Friday, September 19, 2014

makin meluasnya perzihan ZINA ANAK-ANAK



BKKBN TAHUN 2012, DIPERKIRAKAN SETIAP TAHUN JUMLAH ABORSI DI INDONESIA MENCAPAI 2,4 JUTA JIWA. 800 RIBU DI ANTARANYA TERJADI DI KALANGAN REMAJA

BATAS PEMBEBANAN ANAK KECIL ADALAH KETIKA BALIGH

 
Drs. H.M.Rakib Jamari,S.H.,M.Ag. Widyaiswara LPMP. Riau Indonesia Sedang Belajar Fiqih Anak-Anak

Anak dari Perkawinan Hamil Zina
Dikutip dari  A. Fatih Syuhud
Ditulis untuk Buletin Al-Khoirot
PP Al-Khoirot Malang
M.Rakib, tertarik dengan tulisan A.Fatih, karena salah satu dari persoalan sosial kemasyarakatan dewasa ini adalah meluasnya perzinahan yang diakibatkan oleh kondusifnya suasana untuk melakukan itu. Yakni, bebasnya pergaulan dan mudahnya akses khalwat (berduaan) antara laki-laki dan perempuan bukan mahram di berbagai tempat dan di segala waktu. Majunya teknologi komunikasi yang murah dan gampangnya akses internet semakin memudahkan orang untuk berinteraksi satu sama lain menyeberangi batas waktu, geografis dan norma.

