Thursday, September 25, 2014

RELIGIUSISASI MATA PELAJARAN MELALUI KURIKULUM 2013



SPIRITUALISASI DAN RELIGIUSISASI MATA PELAJARAN
 MELALUI KURIKULUM 2013



Tanpa religiusiasi sains, dikhwatirkan generasi yang akan datang tidak lagi bertuhan, karena ilmu yang diajarkann di SMP SMA adalah ilmu yang sekuler materialistis.(M.Rakib, LPMP Riau Indonesia)
GALILEO GALILEI YANG MEMUNCULKAN LAGI TEORI HELIOSENTRI. BAHWA BUMI BERGERAK MENGITARI MATAHARI. DAN INI BERTENTANGAN DENGAN APA YANG DISEBUTKN DI ANTARANYA DI DALAM PERJANJIAN LAMA, KIDUNG AGUNG PSALM 104:5,
“[THE LORD] SET THE EARTH ON ITS FOUNDATIONS; IT CAN NEVER BE MOVED.”
GALILEO PUN DIJATUHI HUKUMAN YANG SAMA, HUKUMAN MATI. NAMUN, BERBEDA DENGAN COPERNICUS,
Menurut al-Attas, tantangan terbesar yang dihadapi kaum Muslim adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari refleksi kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu islamisasi sains dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.
Itu sebabnya al-Attas mengartikan Islamisasi sebagai, ”Pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan Islam) dan dari belenggu paham sekular terhadap pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cenderung sekular dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya…Islamisasi adalah suatu proses menuju bentuk asalnya…”
Menurut Abdul Rahman, secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin) yang memiliki arti waktu tertentu atau tempat tertentu. Atau lebih tepatnya menunjukkan kepada waktu sekarang dan di sini, dunia ini. Sehingga, sungguh tepat jika saeculum disinonimkan dengan kata wordly dalam bahasa inggrisnya. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini (keduniaan an sich). Tanpa ada perhatian sama sekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Oleh karena itu, sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri. Namun sebelum lebih jauh mengenal sekularisme secara terminologi dan epistemologinya, ada hal penting yang harus diketahui dan difahami terlebih dahulu sebagai “pintu masuk” untuk bisa menjawab pertanyaan yang mendasar, mengapa sekularisme itu “terlahir” ke dunia ini. Pintu masuk tersebut tiada lain adalah sejarah dan latar belakang lahirnya sekularisme.
Sejarah Sekularisme
Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama kristen saat itu (abad 15 an). Di mana kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi kawah candradimuka lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-buku filsafat yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam bahasa latin.
Pada saat Eropa mengalami the dark age, kristen yang sudah melembaga (baca: Gereja) saat itu menguasai semua ranah kehidupan masyarakat Eropa. Politik, ekonomi, pendidikan dan semuanya tanpa terkecuali yang dikenal denga istilah ecclesiastical jurisdiction (hukum Gereja). Semua hal yang berasal dari luar kitab suci Injil dianggap salah. Filsafat yang notabene sebagai al-umm dari ilmu pengetahuan dengan ruang lingkupnya yang sangat luas, mereka sempitkan dan dikungkung hanya untuk menguatkan keyakinan mereka tentang ketuhanan yang trinitas itu. Mereka menggunakan filsafat hanya sekedar untuk menjadikan trinitas yang irasional menjadi kelihatan rasional. Dengan demikian secara otomatis filsafat yang seharusnya menjadi induk semang dari seluruh ilmu pengetahuan yang ada menjadi mandul dan tidak berfungsi.
Padahal sebenarnya apa yang dilakukan kristen saat itu sudah bertentangan dengan falsafah kristen itu sendiri. Di mana dalam falsafah kristen mengenal adanya dua kerajaan. Kerajaan dunia dan kerajaan langit (baca: kerajaan tuhan). Manusia hidup di dunia ini hanya sekedar menjalani hukuman atas dosa warisan nenek moyang manusia, Adam.[3] Sehingga kerajaan langit adalah satu-satunya tujuan manusia dengan cara membebaskan diri dari segala dosa. Sampai akhirnya tuhan sendiri yang turun/menurunkan anaknya dan mengorbankannya sebagai penebus dosa seluruh manusia.[4] Maka sesuai dengan sabda Yesus sendiri yang dikisahkan Injil, “Berikan kepada kaisar apa yang menjadi haknya, dan berikan juga kepada tuhan apa yang menjadi haknya”. Sabda ini secara gamblang menyatakan bahwa urusan kehidupan dunia diatur oleh penguasa negara.
