Nikah Mut'ah (Kawin Kontrak)
DEFINISI NIKAH MUT'AH
Yang dimaksud nikah mut'ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan.[4]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[5]
Jadi, rukun nikah mut'ah -menurut Syiah Imamiah- ada tiga :
1. Shighat, seperti ucapan : "aku nikahi engkau”, atau “aku mut'ahkan engkau”.
2. Calon istri, dan diutamakan dari wanita muslimah atau kitabiah.
3. Mahar, dengan syarat saling rela sekalipun hanya satu genggam gandum.
4. Jangka waktu tertentu.[6]
NIKAH MUT'AH PADA MASA PENSYARIATAN, ANTARA BOLEH DAN LARANGAN
Nikah mut'ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat.
Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut'ah pada awal Islam ialah :
عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً " .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: "Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut'ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”.[7]
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut'ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami". [8]
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut'ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami". [9]
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut'ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut'ah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut'ah, sesuai dengan urutan waktunya.[10]
1. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
2. Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
3. Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
4. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
5. Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
6. Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
7. Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu 'anhu.
Berikut ini penjelasan tentang riwayat-riwayat tersebut.
• Riwayat yang menyatakan, bahwa larangan mut'ah dimulai pada umrah qadha [11], perang Tabuk[12] dan Haji Wada [13] tidak lepas dari kritikan, dan tidak dapat dijadikan pegangan.
Tinggallah tiga riwayat yang shahih, yang menerangkan pengharaman mut'ah. Yaitu saat perang Khaibar, Penaklukan kota Mekkah, perang Awthas. Riwayat-riwayat tersebut sebagai berikut :
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada masa perang Khaibar :
عَنْ مُحّمَّد بنِ عَلي أََنَّ عَليِاًّ رضى الله عنه قاَلَ لِابْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما : إِنَّ النَِّي صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُتْعَة ِوَ عِنْ لُحُوْمِ الْأَهْليِة ِزَمَنَ خَيْبَرَ
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Radhiyalahu 'anhuma : “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mut'ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[14]
Riwayat pengharaman nikah mut'ah pada penaklukan kota Mekkah, yaitu riwayat dari Rabi' bin Sabrah Radhiyallahu 'anhu, bahwa ayahnya berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam pada penaklukkan kota Mekkah. Kami tinggal lima belas hari. Kemudian, oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami diperbolehkan untuk mut'ah. Akupun keluar bersama seseorang dari kabilahku. (Kebetulan) aku mempunyai sedikit ketampanan, sedangkan kerabatku tersebut lebih mendekati jelek. Setiap kami membawa sal, salku jelek, sedangkan sal anak pamanku tersebut baru dan mengkilap. Ketika kami sampai di kaki Mekkah atau di puncaknya, kami bertemu dengan seorang gadis perawan, panjang lehernya semampai. Kami berkata,”Apakah engkau mau bermut'ah dengan salah seorang dari kami?" Dia berkata,”Dengan apa kalian bayar?” Maka setiap kami membentangkan salnya. Lalu wanita itu melihat kami, dan sahabatku itu melihat ketiaknya dan berkata: “Sesungguhnya sal dia jelek, sedangkan salku baru, mengkilap". Dia berucap,"Salnya tidak apa-apa,” dua kali atau tiga. Lalu aku melakukan mut'ah dengannya. Belum usai aku keluar dari Mekkah, kiranya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengharamkannya.[15]
Sedangkan riwayat yang mengharamkan nikah mut'ah pada saat perang Awthas, yaitu hadits Salamah bin al Akwa`.
• Mengkombinasikan antara riwayat-riwayat di atas, para ulama menggunakan dua metode.
Pertama : Metode tarjih (mengambil riwayat yang lebih kuat).
Sebagian para ulama mengatakan [16], bahwa lafadz hadits Ali, yaitu riwayat Ibnu Uyainah dari Zuhri ada kalimat yang didahulukan dan diakhirkan, karena beliau berucap kepada Ibnu 'Abbas jauh setelah kejadian [17]. Seharusnya ucapan beliau, "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang makan daging keledai pada masa Khaibar dan melarang mut'ah". Dengan demikian, larangan mut'ah dalam riwayat ini tidak lagi ada secara tegas waktu Khaibar.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,"Para ulama berselisih, apakah mut'ah dilarang pada masa Khaibar? Ada dua pendapat. Dan yang shahih, larangan hanya pada masa penaklukan kota Makkah, sedangkan pelarangan waktu Khaibar hanya sebatas daging keledai. Hanya saja Ali berkata kepada Ibnu 'Abbas, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang mut'ah pada hari Khaibar, dan juga melarang makan daging keledai untuk memberi alasan (pengharaman) pada dua permasalahan tersebut kepada Ibnu 'Abbas. Maka para rawi menyangka, bahwa ikatan hari Khaibar kembali kepada dua hal itu, lalu mereka meriwayatkan dengan makna".[18]
Sedangkan riwayat pengharaman mut'ah pada perang Awthas atau Hunain, yaitu hadits Salamah bin Akwa`. Berhubung perang Awthas dan tahun penaklukan Mekkah pada tahun yang sama, maka sebagian ulama menjadikannya satu waktu, yaitu pada penaklukan Mekkah.
Kedua : Metode jamak (menggabungkan antara riwayat-riwayat).