Ada sisi positif dari perkembangan teknologi, tapi dampak sosial negatif dari kemajuan ini juga semakin mengkhawatirkan dengan semakin banyaknya kasus perzinahan, perselingkuhan, kehamilan dan kelahiran anak yang tidak dikehendaki.[1] Seberapa besar dan luasnya epidemik perzinahan dan efek sosial psikologis kelahiran anak zina khususnya bagi anak itu sendiri akan membutuhkan tulisan tersendiri untuk mengupasnya secara tuntas.
Saya hanya akan membatasi tulisan ini pada perspektif fiqih tentang status anak yang lahir akibat perzinahan. Dalam hal ini, secara garis baris kasus anak zina dapat dibagi dalam empat kategori yaitu (a) anak yang lahir tanpa adanya perkawinan; (b) kedua pelaku zina menikah sebelum anak lahir; (c) perempuan hamil zina menikah dengan pria lain (bukan yang menzinahi; (d) perempuan bersuami berzina, hamil dan melahirkan anak.
Karena penting dan mewabahnya kasus anak yang lahir dari perzinahan, maka saya akan menganalisanya tidak saja dari sudut pandang fiqih madzhab Syafi’i semata, seperti yang biasa saya lakukan, tapi juga akan membuat rujukan pada pendapat madzhab dan ulama fiqih lain sebagai rujukan hukum Islam alternatif.
Status Anak Zina yang Lahir di Luar Nikah
Salah satu tipe kasus perempuan yang hamil karena zina adalah bahwa laki-laki yang menzinahi tidak mau menikahi perempuan yang dizinahinya. Istilah yang umum dipakai adalah si pria tidak mau bertanggung jawab. Seakan-akan pihak pria-lah satu-satunya oknum yang yang harus bertanggung jawab atas masalah kecelakaan ini. Faktanya adalah keduanya sama-sama bersalah. Itulah sebabnya dalam hukum Islam yang terkena hukuman bukan hanya pelaku pria tapi juga wanita. Allah berfirman dalam QS An-Nur 24:2 “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” Hukuman dera adalah apabila pelaku zina tidak memiliki suami atau istri. Sedangkan untuk kasus terakhir maka hukumanya adalah rajam.[2]
Adapun status anak hasil zina yang lahir tanpa ada ikatan pernikahan sama sekali antara ibunya dengan pria manapun, maka ada dua pendapat ulama. Pendapat pertama adalah anak tersebut dinasabkan pada ibunya walaupun seandainya ayah biologisnya mengklaim (Arab, ilhaq atau istilhaq) bahwa ia adalah anaknya. Ini pendapat mayoritas ulama antar-madzhab yaitu madzhab Maliki, Syafi’i, Hanbali dan sebagian madzhab Hanafi.[3] Pendapat ini berdasarkan pada hadits sahih dari Amr bin Syuaib sebagai berikut:
قَضَى النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ مَنْ كَانَ مِنْ أَمَةٍ لَمْ يَمْلِكْهَا ، أَوْ مِنْ حُرَّةٍ عَاهَرَ بِهَا فَإِنَّهُ لا يَلْحَقُ بِهِ وَلا يَرِثُ وَإِنْ كَانَ الَّذِي يُدْعَى لَهُ هُوَ ادَّعَاهُ فَهُوَ وَلَدُ زِنْيَةٍ مِنْ حُرَّةٍ كَانَ أَوْ أَمَةٍ
(Nabi memberi keputusan bahwa anak dari hasil hubungan dengan budak yang tidak dia miliki, atau hasil zina dengan wanita merdeka tidak dinasabkan ke bapak biologisnya dan tidak mewarisinya walaupun ayah biologisnya mengklaim dia anak biologisnya. Ia tetaplah anak zina baik dari perempuan budak atau wanita merdeka).[4]
Bahkan menurut madzhab Syafi’i anak zina perempuan boleh menikah dengan ayah biologisnya walaupun itu hukumnya makruh.[5] Ini menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada hubungan nasab syari’i antara anak dengan bapak biologis dari hubungan zina. Menurut madzhab Hanbali, walaupun tidak dinasabkan pada bapaknya, namun tetap haram hukumnya menikahi anak biologisnya dari hasil zina.[6]
Karena dinasabkan pada ibunya, maka apabila anak zina ini perempuan maka wali nikahnya kelak adalah wali hakim yaitu pejabat KUA dan jajarannya.[7]
Pendapat kedua adalah bahwa anak zina tersebut dinasabkan pada ayah biologisnya walaupun tidak terjadi pernikahan dengan ibu biologisnya. Ini adalah pendpat dari Urwah bin Zubair, Sulaiman bin Yasar, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Nakha’i, dan Ishaq. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah dari madzhab Hanbali apabila ada klaim atau pengakuan (istilhaq) dari bapak biologis anak. [8]َ Urwah bin Zubair dan Sulaiman bin Yasar pernah berkata bahwa “Seorang pria yang datang pada seorang anak dan mengklaim bahwa anak itu adalah anaknya dan mengaku pernah berzina dengan ibunya dan tidak ada laki-laki lain yang mengakui, maka anak itu adalah anaknya ”.[9]
Perlu dicatat, bahwa anak zina memiliki hak, kesempatan dan keistimewaan yang sama dengan anak-anak lain yang bukan zina. Anak zina bukan anak kutukan. Bukan pula anak yang membawa dosa turunan. Nasib anak zina tergantung dari amalnya sendiri (QS An-Najm 53:39; Al-An’am 6:164; Al-Isra’ 17:15; Fathir 35:18; Az-Zumar 39:7). Apabila dia kelak menjadi anak yang saleh, maka ia akan menjadi anak yang beruntung di akhirat begitu juga  sebaliknya apabila menjadi anak yang fasiq (pendosa) atau murtad maka ia akan menjadi manusia yang akan mendapat hukuman setimpal.
Adapun hadits Nabi yang menyatakan bahwa “anak zina tidak akan masuk surga”[10], maka ulama memaknainya dengan catatan apabila ia melakukan perbuatan seperti yang dilakukan orang tuanya.” [11] Sedang hadits lain yang menyatakan bahwa “anak zina mengandung tiga keburukan”[12] maka menurut Adz-Dzahabi hadits ini sanadnya dhaif.
Status Anak dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Ayah Biologisnya
Menurut madzhab Syafi’i, seorang wanita yang hamil zina boleh dan sah menikah dengan lelaki yang menzinahinya dan boleh melakukan hubungan intim—walaupun makruh– tanpa harus menunggu kelahiran anak zinanya.[13] Pandangan ini didukung oleh ulama madzhab Hanafi.[14] Sedangkan menurut madzhab Maliki[15] dan Hanbali[16] tidak boleh menikahi wanita yang pernah berzina kecuali setelah istibrai’ yakni melahirkan anaknya bagi yang hamil atau setelah selesai satu kali haid bagi yang tidak mengandung.
Bagi wanita pezina yang kawin  saat hamil dengan lelaki yang menghamili maka status anak tersebut sah menjadi anak dari bapak biologisnya apabila si bapak mengakuinya. Hal ini berdasarkan pada keputusan yang diambil oleh Sahabat Umar bin Khattab di mana beliau menasabkan anak-anak jahiliyah (pra Islam) pada mereka yang mau mengakui sebagai anaknya setelah Islam.[17] Sahabat Ibnu Abbas juga pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina dengan perempuan kemudian menikahinya. Ibnu Abbas menjawab: “Awalnya berzina. Akhirnya menikaah itu tidak apa-apa.”[18]
Dari kalangan empat madzhab, Imam Abu Hanifah—pendiri madzhab Hanafi– yang paling sharih (eksplisit) menegaskan sahnya status anak zina dinasabkan pada bapak biologisnya apabila kedua pezina itu menikah sebelum anak lahir. Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengutip pandangan Abu Hanifah demikian:
لا أرى بأسا إذا زنى الرجل بالمرأة فحملت منه أن يتزوجها مع حملها, ويستر عليها, والولد ولد له