Tetapi pada tatanan praktis selanjutnya teori “two swords” yang menjadi bagian dari falsafah agama kristen itu dilanggar, dengan menjadikannya “one sword” (satu kekuasaan saja, kekuasaan kristen, ecclesiastical jurisdiction). Dua sisi ruh (spiritual) dan materi (keduniaan) yang dimiliki manusia yang mana ruh dikuasai/diperintah oleh kekuasaan kristen (baca: Gereja) dan materi diatur oleh kekuasaan raja/penguasa negara, dijadikan satu yaitu sisi ruh dan materi manusia diatur oleh kekuasaan kristen saja. Padahal kristen itu sendiri adalah ajaran ruhi an sich dan tidak memiliki ajaran materi (bagaimana mengatur urusan manusia dalam sisi materinya seperti syari’ah di dalam Islam). Tentu hal tersebut mengakibatkan “kekacauan” pada tatanan kehidupan manusia selanjutnya. Bagaimana tidak, sisi manusia yang bersifat materi yang identik dengan rasionalitas, immanent, profan harus diatur dan diperintah oleh kekuasaan yang bersifat ruhi an sich yang identik dengan irasionalitas, permanent, sakral. Yang pada akhirnya kekacauan falsafah inilah yang menenggelamkan masyarakat Eropa ke dalam jurang the dark age berabad-abad lamanya.
Ilmu pengetahuan yang menopang majunya sebuah peradaban malah dimusuhi. Ketika ada penemuan baru yang dianggap bertentangan dengan isi injil dianggap sebagai sebuah pelanggaran yang harus ditebus dengan nyawa. Sebagaimana yaang dialami Copernicus yang menyatakan teori heliosentrisnya yang notabene bertentangan dengan injil yang mengemukan teori geosentris.
Sesuai dengan teori arus air, jika ia ditahan maka lama kelamaan akan menjadi tenaga yang begitu dahsyat untuk mengahancurkan penahannya. Begitu juga yang terjadi di Eropa pada abad 15 dengan apa yang disebut renaissance sebagai lambang dari pembebasan masyarakat Eropa dari kungkungan kristen. Gerakan renaissance ini mulai digerakkan di berbagai lini, seni, gerakan pembaruan keagamaan yang melahirkan kristen protestan, humanisme dan penemuan sains. Yang selanjutnya diteruskan dengan masa enlightenment pada abad ke-18 satu abad setelah lahirnya aliran Filsafat Moderen pada abad ke-17.
Tirani Gereja
Kristen—sebagaimana yang kita ketahui—merupakan agama yang cinta damai, welas asih dan agama cinta kasih. Ini bisa dilihat dari perkataan Yesus yang memerintahkan murid-muridnya untuk memberikan pipi kanan jika dipukul pipi yang kiri. Namun, pada kenyataannya Gereja sebagai kristen yang melembaga justru menjadi tirani bagi bangsa Eropa pada abad pertengahan, yang membuat Eropa terpuruk selama berabad-abad dalam masa yang disebut the dark age. Maka timbulah pertanyaan, apa sebenarnya yang membuat Gereja menjadi tirani di Eropa saat itu.
Hal tersebut sebenarnya kembali kepada masa-masa ketika kristen baru lahir atau semenjak wafatnya Yesus di tiang salib—yang setelah tiga hari bangkit kembali, menurut keyakinan mereka. Pada masa-masa awal lahirnya kristen, umat kristen harus terus bersembunyi (baca: menyembunyikan iman mereka) dari pemerintahan Romawi. Terutama para murid Yesus yang terus menyebarkan ajaran guru mereka dengan sembunyi-sembunyi. Dan pada periode yang penuh tekanan inilah injil ditulis dengan gaya bahasa mereka (baca: murid-murid Yesus, baik yang langsung ataupun tidak) masing-masing. Sehingga bercampurlah di sana antara firman tuhan dan persepsi mereka sendiri tentang ajaran Yesus.
Kristen terus menyebar dengan cara seperti itu, di mana injil hanya dikuasai oleh para murid Yesus saja dan terus turun temurun kepada murid-murid mereka. Sehingga akhirnya injil hanya boleh dibaca oleh para pemuka agama kristen saja. Orang biasa tidak diperbolehkan untuk langsung membaca injil dan memahaminya sendiri. Karena, di samping bahasa asli injil itu sendiri yang tidak bisa dipahami oleh orang biasa, ditambah lagi dengan kondisi saat itu yang masih di bawah tekanan Romawi, sehingga para penyebar kristen harus berhati-hati dalam mengajarkan ajaran Yesus tersebut.
Monopoli pemahaman dan penafsiran injil itu oleh para pemuka kristen (rijâlu ad-dîn) terus berlaku sampai akhirnya kristen mejadi agama resmi Romawi. Justru semenjak itu pula kristen melembaga menjadi institusi Gereja. Monopoli kitab suci semakin menjadi. Yang mana monopoli kitab suci tersebut berbuah kepada monopoli keberagamaan kristen. Monopoli itu pula menjadikan umat kristen sangat bergantung kepada institusi Gereja. Dan justru ketergantungan itu malah menambah keangkuhan para pemuka kristen sehingga menjadi tirani di Eropa.
Kekuasaan Gereja saat itu tidak hanya terbatas dalam bidang agama saja, lebih dari itu seluruh aspek kehidupan dikuasai seluruhnya oleh Gereja.
v Aspek keagamaan
Dalam aspek keagamaan, kristen setelah menjadi sebuah agama resmi yang formal (baca: melembaga) melalui counsil Nicea pada tahun 325 M. Di mana secara resmi para pemuka kristen—terutama Gereja barat—menobatkan Yesus sebagai tuhan anak. Dan siapa saja yang melawan keputusan counsil tersebut akan mendapatkan hukuman yang berat selain dicap sebagai seorang heretic. Melalui counsil-counsil yang selanjutnya dilakukan secara rutin untuk membahas permasalahan akidah dan syari’ah yang menurut mereka perlu disempurnakan itulah, Gereja memonopoli keagamaan umat kristen. Melalui counsil-counsil itu pula Gereja dengan mudah mengharamkan dan menghalalkan sesuatu. Contohnya saja tentang wajibnya khitan dirubah menjadi haram, daging babi dan bangkai yang asalnya haram berubah menjadi halal, menyembah patung yang asalnya syirik menjadi pengungkapan rasa ketakwaan kepada tuhan dan lain sebagainya.
Ajaran Yesus (baca: Nabi Isa) yang asalnya berasakan tauhid berubah 180 derajat menjadi ajaran yang tidak ada bedanya dengan agama Romawi kuno, paganisme.
Seseorang tidak akan bisa berkomunikasi dengan tuhan kecuali melalui lembaga Gereja (para pendeta). Itulah anggapan mereka sehingga membuat mereka dianggap sebagai orang-orang yang suci dan tidak akan pernah salah. Anggapan itulah yang terus melahirkan sikap angkuh dan tirani para pendeta dan penguasa Gereja, selain adanya ketergantungan yang sangat dari umat kristen kepada lembaga Gereja dalam menjalankan kegiatan keberagamaan mereka.
v Aspek politik
Ketika kehidupan keagamaan masyarakat berhasil dikuasai, maka secara otomatis kekuasaan politik pun dikuasai pula. Raja-raja Eropa tidak bisa dengan sembarangan memberikan keputusan ataupun kebijakannya tanpa meminta pertimbangan Gereja. Saking berkuasanya Gereja, seorang uskup mempunyai wewenang untuk menurunkan seorang raja dari tahtanya. Atau minimalnya memboikot kekuasaan mereka, sehingga mereka menjadi raja tanpa kekuasaan.
Father Nicola pertama mengatakan, bahwa anak tuhan (Yesus) telah membangun Gereja dan menjadikan Petrus (muridnya) sebagai kepala Gereja tersebut. Dan para uskup Roma telah mewarisi kekuasaan tersebut terus menerus secara turun-temurun. Seorang uskup adalah wakil Allah di muka bumi ini, oleh karena itulah ia harus mempunyai kekuasaan yang mutlak atas para umat nashrani baik mereka itu sebagai raja atau pun rakyat biasa.
Father Grigorie ketujuh mengatakan, bahwa Gereja adalah undang-undang tuhan oleh karena itu sudah menjadi hak dan kewajiban seorang father untuk mencopot kekuasaan seorang raja yang tidak taat terhadap ajaran kristen, serta mengangkat seseorang menjadi raja sesuai dengan tuntutan keadaan.
v Aspek ekonomi
Kristen adalah agama yang banyak mengajarkan zuhud terhadap keduniaan. Namun anehnya para uskup penguasa Gereja sungguh terbalik keadaannya dengan yang seharusnya. Ketika mereka seolah mengharamkan bagi para pengikutnya untuk mencari harta duniawi, tetapi justru mereka sendiri yang meraup harta sebanyak-banyaknya melalui denda untuk menebus dosa. Di mana para pengikut kristen bisa terampuni dosanya jika telah mendapatkan pengampunan dari pendeta dengan cara membayar denda berupa uang.
Ada beberapa fenomena yang menggambarkan tentang tirani Gereja dalam aspek ekonomi ini:
  1. Kepemilikan tanah dengan sistem feodalisme
Will Durant mengatakan bahwa Gereja saat itu (midle age) merupakan tuan tanah terbesar di Eropa. Misalnya saja Biarawan Velda yang memiliki 15000 istana kecil, seorang saint Jul memiliki 2000 orang budak pekerja. Ada juga salah seorang pemuka Gereja yang memiliki 20.000 orang budak. Para raja dan para uskup saling membantu dalam menjaga kepemilikan dan kekuasaan mereka. Mereka saling mengikat loyalitas satu sama lain. Demikianlah Gereja menjadi bagian dari sistem feodalisme yang ada saat itu.
  1. Wakaf tanah
Gereja memiliki sebagain tanah yang ada di daratan Eropa sebagai wakaf dengan dalih untuk kebutuhan pembangunan Gereja dan dan mempersiapkan perang salib. Seorang reformis kristen, Weiklaf mengatakan bahwa Gereja menguasai tanah-tanah di Inggris dan memungut pajak-pajak/upeti-upeti dari tanah-tanah yang bukan milik Gereja
  1. Sepersepuluh dari penghasilan atau panen
Wales mengatakan bahwa Gereja selain memungut pajak juga memungut upeti sebesar sepersepuluh dari penghasilan masyarakat. Upeti tersebut bukan hanya sekedar sedekah dari para pengikut kristen tetapi juga merupakan hak Gereja yang menjadi kewajiban atas mereka.
  1. Pajak tahun pertama
Selain wakaf, dan upeti sepersepuluh dari pendapatan, Gereja juga memungut pajak baru yang disebut pajak tahun pertama. Pajak ini pertama kali didakan oleh Father Hana ke-22. dalih Gereja memungut pajak tersebut adalah untuk membiayai perang salib dan perayaan-perayaan suci.
  1. Hadiah
Para pemuka Gereja banyak menerima hadiah dari para tuan tanah dan orang-orang kaya. Mereka banyak memberi harta kepada pihak Gereja dikarenakan takut Gereja tidak akan memberikan ampunan ketika mereka akan mati.
  1. Kerja secara Cuma-Cuma
Ketamakan Gereja tidak hanya sebatas memiliki ribuan budak pekerja saja, mereka pun ternyata masih meminta masyarakat untuk bekerja secara Cuma-Cuma untuk Gereja. Di antaranya untuk mengurusi ladang-ladang milik Gereja, terutama untuk membangun Gereja, dan pekerjaan lainnya tanpa dibayar sepeser pun. Biasanya Gereja mewajibkan satu hari dalam seminggu untuk masyarakat aga rbekerja untuk Gereja.
Pergumulan antara Gereja dan sains
Ada dua hal setidaknya yang dilakukan Gereja sehingga menghasilkan peperangan yang tidak pernah berakhir antara Gereja dan sains. Pertama, Gereja telah banyak melakukan penyimpangan terhadap wahyu yang sebenarnya pada kitab suci Injil. Kedua, mereka memaksakan kehendak untuk berkecimpung dalam tatanan yang bukan bidangnya.
Dari kesalahan pertama yang mereka lakukan menghasilkan banyaknya khurafat dan takhayul yang menghiasi ajaran agama kristen. Sehingga tidak bisa dibedakan lagi antara ajaran yang berupa wahyu sesungguhnya dengan ajaran yang hanya khurafat dan takhayul belaka.
Sedangkan dari kesalahan kedua yang mereka perbuat adalah adanya monopoli kebenaran yang mereka klaim sediri dan menolak yang selain dari itu. Gereja secara paksa ingin menyebarkan faham atau konsep yang mereka anut kepada akal seluruh masyarakat ketika itu. Atau dengan kata lain mereka ingin memaksakan diri mengalahkan sains yang berlandaskan kepada eksperimen dan observasi secara kongkrit dengan takhayul dan khurafat yang mereka yakini kebenarannya sebagai ajaran kitab suci.
Britain mengatakan, bahwa pada abad pertengahan para ilmuwan terdiri dari orang-orang yang masih bagian dari institusi Gereja. Di mana Gereja sudah berusaha untuk mengintervensi setiap ruang gerak manusia dan mengarahkannya sesuai kehendaknya, terutama ruang gerak akalnya; berupa pemikiran dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian para ilmuwan Gereja tersebut berusah untuk memonopoli kehidupan pemikiran saat itu. Gereja saat itu merupakan ceramah, surat kabar, percetakan, perpustakaan, sekolah, dan kuliah. Dan para ilmuwan Gereja maupun para pelajar kristen biasa yang senang menggeluti dunia filasafat, saat itu sangat dan banyak terpengaruh oleh filsafat Yunani terutama filsafat Aristoteles dan Bathlemus. Mereka dengan sekuat tenaga berusaha untuk mensikretiskan keyakinan agama mereka dengan pemikiran-pemikiran filsafat tersebut. Sehingga lahirlah dari gabungan keduanya filsafat kristen, yaitu percampuran antara filsafat Yunani dan ajaran yang terdapat dalam perjanjian lama dan perjanjian baru, juga perkataan para saint terdahulu. Dalam frame filsafat mereka itulah, para filosof kristen memiliki teori-teori tersendiri tentang alam semesta, geografi dan sejarah. Gereja berpendapat dengan filsafat kristen yang mereka racik itu mereka bisa mempertahankan diri dari para pengkritik ajaran kristen. Teori-teori yang mereka hasilkan itu untuk kemudian dianggap sebagai bagian dari ajaran kristen yang terdapat dalam ajaran kitab suci.
Pada awal mulanya filsafat dan sains hanya dikenal di kalangan Gereja saja. Akan tetapi, lama kelamaan orang-orang Eropa menemukan apa yang nantinya menjadi benih-benih periode renaissance nantinya. Mereka menemukan sisa-sisa peninggalan umat Islam di pusat-pusat peradaban di Eropa; Andalus, Sicilia, dan Italia selatan, berupa ilmu pengetahuan. Mereka mengenal metodologi penelitian dan metodologi berpikir yang benar dari kaum muslimin di tempat-tempat tersebut. Sehingga akhirnya muncullah para ilmuwan yang bukan dari kalangan Gereja.
Sebut saja salah satu contohnya Copernicus. Ia menemukan teori heliosentris tentang tata letak tata surya kita, bahwa mataharilah yang menjadi pusat tata surya yang dikelilingi oleh planet-planet, seperti bumi salah satunya. Tentu itu bertentangan dengan teori Gereja yang dianggap sebagai keyakinan bagian dari ajaran kristen, bahwa bumilah yang menjadi pusat tata surya dengan alasan karena di bumilah tempat anak tuhan turun dan mengorbankan nyawanya sebagai tebusan atas dosa-dosa manusia, di mana matahari dan benda-benda langit lainnya beredar mengitari bumi. Karena itulah, Gereja menjatuhkan hukuman mati kepadanya karena telah berani menentang keyakinan kristen, ajaran tuhan.
Beberapa lama setelah itu, muncul Galileo Galilei yang memunculkan lagi teori heliosentri. Bahwa bumi bergerak mengitari matahari. Dan ini bertentangan dengan apa yang disebutkn di antaranya di dalam Perjanjian Lama, Psalm 104:5, “[the LORD] set the earth on its foundations; it can never be moved.” Galileo pun dijatuhi hukuman yang sama, hukuman mati. Namun, berbeda dengan Copernicus, Galileo ruju’ dari pendapatnya tersebut dan akhirnya dibebaskan.

Diskusi Dwipekanan
Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
Tema: Menguraikan Gagasan Islamisasi Sains di Dalam Pendidikan
Narasumber: Dr. Budi Handrianto

No comments:

Post a Comment

Komentar Facebook