Melihat pada semua riwayat yang shahih tentang pengharaman nikah mut'ah, bahwa telah berlaku pembolehan kemudian pelarangan beberapa kali. Diperbolehkan sebelum Khaibar, lalu diharamkan, kemudian diperbolehkan tiga hari penaklukan Mekkah, kemudian diharamkan hingga hari Kiamat.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,"Tidak ada keraguan lagi, mut'ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali." [19]
Al Qurthubi berkata,"Telah berkata Ibnul 'Arabi,'Adapun mut'ah, maka ia termasuk salah satu keunikan syari'ah; karena mut'ah diperbolehkan pada awal Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar, lalu diperbolehkan lagi pada perang Awthas kemudian diharamkan setelah itu, dan berlangsung pengharaman. Dan mut'ah -dalam hal ini- tidak ada yang menyerupainya, kecuali permasalahan kiblat, karena nasakh (penghapusan) terjadi dua kali, kemudian baru hukumnya stabil'."[20]
Bahkan sebagian ulama yang belum menyaring semua riwayat tentang mut'ah, mereka mengatakan telah terjadi tujuh kali pembolehan dan tujuh kali pelarangan.[21]
Kesimpulan Dari Pembahasan Di Atas.
Pertama : Telah terjadi perselisihan tentang waktu pengharaman. Ibnul Qayyim rahimahullah menguatkan riwayat yang mengatakan, bahwa pengharaman berlaku pada tahun penaklukan Mekkah.[22]
Kedua : Bagaimanapun perselisihan ini tidak mengusik haramnya nikah mut'ah; karena, sekalipun terjadi perselisihan, akan tetapi telah terjadi kesapakatan Ahlus Sunnah tentang haramnya.
Al Qurthubi berkata,”Pengharaman mut'ah telah berlaku stabil. Dan dinukilkan dari Ibnul 'Arabi, bahwa tekah terjadi Ijma' (kesepakatan) atas pengharamannya (yaitu ijma` Ahlus Sunnah yang datang kemudian, wallahu a`lam, Pen)." [23]
HUKUM ISLAM TENTANG NIKAH MUT'AH
Nikah mut'ah telah diharamkan oleh Islam dengan dalil Kitab, Sunnah dan Ijma', dan secara akal.
• Dari al Qur`an :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ
إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. [al Maarij : 29-31]
Allah Subhanahu wa Ta'ala menerangkan, sebab disahkan berhubungan badan hanya melalui dua cara. Yaitu: nikah shahih dan perbudakan. Sedangkan wanita mut'ah, bukanlah istri dan bukan pula budak. [24]
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُم مِّن فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّن بَعْضٍ ۚ فَانكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ مُحْصَنَاتٍ غَيْرَ مُسَافِحَاتٍ وَلَا مُتَّخِذَاتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَا أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ الْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah [25]. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut'ah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak mensyariatkan demikian. [26]
• Dalil dari Sunnah, yaitu semua riwayat yang telah disebutkan di atas merupakan dalil haramnya mut'ah.
• Adapun Ijma`, para ulama ahlus sunnah telah menyebutkan, bahwa para ulama telah sepakat tentang haramnya nikah mut'ah. Di antara pernyataan tersebut ialah :
1. Perkataan Ibnul 'Arabi rahimahullah , sebagaimana telah disebutkan di muka.
2. Imam Thahawi berkata,"Umar telah melarang mut'ah di hadapan para sahabat Rasulullah, dan tidak ada seorangpun yang mengingkarinya. Ini menunjukkan, bahwa mereka setuju dan menuruti apa yang telah dilarang. Dan juga bukti Ijma' mereka atas larangan tersebut adalah, bahwa hukum tersebut telah dihapus.[27]
3. Qadhi Iyadh berkata,"Telah terjadi Ijma' dari seluruh ulama atas pengharamannya, kecuali dari kalangan Rafidhah (kelompok Syi'ah, Pen)". [28
4. Dan juga disebutkan oleh al Khattabi: “Pengharaman mut'ah nyaris menjadi sebuah Ijma' (maksudnya Ijma' kaum Muslmin, Pen.), kecuali dari sebagian Syi'ah”. [29]
• Adapun alasan dari akal dan qiyas, sebagai berikut :[30]
1. Sesungguhnya nikah mut'ah tidak mempunyai hukum standar, yang telah diterangkan dalam kitab dan Sunnah dari thalak, iddah dan warisan, maka ia tidak berbeda dengan pernikahan yang tidak sah lainnya.
2. 'Umar telah mengumumkan pengharamannya di hadapan para sahabat pada masa khilafahnya dan telah disetujui oleh para sahabat. Tentu mereka tidak akan mengakui penetapan tersebut, jika pendapat 'Umar tersebut salah.
3. Haramnya nikah mut'ah, dikarenakan dampak negatif yang ditimbulkannya sangat banyak. Di antaranya
a. Bercampurnya nasab, karena wanita yang telah dimut'ah oleh seseorang dapat dinikahi lagi oleh anaknya, dan begitu seterusnya.
b. Disia-siakannya anak hasil mut'ah tanpa pengawasan sang ayah atau pengasuhan sang ibu, seperti anak zina.
c. Wanita dijadikan seperti barang murahan, pindah dari tangan ke tangan yang lain, dan sebagainya.
SEPUTAR IJTIHAD IBNU ABBAS RADHIYALLAHU 'ANHU DALAM MASALAH MUT'AH [31]
Dalam permasalahan ini, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu mempunyai tiga pendapat.[32]
• Membolehkannya secara mutlak.
Disebutkan dari 'Atha`, beliau mendengar Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu berpendapat bahwa nikah mut'ah boleh …[33]
• Membolehkannya dalam keadaan darurat. Riwayat ini yang termasyhur dari beliau.
Di antaranya riwayat dari Ubaidillah [34] : "Bahwa Abdullah bin Abbas berfatwa tentang mut'ah. Para ahli ilmu mencelanya karenanya, akan tetapi beliau tidak bergeming dari pendapatnya, hingga para ahli syair melantunkan syair tentang fatwanya :
Wahai kawan, kenapa engkau tidak melakukan fatwa Ibnu 'Abbas?
Apakah engkau tidak mau dengan si perawan sintal, dan seterusnya …
Maka berkatalah Ibnu Abbas: “Bukan itu yang aku maksud, dan bukan begitu yang aku fatwakan. Sesungguhnya mut'ah tidak halal, kecuali bagi yang terpaksa. Ketahuilah, bahwa ia tidak ubahnya seperti makan bangkai, darah dan daging babi”.
• Melarangnya secara mutlak, akan tetapi riwayat ini lemah. [35]
TANGGAPAN ULAMA TENTANG FATWA IBNU ABBAS RADHIYALLAHU A'NHU
• Tanggapan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Salim budak Ibnu 'Umar, ia berkata :
Dikatakan kepada Ibnu Umar: "Ibnu Abbas memberi keringanan terhadap mut'ah". Beliau (Ibnu 'Umar, Red) berkata,"Aku tidak percaya Ibnu Abbas mengucapkan itu." Mereka berkata,"Benar, demi Allah, beliau telah mengucapkannya,” lalu Ibnu Umar berkata,"Demi Allah, dia tidak akan berani mengucapkan itu pada masa Umar. Jika dia hidup, tentu dia hukum setiap yang melakukannya. Aku tidak mengetahuinya, kecuali (mut'ah, Red) itu perbuatan zina." [36]
• Khattabi berkata,"Ibnu Abbas membolehkannya bagi orang yang terdesak, karena lamanya membujang, kurangnya kemampuan. Lalu beliau berhenti dari fatwa tersebut (yaitu rujuk) [36]." Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibnul Qayyim. [38]
• Al Hafizh Ibnu Hajar berkata,"Kalangan ulama menilai fatwa Ibnu Abbas dalam masalah mut'ah merupakan satu-satunya fatwa yang mengatakan boleh." [39]
Demikian permasalahan nikah mut'ah, atau padanan dalam bahasa kita dikenal dengan istilah kawin kontrak. Tak syak lagi, bahwa Rasulullah n telah mengharamkan praktek nikah mut'ah ini. Islam menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor dan menjijikan. Islam mengharamkan perzinaan yang berbalutkan pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Billahi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Silahkan lihat Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, Maktabah Ubaikan (2/104).
[2]. Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/137).
[3]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim, Muassasah Risalah (5/108).
[4]. Jami' Ahkamu Nisaa` (3/169-170), dan silahkan lihat juga definisinya di dalam Subulus Salam, Ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243); al Mughni, Ibnu Qudamah, Dar Alam Kutub (10/46).
[5]. Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[6]. Fiqhus Sunnah, Sayid Sabiq (2/132).
[7]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[8]. HR Muslim, 9/159, (1406).
[9]. HR Muslim, 9/157, (1405).
[10]. Silahkan lihat pembahasan ini di dalam Jami' Ahkamin Nisaa`, Mushthafa al Adawi, Darus Sunnah (3/171-205).
[11]. Haditsnya diriwayatkan oleh Ibnu Manshur di dalam Sunan-nya (1/217), akan tetapi haditsnya mursal.
[12]. Haditsnya diriwaytakan oleh Ibnu Hibban, no.1267. Di dalam sanadnya terdapat rawi Mukmal bin Ismail dan Ikrimah bin Ammar. Keduanya tidak lepas dari kritikan, Jami' Ahkam Nisaa' (3/193).
[13]. Hadistnya diriwayatkan oleh Ahmad (3/404), Thabrani (6532), al Baihaqi di Sunan Kubra (7/204) dan yang lainnya. Riwayatnya Syaz (yaitu penyelisihan hadits ini dengan riwayat yang lebih kuat). Lihat Irwa` Ghalil (6/312).
[14]. HR Muslim, 9/161, (1407).
[15]. HR Muslim, 9/158, (1406).
[16]. Silahkan lihat Fathul Bari (9/168-169),
[17]. Di dalam riwayat Muslim disebutkan, bahwa terjadi perdebatan antara Ali yang memandang haramnya mut'ah dengan Ibnu Abbas yang awalnya membolehkan mut'ah. Kemudian Ali berkata kepadanya: “Engkau, orang yang bingung. Bahwasanya Nabi telah melarang kita dari daging keledai dan mut'ah pada perang Khaibar”.
[18]. Zadul Ma'ad, Ibnul Qayyim (4/111).
[19]. Tafsir al Qur`anil 'Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449).
[20]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi, Dar Syi'ib (5/130-131).
[21]. Ibid. (5/131).
[22]. Silahkan lihat Zadul Ma'ad (3/460).
[23]. Jami' Ahkamil Qur`an (5/87).
[24]. Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 228.
[25]. Ibid.
[26]. Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
[27]. Syarh Ma'anil Atsar (3/27).
[28]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
[29]. Aunul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[30]. Silahkan lihat asy Syi'ah wal Mut'ah, Muhammad Malullah, Maktabah Ibnu Taimiyah, hlm.19; Mukhtashar Itsna Asy'ariah, Mahmud Syukri al Alusi, hlm. 227-228 dan Fiqih Sunnah, Sayid Sabiq (2/130-131).
[31]. Sebagian ulama menyebutkan nama sebagian sahabat yang berpendapat bolehnya mut'ah, akan tetapi sengaja tidak kami sebutkan, karena lemahnya riwayat dari mereka, atau rujuknya mereka tentang hal itu. Silahkan lihat Fahul Bari (9/174).
[32]. Silahkan lihat Irwa` Ghalil (6/319) dan Jami` Ahkamin Nisaa` (3/195).
[33]. HR Mushannaf, Abdurrazzaq (14022)
[34]. HR Muslim (9/174), dan ucapan Ibnu Abbas di atas disebutkan oleh al Baihaqi di dalam Sunan-nya (7/205).
[35]. Dikeluarkan oleh at Tirmidzi (1122) dan al Baihaqi (7/205). Dalam sanadnya terdapat Musa bin 'Ubaidah ar Rabzi, dan dia dha'if.
[36]. HRAbdur Razaq di Mushannaf-nya (14020) dengan sanad shahih. Lihat Jami` Ahkamin Nisaa' (3/199).
[37]. A'unul Ma'bud, Khattabi, Darul Kutub Ilmiyah (6/59).
[38]. Zadul Ma'ad (5/112).
[39]. Fathul Bari, Ibnu Hajar (9/173).
- Antara Tragedi Raji, Bi'r Maunah Dan Qunut Nazilah
- Pasca Perang Uhud
- Akhir Perang Uhud
- Kisah-Kisah Heroik Dalam Perang Uhud
- Perang Uhud (3)
- Perang Uhud (2)
- Perang Uhud (1)
- Perang Bani Qainuqa’
- Agama Islam Tegak Dengan Wahyu
- Uang Pensiun, Halal Ataukah Haram?
- Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman Kepada Allâh Azza wa Jalla (2)
- Ma’rifatullâh, Gerbang Utama Menuju Kesempurnaan Iman Kepada Allâh Azza wa Jalla (1)
- Pelajaran Dari Umat Terdahulu (2)
- Pelajaran Dari Umat Terdahulu (1)
- Hukum Syariat Tentang Mata Uang Kertas
© copyleft
almanhaj.or.id
CINTA MUT'AH DAN KECANDUAN SEKS
Jangan
dekati zina..LA TQROBU ZINA
(QS Al- Isra’ : 31) lihat
juga (Injil Matius 5 : 28)
- 1 1. Kej 35:22
- 2 2. Kej 38:15-30
- 3 3. 2 Sam 13:5-14
- 4 4. 2 Sam 16:21-23
- 5 5. Kej 19: 30-36
- 6 6. Ul 22:17
- 7 7. Kid 4:5, 7:7
- 8 8. Kej 4:1 "Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya...."
- 9 9. Yeh 23, perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba.
- 10 10. Yeh 4:12-15.
- 11 11. Yehezkiel 16:1-63
- 12 12. Hos 1:2-3; Hos 4:14
Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada saat membaca Kitab Suci, kita harus berusaha untuk memahami maksud yang hendak disampaikan oleh Allah yang bekerja melalui sang pengarang kitab tersebut. Oleh karena itu, pada saat membaca dan memahami Kitab Suci, Gereja tidak terpaku kepada suatu kata/ gaya bahasa tertentu dan menilainya dari sudut pandang manusia. Sebab manusia, oleh karena pengaruh dosa asal Adam, telah mempunyai kecenderungan berbuat dosa, sehingga pemahamannya tidak sempurna. Secara khusus, ketidaksempurnaan pemahaman ini adalah dalam hal seksualitas, yang sejak awal mula direncanakan Allah sebagai sesuatu yang sakral, dan baik adanya, namun kini cenderung tidak dipahami sebagaimana seharusnya. Dewasa ini, terdapat dua paham ekstrim tentang seksualitas, yaitu paham yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan seksualitas adalah tabu dan dosa; dan paham ekstrim lainnya, yang menjadikan seksualitas sebagai sesuatu yang didewa-dewakan, sehingga menjadi murahan, dan terkesan ‘diobral’. Kedua paham ini jelas ada di masyarakat dunia, dan ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi cara pandang seseorang jika ia membaca tentang topik yang menyangkut seksualitas dalam Kitab Suci.
Pada awal mula penciptaan, Tuhan menciptakan segala sesuatunya baik adanya (bahkan dikatakan dalam Kitab Suci: bahwa Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh sangat baik (Kej 1:31) termasuk manusia dan seksualitas mereka, yang membedakan antara pria dan wanita. Maka dari sudut pandang Allah yang menjadikan manusia, seksualitas (termasuk tubuh manusia) adalah sesuatu yang baik, dan tidak vulgar ataupun kasar. Dikatakan dalam Kitab Suci bahwa pada saat diciptakan Allah, Adam dan Hawa juga tidak berpakaian (telanjang) namun mereka tidak merasa malu (Kej 1:25). Sulit membayangkan hal itu sekarang, karena pandangan kita sudah terbentuk sedemikian, karena pengaruh dosa asal Adam dan Hawa, sehingga kita cenderung untuk melihat seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan dosa. Hal ini disebabkan karena setelah jatuh dalam dosa, Adam dan Hawa kehilangan karunia integritas yang termasuk dalam ke-empat karunia awal/ “preternatural gifts“, yaitu 1) pengetahuan akan Allah, 2) integritas, dimana indera selalu tunduk kepada akal, 3) tidak dapat mati dan 4) tidak dapat menderita). Nah pemahaman kita yang tidak sempurna tentang seksualitas ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hilangnya karunia integritas, yang menyebabkan tidak sinkronnya antara akal budi, kehendak dan keinginan inderawi.
Namun jika seksualitas dialami selaras dengan maksud Tuhan menciptakannya, yaitu antara sepasang suami istri, maka hal itu bukan sesuatu yang vulgar dan kasar. Hubungan seksual suami istri ataupun kekaguman suami terhadap keindahan tubuh istrinya juga bukan sesuatu yang vulgar dan kasar, sebab hal itu selaras dengan kehendak Tuhan. Menjadi vulgar dan kasar, jika ini dilakukan oleh pasangan yang bukan suami istri. Persatuan antara seorang suami dengan seorang istri yang digambarkan dengan persatuan tubuh sudah menjadi rencana Allah bagi manusia (lih. Kej 2:24; Mat 19:5; Mrk 10:10:7-8). Bahkan persatuan suami istri inilah yang tertulis dalam Kitab Suci (terutama dalam kitab Hosea, Yesaya, Yeremia dan Yehezkiel) merupakan gambaran akan keeratan persatuan kasih antara Tuhan dan umat pilihan-Nya dan kasih antara Kristus dan Gereja-Nya (Ef 5:32). Menurut ajaran Kristiani, perkawinan adalah sesuatu yang sakral dan bersifat monogam, total, dan tak terceraikan sampai mati, karena merupakan penggambaran dari kasih Allah sendiri kepada manusia. Penggambaran ini merupakan salah satu perwujudan bahwa manusia diciptakan menurut gambaran Allah (lih. Kej 1:26), direncanakan oleh Allah untuk hidup memberikan kasih yang total, setia, tak bersyarat, seperti Allah yang adalah Kasih (1 Yoh 4:8).
Dengan dasar pemikiran ini, Gereja menerima Wahyu Allah dalam Kitab Suci seutuhnya, termasuk ayat- ayat yang menggambarkan seksualitas, dan tidak menganggapnya tabu; walaupun ayat- ayat tersebut tidak selalu mengacu kepada penggambaran yang berarti positif. Berarti positif, jika ayat- ayat tersebut mengacu kepada kekaguman pengantin pria terhadap pengantin wanita seperti dalam kitab Kidung Agung, namun berarti negatif, jika deskripsi tentang seksualitas mengisahkan bagaimana seksualitas tidak dilakukan dalam konteks suami istri namun sebagai tindakan perzinahan.
Dengan -prinsip inilah Gereja Katolik memahami maksud ayat-ayat yang kerap diperdebatkan:
1. Kej 35:22
Ayat ini mengisahkan bahwa Reuben, anak Yakub (yang disebut Israel) yang sulung, tidur dengan Bilha, yaitu gundik ayahnya. Perbuatan ini tidak berkenan di hadapan Allah, sehingga hak kesulungan Reuben diambil daripadanya dan diberikan kepada adiknya,Yehuda, seperti disebutkan oleh Yakub sesaat sebelum wafatnya dalam Kej 49, khususnya ay. 8-10. Pada garis keturunan Yehudalah, tongkat kepemimpinan Israel diberikan, dan semua saudara- saudaranya akan sujud kepadanya, demikian pula seluruh bangsa- bangsa takluk kepadanya.Sedangkan mengapa Yakub mempunyai gundik, yang menunjukkan adanya poligami dalam Perjanjian Lama, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
2. Kej 38:15-30
Mengenai maksud kisah Yehuda dan Tamar, sudah dibahas di sini, silakan klik.3. 2 Sam 13:5-14
Perikop ini mengisahkan tentang perbuatan keji Amnon, anak sulung Daud dari Ahinoam orang Jezreel. Amnon memperkosa adik perempuan Absalom, yang bernama Tamar, yang juga adalah adiknya sendiri (adik lain ibu). Catatan: Tamar di sini tidak sama dengan Tamar dalam Kej 38.Perbuatan Amnon ini tidak berkenan di mata Tuhan, sehingga Amnon menuai akibat perbuatannya dengan nyawanya sendiri. Ia mati dibunuh oleh orang- orang/ pegawai Absalom (lih. 2 Sam13:29).
4. 2 Sam 16:21-23
Ayat ini mengisahkan bahwa atas nasihat Ahitofel, Absalom menghampiri gundik- gundik ayahnya di depan mata seluruh Israel. Hal ini merupakan penggenapan dari hukuman yang dinyatakan Allah kepada Daud sebagaimana dikatakan oleh Nabi Natan (lih. 2 Sam 12:11) karena Daud telah menghina Tuhan dan melakukan yang jahat di mata-Nya, dengan mengambil Batsyeba istri Uria untuk menjadi istrinya, setelah ia berzinah dengannya dan untuk menutupi perbuatannya itu ia sampai membunuh Uria, suami Batsyeba. Maka dosa perzinahan yang dimulai Daud dari berjalan- jalan di atas sotoh istana (lih. 2 Sam 11:2), seolah-olah dibalas dengan perbuatan perzinahan Absalom anaknya sendiri yang menghampiri istri- istrinya, juga di atas sotoh (lih. 2 Sam 16:23). Maka perbuatan Absalom ini tentu bukan merupakan perbuatan terpuji, melainkan hal itu terjadi untuk memberikan pengajaran bahwa jika kita menabur dosa, maka kita akan juga menuai akibatnya.5. Kej 19: 30-36
Perikop ini mengisahkan bagaimana setelah kota Sodom dan Gomorah dimusnahkan oleh Allah karena kejahatan mereka, tidak ada lagi laki- laki lain di negeri itu yang dapat memberikan keturunan kepada anak- anak perempuan Lot. Maka mereka membuat mabuk ayah mereka sendiri, agar ayah mereka tidur dengan mereka dan menyambung keturunan dari mereka. Hal incest ini memang bukan keadaan ideal, namun hal ini dicatat, juga dengan maksud tertentu. Demikianlah penjelasan The Navarre Bible, Pentateuch, Jose Maria Casciaro, ed. (Dublin: Four Court Press, 1999), p.111:“Moab dan Amon [nama yang diambil dari nama anak-anak dari kedua anak perempuan Lot]adalah bangsa tetangga Israel, yang terletak di sisi timur sungai Yordan (lih. Bil 21:11,24). Penulis kitab kemungkinan menuliskan kejadian ini untuk memperlihatkan superioritas bangsa Israel sebagai bangsa yang diciptakan oleh rencana Allah yang sangat istimewa, mengatasi bangsa- bangsa lain di daerah itu. [Bangsa Israel diturunkan dari Abraham]. Orang- orang Moab dan Amon digambarkan sebagai bangsa yang inferior, karena asal usul mereka yang bermula dari hubungan incest, [antara Lot -keponakan Abraham- dan kedua anaknya."
Selanjutnya tentang incest/ perkawinan sesama saudara, sudah pernah dibahas di sini, silakan klik.
6. Ul 22:17
Teksnya berbunyi:"...dan ketahuilah, ia menuduhkan perbuatan yang kurang senonoh dengan berkata: Tidak ada kudapati tanda-tanda keperawanan pada anakmu. Tetapi inilah tanda-tanda keperawanan anakku itu. Lalu haruslah mereka membentangkan kain itu di depan para tua-tua kota." (LAI)
"...He layeth to her charge a very ill name, so as to say: I found not thy daughter a virgin: and behold these are the tokens of my daughter's virginity. And they shall spread the cloth before the ancients of the city..." (Douay Rheims Bible)
"...and lo, he has made shameful charges against her, saying, "I did not find in your daughter the tokens of virginity." And yet these are the tokens of my daughter's virginity.' And they shall spread the garment before the elders of the city..." (Revised Standard Version)
"and behold, he has charged her with shameful deeds, saying, "I did not find your daughter a virgin." But this is the evidence of my daughter's virginity.' And they shall spread the garment before the elders of the city." (New American Bible)
Maka dalam Ul 22:17 (Deut 22:17) tidak dikatakan, "fathers sticking their fingers into their daughters" seperti yang anda sebutkan. Perkataan itu merupakan interpretasi pribadi orang tertentu tentang bagaimana membuktikan keperawanan seorang anak gadis. Orang itu menduga bahwa kain tersebut adalah untuk menutupi alat kelamin si gadis, dan ayahnya sendiri kemudian melakukan perbuatan tersebut. Namun di Kitab Suci sendiri tidak tertulis demikian dan tradisi Yahudi seperti yang dituliskan oleh para penulis Yahudi, juga menunjukkan bahwa bukan itu maksudnya. Kain yang dibentangkan tersebut, menurut tradisi Yahudi adalah kain seprei yang dipakai di ranjang pengantin. "Dan mereka harus membentangkan kain itu di hadapan tua- tua kota; sehingga mereka memperoleh bukti yang kelihatan dan bukti kebenaran tentang perkataannya .... Nampaknya baik ibu maupun ayah si gadis hadir dalam pembuktian ini, sebab dikatakan, "haruslah mereka membentangkan kain itu"; dan meskipun ibunya tidak bicara, ia adalah orang yang pantas untuk membawa kain ini dan membentangkannya; dan memang kain ini ada dalam pemeliharaannya, sebab demikianlah kita diberitahu... (Nachman. apud Fagium in loc. Schindler. Lex: Pentaglott. col. 260, 261) bahwa dua orang teman pengantin, masuk ke dalam kamar pengantin dan memeriksa tempat tidur.... mereka berjaga semalaman dengan suka cita seperti halnya menjaga seorang raja dan ratu (seperti gambaran pada Yoh 3:29); dan ketika pengantin pria dan wanita keluar, mereka segera masuk, memeriksa kembali tempat tidur, dan memberikan seprei yang atasnya pengantin telah berbaring kepada ibu pengantin wanita....." (dikutip dari John Gill's commentary on Deut 22:17)
Dengan demikian, penting pula dipahami keadaan budaya setempat pada waktu kitab itu ditulis, agar kita memahami makna yang ingin disampaikan oleh penulis Kitab Suci (lih. KGK 110).
7. Kid 4:5, 7:7
Kid 4:5: "Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung" dan Kid 7:7 "Sosok tubuhmu seumpama pohon korma dan buah dadamu gugusannya."Secara umum kitab Kidung Agung merupakan kumpulan kidung dan puisi cinta. Kidung tersebut merupakan puisi cinta antara sepasang kekasih yang mencapai kepenuhannya dalam perkawinan. Bangsa Yahudi menggunakan puisi cinta ini untuk merayakan kasih manusia pada perayaan perkawinan. Kitab ini dapat diinterpretasikan secara literal ataupun alegoris. Secara literal, adalah puisi cinta yang penuh simbol, yang mengisahkan kasih dan ketertarikan seksual antara seorang pria dan wanita. Namun secara alegoris, adalah kisah yang melambangkan kasih Allah kepada umat-Nya dan kasih mereka kepada Allah.
Kid 4 mengisahkan perumpamaan seorang perempuan yang cantik, yang dimaksudkan untuk menggambarkan kecantikan rohani dari sang mempelai wanita yaitu bangsa Israel (pada Perjanjian Lama), dan Gereja (pada Perjanjian Baru). Menurut interpretasi yang diajarkan oleh St. Bede, 'dua buah dada' yang disebutkan dalam Kid 4:5 adalah untuk menggambarkan adanya para pengajar dari dua bangsa, yaitu dari bangsa Yahudi dan dari bangsa-bangsa non- Yahudi. Mereka digambarkan sebagai buah dada, karena memberikan susu rohani kepada orang- orang kebanyakan yang tidak terpelajar.
Demikian pula St. Bede mengajarkan bahwa Kid 7 mengidentifikasikan keindahan seorang mempelai wanita, yaitu Gereja, yang menjulang tinggi, dan memberi makanan rohani kepada anggotanya.
8. Kej 4:1 "Kemudian manusia itu bersetubuh dengan Hawa, isterinya...."
Sesungguhnya, kata asli yang dipakai di sana adalah יַדע (yāḏa‛), atau dalam bahasa Inggrisnya 'knew': dan dalam kamus tertulis artinya demikian: "to know, to learn, to perceive, to discern, to experience, to confess, to consider, to know people relationally, to know how, to be skillful, to be made known, to make oneself known, to make to know."Jadi sesungguhnya kata yāḏa‛ tersebut, dalam Kitab Suci memang dapat mengacu kepada 'mengetahui/ memahami/ mengalami' pasangan secara mendalam, termasuk hubungan suami istri. Oleh karena itu, diterjemahkan oleh LAI dalam bahasa Indonesia, sebagai 'bersetubuh'.
9. Yeh 23, perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba.
Interpretasi Yeh 23: 20 tidak dapat dipisahkan dari makna keseluruhan perikop tentang kakak beradik Ohola dan Oholiba (keseluruhan Yeh 23) dan ayat- ayat lainnya dalam Kitab Suci. Dalam perikop Yeh 23 sendiri, dijelaskan bahwa kisah tersebut dimaksudkan untuk menjadi kisah perumpamaan bagi bangsa Israel yang tidak setia kepada Allah (lih. Mat 12:39). Dikatakan di Yeh 23:4, "... Ohola ialah Samaria dan Oholiba adalah Yerusalem." Samaria dan Yerusalem merupakan nama kedua kerajaan yang mewaliki suku- suku Israel dan suku Yehuda. Oholah dan Oholibah adalah kedua anak perempuan dari satu ibu, yang artinya berasal dari satu rumpun Israel. Ketika mereka di Mesir, mereka telah mengikuti kebiasaan berhala bangsa Mesir terhadap dewa- dewa mereka (lih. Yeh 20:7).Maka 'berzinah' di perikop ini maksudnya adalah bagaimana bangsa Israel (Oholah dan Oholibah) beraliansi dengan bangsa- bangsa Asyur (lih. ay. 5 dan 11) dan berpaling/ melupakan dan membelakangi Tuhan (lih. ay. 35). Oholiba (Yerusalem) bahkan juga mengikuti kebiasaan orang Kasdim dan Babel (ay. 15-17) yaitu penyembahan berhala (ay. 37) dan ini dikatakan sebagai 'persundalan' (ay. 19, 27) atau perzinahan (ay. 37). Ayat 20, 21 merupakan penggambaran alegoris tentang bagaimana perzinahan itu dilakukan, yang merupakan kekejian yang menjijikkan di hadapan Allah, sehingga secara deskriptif digambarkan dengan ungkapan yang sedemikian. Maksudnya adalah untuk mengajar manusia, agar jangan sampai berpaling dari Allah dan menyembah allah- allah lain, sebab perbuatan tersebut merupakan hal yang menjijikkan bagi Allah.
10. Yeh 4:12-15.
".... engkau harus membakarnya [roti jelai]di atas kotoran manusia yang sudah kering….”Walaupun nampaknya ayat ini sepertinya jorok/ tak terbayangkan, namun kenyataannya pada zaman dulu, kotoran ternak/ kotoran lembu yang sudah kering merupakan bahan bakar yang umum di daerah timur. Dengan demikian, karena dalam masa pengasingan itu bangsa Israel dalam keadaan kekurangan kayu bakar dan batu bara, mereka terpaksa menggunakan hal itu untuk mempersiapkan makanan mereka. Pada saat itu mereka terpaksa mengumpulkan segala jenis kotoran yang sudah kering. Di ayat tersebut dikatakan bahwa Nabi Yehezkiel diperintahkan untuk membakar rotinya di atas api dengan bahan bakar kotoran manusia yang sudah kering. Ini menunjukkan betapa ekstrim derajat kekurangan dan penderitaan yang harus mereka alami, karena mereka tidak dapat meninggalkan kota untuk mengumpulkan kotoran binatang buas, maka para penduduk kota pada saat pengepungan terpaksa menggunakan kotoran manusia yang kering sebagai bahan bakar. Namun demikian, akhirnya sang nabi diperkenankan mengganti bahan bakar ini dengan kotoran lembu (lih. Yeh 4:15).
Maka yang digambarkan di ayat tersebut adalah suatu fakta keadaan genting pada saat itu, dan bukannya merupakan suatu anjuran untuk diterapkan pada zaman sekarang.
11. Yehezkiel 16:1-63
Di dalam perikop ini digambarkan tentang apa yang dilakukan Tuhan terhadap bangsa Israel (kota Yerusalem), dan perbuatan mereka terhadap-Nya, dan penghukuman mereka melalui bangsa-bangsa di sekitar mereka, bahkan bangsa yang paling mereka percayai. Hal ini disampaikan dalam suatu perumpamaan tentang bagaimana kelahirannya seumpama seorang bayi yang terlantar yang diselamatkan dari kematian, diasuh, dijadikan kekasih, dan dipenuhi segala keperluannya, dihiasinya dengan limpah. Namun kemudian ia bersalah karena melakukan perbuatan yang paling menjijikkan, dengan berbuat sundal; dan karena itu menerima hukumannya. Tapi akhirnya Allah menerimanya dan memulihkannya kembali (ay. 53) dan ia menjadi malu akan perbuatannya yang salah (ay. 61).Maka perikop ini harus dipahami dalam kaitannya dengan perumpamaan bahwa Allah begitu mengasihi bangsa Israel, yang dipungut-Nya dari keadaan yang terbuang; Allah membesarkannya dan menjadikan Yerusalem sebagai mempelai-Nya (istri-Nya), namun kemudian bangsa itu mengkhianati Allah, sebagaimana seorang istri mengkhianati suaminya dengan berbuat sundal. Persundalan ini digambarkan sedemikian rupa dengan ungkapan yang sangat gamblang, namun maksudnya adalah untuk menunjukkan betapa menjijikkannya perbuatan berhala-berhala yang dilakukan oleh bangsa Israel, yang merupakan perbuatan menduakan Tuhan. Perbuatan ini sungguh melanggar perintah Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam perintah pertama dan utama dalam kesepuluh perintah Allah.
Maka kita tidak dapat menilai pernyataan/ ungkapan-ungkapan di ayat-ayat tersebut dengan pemahaman modern, tetapi dengan memperhitungkan makna ungkapan tersebut pada saat dan tempat yang bersangkutan, di mana ungkapan tersebut tidak diartikan sama dengan apa yang kita pahami sekarang. Tujuan dari penggunaan ungkapan-ungkapan tersebut adalah untuk meningkatkan kebencian terhadap perbuatan penyembahan berhala (menyembah allah lain selain Allah), dan untuk maksud inilah perumpamaan tersebut dituliskan
12. Hos 1:2-3; Hos 4:14
Kitab Hosea memang dimaksudkan Allah untuk mengajar umat Israel dengan melihat teladan kesetiaan Nabi Hosea yang menggambarkan kesetiaan Allah. Nabi Hosea, memang diperintahkan oleh Allah untuk menikahi seorang zânâh/ perempuan sundal, demi memberi pengajaran kepada bangsa Israel yang telah bersundal hebat dan berpaling dari Tuhan karena berhala- berhala mereka (lih. Hos 1:2; 4:14). Maka perkawinan Nabi Hosea dengan Gomer ini tidaklah untuk diinterpretasikan terpisah dari maksud Allah untuk mengajar umat-Nya, yaitu bahwa walaupun umat-Nya tidak setia, Allah tetap setia. Allah mengutus nabinya, Nabi Hosea, untuk menampakkan kasih setia Allah kepada umat-Nya, sama seperti Ia memerintahkan Hosea untuk tetap setia kepada Gomer istrinya yang telah mengkhianatinya.Maka inti dari kitab Hosea tersebut adalah bahwa Allah memanggil bangsa pilihan-Nya untuk bertobat dari berhala mereka yang merupakan perbuatan sundal di hadapan Allah; sambil mengingatkan kepada mereka, bahwa jika mereka bertobat, Allah akan mengampuni mereka. Hal ini jelas disebutkan dalam Hos 14.
Dengan melihat makna ini, maka tidaklah benar jika seseorang menyimpulkan bahwa secara umum Allah memperbolehkan atau bahkan menyuruh seseorang menikah dengan pelacur. Karena yang terjadi pada kasus Hosea itu adalah kasus yang khusus, dan sungguh menuntut pengorbanan dan kelapangan hati dari pihak Nabi Hosea untuk tetap setia kepada istrinya yang telah mengkhianatinya dengan berzinah. Dengan demikian, kesetiaan Nabi Hosea kepada istrinya menjadi gambaran kasih setia Allah kepada Israel bangsa pilihan-Nya, walaupun bangsa itu kerap tidak setia. Namun secara umum untuk semua orang, Allah tidak menghendaki hal tersebut. Ini terlihat bahwa Allah dengan jelas melarang perzinahan (lihat perintah 6 dan 9 dari kesepuluh perintah Allah, Kel 20: 14, 17).
Agaknya dalam menginterpretasikan Kitab Suci, kita tidak boleh hanya terpaku pada apa yang secara literal tertulis tanpa berusaha memahami apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh para penulis Kitab Suci pada saat menuliskan Wahyu Allah itu. [Jika tidak, kita akan terperangkap dalam pemahaman sempit seperti pandangan yang anda kutip]. Sebab selalu ada kaitan antara satu ayat dengan ayat yang lain dalam kesatuan Kitab Suci, dan bahwa kita harus membaca Kitab Suci dalam kesatuan dengan Tradisi Gereja (yaitu dengan memperhatikan pengajaran para Bapa Gereja) dan bahwa kita harus memperhatikan analogi iman/ kisah iman yang ingin disampaikan (lih. KGK 112-114). Mari kita mengingat kembali apa yang disampaikan dalam Katekismus:
KGK 109 Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka (Bdk. Dei Verbum 12,1).
Semoga Roh Kudus memimpin kita kepada pemahaman akan Sabda Allah dan akan makna yang disampaikannya.
No comments:
Post a Comment