(Seorang lelaki yang berzina dengan perempuan dan hamil, maka boleh menikahi perempuan itu saat hamil. Sedangkan status anak adalah anaknya).[19]
Dalam madzhab Syafi’i ada dua pendapat. Pendapat pertama bahwa nasab anak zina tetap kepada ibunya, bukan pada bapak biologisnya walaupun keduanya sudah menikah sebelum anak lahir. Ini pendapat mayoritas ulama madzhab Syafi’i.
Pendapat kedua, status anak zina dalam kasus ini dinasabkan kepada ayah biologisnya apabila anak lahir di atas 6 bulan  setelah akad nikah antara kedua pezina. Dan tidak dinasabkan ke ayah biologisnya jika anak lahir kurang dari enam bulan pasca pernikahan, kecuali apabila si suami melakukan ikrar pengakuan anak. Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu menyatakan:
          يحل بالاتفاق للزاني أن يتزوج بالزانية التي زنى بها، فإن جاءت بولد بعد مضي ستة أشهر من وقت العقد عليها، ثبت نسبه منه، وإن جاءت به لأقل من ستة أشهر من وقت العقد لا يثبت نسبه منه، إلا إذا قال: إن الولد منه، ولم يصرح بأنه من الزنا. إن هذا الإقرار بالولد يثبت به نسبه منه
(Ulama sepakat halalnya pria pezina menikahi wanita yang dizinahi. Apabila melahirkan anak setelah enam bulan akad nikah maka nasabnya ke pria itu. Apabila kurang dari 6 bulan dari waktu akad nikah maka tidak dinasabkan padanya kecuali apabila si pria membuat ikrar dengan mengatakan bahwa anak itu darinya dan tidak menjelaskan bahwa ia berasal dari zina. Maka dengan ikrar ini nasab anak tersebut tetap pada ayah biologisnya).[20]
Adapun menurut madzhab Hanbali dan Maliki, maka haram hukumnya menikahi wanita hamil zina kecuali setelah melahirkan. Dan karena itu, kalau terjadi pernikahan dengan wanita hamil zina, maka nikahnya tidak sah. Dan status anaknya tetap anak zina dan nasabnya hanya kepada ibunya. [21]
Status Anak dari Kawin Hamil Zina yang Ibunya Menikah dengan Lelaki Lain Bukan Ayah Biologisnya
Seorang wanita melakukan zina dengan seorang pria dan hamil. Kemudian dia menikah dengan pria lain bukan yang menzinahinya. Hukum pernikahannya adalah sah menurut madzhab Hanafi, As-Tsauri dan pendapat yang sahih dalam madzhab Syafi’i. Walaupun terjadi perbedaan tentang apakah boleh hubungan intim sebelum melahirkan atau tidak. Sedang menurut madzhab Maliki dan Hanbali mutlak tidak boleh karena wajib melakukan istibra’ (penyucian rahim). Ia baru boleh dinikahi setelah melahirkan.[22]
Adapun status anak dalam kasus ini maka menurut madzhab Syafi’i jika anak lahir di atas 6 bulan pasca pernikahan, anak tersebut secara dzahir saja dinasabkan kepada suaminya, dan ia wajib menafikannya (tidak mengakui anak) menurut pandangan Sayed Ba Alwi Al-Hadrami dalam Bughiyatul Mustarsyidin:[23]
نكح حاملاً من الزنا فولدت كاملاً كان له أربعة أحوال ، إما منتف عن الزوج ظاهراً وباطناً من غير ملاعنة ، وهو المولود لدون ستة أشهر من إمكان الاجتماع بعد العقد أو لأكثر من أربع سنين من آخر إمكان الاجتماع ، وإما لاحق به وتثبت له الأحكام إرثاً وغيره ظاهراً ، ويلزمه نفيه بأن ولدته لأكثر من الستة وأقل من الأربع السنين ، وعلم الزوج أو غلب على ظنه أنه ليس منه بأن لم يطأ بعد العقد ولم تستدخل ماءه ، أو ولدت لدون ستة أشهر من وطئه ، أو لأكثر من أربع سنين منه ، أو لأكثر من ستة أشهر بعد استبرائه لها بحيضة وثم قرينة بزناها ، ويأثم حينئذ بترك النفي بل هو كبيرة ، وورد أن تركه كفر ، وإما لاحق به ظاهراً أيضاً ، لكن لا يلزمه نفيه إذا ظن أنه ليس منه بلا غلبة ، بأن استبرأها بعد الوطء وولدت به لأكثر من ستة أشهر بعده وثم ريبة بزناها ، إذ الاستبراء أمارة ظاهرة على أنه ليس منه لكن يندب تركه لأن الحامل قد تحيض ، وإما لاحق به ويحرم نفيه بل هو كبيرة ، وورد أنه كفر إن غلب على ظنه أنه منه ، أو استوى الأمران بأن ولدته لستة أشهر فأكثر إلى أربع سنين من وطئه ، ولم يستبرئها بعده أو استبرأها وولدت بعده بأقل من الستة ، بل يلحقه بحكم الفراش ، كما لو علم زناها واحتمل كون الحمل منه أو من الزنا ، ولا عبرة بريبة يجدها من غير قرينة ، فالحاصل أن المولود على فراش الزوج لاحق به مطلقاً إن أمكن كونه منه ، ولا ينتفي عنه إلا باللعان والنفي ، تارة يجب ، وتارة يحرم ، وتارة يجوز ، ولا عبرة بإقرار المرأة بالزنا ،
وإن صدقها الزوج وظهرت أماراته
Al-Khatib As-Syarbini dalam Mughnil Muhtaj membuat pernyataan senada:[24]
تنبيه: سكت المصنف عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا يجوز؛ لجواز كون الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد ليس مني وإنما هو من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.
Inti dari pandangan madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali dalam kasus ini adalah bahwa anak yang terlahir dari hamil zina yang ibunya menikah saat hamil dengan lelaki bukan yang menghamili, maka status anak dinasabkan pada ibunya secara mutlak. Bukan pada bapaknya. Begitu juga anak hanya mendapat hak waris dari ibunya. Sedang wali nikahnya apabila anak itu perempuan adalah wali hakim.[25]
Status Anak Zina dari Hasil Hubungan  Perempuan Bersuami dengan Lelaki Lain
Apabila seorang perempuan bersuami berselingkuh, dan melakukan hubungan zina dengan lelaki selingkuhannya sampai hamil, maka status anaknya saat lahir adalah anak dari suaminya yang sah; bukan anak dari pria selingkuhannya. Bahkan, walaupun pria yang menzinahinya mengklaim (Arab, istilhaq) bahwa itu anaknya. Sebagai anak dari laki-laki yang menjadi suami sah ibunya, maka anak berhak atas segala hak nasab (kekerabatan) dan hak waris termasuk wali nikah apabila anak tersebut perempuan.  Ini adalah pendapat ijmak (kesepakatan) para ulama dari keempat madzhab sebagaimana disebut dalam kitab At-Tamhid demikian:[26]
وأجمعت الأمة على ذلك نقلاً عن نبيها، وجعل رسول الله  كل ولد يولد على فراش لرجل لاحقًا به على كل حال، إلا أن ينفيه بلعان على حكم اللعان… وأجمعت الجماعة من العلماء أن الحرة فراش بالعقد عليها مع إمكان الوطء وإمكان الحمل، فإذا كان عقد النكاح يمكن معه الوطء والحمل فالولد لصاحب الفراش، لا ينتفي عنه أبدًا بدعوى غيره، ولا بوجه من الوجوه إلا باللعان
(Ulama sepakat atas hal itu berdasarkan hadits Nabi di mana Rasulullah telah menjadikan setiap anak yang lahir atas firasy [istri] bagi seorang laki-laki maka dinasabkan pada suaminya dalam keadaan apapun, kecuali apabila suami yang sah tidak mengakui anak tersebut dengan cara li’an berdasar hukum li’an. Ulama juga sepakat bahwa wanita merdeka menjadi istri yang sah dengan akad serta mungkinnya hubungan intim dan hamil. Apabila dimungkinan dari suatu akad nikah itu terjadinya hubungan intim dan kehamilan, maka anak yang lahir adalah bagi suami [sahibul firasy]. Tidak bisa dinafikan darinya selamanya walaupun ada klaim dari pria lain. Juga tidak dengan cara apapun kecuali dengan li’an).
Pandangan ini disepakati oleh madzhab Hanbali di mana Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:[27]
وأجمعوا على أنه إذا ولد على فراش رجل فادعاه آخر أنه لا يلحقه، وإنما الخلاف فيما إذا ولد على غير فراش
(Ulama sepakat bahwa apabila seorang anak lahir dari perempuan yang bersuami kemudian anak itu diakui oleh lelaki lain maka pengakuan itu tidak diakui. Perbedaan ulama hanya pada kasus di mana seorang anak lahir dari perempuan yang tidak menikah).
