa-dosa yang sudah ditentukan pukulan 40, 80 dan 100, tidak boleh dihukum pukul lebih dari 10 dera (ta’zir).
b.      Ini berarti hukuman yang tidak lebih dari 10 dera itu di serahkan kepada pertimbangan hakim.
c.       Orang yang dikenakan hukum oleh hakim muslim sebanyak 10 kali cambuk berdasarkan hadis di atas dapat dimasukkan dalam hukuman ringan yang disebut dengan hukum ta’zir. Hukuman ta’zir ini dapat dilakukan menurut keputusan hakim muslim misalnya karena mengejek orang lain, menghina orang, menipu dan sebagainya. Dengan demikian hukuman ta’zir ini keadaannya lebih ringan dari 40 kali dera yang memang sudah ada dasarnya dari Nabi terhadap mereka yang minum minuman keras. Berarti dibawah 40 kali cambuk itu dinyatakan sebagai hukuman ta’zir (yaitu dipukul yang keras). Jadi orang yang melakukan peerbuatan-perbuatan yang melanggar hukum syariat yang telah jelas hukumannya misalnya gadis yang berzina dengan lelaki (yaitu dicambuk 100 kali), peminum minuman keras (sebanyak 40 kali) dan lainnya adalah termasuk melakukan pelanggaran syariat yang disebut dengan hudud (Hukum Allah). Adapun yang lebih ringan disebut ta’zir yang dilakukan menurut pertimbangan hakim muslim.[7]
d.      Yang dimaksud had disini adalah had atas perbuatan maksiat, bukan hukum yang telah ditetapkan dalam syariah. Akan tetapi, yang dimaksud disini adalah semua bentuk perbuatan yang diharamkan. Semua hudud Allah adalah haram, maka pelakunya harus dita’zir sesuai dengan kadar pertimbangan maslahat dan kemaksiatan yang dilakukannya.[8]

2.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah :
عن عا عشة ان النبي قال اقيلوا ذوى هيئا ت عسراتهم الا الحدود.
 (رواه احمد ابو داوود و النسائي و البيها قي)
Artinya: Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi saw bersabda : ”Ampunkanlah gelinciran orang-orang yang baik-baik kecuali had-had.” (Riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasai, dan Baihakki) [9]
Substansi:
Maksudnya, bahwa orang-orang baik, orang-orang besar, orang-orang ternama kalau tergelincir di dalam sesuatu hal, ampunkanlah, karena biasanya mereka tidak sengaja kecuali jika mereka telah berbuat sesuatu yang mesti didera maka janganlah di ampunkan mereka.
Mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya. Perintah “Aqi-lu” itu ditunjukan kepada para pemimpin/para tokoh, karena kepada mereka itulah diserahi pelaksanaan ta’zir, sesuai dengan luasnya kekuasaan mereka. Mereka wajib berijtihad dalam usaha memilih yang terbaik, mengingat hal itu akan berbeda hukuman ta’zir itu sesuai dengan perbedaan tingkatan pelakunya dan perbedaan pelanggarannya. Tidak boleh pemimpin menyerahkan wewenang pada petugas dan tidak boleh kepada selainnya.[10]
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayyidina Umar ibn Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia tidak mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: ”Asah dulu pisau itu”[11]

3.      Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim :
عن بهز ابن حكيم عن ابي عن جدّه, أنّ النّبيّ صلى الله عليه وسلّم حبس فى التهمة (رواه ابو داود و التّرمذي و النسا ئى والبيهقى و صّحيحه الحاكم)

Artinya: Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim).[12]
Substansi:
Hadits ini menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Perkataan “karena suatu tuduhan” itu menunjukkan bahwa penahanan itu disamping ada yang berstatus sebagai hukuman, juga sebagai membersihkan diri.[13]

D.    JENIS-JENIS HUKUMAN TA’ZIR
Dalam menetukan hukuman tersebut, hakim hanya menentukan hukuman secara umum saja artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan hukuman untuk masing- masing jarimah ta’zir, melainkan hanya menetapkan hukuman untuk masing-masing jarimah ta’zir, dari yang seringan-ringan sampai seberat- beratnya. Jenis-jenis hukuman ta’zir adalah sebagai berikut:
1.      Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman yang bersifat mendidik. Sehingga dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Tetapi sebagian besar fuqoha memberikan pengecualian terhadap peraturan hukuman tersebut yaitu diperbolehkannya hukuman mati apabila kepentingan umum menghendakinya atau kerusakan yang dilakukan pelaku tidak bisa dihindari kecuali dengan membunuhnya, seperti menjatuhkan hukuman mati kepada mata-mata, penyeru bid’ah (pembuat fitnah), atau residivis yang berbahaya. Oleh karena itu, hukuman mati merupakan suatu pengecualian dari aturan hukuman ta’zir, hukuman tersebut tidak boleh diperluas dan diserahkan seluruhnya kepada hakim.
2.      Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman pokok dalam hukum Islam dan hukuman yang ditetapkan untuk hukuman hudud dan hukuman ta’zir. Dikalangan fuqoha‟ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama‟ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman ta’zir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah.
3.      Hukuman Kawalan (Penjara atau Kurungan)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman yaitu hukuman kawalan terbatas dan hukuman kawalan tidak terbatas. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi ulama‟ berbeda pendapat. Ulama‟ Syafi‟iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam jarimah zina. Sementara ulama-ulama lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu karena hukuman ini tidak terbatas, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang-ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya.
4.      Hukuman Salib
Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan (hirobah), dan para fuqoha mengatakan bahwa hukuman salib dapat menjadi hukuman ta’zir. Akan tetapi untuk jarimah ta’zir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqoha tidak lebih dari tiga hari.
5.      Hukuman Pengucilan
Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman ta’zir yang disyari‟atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka‟ab bin Malik, Miroroh bin Rubai‟ah dan Hilal bin Umayyah. Mereka dikucilkan selama lima puluh hari tanpa diajak bicara. Sehingga turunlah firman Allah surat At-Taubah ayat 118, sebagai berikut:
n?tãur ÏpsW»n=¨W9$# šúïÏ%©!$# (#qàÿÏk=äz #Ó¨Lym #sŒÎ) ôMs%$|Ê ãNÍköŽn=tã ÞÚöF{$# $yJÎ ôMt6ãmu ôMs%$|Êur óOÎgøŠn=tæ óOßgÝ¡àÿRr& (#þqZsßur br& žw r'yfù=tB z`ÏB «!$# HwÎ) Ïmøs9Î) ¢OèO z>$s? óOÎgøŠn=tæ (#þqçqçFuÏ9 4 ¨bÎ) ©!$# uqèd Ü>#§q­G9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÊÑÈ  
Artinya: “Dan terhadap tiga orang yang tinggal, sehingga apabila bumi terasa sempit oleh mereka meskipun dengan luasnya, dan sesak pula diri mereka, serta mereka mengira tidak ada tempat berlindung dari Tuhan kecuali padaNya, kemudian Tuhan menerima taubat mereka agar mereka bertaubat”(Q.S. At-Taubah: 118)

6.      Hukuman Ancaman, Teguran, dan peringatan
Ancaman juga merupakan salah satu hukuman ta’zir, dengan syarat dapat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman saja. Misalnya dengan ancaman cambuk, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakanya lagi. Sementara hukuman teguran bisa dilakukan apabila dipandang hukuman tersebut bisa memperbaiki dan mendidik pelaku. Hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Hukuman peringatan juga diterapkan dalam syari‟at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam Al-Qur‟an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz.
7.      Hukuman Denda
Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari‟at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Hukuman yang sama juga dikenakan terhadap orang yang menyembunyikan barang hilang. Sebagian fuqoha berpendapat bahwa denda yang bersifat finansial dapat dijadikan hukuman ta‟zir yang umum, tapi sebagian lainnya tidak sependapat.

E.     PENDAPAT  IMAM MAZHAB
1.      Tersebut di dalam suatu riwayat bahwa Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu menta’zir dan memberi pelajaran terhadap seseorang dengan mencukur rambut, mengasingkan dan memukul pelakunya, pernah pula beliau radhiyallahu ‘anhu membakar kedai-kedai penjual khamr dan membakar suatu desa yang menjadi tenpat penjualan khamr. Ta’zir dalam perkara yang disyariatkan adalah ta’zir yang wajib menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad rahimahumullah.[14]

2.      Adapun Imam Syafi’i mengatakan bahwa Hukum Ta’zir itu tidak wajib.





A.    KESIMPULAN
Dari uraian singkat tentang jinayat ta’zir di atas, terdapat hal-hal yang menarik perhatian kita untuk dikaji lebih jauh, baik yang berkaitan tentang pengertian atau definisi hingga pendapat para fuqaha tentang hal-hal yang berkaitan, yaitu :
1.      Kita dapat menyimpulkan bahwa ta’zir adalah sebuah jarimah dengan kebijakan hukuman paling ringan dibanding jarimah yang lain. Jarimah ini pun memiliki tingkat kemungkinan paling luas, karena keputusan hukuman sangat bergantung pada hakim.
2.      Rasulullah melarang para hakim untuk memberikan hukuman pada terdakwa pelaku jarimah ta’zir melebihi hukuman had atau untuk jarimah yang telah ditetapkan hukumannya oleh Allah. Karena sesungguhnya hukuman jarimah ta’zir di tujukan untuk mendidik agar pelaku tidak melanggar itu kembali.

B.     SARAN
Menurut pemakalah, Hukum Ta’zir di dalam Islam harus dilaksanakan pada setiap perbuatan maksiat yang tidak ada hukuman had ataupun ketentuan membayar kafaratnya. Karena, perbuatan tersebut termasuk kategori perbuatan yang terlarang dalam syariat. Pelaksanaan hukuman ta’zir berbeda-beda sesuai dengan kejahatan yang diperbuat, sebab kejahatan sendiri ada bermacam-macam, dari yang ringan sampai yang berat. Hukum Ta’zir dan semua hukum islam yang diperintahkan oleh Allah adalah hukuman yang paling efektif. Kerena memenuhi semua aspek dari sebuah hukuman yaitu preventive, edukatif dan repressive. Sehingga dapat mewujudkan kehidupan yang aman, damai dan tentram.




















DAFTAR PUSTAKA

Shan’Ani ASH, Subulus Salam, jilid 4, Surabaya: Al-Ikhlas. 1996
Bahreisj, Hussein, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya, 1983
Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset.
2005, Cet.II.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, jilid
9, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001, Cet III
Bahreisj, Hussein Khallid, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-
Ikhlas, 1987
Al-fauzan, Saleh, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk,
Jakarta : Gema Insani, 2005

Ujian tertutup  : 17 Juni 2014;

PERTANYAAN DAN SARAN PERBAIKAN UNTUK UJIAN TERTUTUP:

1.      Masalah teknis dan bahasa;
a.       Nomor halaman dalam daftar isi tidak sama dengan nomor halaman di dalam isi/batang tubuh;
b.      Kalimat ada yang tidak lengkap, tidak jelas pokok dan sebutannya; misalnya halaman 7, kalimat pertama alinea kedua (yang diakhiri dengan catatan kaki nomor 12 dan 13); serta kalimt dalam catatan kaki nomor 12 dan 13 itu juga. 
c.       Salah ketik huruf, salah menuliskan/meletakkan tanda baca, salah menuliskan bentuk huruf (miring atau tegak, tebal atau tipis) misalnya halaman 7, nama buku, nama undang-undang dan seterusnya.
d.      Penulisan Daftar Pustaka, tidak baku dan tidak taat asas, misalnya tidak sesuai dengan abjad;
e.       Ada daftar ralat dan sisipan yang relatif sangat panjang (9 halaman) yang tidak lazim dalam penulisan disertasi; sisipan ini tidak jelas apakah akan dimasukkan atau tidak ke dalam disertasi; kalau dimasukkan tidak dijelaskan juga di bagian mana, karena tidak ada nomor halamannya; format pengetikannya pun tidak baku.

Disarankan kepada promovendus untuk meminta bantuan ahli bahasa guna melakukan penyuntingan, meliputi perbaikan bahasa dan memeriksa kesalahan pengetikan dan format penulisan.

2.      Masalah dan pertanyaan yang diteliti adalah mengenai konsep hukuman yang berisi kekerasan fisik terhadap anak-anak menurut fiqih sekiranya dibandingkan dengan UU 23/02.
a.       Mungkin pertanyaan ini akan lebih tajam sekiranya diubah menjadi: Bagaimana konsep penghukuman terhadap anak-anak menurut fiqih; apakah sejalan dengan konsep anti kekerasan (perlindungan) terhadap anak menurut UU 23/02 atau tidak.
b.      Tidak ada bagian yang membahas definisi operasional. Karena itu istilah yang digunakan cenderung tidak terjelaskan secara baik; apa yang dimaksud dengan hukuman fisik serta kekerasan terhadap anak, cenderung tidak jelas; apakah hukuman fisik dan kekerasan berkaitan dengan putusan pengadilan atau lebih luas dari itu, tidak ada penjelasannya. Begitu juga apa yang dimaksud dengan istilah Hukum Islam tidak dijelaskan secara memadai; apakah identik dengan fiqih atau identik dengan syari`ah. 

3.      Bidang ilmu dan teori yang digunakan; kelihatannya apa bidang ilmu dan apa teori utama yang digunakan dalam penelitian ini  belum terjelaskan dengn baik.
Rasanya akan sangat baik apabila dua hal ini dimasukkan ke dalam disertasi.

4.      BAB II DASAR-DASAR KETENTUAN HUKUM DALAM ISLAM:
a.       Uraian tentang “Sumber Hukum Islam” dianggap tidak memadai karena tidak dilanjutkan dengan bagaimana cara memahami dan mengambil hukum dari ayat dan hadis;
b.      Uraian tentang “Karakteristik Hukum Islam” tidak disebutkan sumber kutipan dan alasan pemilihannya, sehingga susah untuk ditelusuri kenapa begitu isi dan jumlahnya.
c.       Uraian tentang “Kebijksanaan Hukum Islam” juga sukar diketahui ke mana arah dan apa yang ingin dicapai dari uraian tersebut. Dalam “Daftar Isi” ada dua bagian uraian dalam anak bab ini; tetapi di dalam isi hanya ada satu bagian saja. Kalau memang hanya dibagi menjadi satu bagian saja, maka akan lebih baik tidak ada pembagian lagi.

5.      BAB III UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
a.       Apa saja bentuk kekerasan terhadap anak seperti disebutkan dalam UU tidak dibahas secara khusus dan runtut, sehingga menjadi tidak jelas apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan terhadap anak menurut UU ini.
b.      Sebagai contoh pada halaman 247 dituliskan uraian bahwa menurut undang-undang: “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, peyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.” Penulis tidak memberi uraian memadai tentang apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut, sehingga tidak jelas kenapa dianggap berbeda dengan ketentuan dalam hukum Islam. Menurut penguji semua yang disebtkan di atas juga dilarang oleh syariah. Karena itu seharusnya tidak ada perbedaan besar antara UU 23/02 dengan ketentuan dalam Al-qur’an dan hadis sahih.
c.       Uraian dalam angka 4, “Sisi yang Tidak Dapat Dikompromikan” cenderung masih terlalu sederhana sehingga tidak jelas ke mana arahnya dan apa kesimpulannya.
d.      Hadis-hadis tentang kebolehan memukul anak dalam Islam tidak diuraikan secara memadai sehingga terasa menggantung dan tidak memuaskan.

6.      KESIMPULAN
Isi kesimpulan masih terlalu sederhana, karena tidak menunjukkan tentang adanya pembahasan mendalam yang dilakukan di dalam disertasi.

7.      SARAN UMUM
Perlu penyempurnaan dan penambahan uraian, data dan analisis pada bagian-bagian yang sudah dibicarakan di atas. 

Pekanbaru, 16 Juni 2014.


Al Yasa` Abubakar, Prof. Dr.



[1 ]  Ibrahim Unais, et. al., Al-Mu’jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi, tanpa tahun, hlm. 598.
[2] dan Wa   Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz I, Dar Al-Kitab Al-A’rabi, Beirut, tanpa tahun, hlm. 81.
[3]   Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, hlm. 197.
[4]  Abu Al-Hasan Ali Al-Mawardi, Kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Dar Al-Fikr, Beirut, 1996, hlm. 236.
[5]  Drs. H. Ahmag Wardi Muslich. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika, 2005. Hlm. 255
[6] Hussein Bahreisj, Terjemah Hadits Shahih Muslim 3, Jakarta : Widjaya 1983, Hal. 255
[7] Hussein Khallid Bahreisj, Himpunan Hadits Shahih Muslim, Surabaya : Al-Ikhlas, 1987, Hal. 241-242
[8] Saleh al-fauzan, Terjemah Al-mulakhkhasul fiqh. Terj. Ahmad Ikhwani,dkk, Jakarta : Gema Insani, 2005, Hal. 847
[9] Al-Asqalany Ibnu Hajar, Terjemah Bulughul Maram, Bandung : CV. Penerbit Diponegoro 2002, Cet. 26, Hal. 576-577
[10]   Ash.Shan’Ani,  Subulussalam, Terj. H.Abubakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, hlm. 158
[11] Abd Al-Qadir Audah, I, op. cit., hlm. 155-156
[12]   Teuku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, Juz IX, PT.Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001,  hlm. 202.
[13]  Mu’ammal Hamdy dkk, Nailul Authar, Juz VI, PT Bina Ilmu, Surabaya, 2005, hlm. 2662-2663
[14] Sa’id Abdul ‘Adhim, Kafarah Penghapus Dosa, Terj. Abu Najiyah Muhaimin bin Subaidi, Malang : Cahaya Tauhid Press, Hal. 76

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook