M.Rakib Jamari Pekanbaru Riau Indonesia
Kalau Anak Nakal
Menurut Ustadz Abdullah bin Taslim,
M.A Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan
bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara
cara-cara tersebut adalah:
Pertama,
teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang
sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering
dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke
berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan
makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta
dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat
(nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan
menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua,
menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini
bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang
tercela.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang
terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah
maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi
maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman
tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam
Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk
memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan
hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu
menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih
banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti:
menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur
dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu,
memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah
memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada
anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur
tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika
mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits
ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka
melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai
usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya
–dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak
terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang
melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau
pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik
(menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam)
jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil
pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun
memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini
bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang
dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa
mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu
keras.
Untuk
anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya),
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk
memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang
berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang,
seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman
(yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima
pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul),
dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini
tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-cara
menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]
Di
antara cara tersebut adalah:
1.
Memukul wajah
Ini
dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka
hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2.
Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini
juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
yang shahih.[12]
3.
Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini
juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara
berlebihan.
Dari
Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih
kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku,
‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut
karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka
ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau
yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’
Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah,
wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada
kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak
selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
4.
Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap
ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya
kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang
dari (mendapat) kebaikan.”[14]
5.
Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini
juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan
(kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu
menahan dirinya ketika marah.“[15]
Penutup
Demikianlah
bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan
akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam
amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena
itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling
utama dalam hal ini.
Akhirnya,
kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna,
agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan
mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk
kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar
lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله
وسلم
وبارك
على
نبينا
محمد
وآله
وصحبه
أجمعين، وآخر
دعوانا
أن
الحمد
لله
رب
العالمين
Kota
Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,
Ustadz
Abdullah bin Taslim, M.A
[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061,
dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad:
1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh
Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf:
9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan
hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal
Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul
Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal
Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan
shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal
Muslimah, hlm. 149–150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal
Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493;
dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763,
dan Muslim no. 2609.
Hukum keluarga diartikan sebagai
keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :
1. Hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan.
2. Hukum kekayaan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
Didalam kita mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus diperhatikan.
I. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy (pasal 27 BW).
Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami.
II. Undang – undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW).
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil.
III. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.
Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam buku III.
IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang.
Mengenai syarat-syarat perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan. Syarat-syarat ini dibeda-bedakan antara :
a. Syarat materiil (syarat inti)Syarat ini masih dapat diperinci lagi antara syarat materiil absolut dan syarat materil relatif.
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya.
Syarat ini adalah sebagai berikut :
1. MonogamyPersetujuan antara kedua calom suami istri
3. Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal (pasal 29)
4. Seoang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (pasal 34)
5. Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (pasal 35-49)
Syarat materiil relatif adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu.
Ketentuan-ketentuan ini ada 2 macam :
1. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan.
2. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan perbuatan zinah.
3. Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
b. Syarat Formal
Ini dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan itu sendiri.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan perkawinan adalah :
1. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin
2. Pengumuman tentang maksud untuk kawin
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menentukan :
1. Calon suami istri harus memperlihatkan akta kelahirannya masing-masing.
2. Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara dari pengadilan.
3. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau di dalam hal ketidak hadiran suami (istri) yang dahulu, turunan izin hakim untuk kawin.
4. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung, tanpa pencegahan.
5. Dispensasi untuk kawin, di dalam hal dispensasi itu diperlukan
6. Jika ada perselisihan pendapat antara Pegawai Catatan Sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya surat-surat yang diperlukan untuk kawin, maka hal ini dapat diajukan kepada pengadilan yang akan memberi keputusan tanpa banding.
(Diambil dari berbagai sumber)
Catatan M.Rakib Jamari Pekanbaru Riau Indonesia
Kalau Anak Nakal
Anak nakal, diasediakan lidi
Begitu menurut Imam Hanafi
Sekedar untuk, menakuti
Bukamlah karena membenci.
Menurut Ustadz Abdullah bin Taslim,
M.A Syariat Islam yang agung mengajarkan kepada umatnya beberapa cara pendidikan
bagi anak yang bisa ditempuh untuk meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara
cara-cara tersebut adalah:
Pertama,
teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang
sangat baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering
dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan tangannya ke
berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan
makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di hadapanmu.“[1]
Serta
dalam hadits yang terkenal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda kepada anak paman beliau, Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma,
“Wahai anak kecil, sesungguhnya aku ingin mengajarkan beberapa kalimat
(nasihat) kepadamu: jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan
menjagamu, jagalah (batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua,
menggantung tongkat atau alat pemukul lainnya di dinding rumah
Ini
bertujuan untuk mendidik anak-anak agar mereka takut melakukan hal-hal yang
tercela.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang
terlihat oleh penghuni rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah
maksud hadits ini agar orangtua sering memukul anggota keluarganya, tapi
maksudnya adalah sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman
tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam
Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memaksudkan dengan perintah untuk menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk
memukul, karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan
hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi, yang beliau maksud adalah agar hal itu
menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih
banyak cara pendidikan bagi anak yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti:
menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur
dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu,
memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah
memukul anak yang nakal untuk mendidiknya?
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah kepada
anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima waktu) sewaktu mereka berumur
tujuh tahun, pukullah mereka karena (meninggalkan) shalat (lima waktu) jika
mereka (telah) berumur sepuluh tahun, serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits
ini menunjukkan bolehnya memukul anak untuk mendidik mereka jika mereka
melakukan perbuatan yang melanggar syariat, jika anak tersebut telah mencapai
usia yang memungkinkannya bisa menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya
–dan ini biasanya di usia sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak
terlalu keras dan tidak pada wajah.[8]
Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang
melakukan kesalahan dengan memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau
pedis di mulutnya, seperti cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik
(menghukum) anak dengan memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam)
jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil
pelajaran dari pukulan tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun
memberikan sesuatu yang pedis (di mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini
bisa jadi mempengaruhinya (mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang
dilakukan pada badan maka ini tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa
mengambil pelajaran darinya, dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu
keras.
Untuk
anak yang berusia kurang dari sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya),
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk
memukul anak (berusia) sepuluh tahun karena meninggalkan shalat. Maka, yang
berumur kurang dari sepuluh tahun hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang,
seorang anak kecil yang belum mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman
(yang baik), kecerdasan dan tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima
pukulan, celaan, dan pelajaran darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul),
dan terkadang ada anak kecil yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini
tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-cara
menghukum anak yang tidak dibenarkan dalam Islam[10]
Di
antara cara tersebut adalah:
1.
Memukul wajah
Ini
dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari kalian memukul, maka
hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2.
Memukul yang terlalu keras sehingga berbekas
Ini
juga dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits
yang shahih.[12]
3.
Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini
juga dilarang karena dikhawatirkan lepas kontrol sehingga memukul secara
berlebihan.
Dari
Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata, “(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih
kecil) dengan cemeti, maka aku mendengar suara (teguran) dari belakangku,
‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut
karena kemarahan (yang sangat). Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka
ternyata dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau
yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’
Maka aku pun melempar cemeti dari tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah,
wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada
kamu terhadap budak ini,’ maka aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak
selamanya setelah (hari) ini.‘”[13]
4.
Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap
ini jelas bertentangan dengan sifat lemah lembut yang merupakan sebab datangnya
kebaikan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa
yang terhalang dari (sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang
dari (mendapat) kebaikan.”[14]
5.
Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini
juga dilarang karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang kuat itu (diukur) dengan
(kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang kuat adalah yang mampu
menahan dirinya ketika marah.“[15]
Penutup
Demikianlah
bimbingan yang mulia dalam syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan
akhlak pada anak, dan tentu saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam
amalan mulia ini ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena
itu, banyak berdoa dan memohon kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling
utama dalam hal ini.
Akhirnya,
kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna,
agar dia senantiasa menganugerahkan kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan
mengamalkan petunjuk-Nya dalam mendidik dan membina keluarga kita, untuk
kebaikan hidup kita semua di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar
lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله
وسلم
وبارك
على
نبينا
محمد
وآله
وصحبه
أجمعين، وآخر
دعوانا
أن
الحمد
لله
رب
العالمين
Kota
Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,
Ustadz
Abdullah bin Taslim, M.A
[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5061,
dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516, Ahmad:
1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh
Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam Al-Mushannaf:
9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671; dinyatakan
hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal
Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam kitab Faidhul
Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal
Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495; dinyatakan
shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul Usratal
Muslimah, hlm. 149–150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina wal
Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493;
dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no. 2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no. 5763,
dan Muslim no. 2609.
Hukum keluarga diartikan sebagai
keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Satu bagian yang amat penting di dalam Hukum Kekeluargaan adalah Hukum Perkawinan. Hukum Perkawinan di bagi dalam dua bagian :
1. Hukum perkawinan
Hukum perkawinan adalah keseluruhan peraturan – peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan.
2. Hukum kekayaan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di dalam perkawinan.
Didalam kita mempelajari Hukum Perkawinan ini ada beberapa asas yang harus diperhatikan.
I. Perkawinan didasarkan pada asas monogamy (pasal 27 BW).
Penegasan ini tercantum pada dalam pasal 27 BW yang berbunyi : Dalam waktu yang sama seorang lelaki hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang perempuan hanya seorang suami.
II. Undang – undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungannya perdata (pasal 26 BW).
Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan di muka petugas Kantor Pencatatan Sipil.
III. Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.
Menurut pasal 28 asas perkawinan menghendaki adanya kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami istri. Dengan demikian jelaslah kalau perkawinan itu adalah suatu persetujuan. Tapi persetujuan ini berbeda dengan persetujuan sebagai yang termuat di dalam buku III.
IV. Perkawinan supaya dianggap sah, harus memenuhi syarat-syarat yang dikehendaki oleh undang-undang.
Mengenai syarat-syarat perkawinan ada beberapa yang harus diindahkan. Syarat-syarat ini dibeda-bedakan antara :
a. Syarat materiil (syarat inti)Syarat ini masih dapat diperinci lagi antara syarat materiil absolut dan syarat materil relatif.
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya.
Syarat ini adalah sebagai berikut :
1. MonogamyPersetujuan antara kedua calom suami istri
3. Orang yang hendak kawin harus memenuhi batas umur minimal (pasal 29)
4. Seoang perempuan yang pernah kawin dan hendak kawin lagi harus mengindahkan waktu 300 hari setelah perkawinan yang dahulu dibubarkan (pasal 34)
5. Untuk kawin diperlukan ijin dari sementara orang (pasal 35-49)
Syarat materiil relatif adalah mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan orang tertentu.
Ketentuan-ketentuan ini ada 2 macam :
1. Larangan untuk kawin dengan orang yang sangat dekat di dalam kekeluargaan sedarah atau karena perkawinan.
2. Larangan untuk kawin dengan orang, dengan siapa orang itu pernah melakukan perbuatan zinah.
3. Larangan untuk memperbaharui perkawinan setelah adanya perceraian jika belum lewat waktu 1 tahun.
b. Syarat Formal
Ini dapat dibagi dalam syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum dilangsungkan perkawinan, dan syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan itu sendiri.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan perkawinan adalah :
1. Pemberitahuan tentang maksud untuk kawin
2. Pengumuman tentang maksud untuk kawin
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi berbarengan dengan dilangsungkannya perkawinan diatur dalam pasal 71-82 yang antara lain menentukan :
1. Calon suami istri harus memperlihatkan akta kelahirannya masing-masing.
2. Akta yang memuat izin untuk perkawinan dari mereka yang harus memberi izin, atau akta dimana ternyata telah ada perantara dari pengadilan.
3. Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian atau di dalam hal ketidak hadiran suami (istri) yang dahulu, turunan izin hakim untuk kawin.
4. Bukti bahwa pengumuman kawin telah berlangsung, tanpa pencegahan.
5. Dispensasi untuk kawin, di dalam hal dispensasi itu diperlukan
6. Jika ada perselisihan pendapat antara Pegawai Catatan Sipil dan calon suami istri tentang soal lengkap atau tidaknya surat-surat yang diperlukan untuk kawin, maka hal ini dapat diajukan kepada pengadilan yang akan memberi keputusan tanpa banding.
(Diambil dari berbagai sumber)
No comments:
Post a Comment