Kesepakatan ulama atas kasus ini didasarkan pada sebuah hadits sahih riwayat Muslim yang menyatakan الولد للفراش وللعاهر الحجر (Anak bagi suami yang sah, bukan pada lelaki yang menzinahi).[28]
Kesimpulan
Perzinahan adalah dosa besar yang harus dihindari oleh setiap umat Islam. Orang tua berkewajiban menjaga anak-anaknya agar terhindar dari perzinahan dengan memberikan pendidikan dan pengawasan yang memadai tentang bahaya zina di dunia dan akhirat. Suami dan istri juga harus menjaga kehormatannya agar tidak terjebak pada perbuatan zina.
Apabila perzinahan dan kehancuran kehormatan itu terjadi, maka tidak ada langkah yang dapat dilakukan kecuali damage control (menjaga kerusakan) agar tidak semakin parah. Dengan cara mengambil langkah-langkah yang diperlukan yang sesuai dengan aturan syariah sebagai berikut:
  1. Menikahkan anak perempuan yang terlanjur berzina dengan pria yang menzinahi. Baik sudah hamil atau belum. Agar terhindar dari perbuatan nista berikutnya.
  2. Apabila hamil, maka hendaknya segera dinikahkan dengan pria yang menghamili untuk menyelamatkan martabat dari anak yang dikandung yang menjadi korban dari dosa orang tuanya.
  3. Apabila pria yang menzinahi adalah non-muslim, maka hendaknya dia diminta untuk masuk Islam agar pernikahan sah. Apabila menolak, maka hendaknya dinikahkan dengan pria lain yang muslim.
  4. Bagi suami yang istrinya berzina dan hamil, maka anak yang lahir dinasabkan pada suami kecuali kalau suami menolak dengan cara li’an. Idealnya, suami menceraikan istri yang berzina sesuai perintah Rasulullah dalam sebuah hadits sahih.[]
FOOTNOTE
[1] Berdasarkan data yang dikeluarkan BKKBN tahun 2012, diperkirakan setiap tahun jumlah aborsi di Indonesia mencapai 2,4 juta jiwa. 800 ribu di antaranya terjadi di kalangan remaja.
[2] Orang yang sudah bersuami atau beristri disebut muhson. Zina muhson dihukum rajam yaitu hukuman dengan cara dilempar batu sampai mati.. Ini berdasar pada sejumlah hadits sahih riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih). Salah satunya adalah hadits muttafaq alaih dari Umar bin Khattab sbb:
 ورجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده، فأخشى إن طال بالناس زمان أن يقول قائل، ما نجد الرجم في كتاب الله فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله تعالى، فالرجم حق على من زنى إذا أحصن من الرجال والنساء إذا قامت البينة أو كان الحبل أو الاعتراف، وقد قرأتها” الشيخ والشيخة إذا زنيا فارجموهما البته نكالاً من الله والله عزيز حكيم
[3] Lihat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni hlm. 9/122; Imam Nawawi dalam Al-Majmuk 16/105 menyatakan:  فإن حكم ولد الزنا حكم ولد الملاعنة لأنه ثابت النسب من أمه وغير ثابت النسب من أبيه
[4] Hadits riwayat Ahmad (7002); Abu Dawud (2265); Ibnu Majah (2746).
[5] Lihat Al-Jaziri dalam Al-Fiqh alal Madzahib al-Arba’ah 5/134.
[6] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 7/485.
[7] Berdasarkan pada hadits riwayat Abu Dawud  السلطان ولي من لا ولي له (Sultan menjadi wali nikah perempuan yang tidak punya wali).. Sultan adalah raja atau kepala negara, instansi pemerintah yang membidangi agama seperti hakim agama, pejabat KUA dan jajaran di bawahnya. Termasuk dari wali hakim adalah para ulama, atau imam masjid.
[8] Ibnu Muflih  dalam Al-Furu’  hlm. 6/625; Ibnu Taimiyah dalam Al-Fatawa Al-Kubro hlm. 3/178;
[9] Lihat Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni  9/123. Teks asal: أيما رجل أتى إلى غلام يزعم أنه ابن له، وأنه زنا بأمه، ولم يَدَّعِ ذلك الغلامَ أحدٌ فهو ابنه
[10] Hadits riwayat Ahmad dalam  2/203 Musnad   teks aslinya sbb: لا يدخل الجنة ولد زانية
[11] Baikhaqi berkata tentang hadits ini: مَحْمُول على مَن عَمِلَ عَمَل أبويه
[12] Hadits riwayat Baihaqi. Teks asal:  ولد الزنا شَرّ الثلاثة .
[13] Analisa detail lihat A. Fatih Syuhud “Hukum Menikahi Wanita Tidak Perawan karena Zina” dalam Keluarga Sakinah, hlm. 190 (Pustaka Alkhoirot:2013).
[14] Menrut salah satu pendapat dalam madzhab Hanafi yang lebih rajih lihat Al-Mabsut lis-Syaibani  5/257. Pendapat yang lain tidak boleh sebagaimana pandangan madzhab Maliki dan Hanbali. Lihat, Mukhtashar Ikhttilaf al-Ulama lit-Tahawi 2.328.
[15] Al-Mudawwanah 2/149; Hasyiah Ad-Dasuqi 2/492.
[16] Al-Hidayah li Abil Khattab  2/60; Al-Muharrar 2/107
[17] Berdasar riwayat Abdur Rozzaq dalam Al-Mushannaf 7/123 dan Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro 10/263.
[18] Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro 7/155. Teks asal: وسئل ابن عباس رضى الله عنهما فيمن فجر بامرأة ثم تزوجها؟ قال: أوله سفاح، وآخره نكاح لا بأس به. Redaksi matan dalam Abdurrozzaq Al-Muhsannaf  7/202 sbb: وعن جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال : لا بأس بذلك، أول أمرها زنا حرام ، وآخره حلال
[19] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/122.
[20] Wahbah Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Hal senada disebutkan dalam  Al-Bayan 10/148  sbb: وإن تزوج امرأة، وأتت بولد لأقل من ستة أشهر من حين العقد.. انتفى عنه بغير لعان؛ لأن أقل مدة الحمل ستة أشهر بالإجماع، فيعلم أنها علقت به قبل حدوث الفراش. Dalam Mughnil Muhtaj 5/61:
تنبيه: سكت المصنف عن القذف وقال البغوي: إن تيقن مع ذلك زناها قذفها ولاعن وإلا فلا يجوز؛ لجواز كون الولد من وطء شبهة، وطريقه كما قال الزركشي، أن يقول: هذا الولد ليس مني وإنما هو من غيري، وأطلق وجوب نفي الولد، ومحله إذا كان يلحقه ظاهرا.
[21] At-Tamhid 15/47. Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang bermadzhab Hanbali berbeda pendapat dalam hal ini. Keduanya mendukung pendapat dari madzhab Hanafi yakni menetapkan nasab anak ke ayahnya kalau memang si ayah mengakuinya.
[22] Lihat “Iddah” dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 29/304. Teks asal: ذهب الحنفيّة والشّافعيّة والثّوريّ إلى أنّ الزّانية لا عدّة عليها، حاملاً كانت أو غير حامل وإذا تزوّج الرّجل امرأةً وهي حامل من الزّنا جاز نكاحه عند أبي حنيفة ومحمّد، ولكن لا يجوز وطؤها حتّى تضع وذهب المالكيّة في قول، والحنابلة في رواية أخرى إلى أنّ الزّانية تستبرأ بحيضة واحدة، واستدلّوا بحديث‏:‏ » لا توطأ حامل حتّى تضع، ولا غير ذات حمل حتّى تحيض حيضةً
[23] Bughiyatul Mustarsyidin, hlm. 235.
[24] Mughnil Muhtaj 5/61
[25] Ada pendapat yang mengutip pandangan madzhab Hanafi bahwa dalam kasus ini anak dinasabkan pada suami ibunya walaupun  ia bukan ayah biologisnya. Sayangnya, saya tidak menemukan sumber aslinya.
[26] Ibnu Abdil Bar  dalm At-Tamhid 8/183
[27] Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 9/123; lihat juga pendapat senada dalam Al-Istidzkar 7/171; Al-Hawi al-Kabir 8/162; Zaadul Ma’ad  5/425 dan Majmuk Fatawa Ibnu Taimiyah 32/112.
[28] Hadits riwayat Muslim dalam “Kitab Radha”  Sahih Muslim, hadits no. 1458, 2/1080.
Terkait:
- Hukum Perkawinan dengan Wanita Tidak Perawan karena Zina
- See more at: http://www.fatihsyuhud.net/2013/03/status-anak-dari-perkawinan-hamil-zina/#sthash.96TMhJna.dpuf


