SEMUA YANG BARU ADALAH BID’AH
TANPA PENGECUALIAN
RENUNGAN
M.RAKIB JAMARI
PEKANBARU RIAU INDONESIA. 2015
KATA-KATA “KULLU
BID’ATIN DHOLALAH” tanpa
pengecualian. Tidak ada kata kecuali
bid’ah duniawi.
SHOLAT
JUM’AT MEMAKAI BAHASA INDONESIA ADALAH BI’AH WAJIB, WALAUPUN MENYANGKUT MASALAH
IBADAH MAHDHOH. NABI TIDAK PERNAH MENCONTOHKAN BAGAIMANA KHOTBAH DALAM BAHASA
INDONESIA. YANG MERUPAKAN HAL YANG BARU DALAM AGAMA.
“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam urusan (agama) kami ini yang bukan dari
ajarannya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)Dalil lain bahwa ‘kreasi’ (membuat perkara baru) itu hanya boleh dalam masalah dunia saja, bukan masalah agama, berdasarkan sabda Nabi
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“…kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim)
“BADII’US SAMAAWAATI WAL ARDHI WA IDZAA QADHAA AMRAN FA
INNAMAA YAQUULU LAHUU KUN FA YAKUUN” (Pencipta langit dan bumi,
dan apabila Dia telah menetapkan suatu urusan, maka Dia hanya mengatakan
kepadanya,”Jadilah”, lalu jadilah ia) (QS. Al Baqarah, 2:117).
Pada
ayat sebelumnya (QS. Al Baqarah ayat 116), Allah SWT menafikan tuduhan
orang-orang kafir dan musyrikin yang meragukan Kemahakuasaan-Nya hingga Allah
dituduh memerlukan kehadiran seorang anak, maka pada awal ayat 117 ini Allah
SWT menegaskan perihal Kemahakuasaan-Nya dengan menyatakan: “Badii’us
samaawaati wal ardhi” (Pencipta langit dan bumi). Kata “badii”‘ dalam bahasa
Arab bermakna bukan hanya menciptakan tapi menciptakan sesuatu “tanpa”
berpegang pada contoh yang ada sebelumnya. Ayat ini menegaskan bahwa tatkala
Allah menciptakan langit dan bumi serta makhluk-makhluk Allah lainnya tidak
terikat oleh ciptaan sebelumnya, dalam arti ciptaan tersebut “benar-benar baru”
hanya dengan “Kun fa yakuun” Allah yang semula tidak ada menjadi ada.
Dan,
tentu saja ciptaan Allah ini bukan secara kebetulan tapi benar-benar dalam
sebuah perencanaan Allah Yang Maha kuasa. Allah SWT berfirman: “Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya, kejadian langit dan bumi serta berlainan bahasa dan
warna kulit kalian. Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda
bagi orang-orang yang berilmu”(QS. Ar Ruum, 30:22). Ayat ini mengisyaratkan
bahwa penciptaan langit dan bumi serta berbedanya bahasa dan warna kulit adalah
termasuk tanda-tanda kekuasaan-Nya.
Merupakan
tanda-tanda kekuasaan-Nya pula bahwa Allah Mahakuasa membangkitkan kembali
manusia yang telah mati dan hal ini lebih mudah bagi Allah daripada menciptakan
yang baru. Allah SWT berfirman: “Dan sungguh Kami telah mengetahui apa yang
telah ditelan bumi dari mereka, dan di sisi Kami ada Kitab yang terpelihara”
(QS. Qaaf, 50:4).
Dalam
lanjutan ayat dinyatakan: “Wa idzaa qadhaa am ran” (Dan apabila Dia telah
menetapkan suatu urusan). Pada ayat ini kata “Qadhaa” bermakna “ketetapan”.
Dan, kata “Qadhaa” pun dapat bermakna banyak tergantung dari konteks
kalimatnya. Paling tidak, ada “delapan” makna. Pertama, bermakna telah selesai
(QS.AI Baqarah,2:200). Kedua, melakukan perbuatan apa yang hendak dilakukan
(QS. Thaahaa, 20:72). Ketiga, menetapkan hukum (QS. Al Ahzaab, 33:36). Keempat,
mematikan (QS. Az Zukhruf, 43:77). Kelima, selesai atau berakhir (QS. Ibrahim,
14:22). Keenam, dekat (QS Al Qashash, 28:29). Ketujuh, menghukum dengan adil
(QS. Yunus, 10:54). Kedelapan, permakluman (QS.AL Israa’, 17:4).
Pada
umumnya arti “qadhaa” adalah “menetapkan”. Maka pada penghujung ayat
dinyatakan: “Fa innamaa yaquulu lahuu kun fa yakuun” (Maka Dia hanya mengatakan
kepadanya, “Jadilah”, lalu jadilah ia). “Kun” di dalam ayat ini bermakna bahwa
apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu maka Dia hanya menyatakan “Kun”,
maka “Jadilah”. Kata, “Lahuu” (kepadanya), kesannya sesuatu tersebut sudah ada,
padahal sesuatu itu baru akan diciptakan. Keberadaan kesemuanya tersebut berada
dalam ilmu Allah.
Pada
ayat selanjutnya dinyatakan: “Wa qaalal ladziina laa ya’lamuuna laulaa
yukallimunallaahu au ta’tiinaa aayatun ka dzaalika qaalal ladziina min qablihim
mitsla qaulihim tasyaabahat quluubuhum qad bayyannal aayaati li qaumiy
yuuqinuun” (Dan berkata orang-orang yang tiada mengetahui, “Mengapa Allah tiada
(langsung) berbicara atau mendatangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami.
Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan
mereka, hati mereka serupa. Sungguh Kami telah menerangkan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin) (QS. Al Baqarah, 2:118)
Dalam
ayat ini Allah SWT menjelaskan perihal sikap orang-orang kafir. Mereka tidak
mengetahui kebenaran yang datang dari Allah lewat Rasulullah Saw. Ketidaktahuan
mereka karena mereka tidak mengimani Al-Quran lalu mereka menuntut kepada Rasul
agar dapat menghadirkan Allah agar bisa diajak berdialog. Hal ini persis
seperti permintaan Bani Israil kepada Nabi Musa As yang ingin melihat Allah
secara langsung (QS.Al Baqarah, 2:55).
Penyebab
timbulnya tuntutan orang-orang kafir terhadap Rasul seperti yang dilakukan kaum
Bani Israil terhadap Nabi Musa As karena mereka tidak mau mengambil pelajaran,
sekaligus karena mereka tidak pernah mengalami apa yang pernah dialami Nabi
Musa beserta umatnya yang disambar halilintar. Sangat tidak mungkin keinginan
mereka untuk melihat dan mendengar suara-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan
tiadalah bagi seorang manusia bahwa Allah berkata-kata kepadanya, melainkan
dengan wahyu atau dari belakang dinding, atau Dia mengirim utusan, lalu Dia
mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Mahatinggi
lagi Maha Bijaksana” (QS.AsySyuuraa, 42:61).
Selain
itu pula mereka menuntut didatangkan kepada mereka ayat-ayat Allah (Mu’jizat)
sebagai tanda-tanda Kemahakuasaan Allah untuk menjadi bukti kerasulan Muhammad,
hal ini dilakukan hanya sebagai akal-akalan saja. Padahal, Al Qur’an adalah
mu’jizat terbesar yang kekal karena merupakan firman Allah. Perihal mereka
meminta tanda-tanda kemahakuasaan Allah (Mu’jizat) padahal kalau pun Mu’jizat
itu Allah turunkan kepada para nabi mereka tetap saja tidak mau beriman. Allah
SWT berfirman: “Dan tidak ada yang menghalangi Kami untuk mengirimkan
tanda-tanda (kekuasaan Kami) melainkan orang-orang terdahulu telah
mendustakannya, dan Kami mendatangkan kepada kaum Tsamud seekor unta betina
sebagai bukti yang jelas, lalu mereka menganiayanya. Dan Kami tidak mengirimkan
tanda-tanda itu melainkan untuk mempertakuti” (QS. Al Israa’, 17:59). Juga
dalam firman-Nya: “Maka tatkala mu’jizat-mu’jizat Kami datangkan kepada mereka
dengan terang, mereka berkata: “Ini adalah sihir yang nyata”. Dan mereka
mengingkarinya karena kezaliman dan ketakaburan padahal hati mereka
meyakininya. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang merusak”(An
Naml, 27:13-14).
Dalam
laniutan ayat dinyatakan: “Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah
mengatakan seperti ucapan mereka, hati mereka serupa”. Ayat ini mengisyaratkan
bahwa mereka sepeprti halnya orang-orang yang sebelumnya telah menerima risalah
Allah melalui Zabur, Taurat dan Injil, karena itu hati mereka sudah sama-sama
tertutup maka mereka tidak mau menerima kebenaran yang datang.
Di
penghujung ayat dinyatakan: “Sungguh Kami telah menerangkan tanda-tanda
kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin”. Allah telah mempertegas bahwa
ayat-ayat-Nya sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya telah banyak di sekitar
kehidupan ini khusius bagi orang-orang yang yakin. Yang dimaksud yakin adalah
satu keyakinan yang sudah ada di dalam hati di mana tidak ada ruang bagi akal
kita untuk bertanya lagi perihal perintah dan larangan-Nya. Jika seseorang
masih mempertanyakan suatu perintah dan larangan Allah, berarti yang
bersanngkutan belum yakin.
Paling
tidak, ada “tiga” tahapan proses keyakinan. Pertama, berkeyakinan atas dasar
ilmu. Kedua, atas dasar melihat. Ketiga, Haqqul yakin yang merupakan keyakinan
paling tinggi derajatnya. Allah SWT berfirman: “Dan adapun jika dia termasuk
orang-orang mendustakan lagi sesat, maka hidangannya dari air yang mendidih,
dan dibakar dalam neraka. Sesungguhnya ini ialah keyakinan yang benar” (QS. Al
Waaqi’ah, 56:92-95).
Wallahu
a’lam bish-shawab.
Share this:
No comments:
Post a Comment