BUKU FIQIH SUNNAH ANAK (MENGENALKAN HUKUM-HUKUM ISLAM PADA ANAK)
Di zaman ini, banyak orang tua membebani anak-anak untuk belajar mengenal ilmu sains. Banyak teori ilmu pasti yang harus dihafalkan dan dipahami. Orang tua menganggapnya sebagai persiapan untuk menyongsong masa depan yang cerah. Masa depan di dunia yang fana ini. Akan tetapi, berapa banyak orang tua yang menekankan pendidikan agama kepada anaknya? Padahal, agamalah yang akan menentukan masa depan anak. Tidak hanya di dunia, bahkan sang anak berpindah ke negeri keabadian.
Lebih dari itu, ketika orang tua mementingkan pendidikan agama bagi anak, yang memetik buahnya adalah orang tua sendiri, di dunia dan akhirat. Alangkah bahagianya orang tua bila anak mengenal agama Islam yang benar. Dia mengetahui hukum-hukum agama, sehingga mengetahui mana yang halal dan mana yang haram. Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Dia mengamalkannya setelah mengetahuinya. Inilah jalan kebahagiaan di dunia dan akhrat. Pembaca yang budiman... Buku islami ini mengenalkan hukum-hukum Islam kepada anak secara ringkas. Bak ensiklopedi, pembahasannya cukup lengkap, dari syahadat, shalat, bersuci, hingga thibbun nabawi, disertai dalil-dalilnya. Penjelasannya ringkas, insya Allah mudah dipahami 
     

Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin:
Orang Yang Masuk Ke Dalam Khithab (Arah Pembicaraan) Perintah Dan Larangan Syariat
S: Siapakah yang masuk ke dalam arah khithab (pembicaraan) perintah dan larangan dalam syariat?

J: Orang yang masuk ke dalam khithab (arah pembicaraan) dengan perintah dan larangan adalah orang yang mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan berakal.
- Keluar dari baligh: anak kecil. Anak kecil tidak diberi taklif (pembebanan) perintah dan larangan dengan taklif (pembebanan) yang sama dengan taklif (pembebanan) orang yang sudah baligh. Tetapi anak kecil diperintah dengan ibadah-ibadah setelah tamyiz sebagai latihan dia untuk taat dan dilarang dari maksiat-maksiat agar terbiasa menahan diri darinya.
- Keluar dari orang yang berakal: orang yang gila. Orang yang gila tidak diberi taklif perintah dan larangan. Namun dia dilarang dari perkara-perkara yang mengandung pelanggaran atau perusakan hak orang lain. Kalau dia melakukan perkara yang diperintahkan, maka perbuatan itu tidak sah darinya, karena tidak ada niat (al-qashdu) untuk melaksanakan perintah dari dia….
S : Maksud: “Keluar dari baligh: anak kecil. Anak kecil tidak diberi taklif (pembebanan) perintah dan larangan dengan taklif (pembebanan) yang sama dengan taklif (pembebanan) orang yang sudah baligh.”
 J : Perhatikan batasan ini: “Anak kecil tidak diberi taklif (pembebanan) perintah dan larangan dengan taklif (pembebanan) yang sama dengan taklif (pembebanan) orang yang sudah baligh.” Namun tetap diarahkan kepadanya perintah dan larangan. Kalau anak kecil itu ingin sholat, kita memerintahkannya untuk berwudhu. Tetapi perintah kita kepadanya untuk wudhu dan sholat tidak seperti perintah kita kepada orang yang sudah baligh. Demikian ini karena orang yang sudah baligh diperintah dengan cara ilzam (wajib), sedangkan anak kecil diperintahkan dengan cara istihbab (mustahab) dan tidak dengan cara ilzam (wajib). …
Perintah Dan Larangan Kepada Anak Kecil

 

      S: Maksud: “Tetapi anak kecil diperintah dengan ibadah-ibadah setelah tamyiz sebagai latihan dia untuk taat dan dilarang dari maksiat-maksiat agar terbiasa menahan diri darinya.”
      J: Kalau kita berkata kepada anak kecil: “Laksanakan shalat dhuhur!” Kemudian anak kecil itu berkata: “Ya.” Lalu dia keluar rumah dan pergi bermain bola dan tidak shalat. Kemudian dia datang untuk makan. Lalu kita tanya: “Apakah engkau telah shalat?” Dia menjawab: “Aku belum shalat.” Maka anak ini tidak berdosa. Namun kalau dia sudah baligh, dia berdosa. Jadi anak kecil tetap diiperintah tetapi tidak dengan perintah yang sama dengan perintah orang yang sudah baligh.
      Kita mengatakan kepada anak kecil itu: “Jangan engkau melakukan demikian dari perkara-perkara yang diharamkan.” Kemudian dia berkata: “Ya, insya Allah.” Kemudian dia keluar dan mendapati anak-anak kecil melakukannya, kemudian dia melakukannya juga. Setelah itu dia pulang. Kita bertanya kepadanya: “Apakah kamu melakukannya?” Dia menjawab: “Ya.” Maka perbuatannya ini tidak sama dengan perbuatan orang yang sudah baligh. Namun dia dilarang dari hal itu agar terbiasa menahan diri dari perkara yang haram.
Kewajiban yang berkaitan dengan harta pada anak kecil

      S: Penjelesan: “Anak kecil dan orang yang gila (tidak berakal) tidak diberi taklif kecuali dalam perkara-perkara maliyah (berkaitan dengan harta), seperti: zakat, nafaqah-nafaqah, jinayah, dan kafarah dalam perkara yang tidak disyaratkan padanya taklif.”

      J: Orang gila kalau mempunyai harta, maka padanya ada zakat menurut pendapat ahli ilmu yang rajih (rojih, kuat). Jika dia mempunyai kerabat yang fakir, maka wajib untuk memberi nafaqah mereka dari hartanya. Demikian juga anak kecil.
Jika ada orang yang berkata: Bagaimana kalian mewajibkan zakat pada harta anak kecil dan orang gila, dan mewajibkan nafaqah pada harta keduanya, padahal keduanya tidak mukallaf?

      Jawabnya: karena pewajiban hal ini dikaitkan dengan sebab tertentu, kapan didapati akan tegak hukum tersebut. Hal itu dilihat dari sisi sebab bukan dari sisi pelaku. Zakat dikaitkan dengan sebab tertentu di luar sifat yang ada pada seseorang, yaitu kepemilikan nishab (nisob), tanpa memandang kepada sang pemilik. Demikian juga nafaqah pada kerabat, istri, dan semisalnya dikaitkan dengan sebab pernikahan dan kekerabatan bersamaan dengan kekayaan. Jika didapati sebab ini, maka akan tegak hukum itu.

      Kemudian pewajiban itu berkaitan dengan harta. Oleh karena ini Allah berfirman:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (At-Taubah: 103)
      Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فأعلمهم أن الله افترض عليهم صدقة في أموالهم

“Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat dalam harta-harta mereka.” (Muttafaqun ‘alaih)
      Maka zakat dan nafaqah itu secara asal adalah wajib pada harta. Oleh karena itu, tidak disyaratkan padanya taklif dari orang yang mempunyai harta….
Pahala Ibadah anak kecil
      S: Apakah anak kecil diberi pahala bila melakukan ibadah?
      J: Ya, dia diberi pahala atas ibadah itu. Maksudnya: dicatat kebaikan untuk anak kecil itu dan tidak dicatat kejelekan atas anak itu. Namun dia diberi pahala dengan pahala nafilah saja, tidak seperti pahala faridhah (fardhu, amalan wajib)…
Hukuman Kemasiatan Anak kecil
      S: Apakah anak kecil kalau berbuat zina atau liwath, dia dihukum bunuh?
      J: Tidak dibunuh, tetapi diberi hukuman ta’zir yang keras, agar dia berhenti dari hal ini. Namun dia tidak dibunuh….
Sahnya Shalat anak kecil
      S: Apakah sah shalat anak kecil?
      J: Ya, anak kecil sah shalat darinya….
Kewajiban wali terhadap anak kecil dari sisi asuhan (ri’ayah)
      S: Penjelasan: perintah kepada anak kecil dengan perkara wajib dan larangan kepadanya dari perkara yang haram.
      J: Di sisi kita ada dua perkara: khithab (arah pembicaraan) syariat adalah kepada wali. Maksudnya: Wajib walinya memerintahkan anak kecil secara wajib, namun berkaitan dengan anak kecil itu, tidak wajib bagi anak itu. Demikian juga wajib walinya untuk mencegahnya dari perkara yang haram secara wajib.
      Maksudnya ini dari sisi ri’ayah (pengasuhan/pemeliharaan). Si wali itu akan ditanya tentang orang-orang yang di bawah ri’ayahnya. Akan tetapi anak kecil itu kalau melakukan perkara yang haram, dia diberi hukuman dengan hukuman yang berkaitan dengan orang yang sudah mukallaf.
Haji Anak kecil
      S: Kalau anak kecil itu melakukan ibadah haji, namun dia tidak menyempurnakannya sampai selesai?
      J: Dalam masalah itu ada dua pendapat:
      Pendapat kesatu: Perkara yang wajib untuk disempurnakan oleh orang mukallaf, juga wajib disempurnakan oleh selain mukallaf, seperti: haji. Ini pendapat kebanyakan ulama.
      Pendapat kedua: tidak wajib (untuk menyempurnakannya), meskipun dalam perkara yang mukallaf wajib menyempurnakannya. Maka tidak wajib bagi anak kecil (untuk menyempurnakannya).
      Inilah madzhab Abu Hanifah rahimahullah. Pengarang Kitab Al-Furu’ cenderung kepada pendapat ini, akupun cenderung kepada pendapat ini dalam masalah haji.
      Misalnya: anak kecil itu kalau dia merasa capek dari ihram haji, kemudian dia melepas baju ihram dan memakai baju biasa dan meninggalkan manasik haji dan keluar darinya, maka kita tidak mewajibkan dia untuk menyempurnakannya. Karena dia tidak termasuk mukallaf. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Diangkat pena dari tiga orang … diantaranya anak kecil sampai baligh.”
(Diterjemahkan dari Syarh Al-Ushul Min ‘Ilm Al-Ushul hal 149-158 -dengan penyesuaian-)
Batas Pembebanan Anak Kecil adalah ketika Baligh
Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu Fatawa beliau (10/371):
S: Pertanyaan dari A. M dari Riyadh. Dia bertanya: Apakah masa baligh itu dianggap sebagai batasan yang menyebabkan seorang anak dibebani untuk menunaikan sholat yang terluput darinya karena dia tidur atau meninggalkannya?
J: Kapanpun anak kecil lelaki dan perempuan mencapai usia baligh, maka dia wajib sholat, puasa ramadhan, haji serta umrah bila mampu. Dan dia berdosa jika meninggalkan hal itu dan melakukan kemaksiatan, karena keumuman dalil-dalil syar’i.

Dan pembebanan (taklif) bisa terwujud dengan:
1. menyempurnakan umur 15 tahun,
2. atau dengan keluarnya air mani karena syahwat ketika tidur atau bangun,
3. dan tumbuhnya bulu kemaluan sekitar kemaluan depan.
Ditambah untuk anak perempuan dengan perkara yang keempat, yaitu darah haidh.
Selama anak lelaki atau anak perempuan belum mengalami slah satu dari perkara-perkara ini, maka dia tidaklah mukallaf. Akan tetapi diperintahkan untuk sholat ketika umur 7 tahun dan dipukul bila meninggalkan sholat pada umur 10 tahun. Juga diperintah untuk puasa romadhon. Dan didorong kepada kebaikan seperti membaca al-qur’an, sholat nafilah, haji, umroh, memperbanyak tasbih, tahlil, takbir dan tahmid.
Juga dilarang dari seluruh kemaksiatan, karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
((مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِِالصَّلاَةِ لسَبْعٍ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا لِعَشْرٍ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ))
“Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur 7 tahun dan pukullah mereka pada umur 10 tahun, apabila mereka meninggalkannya. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud: Kitab Sholah 495 dan Ahmad 2/187)
Dan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari Al-Hasan bin ‘Ali rodhiyallahu ‘anhuma ketika dia makan kurma shodaqoh. Beliau berkata kepadanya:
“Tidakkah kamu tahu bahwa harta shodaqoh tidak halal bagi kita.” Kemudian beliau memerintahkan untuk menaruh kurma yang dia ambil. (HR. Al-Bukhari Kitab Az-Zakah 1414 dan Muslim Kitab Az-Zakah 1069)
Padahal Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, umur Al-Hasan sekitar 7 tahun lebih satu bulan.
Sumber : bimbingan-islam

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook